• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6. Kesimpulan dan Saran

2. Saran

2.1 Saran bagi pendidikan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru bagi pendidikan keperawatan tentang gambaran kualitas tidur dan gangguan tidur pada klien dengan rheumatoid arthritis sehingga perawat-perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif kepada penderita rheumatoid arthritis, terkhusus mengenai tidurnya.

2.2 Saran bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelayanan kesehatan untuk memberikan promosi kesehatan tentang kualitas tidur dan gangguan tidur pada klien dengan rheumatoid arthritis dan bagaimana cara mendapatkan kualitas tidur yang baik terkhusus ditujukan kepada penderita

rheumatoid arthritis.

2.2 Saran bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini hanya dilakukan pada 38 orang responden penderita rheumatoid arthritis di Stabat Kabupaten Langkat. Untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini sebaiknya mempunyai sampel yang lebih banyak yang mewakili dari beberapa Wilayah Kerja Puskesmas.

Bab 2

Tinjauan Pustaka

1.

Konsep Tidur 1.1 Definisi Tidur

Tidur merupakan kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai (Guyton, 1986), atau juga dapat dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktifitas yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari luar. Selain itu tidur memiliki urutan siklus yang berulang – ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang- ulang dan masing – masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda.

1.2 Pengaturan Tidur

Tidur merupakan aktivitas yang melibatkan susunan saraf pusat, saraf perifer, endokrin, kardiovaskular, respirasi, dan musculoskeletal (Robinson 1993, dalam Potter). Tiap kejadian tersebut dapat diidentifikasi atau direkam dengan elektroensefalogram (EEG) untuk aktifitas listrik otak, pengukuran tonus otot dengan menggunakan elektromiogram (EMG), dan elektrookulogram (EOG) untuk mengukur pergerakan mata.

Pengaturan dan kontrol tidur tergantung dari hubungan antara dua mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk tidur dan bangun. Reticular activating sistem (RAS) di bagian batang otak atas diyakini mempunyai sel – sel khusus dalam mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran. RAS memberikan stimulus visual, auditori, nyeri dan sensorik raba. Juga menerima stimulus dari korteks serebri (emosi dan proses pikir).

Pada keadaan sadar mengakibatkan neuron-neuron alam RAS melepaskan katekolamin, misalnya norepinefrin. Saat tidur mungkin disebabkan oleh pelepasan serum serotinin dari sel-sel spesifik di pons dan batang otak tengah yaitu

bulbar synchronizing regional (BSR). Bangun dan tidurnya seseorang tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima dari pusat otak, reseptor sensorik perifer misalnya bunyi, stimulus cahaya, dan sistem limbic seperti emosi.

Seseorang yang mencoba untuk tidur, mereka menutup matanya dan berusaha dalam posisi rileks. Jika ruangan gelap dan tenang aktivitas RAS menurun, pada saat itu BSR mengeluarkan serum serotonin.

Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending Reticulary Activity System). Bila aktivitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan sadar, aktivitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,

jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari triptofan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nukleus raphe dorsalis

dengan tidur REM.

Sistem adrenergik. Neuron – neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan juga.

Sistem Kolinergik. Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kolinergik dari locus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

Sistem histaminergik. Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

Sistem hormon. Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotrapin Hormon (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), dan Luteinizing Hormon (LH). Hormon – hormon ini masing – masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

1.3 Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah restorative (memperbaiki) kembali organ-organ tubuh. Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat Rapid Eye Movement (REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Nonrapid Eye Movement akan mempengaruhi proses anabolik dan sintesis makromolekul ribonucleic acid

(RNA). Rapid Eye Movement akan mempengaruhi pembentukan hubungan baru pada korteks dan sistem neuroendokrin yang menuju otak. Selain fungsi tidur diatas, tidur juga dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskuler, endokrin, dan lain -lain. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur: pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai susunan saraf; dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama

1.4 Tahapan Tidur

Tahapan tidur memiliki karateristik tertentu yang dianalisis dengan bantuan

electroencephalograph (EEG) yang menerima dan merekam gelombang otak,

electromyograph (EMG) yang merekam tonus otot, dan electrooculograph (EOG) yang merekam pergerakan mata. EEG, EMG, dan EOG dapat mengidentifikasi perbedaan signal pada level otak, otot, dan aktivitas mata. Normalnya, tidur dibagi menjadi dua yaitu Nonrapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement

(REM).

