• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa saran yang dapat disampaikan:

1. Diharapkan dengan adanya peta sebaran gizi buruk tersebut pihak Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat memanfaatkannya untuk mendukung pemantauan dan evaluasi program dimasa yang akan datang.

2. Dalam rangka menurunkan angka kematian anak akibat gizi buruk, sangat diperlukan keterlibatan pemerintah daerah secara langsung, serta melibatkan partisipasi masyarakat terutama tokoh masyarakat, untuk mengelola penanganan anak gizi buruk menjadi baik, sehingga diharapkan semua kasus gizi buruk dapat ditangani dengan baik.

3. Diharapkan kepada instansi kesehatan khususnya Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan semua puskesmas di Wilayah Kota Lhokseumawe untuk kedepannya setiap tahun bisa membuat peta sebaran kasus gizi buruk, dan tidak hanya untuk kasus gizi buruk saja tetapi untuk semua kasus penyakit. 4. Apabila dimungkinkan, jika ada pembangunan puskesmas di masa yang akan

datang sebaiknya letak puskesmas berada di pusat kecamatan setempat supaya semua balita gizi buruk bahkan semua penduduk di Kota Lhokseumawe mudah untuk menjangkau pusat pelayanan kesehatan khususnya puskesmas.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pemetaan

Peta adalah sarana informasi (spasial) mengenai lingkungan. Pemetaan adalah suatu proses penyajian informasi muka bumi yang fakta (dunia nyata), baik bentuk permukaan buminya maupun sumbu alamnya, berdasarkan skala peta, sistem proyeksi peta, serta simbol-simbol dari unsur muka bumi yang disajikan (Jatmiko, 2011)

Pemetaan digital atau sering disebut sebagai digital mapping merupakan suatu cara dalam pembuatan peta, baik untuk keperluan pencetakan maupun dalam format peta digital (Ronny, 2011).

Menurut Dickinson (1975) yang dikutip oleh Hanum (2013), beberapa alasan suatu data dapat dipetakan antara lain:

1. Melalui peta dapat menimbulkan daya tarik yang lebih besar terhadap objek yang ditampilkan.

2. Melalui peta dapat memperjelas, menyederhanakan, dan menerangkan suatu aspek yang dipentingkan.

3. Melalui peta dapat menonjolkan pokok-pokok batasan dalam tulisan atau pembicaraan. Melalui peta dapat dipakai sebagai sumber data bagi yang berkepentingan.

4. Peta sebagai alat komunikasi antara membuat peta dengan pengguna dimana akan memudahkan dalam penyampaian informasi.

Menurut Hagerstand (1953) yang dikutip oleh Fuad (2006), pemetaan dapat memberikan tiga kontribusi utama yaitu :

1. Dengan menggunakan peta diharapkan muncul gambaran deskriptif mengenai distribusi serta penyebaran kasus.

2. Keberadaan peta diharapkan dapat memberikan aspek prediktif penyebarankasus.

3. Model interaktif, jika pada tahap dua, pola prediksi hanya sebatas ramalan kasus, tetapi jika menggunakan pendekatan interaktif, kita dapat menentukan intervensi serta dampaknya bagi masa depan.

2.1.1 Perolehan Data spasial

Data spasial memberikan amatan terhadap berbagai fenomena yang ada pada suatu objek spasial. Secara sederhana data spasial dinyatakan sebagai informasi alamat. Dalam bentuk yang lain, data spasial dinyatakan dalam bentuk grid koordinat seperti dalam sajian peta atau pun dalam bentuk piksel seperti dalam bentuk citra satelit.

Data spasial diperlukan pada saat harus merepresentasikan atau menganalisis berbagai informasi yang berkaitan dengan dunia nyata. Dunia nyata yang begitu luas pada kenyataannya tidak mungkin diambil secara utuh menjadi sebuah data spasial. Dengan demikian data spasial adalah sebuah gambaran sederhana dari dunia nyata. Dalam sistem informasi geografis, data spasial menggambarkan sebaran dan lokasi fenomena.

Untuk memperoleh data spasial dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan perangkat Global Position System (GPS). Perangkat Global Position

System (GPS) yang digunakan dalam pengambilan data sebenarnya adalah perangkat penangkap sinyal (receiver) dari beberapa satelit Global Position System (GPS) yang mengorbit diatas lokasi survei. Panduan dari sinyal satelit Global Position System (GPS) memberikan informasi lokasi receiver Global Position System (GPS) tersebut (Budiyanto, 2010).

