• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti memiliki beberapa saran, yaitu:

1. Kepada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan skala lebih besar dengan lebih detail saat melakukan wawancara maupun pemeriksaan di laboratorium.

2. Kepada penjual diharapkan agar lebih memperhatikan kebersihan dari sayuran yang dijual.

3. Kepada pembeli agar mencuci terlebih dahulu sayuran lalapan yang dibeli di pasar tradisional maupun di pasar modern.

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminths (STH)

Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths), merupakan infeksi paling umum terjadi di daerah tropis. Infeksi ini dapat terjadi pada manusia apabila manusia tertelan telur/larva infeksius atau dengan penetrasi bentuk larva yang berada di tanah, diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000).

2.1.1. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang) a. Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Prevalensi askariasis di Indonesia termasuk dalam kategori tinggi yaitu memiliki frekuensi antara 60-90%. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada cacing jantan ujung posteriornya lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna putih kemerahan (Prasetyo,2003). Pada stadium dewasa hidup dirongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Menurut Onggowaluyo (2002), cacing dewasa Ascaris lumbricoides mempunyai ukuran paling besar di antara Nematoda usus lainnya. Bentuk cacing ini adalah silindris (bulat panjang) dengan ujung anterior lancip.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu di dalam tanah. Bentuk infektif cacing ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva

4

tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan bronchus. Dari trachea larva menuju ke faring, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses ini memerlukan waktu sekitar 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, S., 2000).

Gambar 2.1 Daur hidup Ascaris lumbricoides.

Gambar 2.2 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa. (a) betina, (b) jantan

5

Gambar 2.3 Telur cacing Ascaris lumbricoides. (a) telur yang tidak

dibuahi, (b) telur yang dibuahi

(PHIL 411/4821 - CDC/Dr. Mae Melvin) b. Epidemiologi

Telur cacing Ascaris lumbricoides keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006).

2.1.2.Ancylostoma (cacing tambang) dan Necator americanus a. Morfologi dan Daur Hidup

Terdapat dua spesies cacing tambang yang sangat sering menginfeksi manusia yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan “The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Qadri,2008). Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus.

Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi, mulut tertutup, ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan (Prasetyo 2003). Cacing jantan kedua spesies ini mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan cacing betina memiliki ekor yang runcing (Onggowaluyo,2002). Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya

6

kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron.

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

Gambar 2.4 Cacing Ancylostoma duodenale dewasa

(http://www.An.American.FamilyPhysician.)

Gambar 2.5 Cacing Necator americanus dewasa

7

Gambar 2.6 Telur Hookworm

(PHIL 5220 – CDC) b. Epidemiologi

Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan dan penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.

Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000).

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

2.1.3.Trichuris trichiura

a. Morfologi dan Daur Hidup

Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk. Pada cacing betina bentuknya membulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spekulum.

Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur

8

bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).

Gambar 2.9 Cacing Trichuris trichiura dewasa. (a) betina, (b) jantan

(http://www.An.American.FamilyPhysician)

Gambar 2.10 Telur cacing Trichuris trichiura

(http://i215.photobucket.com/albums/cc182/ovarelac_bucket_photo/Trichurisova. b. Epidemiologi

Penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur dapat tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.

9

Frekuensi penyebaran di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi sayuran yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000).

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi STH.

Faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain, Hotes (2003) :

2.2.1. Iklim

Penyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. (Onggowaluyo, 2002).

2.2.2. Lingkungan

Lokasi tempat tinggal yang kumuh anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jari-jari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan (Oswari, 1991). Penyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Hotes, 2003). Sedangkan menurut Albonico yang dikutip Hotes (2003) bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.

2.2.3. Tanah

Perilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003:21). Penyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal ± 30ºC (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara25ºC-30ºC sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada,

10

2000:11). Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28ºC-32ºC dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23ºC-25ºC tetapi umumnya lebih kuat (Gandahusada, 2000).