Selama masa NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan dan memerlukan kira – kira 90 menit selama siklus tidur. Sedangkan tahapan REM adalah tahapan terakhir kira – kira 90 menit sebelum tidur berakhir. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4 – 7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16 – 20 jam/hari, todler 10-12 jam/hari, pra sekolah 11 jam/hari, usia Sekolah 10 jam/hari, Remaja 8,5 jam, Dewasa muda 8-10 jam /hari, dewasa tua 7 jam/hari, usia tua > 60 tahun, 6 jam/hari.

Tidur Nonrapid Eye Movement (NREM). Tidur NREM terdiri dari 75 - 80% dari total waktu tidur. Tahapan tidur NREM dibagi menjadi 4 tahap:

Tahap 1 (N1) terdiri dari 3-8% dari total waktu tidur. Merupakan tingkat transisi antara bangun dan tidur dimana seseorang masih sadar dengan lingkungannya, merespons cahaya, berlangsung beberapa menit, mudah terbangun dari rangsangan, aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolisme menurun, bila terbangun terasa sedang bermimpi. Dalam tidur N1 ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya gelombang teta ( 4 – 7 Hz). Pada EOG tidak

tampak kedip mata, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG, dan berlangsung 5 – 10 menit.

Tahap dua (N2) terdiri dari 45 - 55% dari total waktu tidur. Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun yang ditandai dengan penurunan tanda-tanda vital mulai relaksasi otot, berlangsung 10 – 20 menit, fungsi tubuh berlangsung lambat, dan dapat dibangunkan dengan mudah. Pada tahap ini tampak Kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%), dengan frekuency 4 – 15 Hz. EOG sama sekali tidak terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari tahap 1 (N1).

Tahap tiga (N3) yaitu menunjukkan medium deep sleep yang merupakan tahap awal dari keadaan tidur nyenyak, sulit dibangunkan, relaksasi otot menyeluruh, tekanan darah menurun dan berlangsung 15 – 30 menit. Pada tahap ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dengan frekuency 2 – 4 Hz.

Tahap empat (N4) merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, untuk restorasi dan istirahat tonus otot menurun, sekresi lambung menurun, dan gerak bola mata cepat. Pada tahap ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti tahap 2 (N2).

manusia diproduksi malam hari dan puncaknya selama tidur pada tahap ini (White, 2003).

Tidur Rapid Eye Movement (REM). Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal ini menunjukkan Tidur REM sifatnya nyenyak sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola matanya bersifat sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi, otot – otot kendor, tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung bergerak bolak – balik), sekresi lambung meningkat, ereksi penis pada laki – laki, gerakan otot tidak teratur, kecepatan jantung, dan pernapasan tidak teratur sering lebih cepat, serta suhu dan metabolisme meningkat.

Apabila seseorang mengalami kehilangan tidur REM, maka akan menunjukkan gejala – gejala seperti nafsu makan bertambah, bingung dan curiga, cenderung hiperaktif, dan kurang dapat mengendalikan diri (emosi labil). Dan tahap tidur REM terjadi setelah 90 – 110 menit setelah tertidur.

1.5 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman disekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah–pecah, sering menguap dan mengantuk.

Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, dan lama tidur (Eser, 2007). Selanjutnya (Buysse et al, 1988; Parket et al, 2001; Karota-Bukit, 2003)

menjelaskan bahwa perasaan segar saat bangun pagi, rasa lemah beraktifitas dan aspek subjektif seperti kepuasan atau kedalaman tidur juga merupakan karateristik dari kualitas tidur. Lai (2001) dalam wavy (2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalamn tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudan untuk tertidur tanpa bantuan medis.

Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mencapai tubuh yang sehat salah satunya yaitu mengkonsumsi makanan yang dapat membantu tidur agar mendapatkan kualitas tidur yang baik seperti mengkonsumsi seledri. seledri mengandung silikon yang memperkuat saraf dan jaringan jantung sehingga seledri mempunyai efek menenteramkan, sayuran yang berwarna hijau tua, selada. Senyawa dalam selada yang disebut laktukarium dapat membuat tidur yang efektif, kerang, makanan yang kaya triptofan, gandum. Karbohidrat kompleks dapat meningkatkan serotonin, yang membantu tidur lebih nyenyak. Sayuran kol dan tahu memiliki kandungan kalsium dan magnesium yang baik karena kalsium dapat membantu otak menggunakan asam amino triptofan untuk memproduksi melatonin (Siregar-mukhlidah, 2011).

Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa dengan pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang

1.6 Gangguan Tidur

Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke praktek. Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurunnya daya tahan tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain.

Indikator tercukupnya tidur adalah kondisi tubuh waktu bangun tidur. Jika merasa segar setelah bangun tidur, berarti tidur kita sudah cukup. Namun, jika badan masih terasa lemah ketika bangun tidur berarti tidurnya masih kurang. Memperbaiki kualitas tidur daripada menambah jam tidur dapat memberikan tubuh yang sehat dan bugar. Hal ini diyakini dapat memperbaiki ganngguan tidur.

1.6.1 Faktor-faktor Gangguan tidur 1.6.1.1 Faktor Fisik.

Ketidaknyamanan fisik dapat menyebabkan masalah tidur. Pada umumnya perasaan lelah, gelisah, batuk, dan nokturia merupakan gejala yang dapat mengganggu tidur seseorang.

Pusing. hal ini sejalan dengan Albertie (2006) yang menyatakan bahwa pusing akan menyebabkan gangguan tidur dan apabila pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Selain itu Rains (2006) juga menambahkan bahwa pusing dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang.

Perasaan lelah. Kelelahan dapat menyebabkan gangguan tidur, dimana biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah – olah mereka bangun ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam (Shapiro et al, 1993).

1.6.1.2 Faktor lingkungan.

Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang untuk tidur. Pada lingkungan yang tenang memungkinkan seseorang dapat tidur nyenyak. Sebaliknya lingkungan yang ribut, bising, dan gaduh akan menghambat seseorang untuk tidur, dan kebiasaan sebelum tidur yang dapat mengganggu konsentrasi tidur tentunya akan mempengaruhi proses tidur (Mukhlidah, 2011).

Suara bising. Kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur dan juga dapat membangunkan seseorang dari tidur (Hanning, 2009). Suara yang terlalu keras jelas menggangu konsentrasi untuk beristirahat.

Suhu ruangan. Lee (19997), menyatakan bahwa seseorang mengalami gangguan tidur apabila tidur diruangan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin.

Cahaya lampu. Menurut Lee (1997), sorot lampu yang terlalu terang dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat menghambat sekresi melatonin pada tubuh. Joyce A. Walsleben PhD. Mengatakan bahwa kondisi yang relatif tenang dan tidak terlalu terang akan mempengaruhi cepat gerak mata. Selain itu tubuh juga akan memproduksi melatonin, hormon yang akan membantu untuk bermimpi.

membutuhkan tempat yang kondusif untuk membuat tidur semakin sehat dan nyaman.

Ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paru-paru tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun dengan kerongkongan kering seakan – akan seseorang tersebut menderita radang amandel (Septiyadi, 2005).

Bau yang tidak nyaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karota-Bukit (2003)bahwa 13% responden mengalami gangguan tidur pada tingkat sedang karena bau yang tidak nyaman.

1.6.1.3 Faktor Psikososial

Gangguan tidur dilaporkan oleh 90% individu yang mengalami stres, perasaan cemas, dan depresi (Chokroverty, 1999; Suryani, 2004).

Stres. Seseorang dapat mengalami stres karena penyakit. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan sering kali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005).