2.1.2 Objek Spasial

Objek spasial terdiri dari tiga jenis, yaitu bentuk titik, garis, dan area. Masing-masing objek spasial ini memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Perbedaan karakteristik ini menentukan pemilihan bentuk simbol yang digunakan dalam penggambaran data spasial tersebut, untuk suatu fenomena seperti kota dalam sebuah pulau sering digunakan simbol titik karena karakteristik jalan yang selalu membentuk garis. Untuk data spasial yang memerlukan perhitungan luas, seperti data-data administrasi, sering digambarkan dengan menggunakan bentuk poligon (Budiyanto,2010).

2.1.3 Model Data Spasial

Secara garis besar model data spasial ada dua, yaitu data vektor dan data raster. Data vektor adalah data yang minimal terdiri dari sebuah start node dan end node, dan dapat memiliki beberapa verteks di antara start node dan end node tersebut. Data vektor berupa titik, garis, atau poligon. Data raster adalah data yang terdiri dari piksel-piksel penyusun data tersebut. Contoh data raster adalah sebuah gambar (image) hasil scanning (Budiyanto,2010).

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.2.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi berbasis komputer digunakan untuk menyajikan secara digital dan menganalisa penampakan geografis yang ada dan kejadian di permukaan bumi (Supriadi,2007).

Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut ESRI (Environmental System Research Institute, 1996) yang dikutip oleh Riyanto (2010), “Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografis, metode, dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis.”

Menurut Groot (1991) yang dikutip oleh Abidin (2007), Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah terjemahan dari terminologi berbahasa Inggris Geographical Information System (Eropa) atau Geographic Information System (Amerika Utara) yang biasa disingkat GIS. Sistem Informasi Geografis (SIG) biasanya dikaitkan dengan suatu sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelola, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan informasi spasial. Informasi spasial sendiri dapat didefinisikan sebagai informasi yang mengandung, sebagai karakteristik kunci, lokasinya pada, di bawah, ataupun di atas permukaan bumi, dimana lokasi tersebut didefinisikan dalam suatu sistem koordinasi terkait bumi.

2.2.2 Fungsi Utama Sistem Informasi Geografis (SIG)

spasial antara obyek.

2. Menyimpan dan memanipulasi berbagai jenis atribut dari obyek. 3. Melakukan analisis spasial.

4. Mengintegrasikan data spasial yang didapat dari berbagai sumber.

Dari perspektif pengguna, paling tidak terdapat 3 fungsi utama dari Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu spatial database management system (DBMS), visualisasi dan mapping, serta analisis spasial. Fungsi dari spatial database management system adalah meliputi kemampuan untuk identifikasi sumber data, teknik koleksi data, serta preprocessing data dan atribut-atributnya. Fungsi dari visualisasi dan mapping dapat dimanfaatkan setelah basisdata spasial disiapkan dan terisi oleh data. Visualisasi dan mapping akan membuat data menjadi tersaji dengan jelas di hadapan penggunanya (Kusumadewi, 2009).

2.2.3 Model Data pada Sistem Informasi Geografis (SIG)

Menurut Puntodewo (2003), yang dikutip oleh Kusumadewi (2009), data yang akan diolah dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri atas dua bentuk yaitu data spasial (Geografi) dan data atribut (non-spasial). Data spasial adalah data tentang suatu lokasi geografi yang diset ke dalam bentuk koordinat. Sedangkan data non-spasial/atribut adalah gambaran data yang mempunyai informasi yang relevan terhadap suatu lokasi.

Menurut Kusumadewi (2009), data spasial mempunyai dua bagian penting yang membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi dan informasi atribut yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

lintang dan bujur, termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi. Contoh lain dari informasi spasial yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi lokasi misalnya adalah Kode Pos.

2. Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non-spasial. Suatu lokalitas bisa mempunyai beberapa atribut atau properti yang berkaitan dengannya; sebagai contoh jenis vegetasi, populasi, pendapatan pertahun.

2.2.4 Alur Kerja Sistem Informasi Geografis (SIG)

Data input

Gambar 2.1 Gambaran Lengkap Subsistem Sistem Informasi Geografis (SIG) Sumber : Prahasta (2002)

2.2.5 Penerapan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) pada Kesehatan Menurut Kusumadewi (2009), beberapa aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) lainnya yang biasa diterapkan dalam lingkup kesehatan adalah:

1. Mencari distribusi dari variasi dari berjangkitnya suatu penyakit/masalah Tabel Laporan Pengukuran Lapangan Data Digital Lain Data Lainnya Data Management & Manipulation Storage (Data base) Input Retrieval Processing Output Data Digital Peta Tabel Laporan Informasi Digital

kesehatan lainnya.

