• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berkaitan dengan hasil penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran – saran sebagaiberikut :

1. Bagi pihak manajemen agar senantiasa berkomitmen untuk selalu mengutamakan keselamatan dalam tujuan produksi dan meningkatkan kompetensi karyawan. Komitmen manajemen dapat berupa perhatian terhadap keselamatan pekerja, tindakan-tindakan terhadap bahaya yang mengancam keselamatan kerja, tindakan proaktif yang merupakan pencegahan seperti melengkapi pekerja dengan perlengkapan pelindung keselamatan, memperingatkan adanya sanksi tegas bagi siapa saja yang melanggar peraturan keselamatan, meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap perilaku karyawan di rig operation.

2. Kompetensi karyawan dapat ditingkatkan melalui program pelatihan keselamatan, oleh karena itu perlu adanya pemantapan dan penambahan proram pelatihan keselamatan (training) yang dilaksanakan.

3. Bagi karyawan rig operation hendaknya memiliki sikap kesadaran yang tinggi atas keadaan berbahaya dan risiko yang ada ditempat kerja sehingga mampu bekerja sesuai dengan aturan yang ditetapkan dan berhasil mencapai perilaku aman.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Kerja

Istilah Safety berasal dari bahasa Inggris yang artinya keselamatan dan biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari peristiwa celaka

(accident) ataun nyaris celaka (near miss). Pada hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun sebagai suatu pendekatan praktis mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan berbagai cara dan pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya kecelakaan (Syaaf, 2007).

Kata-kata safety sangat populer dan difahami oleh hampir semua kalangan. Bahkan sebagian besar perusahaan suka menggunakan kata safety daripada keselamatan. Secara luas safety dapat diartikan sebagai kondisi dimana tidak terjadinya atau terbebasnya manusia dari kecelakaan, penyakit akibat kerja, dan kerusakan lingkungan akibat polusi yang dihasilkan oleh suatu proses industri.

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah promosi dan pemeliharaan terhadap faktor fisik, mental dan soisal pada semua pekerja yang terdapat disemua tempat kerja, mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan kondisi kerja, melindungi pekerja dan semua orang dari hasil risiko dan dari faktor yang dapat mengganggu kesehatan, menempatkan dan menjaga pekerja pada lingkungan kerja yang adaftif terhadap fisiologis dan psikologis dan dapat menyesuaikan antara

pekerjaan dengan manusia dan manusia lain sesuai jenis pekerjaannya (ILO, 1980 dalam Kondarus, 2006).

Keselamatan kerja mencakup dua istilah yaitu risiko keselamatan dan risiko kesehatan. Dalam kepegawaian, kedua istilah tersebut dibedakan, yaitu risiko keselamatan kerja menunjukan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja. Sedangkan risiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, kerusakan aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan, dan pendengaran. Semua itu sering dihubungankan dengan perlengkapan perusahaan atau lingkungan fisik dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan pemeliharaan dan latihan (Mangkunegara, 2000).

Keselamatan kerja atau Occupational Safety secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Di dalam UU RI No. 1 tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan dan perlu diadakan segala upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja. Berbagai upaya dilakukan oleh perusahaan sebagai tempat bekerja untuk melindungi pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. upaya-upaya itu antara lain pengendalian

rekayasa (engineering control), pengendalian administratif, dan pengendalian perilaku.

Suma’mur (1996), merumuskan tujuan dari keselamatan kerja antara lain : a. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan

untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja. c. Sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien. 2.2 Kecelakaan Kerja

2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja (accident) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan yang merugikan terhadap manusia, merusak harta benda atau kerugian terhadap proses. Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali (Suma’mur, 2009).

Menurut Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat mengakibatkan cidera/kematian terhadap orang, kerusakan harta benda atau terhentinya proses produksi (Soehatman, 2009).

2.2.2 Penyebab Kecelakaan Kerja

Menurut Matondang (2008) penyebab kecelakaan kerja di berbagai negara tidak sama, namun ada kesamaan umum yaitu kecelakaan kerja disebabkan oleh : 1. Kondisi berbahaya (unsafe condition)

a. Mesin, peralatan, bahan, dan lain-lain b. Lingkungan kerja

c. Proses kerja d. Sifat pekerjaan e. Cara kerja

2. Perbuatan berbahaya (unsafe action) dari manusia a. Sikap dan tingkah laku yang tidak baik

b. Kurang pengetahuan dan keterampilan c. Cacat tubuh yang tidak terlihat

d. Keletihan dan kelesuhan

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas (Depkes RI, 2008).

Secara umum menurut Budiono (2003) ada dua penyabab terjadinya kecelakaan kerja yaitu penyebab langsung (immediate cause) dan penyebab dasar (basic causes):

1. Penyebab langsung

Penyebab langsung atau kecelakaan adalah suatu keadaan yang biasanya bisa dilihat dan dirasakan langsung, yang dibagi dalam 2 kelompok, yaitu : tindakan-tindakan tidak aman (unsafe act) dan kondisi-kondisi yang tidak aman (unsafe condition).

