• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Berkaitan dengan keterbatasan di atas, maka untuk peneliti selanjutnya :

1. Disarankan untuk melakukan penelitian yang sejenis dengan menggunakan periode pengamatan yang lebih lama lagi sehingga akan memberikan jumlah sampel yang besar dan mungkin akan memberikan hasil yang berbeda juga.

2. Perlunya menggunakan variabel lain sebagai variabel independen di luar variabel yang digunakan dalam penelitian ini, karena masih banyak variabel lain yang dapat mempengaruhi firm value.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1 Teori Sinyal

Isyarat atau sinyal menurut Brigham dan Houston (2010) adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Teori ini mengungkapkan bahwa investor dapat membedakan antara perusahaan yang memiliki nilai tinggi dengan perusahaan yang memiliki nilai rendah. Perusahaan yang profitable memberikan signal tentang perusahaannya yang relatif tidak mudah mengalami kebangrutan dan bentuk lain dari financial distress, dibanding dengan perusahaan yang kurang profitable. Optimisme perusahaan akan prospek yang lebih baik di masa depan akan ditunjukkan dengan peningkatan harga saham.

Teori sinyal muncul karena adanya informasi asimetris. Informasi asimetris adalah situasi dimana manajer memiliki informasi yang berbeda mengenai prospek perusahaan daripada yang dimiliki investor. Kondisi ini dapat dilihat dari reaksi harga saham ketika manajemen mengumumkan peningkatan pembayaran dividen. Dengan demikian, pihak manajemen berpikir bahwa harga saham saat ini sedang overvalue. Apabila hal yang dipikirkan tersebut terjadi, maka

manajemen tentu akan berpikir lebih baik menawarkan saham baru, sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya. Di sisi lain, apabila perusahaan menawarkan saham baru, pemodal akan menafsirkan bahwa salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal (sesuai dengan persepsi pihak manajemen). Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu emisi saham baru dapat menurunkan harga saham.

2.1.2. Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa teori keagenan menyangkut dua pihak yaitu agent dan principal. Agent adalah pihak yang mengelola perusahaan. Principal adalah pemilik perusahaan atau penyetor dana. Biaya keagenan adalah biaya implisit yang muncul karena adanya konflik atau benturan kepentingan antara pemegang saham (pemilik) dan manajer (agen).

Manajer selaku yang dipercaya oleh pemilik perusahaan seharusnya menentukan kebijakan yang dapat meningkatkan kepentingan pemegang saham yaitu memaksimalkan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2010). Namun dalam praktiknya tidak jarang manajer mengesampingkan kemakmuran pemegang saham dengan cara memperbesar kapasitas skala perusahaan yaitu dengan ekspansi atau membeli perusahaan lain dengan motif untuk menghindari

pengambilalihan oleh perusahaan lain (Martono dan Harjito, 2010). Manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingannya sendiri dan bukan memaksimalkan nilai perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan tingginya cost perusahaan dan mengurangi kesejahteraan pemegang saham.

Masalah keagenan juga potensial terjadi antara pemegang saham (melalui manajer) dengan kreditur. Pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan, maka sebagian laba dan aset merupakan milik kreditur. (Martono dan Harjito, 2010). Dalam situasi seperti ini, maka harus segera mengambil keputusan yaitu dengan menglikuidasi perusahaan atau dengan melakukan reorganisasi. Umumnya kreditur akan memilih untuk menglikuidasi perusahaan yaitu menjual seluruh aset karena ketika perusahaan dilikuidasi maka dana yang menjadi hak nya dapat segera kembali. Disisi lain, para manajer memilih untuk reorganisasi untuk mempertahankan eksistensi perusahaan serta pekerjaannya.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa ada 3 asumsi yang mendasari terjadinya teori keagenan yaitu :

1. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung

oleh principal untuk memonitor perilaku para agent, yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agent, contohnya seperti biaya audit dan biaya untuk menetapkan rencana kompensasi manajer, pembatasan anggaran, dan aturan – aturan operasi.

2. Bonding cost adalah biaya yang ditanggung oleh agent

untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan

manajer untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemegang saham.

3. Residual loss, yaitu pengurangan kekayaan pemilik akibat

adanya perbedaan antara keputusan manajemen dan keputusan yang seharusnya dibuat untuk memaksimalkan kekayaan pemilik.