2.2.4. Air Sumur

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi Soil Transmitted Helminths adalah terkontaminasinya sumber air dengan parasit tersebut. Parasit ini dapat mengontaminasi air karena dekatnya sumber air dengan faeces yang mengandung parasit tersebut. (Soemirat, 2005)

Adapun sumber dan cara pengolahan air yang sering digunakan oleh masyarakat, yaitu:

a) Sumber air: air hujan, air permukaan (sungai, danau, mata air, air sungai), air tanah (sumur dangkal dan sumur dalam)

b) Pengolahan air: pengendapan, penyaringan, penyimpanan (Kusnoputranto dan Susanna, 2000)

2.3. Higiene dan Sanitasi

Higiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang, I., 2000). Ada berbagai usaha yang dianggap penting agar dapat mencapai tujuan antara lain sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang merupakan ruang lingkup dari higiene sanitasi (Slamet, J.S., 2002).

2.3.1. Higiene

Higiene adalah cara orang memelihara dan melindungi kesehatan Brownell (1986) dalam Jie (2009). Departemen Pendidikan Nasional (2001) higiene adalah ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki kesehatan. Higiene perorangan dapat tercapai bila seseorang mengetahui pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan diri, karena pada

11

dasarnya hygiene adalah mengembangkan kebiasaan yang baik untuk menjaga kesehatan.

Higiene sayuran adalah semua kondisi dan tindakan untuk menjamin keamanan dan kelayakan sayuran pada semua tahap dalam rantai makanan (Deptan, 2009; CAC, 2003).

2.3.2. Sanitasi

Sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik dibidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat (Departemen Pendidikan Nasional, 2001). Sedangkan menurut Budioro.B. (1997), sanitasi pengawasan terhadap berbagai factor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Jadi lebih baik mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat dihindari.

Terkait makanan, sanitasi didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) makanan atau terjadinya penyakit yang disebabkan oleh makanan (foodborne illness atau foodborne disease) (Prabu, 2008). Keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya. Sedangkan kelayakan pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk konsumsi manusia menurut penggunaannya (Deptan, 2009).

2.4. Pasar

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008, kesehatan suatu populasi masyarakat ditentukan oleh ketersediaan layanan masyarakat, salah satu contohnya ialah pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan sarana penting untuk pemenuhan kebutuhan hidup, bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Pasar dalam arti sempit adalah tempat permintaan dan penawaran bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan penawaran dapat berupa barang atau jasa. Sedangkan secara umum pasar

12

merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Pasar tradisional, pasar modern, bursa kerja, bursa efek adalah contoh pasar (Lilananda, 2009; Arobaya, 2010).

Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar memudahkan pembeli untuk mencapai pasar. Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang (Arifin, 2007; Setiawan et al, 2008).

Pasar modern bangunan pasar swalayan dan hypermarket, supermarket, dan minimarket (Arifin, 2007; Setiawan et al, 2008). tidak banyak berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransakasi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, selain bahan makanan makanan seperti, buah, sayuran, daging; sebagian besar barang lainnya yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Contoh dari pasar modern adalah pasar swalayan dan hypermarket, supermarket, dan minimarket (Arifin, 2007; Setiawan et al, 2008).

Pasar dapat dikategorikan dalam beberapa hal. Yaitu menurut jenisnya, jenis barang yang dijual, lokasi pasar, hari, luas jangkauan dan wujud.

Pasar menurut wujud (Lilananda, 2009):

a) Pasar Konkret adalah pasar yang lokasinya dapat dilihat dengan kasat mata. Misalnya ada los-los, toko-toko. Di pasar konkret, produk yang dijual dan dibeli juga dapat

13

dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen juga dapat dengan mudah dibedakan.

b) Pasar Abstrak adalah pasar yang lokasinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Konsumen dan produsen tidak bertemu secara langsung. Biasanya dapat melalui internet, pemesanan telepon. Barang yang diperjual belikan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, tapi pada umumnya melalui brosur, rekomendasi. Kita juga tidak dapat melihat konsumen dan produsen bersamaan, atau bisa dikatakan sulit membedakan produsen dan konsumen sekaligus.