Depresi. Seseorang yang telah terkena depresi akan mengalami gangguan tidur yang mana ciri khas seseorang yang terkena sindrome tersebut adalah susah untuk tidur dan selalu merenung (Septiyadi, 2005).

Cemas. Mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya memiliki resiko terhadap kecemasan. Perasaan cemas menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk

memulai tidur sangat lama, tahap tidur NREM ke 4 dan tidur REM menurun, serta klien lebih sering terbangun pada malam hari (Karacen et al, 1968, 1978; Closs, 1988; Suryani, 2004).

1.7 Faktor yang mempengaruhi tidur

Circadian Rhythm (Irama Sirkardian). Circadian rhythm adalah ritme suhu tubuh. Suhu tubuh kita sebenarnya tidak konstan 37°C, melainkan naik turun seiring jam bertambah dalam satu hari. Perbedaan suhu tubuh yang terjadi sekitar 2°C. Saat suhu tubuh naik, kita menjadi lebih terjaga dan energik, sedangkan saat suhu tubuh turun kita menjadi lebih lelah dan malas. Ritme suhu tubuh inilah penyebab kita merasa mengantuk dan terbangun pada jam yang sama setiap hari.

Melatonin dan Cahaya Matahari. Melatonin adalah hormon yang dibentuk kelenjar pineal dan retina. Melatonin bertugas untuk membuat kita tertidur dan mengembalikan energi fisik ketika kita tidur. Apabila melatonin tinggi kita akan merasa mengantuk, lemah, lesu, dan sebagainya. Level melatonin dalam tubuh sangat tergantung pada jumlah cahaya matahari yang diterima mata pada suatu hari. Banyak cahaya matahari akan memperlambat proses pembentukan melatonin.

Terjaga Sebelumnya. Lebih lama terjaga, kita dapat melakukan aktivitas yang lebih tinggi. Apabila kita tidur 8 – 9 jam per hari dan tetap merasa lemas, ini bisa berarti kita membutuhkan tidur lebih sedikit. Kita tidur terlalu banyak dan

Status kesehatan. Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia dapat tidur dengan nyenyak. Tetapi pada orang yang sakit dan rasa nyeri, maka kebutuhan istirahat dan tidurnya tidak dapat dipenuhi dengan baik sehingga ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Stres psikologis. Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada frekuensi tidur. Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan mengurangi tahap IV NREM dan REM.

Diet. Makanan yang banyak mengandung L–Triptofan dapat menyebabkan seseorang mudah tertidur. Makanan yang memberatkan kerja sistem pencernaan akan menurunkan kualitas tidur, sehingga gangguan tidur terjadi. Memperhatikan makanan yang kita konsumsi dapat menghilangkan atau mengurangi gangguan tidur yang dialami. Memperbanyak konsumsi makanan produk hewani, seperti susu, keju, daging, atau ikan, karena makanan tersebut mengandung tryptophan, yaitu jenis asam lemak yang menghasilkan serotonin dan mengendurkan saraf pada pusat otak. Makanan pedas dapat menimbulkan rasa panas dalam perut dan membuat pencernaan terganggu. Sehingga dapat menyebabkan gangguan tidur. Nikotin, alkohol, teh, dan kopi sebaiknya dihandari karena makanan tersebut mengandung kafein. Unsur kafein yang merangsang saraf untuk sulit tidur.

Latihan dan kelelahan. Kelelahan dapat memengaruhi pola tidur seseorang. Hal ini dapat terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek (widodo,2009).