Ketiga hal diatas menyatakan bahwa sangat besar kemungkinan para menajer melakukan tindakan-tindakan yang hanya mementingkan pribadinya sementara itu disisi lain pemegang saham cenderung tertarik pada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka dalam perusahaan.

Sejauh ini biaya-biaya yang ditimbulkan akibat masalah keagenan sulit untuk diukur. Namun reaksi dari masalah keagenan dapat kita lihat melalui pasar. Sebagai contoh jika manajemen disuatu perusahaan terbukti menyimpang terlalu jauh sehingga merugikan pemegang saham, maka pasar akan bereaksi melalui turunnya harga pasar perusahaan tersebut sehingga pada akhirnya manajemen akan tersingkir dari posisi yang telah diberikan.

2.1.3 Firm Value (Nilai Perusahaan)

Tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau para pemegang saham (Brigham, 2010). Nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar (Keown, et al, 2011). Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh

calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli diartikan sebagai harga pasar atas perusahaan itu sendiri. Di bursa saham, harga pasar berarti harga yang bersedia dibayar oleh investor untuk setiap lembar saham perusahaan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan selalu dikaitkan dengan harga saham.

Meningkatnya nilai perusahaan adalah sebuah prestasi, yang sesuai dengan keinginan para pemiliknya, karena dengan meningkatnya nilai perusahaan, maka kesejahteraan para pemilik perusahan juga meningkat. Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan tingkat kemakmuran pemegang saham (Horne, 2012). Nilai perusahaan yang tinggi juga akan membuat para pemegang saham percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa depan.

Brigham dan Houston (2010) menyatakan bahwa nilai perusahaan dapat diukur dengan tiga cara berikut :

a. Price to Earning Ratio (Rasio harga/laba)

Rasio harga/laba membandingkan antara harga saham (yang diperoleh dari pasar modal) dan laba per lembar saham yang diperoleh pemilik perusahaan (disajikan dalam laporan keuangan). Semakin tinggi nilai Price to Earning Ratio, maka prospek pertumbuhan perusahaan semakin baik dan risikonya relatif lebih rendah.

b. Price to Cash Flow Ratio (Rasio harga/arus kas)

Rasio harga/arus kas membandingkan harga per lembar saham dengan arus kas per saham. Dimana nilai arus kas per saham diperoleh dari laba bersih ditambah penyusutan dan amortisasi dibagi dengan jumlah saham beredar.

c. Price to Book Value Ratio (Rasio nilai pasar/nilai buku)

Rasio nilai pasar terhadap nilai buku didefinisikan sebagai harga pasar suatu saham dibagi dengan nilai bukunya. Nilai pasar dipengaruhi oleh besarnya permintaan dan penawaran saham bersangkutan di pasar bursa. Sementara nilai buku diartikan sebagai total ekuitas dibagi dengan total saham yang beredar (outstanding share).

PBV juga menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan. Perusahaan yang berjalan baik umumnya mempunyai PBV di atas 1, yang menunjukkan nilai pasar lebih tinggi dari nilai bukunya. Semakin tinggi PBV suatu perusahaan maka akan semakin tinggi pula return sahamnya.

PBV mempunyai beberapa keunggulan sebagai berikut :

a. Nilai buku mempunyai ukuran intutif yang relatif stabil yang dapat diperbandingkan dengan harga pasar. Investor yang kurang percaya dengan metode discounted cash flow dapat menggunakan price book value sebagai perbandingan.

b. Nilai buku memberikan standar akuntansi yang konsisten untuk semua perusahaan. PBV dapat diperbandingkan antara perusahaan-perusahaan yang sama sebagai petunjuk adanya under atau overvaluation.

c. Perusahaan-perusahaan dengan earning negatif, yang tidak bisa dinilai dengan menggunakan price earning ratio (PER) dapat dievaluasi menggunakan PBV.

2.1.4. Dividend Policy (Kebijakan Dividen)

“Dividen adalah pembagian laba kepada para pemegang saham dari suatu perusahaan secara proporsional sesuai dengan jumlah lembar saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik “(Stice, Stice, Skousen, 2009 : 902).

Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang (Sartono, 2010). Dividen dapat dibagikan dalam bentuk tunai (cash dividend), aset yang lain (property dividend), surat hutang (notes dividend), ataupun saham (stock dividend).

Kebijakan dividen didasarkan pada pertimbangan kepentingan pemegang saham dan juga kepentingan perusahaan. Kebijakan dividen penting karena dua alasan, yaitu:

1. pembayaran dividen akan mempengaruhi harga saham.