Pasar menurut jenisnya (Lilananda, 2009):

a) Pasar Konsumsi menjual barang-barang untuk keperluan konsumsi. Misalnya menjual beras, sandal, lukisan. Contohnya adalah Pasar Mergan di Malang, Pasar Kramat Jati.

b) Pasar Faktor Produksi menjual barang-barang untuk keperluan produksi. Misalnya menjual mesin-mesin untuk memproduksi, lahan untuk pabrik.

Pasar menurut jenis barang yang dijual dapat dibagi menjadi pasar ikan, pasar buah.

Pasar menurut lokasi misalnya Pasar Kebayoran yang berlokasi di Kebayoran Lama.

Pasar menurut hari dinamakan sesuai hari pasar itu dibuka. Misalnya Pasar Rabu dibuka khusus hari Rabu.

Pasar menurut luas jangkauan (Lilananda, 2009):

a) Pasar Daerah membeli dan menjual produk dalam satu daerah produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar daerah melayani permintaan dan penawaran dalam satu daerah.

b) Pasar Lokal kayak gaber membeli dan menjual produk dalam satu kota tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar lokal melayani permintaan dan penawaran dalam satu kota.

c) Pasar Nasional membeli dan menjual produknya yaitu jembut dalam satu negara tempat produk itu dihasilkan. Bisa juga dikatakan pasar nasional melayani permintaan dan penjualan dari dalam negeri.

d) Pasar Internasional membeli dan menjual produk dari beberapa negara. Bisa juga dikatakan luas jangkauannya di seluruh dunia.

14

a) Pusat Pasar merupakan salah satu pasar tradisional tua di Medan yang sudah ada sejak zaman kolonial. Menyediakan beragam kebutuhan pokok dan sayur mayur. b) Pasar Petisah menjadi acuan berbelanja yang murah dan berkualitas.

c) Pasar Beruang yang terletak di Jalan Beruang.

d) Pasar Simpang Limun merupakan salah satu pasar tradisonal yang cukup tua dan menjadi trade mark Kota Medan. Terletak di persimpangan Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Sakti Lubis.

e) Pasar Ramai yang terletak di Jalan Thamrin yang bersebelahan dengan Thamrin Plaza.

f) Pasar Simpang Melati merupakan pasar yang terkenal sebagai tempat perdagangan pakaian bekas dan menjadi lokasi favorit baru para pemburu pakaian bekas setelah Pasar Simalingkar dan Jalan Pancing.

Beberapa pasar modern di Kota Medan (Lilananda, 2009): a) Brastagi plaza

b) Hypermarket c) Swalayan d) Carrefour e) Supermarket

Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Medan (2010) dicatatkan 15 mall/ plaza/ hypermarket, 14 supermarket, 29 pasar swalayan, dan 55 pasar tradisional.

Terdapat pengelompokan dan jenis barang di pasar menurut kebersihan, yaitu (Lilananda, 2009):

a) Kelompok bersih (kelompok jasa, kelompok warung, toko). b) Kelompok kotor, tidak bau (kelompok hasil bumi, buah-buahan). c) Kelompok kotor dan berbau (kelompok sayur dan bumbu). d) Kelompok kotor, bau, basah (kelompok kelapa).

e) Kelompok bau, basah, kotor, dan busuk (kelompok ikan basah dan daging).

Biasanya kelompok bersih diletakan di depan dan kelompok kotor, bau, basah, dan busuk di belakang. Pengelompokan ini bertujuan agar tidak tercampur baur dan juga agar pembeli tidak kebingungan mencari barang. Salah satu hal yang paling mendasar yang membedakan antara pasar tradisional dan modern adalah transaksi yang dilakukan dimana pelakunya antara orang per orang. Dan

15

barang yang biasa diperjualbelikan adalah barang kebutuhan pokok (Lilananda, 2009).