2. Penyebab Dasar

Terdiri dari dua faktor, yaitu faktor manusia/pribadi dan faktor kerja/lingkungan.

a. Faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan meliputi aturan kerja, kemampuan pekerja (usia, masa kerja/pengalaman, kurangnya kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecelakaan ketidakcocokan fisik dan mental. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan kecakapan untuk mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran mengenai pekerjaan. Kurang sehat fisik dan mental seperti adanya cacat, kelelahan dan penyakit.

b. Faktor mekanik dan lingkungan, letak mesin, tidak dilengkapi dengan alat pelindung, alat pelindung tidak pakai, alat-alat kerja yang telah rusak. Faktor

dengan suatu maksud tertentu. Misalnya di perusahaan penyebab kecelakaan dapat disusun menurut kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dan pengangkat, terjatuh di lantai dan tertimpa benda jatuh, pemakaian alat atau perkakas yang dipegang dengan manual (tangan), menginjak atau terbentur barang, luka bakar oleh benda pijar dan transportasi (Suma’mur, 2009). 2.3 Perilaku

2.3.1 Pengertian Perilaku

Perilaku diartikan sebagai tingkah atau tindakan yang dapat diobservasi oleh orang lain. Tetapi apa yang dilakukan atau dikatakan seseorang tidaklah selalu sama dengan apa yan individu tersebut pikir, rasakan, dan yakini (Geller, 2001).

Secara umum perilaku diartikan sebagai segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan makhluk hidup dan pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan namun tidak berarti bahwa bentuk perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi, dan persepsi. Perilaku sebagai refleksi faktor-faktor kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi, dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana, fisik, sosio, dan budaya (Notoadmodjo, 2003).

2.3.2 Bentuk Perilaku

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dibedakan menjadi dua (Notoadmodjo, 2003).

1. Perilaku Tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku Terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. 2.4 Perilaku Aman (Safety Behaviour)

Pada awal tahun 1980 muncul pandangan baru tentang kesehatan dan keselamatan kerja yaitu Safety Behavior. Perilaku aman menurut Heirinch (1980) adalah tindakan atau perbuatan sari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan, sedangkan menurut Bird dan Germain (1990) perilaku aman adalah perilaku yang tidak dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden. Perbedaan perilaku aman dan perilaku kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yaitu perilaku aman hanya berfokus pada keselamatannya saja sedangkan perilaku K3 tidak hanya pada keselamatan tetapi juga pada kesehatan kerjanya.

Perilaku aman (safety behaviour) merupakan pendekatan yang didesain untuk meningkatkan performa keselamatan kerja secara langsung sehingga dapat mencegah

(attitutes) terhadap keselamatan seperti bekerja sesuai prosedur, memakai peralatan keselamatan dan mampu menangani dan mengendalikan resiko yang ditemukan.

Perilaku aman (Safety behaviour) dalam APA dictionary of psychology

(2007) didefenisikan sebagai suatu perilaku yang dilakukan dengan ketertarikan individu dalam usaha untuk memperkecil atau mencegah suatu bencana yang ditakutkan. Menurut Neal dan Griffin (2004) ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku aman yaitu :

a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam individu, seperti komitmen, perbedaan individu misalnya ketelitian, kepribadian misalnya karakter yang dimiliki bersifat permanen atau orang tersebut mempunyai kecenderungan celaka.

b. Lingkungan kerja, seperti iklim keselamatan dan faktor organisasional misalnya supervisi dan desain pekerjaan.

Berdasarkan tugas dan konteks dari kinerja ada dua tipe dari perilaku aman, yaitu compliance dan participation. Safety compilence merujuk pada aktivitas-aktivitas inti yang seharusnya ditunjukkan oleh individu untuk memperbaiki keselamatan di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini yaitu mengikuti prosedur standar kerja dan menggunakan APD (alat pelindung diri). Safety participation menjelaskan perilaku-perilaku yang secara langsung tidak berkontribusi pada perilaku keselamatan individu namun dapat membangun lingkungan yang mendukung keselamatan kerja. Perilaku-perilaku ini seperti berpartisipasi menjadi sukarelawan dalam kegiatan keselamatan kerja, membantu rekan kerja dalam isu-isu yang terkait keselamatan

kerja, dan menghadiri pertemuan-pertemuan tentang keselamatan kerja (Borman and Motowidlo, 1993 dalam Neal dan Griffin, 2006).

Dalam menerapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di suatu industri diharapkan akan terwujud suatu perilaku aman pekerja dalam bekerja. Mengenai indikator secara jelas dalam melakukan perilaku aman mengacu kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1970 mengenai “Keselamatan Kerja” pasal 12 tentang kewajiban dan atau hak tenaga kerja, untuk :

1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja.