2. laba yang ditahan (retained earning) biasanya merupakan sumber tambahan modal sendiri yang terbesar dan terpenting untuk pertumbuhan perusahaan.

Kedua alasan tersebut membuat kebijakan dividen harus diputuskan secara hati-hati dan teliti agar kedua alasan tersebut dapat terpenuhi secara optimal. Keown, et al, (2011) mengatakan ada tiga pandangan teori yang biasa digunakan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan dividen. Ketiga teori tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dividend Irrelevance Theory

Pendukung utama teori ini adalah Merton Miller dan Franco Modigliani (MM). Mereka berpendapat bahwa nilai sebuah perusahaan akan tergantung hanya pada kemampuan perusahaan memperoleh laba dari aset perusahaan, bukan pada bagaimana laba tersebut akan dibagi menjadi dividen dan saldo laba ditahan.

2. A Bird In The Hand Theory

Teori ini dicetuskan oleh Myron Gordon dan John Lintner yang berpendapat bahwa pembagian dividen berpengaruh secara positif terhadap nilai perusahaan. Teori ini mengacu pada konsep time value of money dimana dividen saat ini seharusnya memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding capital gain di masa depan.

3. Tax Preference Theory

Teori ini menyebutkan bahwa sebenarnya pembagian dividen merugikan investor. Hal ini dikarenakan adanya pajak yang harus dibayar ketika dividen dibagikan. Lain halnya dengan capital gain yang tidak perlu membayar pajak sampai saham terjual. Sesuai dengan konsep time value of money maka pembayaran pajak pada masa yang akan datang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pembayaran pajak pada saat ini dengan jumlah yang sama.

Kebijakan dividen yang dikatakan optimal akan tercermin pada peningkatan harga saham. Secara umum, manajer tidak ingin menerbitkan saham biasa yang baru. Pertama, saham baru melibatkan

biaya penerbitan yaitu, komisi, fee dan seterusnya dan biaya-biaya tersebut dapat dihindari dengan menggunakan laba ditahan untuk membiayai kebutuhan likuiditas perusahaan. Ketidaksamaan informasi mengakibatkan investor memandang emisi baru saham biasa sebagai isyarat negatif sehingga menurunkan pengharapan investor mengenai prospek perusahaan di masa depan. Hasil akhirnya adalah bahwa pengumuman emisi saham biasanya mengakibatkan penurunan harga saham.

Dividen perusahaan dapat diiukur dengan Dividend Payout Ratio

(DPR). DPR menunjukkan rasio dividen yang dibagikan perusahaan

dengan laba bersih yang dihasilkan perusahaan (Subramanyam & Wild, 2010:45). DPR yang tinggi akan menguntungkan pemegang saham namun pihak perusahaan tidak mengharapkan hal tersebut terjadi karena dapat memperlemah keuangan internal sehingga laba ditahan semakin berkurang. Di sisi lain DPR yang kecil akan merugikan pemegang saham dan menguntungkan perusahaan melalui internal financial yang semakin kuat.

Aspek utama dari kebijakan dividen perusahaan adalah menentukan alokasi laba yang tepat antara pembayaran dividen dengan penambahan laba ditahan perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2012).

Faktor yang dapat dan harus dianalisis perusahaan dalam praktik ketika melakukan pendekatan terhadap keputusan dividen :

2. Likuiditas perusahaan

3. Kemampuan untuk meminjam

4. Pembatasan-pembatasan dalam perjanjian hutang 5. Pengendalian perusahaan

2.1.5. Cash Holdings

“Kas adalah salah satu aset yang siap dikonversikan menjadi aset jenis lainnya. Oleh karena karakteristik tersebut, maka kas merupakan aset yang paling mungkin untuk digunakan dan dibelanjakan dengan tidak tepat” (Kieso Weygandt, 2007). Bahkan, karena besarnya volume transaksi tunai, sejumlah kesalahan dapat terjadi pada pelaksanaan dan pencatatan kas. Untuk melindungi kas dan menjamin pencatatan akuntansi kas, pengendalian internal atas kas merupakan hal yang mutlak.

Kas ini merupakan aset yang tidak dapat menghasilkan “laba”, dalam arti tidak bisa untuk mendapatkan laba secara langsung dalam operasi perusahaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha pengelolaan (manajemen) kas yang efektif dan efisien sehingga pemanfaatan kas tersebut dapat optimal.