Obat-obatan. Obat-obatan yang dikonsumsi seseorang ada yang berefek menyebabkan tidur, ada pula yang sebaliknya mengganggu tidur. Misalnya, obat golongan amfetamin, dan nikotin akan menurunkan tidur REM. Ketika tidur, tubuh mulai memetabolisme alkohol dan hal ini mempengaruhi aktivitas otak. Alkohol bagi sebagian orang berhasil membuat tiur lebih cepat, namun di saat yang sama, alkohol membuat tubuh mengalami dehidrasi. Ketika tubuh terbangun untuk mencari air karena dehidrasi, tubuh tidak dapat kembali tidur tahap REM. Nikotin dari rokok bersifat neurostimultan yang justru membangkitkan semangat, membuat orang yang mengisapnya justru tak bisa relaks, mendorong pelakunya tidak bisa tidur. Kafein di dalam kopi membuat jantung dan otak menjadi siaga. Akibatnya, kafein menghalangi tubuh untuk melepaskan sebuah kimia alami tubuh yang dikenal sebagai adenosin merupakan senyawa kimia yang menimbulkan efek penenang (Mukhlidah, 2011). Selain itu beberapa golongan obat seperti diuretik, betablocker, antagonis kalsium dan ACEI ( Gray, 2003).

2. Rheumatoid Arthritis 2.1Definisi

Rheumatoid Arthritis adalah penyakit peradangan sistemis kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan manifestasi pada sendi perifer dengan pola simetris. Pada rheumatoid arthritis sering melibatkan organ ekstra – artikular seperti kulit, jantung, paru-paru dan mata. menyebabkan

2.2 Etiologi

Penyebab rheumatoid arthritis masih belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai patologis penyakit ini telah terungkap. Faktor genetik, lingkungan, hormon, dan faktor-faktor infeksi mungkin memainkan peran penting. Sementara itu faktor sosial ekonomi, psikologis, dan gaya hidup dapat mempengaruhi progresivitas dari penyakit.

Genetik. Sekitar 60% dari pasien rheumatoid arthritis membawa epitop bersama HLA-DR 4 yang merupakan salah satu situs pengikatan peptide-molekul HLA-DR tertentu yang berkaitan dengan rheumatoid arthritis.

Lingkungan. Untuk beberapa dekade, sejumlah agen infeksi seperti organisme Mycoplasma, Epstein – Barr dan virus rubella menjadi predisposisi peningkatan rheumatoid arthritis.

Hormonal. Hormon seks mungkin memainkan peran, terbukti dengan jumlah perempuan yang tidak propossional dengan rheumatoid arthritis, ameliorasi selama kehamilan, kambuh dalam periode postpartum dini, dan insiden berkurang pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral.

Imunologi. Semua elemen imunologi utama memainkan peran penting dalam progpagasi, inisiasi, dan pemeliharaan dari proses autoimun rheumatoid arthritis.

2.3 Pengkajian

Menurut American Rheumatism Association (ARA) seseorang dikatakan menderita rheumatoid arthritis jika terdapat tujuh kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama enam minggu. Definitif, bila terdapat lima kriteria dan

berlangsung sekurang-kurangnya selama enam minggu. Kemungkinan rematoid, bila terdapat tiga kriteria dan berlansung sekurang-kurangnya selama empat minggu.

Kekakuan sendi jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness), nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya pada satu sendi, pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan) pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama enam minggu, Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain, pembengkakan sendi yang bersifat simetris, nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor, gambaran foto rontgen yang khas pada rematoid, uji aglutinasi faktor rematoid, perubahan karekteristik histologik lapisan sinovia, gambaran histologik yang khas pada nodul, pengendapan cairan crousin yang jelek ini merupakan tanda dan gejala pada Kriteria rheumatoid arthritis menurut American Rheumatism Association (ARA).

2.4 Pemeriksaan fisik

Secara umum, sendi tangan dan kaki akan terpengaruh dalam distribusi yang relatif simetris. Sendi menunjukkan peradangan dengan pembengkakan, kelembutan, kehangatan, dan penurunan rentang gerak. Atrofi otot – otot interoseus tangan merupakan temuan awal yang khas.

menyebabkan bercak-bercak coklat, lesi-lesi ekimotik, pleuritis dengan atau tanpa efusi, peradangan pada paru-paru, skeleritis, neuropati perifer, sindrom kompresi perifer, termasuk sindrom carpal tunner, neuropati saraf ulnaris, paralisis

Dokumen terkait