2. Melakukan analisis spasial terhadap berbagai kecenderungan berjangkitnya suatu penyakit/ masalah kesehatan lainnya.

3. Peta distribusi layanan kesehatan (imunisasi, distribusi makanan). 4. Analisa kebutuhan dan alokasi resource dari suatu komunitas. 5. Peramalan kejadian epidemik

6. Monitoring penyakit.

7. Visualisasi fasilitas kesehatan umum.

8. Rute terdekat untuk para pekerja mencapai lokasi kejadian tertentu. 9. Manajemen dan perawatan serta sumber dayanya.

2.3 Gizi Buruk

Menurut Kemenkes RI (2011), gizi buruk adalah keadaan gizi anak yang ditandai dengan satu atau lebih tanda berikut:

1. Sangat kurus

2. Edema, minimal pada kedua punggung kaki 3. BB/TB <-3 SD

4. LiLA < 11,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan).

Menurut Depkes RI (2000), gizi buruk atau Severe Malnutrition yaitu keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu cukup lama yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang berada pada < -3SD tabel baku WHO-NHCS.

Menurut Soekirman (2000), gizi buruk itu adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus,kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor.

2.3.1 Kelompok Rentan Gizi

Menurut Moehji (2003), kelompok rentan gizi ialah kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu masyarakat terkena kekurangan penyediaan bahan makanan. Pada umumnya kelompok ini berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relatif pesat, yang memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah relatif besar, yang termasuk ke dalam kelompok rentan gizi ini adalah: 1. Bayi, 0-1 tahun.

2. Kelompok balita, 1-5 tahun.

3. Kelompok anak sekolah, 6-13 tahun. 4. Kelompok remaja, 14-20 tahun.

5. Kelompok ibu hamil dan ibu menyusukan. 2.3.2 Kriteria Anak Gizi Buruk

1. Gizi buruk tanpa komplikasi a. BB/TB : < -3 SD.

b. Terlihat sangat kurus. c. Adanya edema.

d. LiLA < 11,5 cm untuk anak 6-59 bulan. 2. Gizi buruk dengan komplikasi

Gizi buruk dengan tanda-tanda tersebut diatas disertai salah satu atau lebih dari tanda komplikasi medis tersebut :

a. Anoreksia. b. Pneumonia berat. c. Anemia berat. d. Dehidrasi berat. e. Demam sangat tinggi.

f. Penurunan kesadaran (Kemenkes RI, 2011) 2.3.3 Penentuan Status Gizi Anak

Tabel 2.1 Penentuan Status Gizi Secara Klinis dan Antropometri (BB/TB-PB) Kemenkes RI 2011

Status Gizi Klinis Antropometri

(BB/TB-PB) Gizi Buruk Tampak sangat kurus dan edema

pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh

< - 3 SD

Gizi Kurang Tampak kurus -3 SD -<-2 SD

Gizi Baik Tampak sehat -2 SD - 2 SD

Gizi Lebih Tampak gemuk >2 SD

Sumber : Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk (Kemenkes RI, 2011) 2.3.4 Faktor Penyebab Gizi Buruk

Dibawah ini adalah diagram resmi dari UNICEF (1998), tentang penyebab terjadinya gizi buruk yang dianut oleh intansi pemerintah yang menggunakan kebijakan yang sama dalam menanggulangi gizi buruk

Gambar 2.2 Penyebab Gizi Buruk (Disesuaikan dari bagan UNICEF (The State of the World’s Children 1998. Oxford Univ. Press)

1. Penyebab Langsung

Timbulnya gizi buruk adalah asupan gizi yang tidak seimbang dan infeksi penyakit sehingga menimbulkan gangguanpertumbuhan. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh, dengan demikian timbulnya gizi buruk tidak hanya karena kurang makan, tetapi juga karena penyakit, terutama diare

Malnutrisi Gangguan Pertumbuhan Asupan Gizi Gizi Buruk Infeksi Penyakit Akibat Penyebab Langsung Penyebab Tidak langsung Masalah Utama Masalah Dasar Kemiskinan, Pendidikan Rendah, Ketersediaan

Pangan, Kesempatan Kerja

Krisis Politik dan Ekonomi Ketersediaan

Pangan Tingkat Rumah Tangga

Perilaku/Asuhan Ibu dan Anak

Pelayanan Kesehatan, Lingkungan

dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Anak yang mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi buruk.

Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan akhirnya berat badan menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak menjadi kurus dan timbullah gizi buruk.