Kas merupakan salah satu aset yang memiliki tingkat likuiditas paling tinggi, yaitu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus segera dipenuhi atau kewajiban jangka pendek. Semakin besar jumlah kas yang tersedia di perusahaan, maka makin tinggi pula

likuiditasnya. Namun, persediaan kas yang terlalu besar yang berarti likuiditasnya tinggi bukan berarti perusahaan tersebut baik. Adanya kas yang terlalu besar berakibat pemanfaatan kas tersebut kurang efisien karena kas tersebut menganggur dan tidak menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, tingkat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (rentabilitas) menjadi rendah. Dengan demikian perusahaan akan berusaha agar rentabilitasnya tinggi namun tidak mengabaikan tingkat likuiditasnya.

Ketersediaan kas dalam perusahaan merupakan hal yang mutlak. Setiap saat, perusahaan harus memiliki persediaan kas minimal yang harus ada atau sering disebut persediaan besi (safety cash). Persediaan kas minimal ini bertujuan untuk menjaga agar kelangsungan operasi perusahaan tetap terjamin dan dapat memenuhi kewajiban finansial perusahaan apabila sewaktu-waktu harus dibayar. Kewajiban finansial ini dapat berupa hutang lancar maupun biaya-biaya baik biaya tetap maupun biaya variabel yang harus segera dibayar untuk kelangsungan operasi perusahaan. Jumlah uang kas minimal yang harus ada di perusahaan berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung pada besar kecilnya perusahaan dan kemampuan perusahaan tersebut.

2.1.6. Profitability (Profitabilitas)

Profitabilitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan,

total aset maupun modal sendiri (Sartono, 2012). Laba perusahaan selain merupakan indikator kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban bagi para penyandang dananya, juga merupakan elemen dalam menciptakan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek perusahaan pada masa yang akan datang.

Analisis profitabilitas merupakan analisis kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan kekayaan yang ada untuk menghasilkan laba pada periode tertentu yang diukur melalui rasio-rasio profitabilitas. (Brigham 2010). Rasio profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio pengembalian atas ekuitas (ROE) karena merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham. Bila profitabilitas suatu perusahaan meningkat maka investor akan memiliki ekspektasi dan kepercayaan lebih terhadap perusahaan. Para investor beranggapan bahwa perusahaan yang mempunyai profit besar akan menghasilkan return yang besar pula. Semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, maka akan menaikkan nilai perusahaan yang ditunjukkan dengan kenaikan harga saham perusahaan.

ROE merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah pajak dengan total ekuitas. ROE merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen) atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan. ROE

memperlihatkan sejauh manakah perusahaan mengelola modal sendiri secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan.

2.1.7. Institutional Ownership (Kepemilikan Institusional)

Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk institusi seperti yayasan, bank, perusahaan asuransi, perusahaan investasi, dana pensiun, perusahaan berbentuk perseroan (PT), dan institusi lainnya. Institusi biasanya dapat menguasai mayoritas saham karena mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Oleh karena menguasai saham mayoritas, maka pihak institusional dapat melakukan pengawasan terhadap kebijakan manajemen lebih kuat dibandingkan dengan pemegang saham lain.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Monitoring tersebut

tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham. Pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.

Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan.

Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:

1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan informasi.

2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

2.2. Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan nilai perusahaan, antara lain :

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No. Nama Peneliti Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian 1. Pardede, Ernita Sartika (2015) Analisis Pengaruh Keputusan Pendanaan, Kebijakan Dividen, Variabel Dependen : Nilai Perusahaan Variabel Independen : Secara Parsial :

1. Keputusan pendanaan dan kebijakan deviden berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap

Investasi, dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur Sektor Industri Barang Konsumsi yang terdaftar di BEI Tahun 2011-2013 Pendanaan 2.Kebijakan Deviden 3.Keputusan Investasi 4.Profitabilitas

2. Keputusan investasi dan ROE berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan

Secara simultan :

Keputusan pendanaan, kebijkan deviden, keputusan investasi, dan ROE berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan Fenty Kerryanto (2015) Pengaruh Mekanisme Corporate Governance, Struktur Kepemilikan, Cash Holdings Terhadap Nilai Perusahaan Pada Sektor Manufaktur di BEI Tahun 2010-2013 Variabel Dependen : Nilai perusahaan Variabel Independen : 1. Dewan Direksi 2. Komisaris Independen 3. Kepemilikan Manajerial 4.Cash Holdings