Citra atau image pasar tradisional pada saat ini identik sebagai area perbelanjaan yang kumuh dan kotor dengan sebuah kelebihan yang cukup penting yaitu harga yang sangat murah. Dengan kelebihan tersebut otomatis pasar tradisional menjadi tempat favorit bagi seluruh masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain sebagai produsen kebutuhan sehari-hari, selama ini pasar tradisional telah banyak memberi lapangan pekerjaan dan menghidupi banyak pedagang pasar (Lilananda, 2009).

Modernisasi pasar, atau pusat perbelanjaan modern, menjanjikan suasana belanja yang jauh lebih nyaman dan higienis sehingga menarik masyarakat untuk meninggalkan pasar tradisional yang kumuh dan kotor.

Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa pemerintah kurang membatasi perkembangan pusat perbelanjaan modern (Lilananda, 2009).

Salah satu kunci untuk menjaga keamanan pangan adalah menjaga kebersihan dengan cara mencuci tangan sebelum mengolah pangan dan sesering mungkin selama pengolahan pangan, mencuci tangan sesudah dari toilet, mencuci dan melakukan sanitasi seluruh permukaan yang kontak dengan pangan dan alat untuk pengolahan pangan, dan menjaga area dapur dan pangan dari serangga hama dan hewan lainnya (WHO, 2012)

Makanan yang dikonsumsi hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan tidak menimbulkan penyakit, diantaranya (Prabu, 2008):

a) Berada dalam derajat kematangan yang dikehendaki

b) Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.

c) Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.

d) Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang dihantarkan oleh makanan (food borne illness).

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH). Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur (WHO, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah satu kabupa ten mencapai 76,67% (Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2013).

Prevalensi infeksi cacing usus pada 10 propinsi tahun 2004, Sumatera Utara

menduduki peringkat ketiga (60,4 %) dalam hal penyakit cacingan (DepKes RI, 2004).Menurut Ritarwan (2006), di kota Medan ditemukan prevalensi Ascariasis 29,2%, Trichuariasis 6,3%.

Angka kontaminasi STH di pasar tradisional yaitu sebesar 85.0 %, dengan proporsi Strongyloides 35,0%, larva rhabditiform Strongyloides 30%, telur Hookworm 15%, dan Toxocara 5%. Pada pasar modern angka kontaminasi STH yaitu sebesar 90%, dengan proporsi Strongyloides 35%, telur Hookworm 20% dan telur Toxocara 5% (Karuppiah, 2010)

Bila dalam proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, telur cacing kemungkinan masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).

Meski sejauh ini belum dilaporkan adanya kasus orang yang keracunan atau meninggal gara-gara mengkonsumsi lalapan mentah, tapi tak ada salahnya kita lebih memerhatikan keamanan pangan yang dikonsumsi (Astawan, 2010). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang higiene sayuran.

2

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan sayuran yang terkontaminasi oleh Soil Transmitted helmints di pasar tradisional dan pasar modern Medan Kota?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan pencemaran pada daun sayuran oleh cacing Soil Transmitted Helmints di pasar tradisional dan pasar modern Kota Medan pada tahun 2015.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kontaminasi cacing Soil Transmitted Helmints yang mencemari di pasar tradisional dan pasar modern di Kota Medan.

2. Mengetahui proporsi kepadatan cacing Soil Transmitted Helmints.

3. Mengetahui perbedaan proporsi cacing di pasar tradisional dan pasar modern di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, menambah pengalaman dan pengetahuan dibidang parasitologi tentang temuan telur cacing Soil Transmitted Helmint pada daun sayuran, dapat mendiagnosis telur cacing Soil Transmitted Helmint pada bahan pemeriksaan yaitu pada daun sayuran.

2. Bagi masyarakat, faham tentang bahaya memakan sayuran tanpa dibersihkan terlebih dahulu.

Dokumen terkait