2. Penyebab tidak Langsung

a. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga

Tidak cukupnya persediaan pangan di keluarga menunjukkan adanya kerawanan ketahanan pangan keluarga (household food insecurity). Artinya kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh anggota keluarga belum terpenuhi. b. Perilaku/asuhan ibu dan anak

Sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberikan kasih sayang dan sebagainya.Semuanya itu sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak.

c. Pelayanan kesehatan dan lingkungan

Pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak. Makin tersedia air bersih yang cukup untuk keluarga

serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap pelayanan dan sarana kesehatan makin kecil resiko anak terkena penyakit gizi buruk.

Semua masalah tersebut diatas pada hakekatnya didasari oleh krisis politik dan ekonomi yang terjadi menyebabkan meningkatnya kemiskinan disertai dengan pendidikan rendah, menurunnya ketersediaan pangan dan kesempatan kerja (Soekirman, 2000).

2.3.5 Pencegahan dan Pengobatan Gizi Buruk pada Anak

1. Pencegahan

Menurut Info Gizi (2011), beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk pada anak:

a. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan. Setelah itu anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.

b. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya : untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan sisanya karbohidrat.

c. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar diatas, jika tidak sesuai segera konsultasikan hal itu ke dokter.

d. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.

e. Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat, terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meningkatkan kondisi kesehatan secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul masalah intelegensia di kemudian hari.

2. Pengobatan

a. Pada stadium ringan dengan perbaikan gizi.

b. Pengobatan pada stadium berat cenderung lebih kompleks karena masing-masing penyakit harus diobati satu persatu. Penderitapun sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus gizi buruk saat ini merupakan masalah yang menjadi perhatian di Indonesia, karena dapat menimbulkan generasi yang hilang. Kualitas bangsa di masa depan akan sangat dipengaruhi keadaan atau status gizi saat ini, terutama balita sehingga akan mempengaruhi kualitas kehidupannya kelak.

Gizi buruk itu adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus kwashiorkor (Soekirman, 2000).

Kasus gizi buruk dapat disebabkan oleh asupan makanan anak yang kekurangan nutrisi bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk melakukan aktifitas dan berkembang. Hal ini dapat terjadi karena pola asuh yang salah seperti di daerah pedesaan ibu sibuk bekerja di ladang sehingga anak tidak terawat. Keadaan ini ditambah dengan kebiasaan seperti memberikan makanan padat sebelum usia 6 bulan dan kadang tidak higienis.

Ekonomi keluarga yang tidak memadai, faktor sosial budaya serta sanitasi rumah tangga yang buruk sehingga anak tidak mendapat asupan gizi yang cukup dan sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Masalah gizi di Indonesia ini harus ditanggulangi dengan usaha untuk meningkatkan pengetahuan orang tua akan gizi, seperti bagaimana memberdayakan ayah dan ibunya agar mengetahui, mendapatkan

dan mampu membudidayakan sumber pangan bergizi, serta mengolahnya dengan memperkecil kerusakan kandungan gizi dan bagaimana memberi makan pada anak. Hal ini termasuk menanamkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan sanitasi rumah tangga. Budidaya sumber pangan selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga.

Berdasarkan data WHO (2000) yang dikutip oleh Judarwanto (2012), pada tahun 2000 diperkirakan bahwa anak-anak kurang gizi berjumlah 181.900.000 (32%) di negara berkembang. Selain itu, 149.600.000 diperkirakan anak-anak muda dari 5 tahun kekurangan gizi ketika diukur dalam hal berat untuk usia. Di Selatan Asia Tengah dan Timur Afrika, sekitar separuh anak-anak memiliki keterbelakangan pertumbuhan karena kekurangan energi protein. Angka ini adalah 5 kali prevalensi di dunia barat. Berdasarkan data WHO (2010) yang dikutip oleh Kemenkes (2011), lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat

Indonesia sudah terjadi penurunan prevalensi gizi buruk yaitu 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Akan tetapi prevalensi gizi buruk untuk Provinsi Aceh masih lebih tinggi dari angka nasional yaitu sebesar 7,1 % (Riskesdas, 2010). Pada tahun 2009 sampai tahun 2011 terjadi penurunan kasus gizi buruk dari 32 kasus menjadi 20 kasus. Kasus-kasus tersebut tersebar di 4 kecamatan di Kota Lhokseumawe. Menurut penuturan Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dan posyandu, balita-balita gizi buruk tersebut memiliki status gizi buruk dengan ambang batas z-score kurang dari 3 standar deviasi. Rata-rata balita gizi buruk tersebut menderita penyakit lainnya, seperti penyakit Cerebral Palsi (CP),

Retardasi Mental (RM), Spastic, Broncho Pneumonia, Down Syndrom, Patent Ductus Arterious (PDA), dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan faktor ekonomi juga memengaruhi (Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, 2011).