1. Dewan direksi, komisaris independen, dan cash holdings berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan 2. Kepemilikan manajerial

tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 3. Cintamy Praninta Putri (2014) Analisis Pengaruh Rasio Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur Sub-sektor Otomotif dan Komponen di BEI Variabel Dependen : 1. Nilai Perusahaan Variabel Independen : 1.Net Profit Margin (NPM) 2. Earning Per Share (EPS) 3.Return On Assets (ROA) 4.Return On Equity (ROE)

1. NPM dan ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

2. EPS dan ROE tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan. 4. Sujoko dan Soebintoro (2007) Pengaruh Struktur Kepemilikan Saham, Leverage, Faktor Intern Dan Faktor Ekstern Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Variabel Dependen : Nilai Perusahaan Variabel Independen : 1.Kepemilikan institusional 2.Kepemilikan manajerial 3.Suku bunga 4.Keadaan pasar 1. Kepemilikan institusional, suku bunga, dan leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.

2. Kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan 3. Keadaan pasar modal,

pertumbuhan pasar, profitabilitas, pembayaran deviden, ukuran perusahaan,

empirik pada perusahaan manufaktur dan non manufaktur di Bursa Efek Jakarta) modal 5.Pertumbuhan pasar 6.Profitabilitas 7.Pembayaran deviden 8.Ukuran perusahaan 9.Pangsa pasar relatif 10.Leverage

dan pangsa pasar relatif berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. 5. Sukirni, Dwi (2012) Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Kebijakan Deviden Dan Kebijakan Hutang Analisis Terhadap Nilai Perusahaan Variabel Dependen : Nilai Perusahaan Variabel Independen : 1.Kepemilikan Manajerial 2.Kepemilikan Insitusional 3.Kebijakan Deviden 4.Kebijakan Hutang 1. Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif secara signifikan terhadap nilai perusahaan

2. Kepemilikan institusional dan kebijakan hutang berpengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan

3. Kebijakan deviden berpengaruh positif secara tidak signifikan terhadap nilai perusahaan

4. kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan deviden dan kebijakan hutang berpengaruh secara

bersama-sama terhadap nilai perusahaan. 6. Zangina Isshaq, Godfred A. Bokpin, Joseph Mensah Onumah (2009) Corporate governance, ownership structure, cash holdings, and firm value on the Ghana Stock Exchange Variabel Dependen : Firm Value Variabel Independen: 1. Corporate governance (Board size, Board Independennce, board intensity), 2.ownerships Structure 3.cash holding Variabel Kontrol: leverage, DPR, Tobins Q)

1. Board size, board

independen, board intensity,

DPR, dan leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap firm

value.

2. cash holdings tidak

berpengaruh signifikan terhadap firm value.

7. Taimi Megameno Engombe

Dividend Policy and Its Impact on

Variabel Dependen :

Firm Value

Dividend payout ratio berpengaruh

(2014) Firm Value: A Review of Theories and Empirical Evidence Variabel Independen : Deividend Policy 8. Chen, Li-Ju Chen, Shun-Yu (2011) The influence of profitability on firm value with capital structure as the mediator and firm size and industry as moderators Variabel Dependen : Firm Value Variabel Independen : Profitability Variabel Intervening: Capital Structure Variabel Moderator: 1.Firm Size 2.Industry

1. Profitabilitas memiliki hubungan yang signifikan positif dengan nilai perusahaan.

2. profitabilitas memiliki pengaruh signifikan negatif pada leverage.

Sumber : data diolah oleh peneliti

2.3. Kerangka Konseptual

Salah satu tujuan manajer keuangan adalah memaksimumkan kemakmuran pemegang saham melalui maksimalisasi nilai perusahaan (Sartono, 2012). Kemakmuran pemegang saham akan meningkat apabila harga saham yang dimilikinya meningkat. Sementara itu harga pasar saham menunjukkan nilai perusahaan.

Investor yang melakukan investasi mengharapkan return berupa capital gain ataupun dividen. Dividen merupakan pembagian laba kepada para pemegang saham dari suatu perusahaan secara proporsional sesuai dengan jumlah lembar saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik (Stice, Stice, Skousen, 2009). Perusahaan selalu menginginkan adanya pertumbuhan bagi perusahaannya tetapi dengan membayarkan dividen kepada para investor

maka akan mengurangi sumber dana internal perusahaan, sehingga kedua tujuan tersebut selalu bertentangan.

Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Tetapi jika

Dokumen terkait