Pada tahun 2012 kasus gizi buruk pada balita yang berumur 0-59 bulan terdapat 43 kasus. Data tersebut didapat dari hasil survei awal pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe pada Desember 2012. Untuk menilai status gizi balita gizi buruk, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe memakai standar antropometri penilaian status gizi anak Kemenkes Tahun 2010 berdasarkan indeks BB/TB.

Menurut penuturan Kepala Seksi Gizi dan Posyandu dalam upaya memulihkan kesehatan balita gizi buruk, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe mengundang orang tua balita untuk dilakukan konsultasi dan berobat dengan dokter anak yang didatangkan oleh pihak dinas kesehatan kemudian diberikan bantuan PMT (pemberian makanan tambahan) seperti susu formula, roti sun, vitamin A. Bagi keluarga yang rumahnya jauh dari puskesmas, mereka membawa balitanya ke puskesmas pembantu yang ditolong oleh bidan desa setempat.

Menurut (Bintarto dan Surastopo, 1987) yang dikutip oleh Hanum (2013) , data merupakan bahan pokok yang sangat penting dalam pembuatan peta. Data yang digunakan juga menentukan kualitas peta yang dihasilkan. Data statistik merupakan salah satu cara analisis dalam studi kesehatan, gejala-gejalanya disajikan dan dipelajari dalam angka-angka. Data angka tersebut kurang dapat menggambarkan situasi yang sebenarnya tanpa memperhatikan distribusi spasialnya. Bila akan menyajikan data yang menunjukkan distribusi keruangan atau lokasi dan mengenai sifat-sifat penting, maka informasi tersebut ditunjukkan dalam bentuk peta.

Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem informasi yang menekankan pada unsur data spasial atau informasi geografis. Informasi geografis yang terdapat dalam sistem informasi geografis dapat berupa informasi wilayah administrasi suatu daerah, sebaran penduduk, sebaran kasus penyakit, dan sebagainya. Informasi-informasi yang disajikan melalui peta tersebut merupakan informasi yang sangat dibutuhkan dalam suatu penelitian. Sistem informasi geografis memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam penyajian data spasial, agar mudah di pahami dan dianalisis oleh pihak lain.

Salah satu pekerjaan yang penting dalam sistem informasi geografis adalah penggunaan data tabular, data koordinat sebaran kasus penyakit dan pengolahannya. Data tabel dalam sistem informasi geografis dapat dimanfaatkan untuk menambahkan informasi dan atribut pada fitur-fitur di dalam peta yang telah didigitasi, baik fitur, point, line, maupun poligon. Data tabular yang memberikan atribut pada fitur-fitur peta dapat ditampilkan pada peta dan diberikan pewarnaan untuk kepentingan penyajian yang mudah dan menarik.

Penggunaan peta pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam analisis kesehatan masih terbatas pada peta yang belum memenuhi kaidah kartografis seperti peta wilayah Kota Lhokseumawe masih di buat menggunakan tangan, data statistik kasus gizi buruk masih dalam bentuk tabular dan grafik. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini mencoba untuk memetakan sebaran kasus gizi buruk. Diharapkan dengan adanya peta tersebut pihak Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat memanfaatkan untuk menggambarkan data spasial kasus tersebut sebagai media untuk mendukung pemantauan dan evaluasi program dimasa yang akan datang dan

dengan adanya peta sebaran kasus gizi buruk ini kiranya dapat menampilkan informasi lokasi pada tiap-tiap wilayah administrasi di Kota Lhokseumawe pada tahun 2012 yang dulunya datanya hanya bisa ditampilkan dalam bentuk data statistik seperti tabel dan grafik sekarang bisa ditampilkan dalam bentuk peta.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah masih ditemukan kasus gizi buruk pada balita umur 0-59 bulan pada tahun 2012 di Kota Lhokseumawe dan belum pernah dilakukan pemetaan kasus gizi buruk balita di Kota Lhokseumawe.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Membuat peta sebaran kasus gizi buruk balita umur 0-59 bulan di Kota Lhokseumawe tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Membuat peta sebaran kasus gizi buruk balita umur 059 bulan menurut kecamatan di Kota Lhokseumawe bulan Januari-Desember tahun 2012

Dokumen terkait