2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.

3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.

4. Meminta pada pengawas agar dilaksanakan semua syarat-syarat K3 yang diwajibkan.

5. Menyatakan keberatan bekerja pada pekerjaan yang syarat K3 serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh peawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation Model

menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman, meliputi : a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.

c. Berhasil menggunakan area kerja dan orang-orang disekitarnya. d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.

e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi. f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan. g. Menggunakan peralatan yang seharusnya.

h. Menggunakan peralatan yang sesuai. i. Menggunakan APD dengan benar.

j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara. mengangkat yang benar.

l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan. m. Tindak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.

Adapun jenis-jenis perilaku aman menurut Heirinch (1980) terdiri dari : a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai.

b. Mengoperasikan peralatan yang memang haknya. c. Menggunakan peralatan yang sesuai.

d. Menggunakan peralatan yang benar.

e. Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.

f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman. g. Menggunakan personal protective equipment (PPE) dengan benar.

h. Mengangkat dengan beban yang seharusanya dan menempatkannya di tempat yang seharusanya.

i. Mengambil benda dengan posisi yang benar. j. Cara mengangkat material atau alat dengan benar. k. Displin dalam pekerjaan.

l. Memperbaiki peralatan dalam keadaan mati. 2.5 Iklim Organisasi

Iklim organisasi merupakan koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi (Stringer, 2002).

Iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologi organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi praktek dan kebijakan sumber daya manusia yang diterima oleh anggota organisasi. Perlu diketahui bahwa setiap organisasi akan memiliki iklim organisasi yang berbeda. Keanekaragaman pekerjaan yang dirancang di dalam organisasi, atau sifat individu yang ada akan menggambarkan perbedaan tersebut. Semua organisasi tentu memiliki strategi dalam memanajemen sumber daya manusia. Iklim organisasi yang terbuka memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan dan ketidakpuasan tanpa adanya rasa takut akan tindakan balasan dan perhatian. Ketidakpuasan seperti itu dapat ditangani dengan cara yang positif dan bijaksana. Iklim keterbukaan, bagaimanapun juga hanya tercipta jika semua anggota memiliki tingkat keyakinan yang tinggi dan mempercayai keadilan tindakan (Luthans, 2006).

Karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu (Stringer, 2002). Ada enam dimensi yang diperlukan, yaitu:

1. Struktur

Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi dengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.

2. Standar-standar

Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam perusahaan.

3. Tanggung jawab

Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi “pimpinan diri sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat mengenai keputusannya dari orang lain. Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan.

4. Pengakuan

Perasaan karyawan diberi imbalan yang layak setelah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.

5. Dukungan

Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan dengan rekan kerja yang lain.

6. Komitmen

Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagai anggota organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

2.6 Iklim Keselamatan Kerja (Safety Climate) 2.6.1 Pengertian Iklim Keselamatan Kerja

Konsep safety climate atau iklim keselamatan kerja pertama kali diperkenalkan oleh Zohar (1980) yang menekankan pentingnya proses sosial dan organisasi dalam mencegah kecelakaan. Iklim keselamatan kerja merupakan bentuk perluasan dari iklim organisasional yang menjadi salah satu karakteristik penting dari budaya organisasi, disamping karakteristik-karakteristik yang lain seperti perilaku reguler yang terjadi sehari-hari, norma, nilai yang dominan, falsafah dan aturan (Winarsunu, 2008).

Menurut Vinodkumar et al. (2009) yang mengutip pendapat Zohar (1980), Iklim keselamatan kerja sebagai persepsi karyawan terhadap kebijakan keselamatan, prosedur, praktek, serta seluruh kepentingan dan prioritas keselamatan kerja. Persepsi karyawan terutama terkait dengan usaha keselamatan selama bekerja sebagai suatu gambaran yang dirasakan atau terkait dengan persepsi pekerja akan pentingnya keselamatan dan bagaimana hal tersebut bisa ditetapkan dalam organisasi. Persepsi ini akan mempengaruhi perilaku pekerja, misalnya ketika organisasi tidak memperhatikan perihal keselamatan kerja, maka akan demikian juga dengan

Pendapat tersebut didukung hasil penelitian Snyder et al. (2008) yang menjelaskan bahwa iklim keselamatan kerja adalah persepsi pekerja terhadap praktek keselamatan, peraturan, dan prosedur sehingga mereka bertindak aman dalam lingkungan kerja. Persepsi ini akan mempengaruhi perilaku pekerja. Dengan demikian perusahaan harus berusaha menciptakan suasana kerja atau iklim keselamatan melalui sistem manajemen yang baik agar nantinya menghasilkan perilaku kerja aman.

Di dalam membahas iklim keselamatan kerja dapat diilustrasikan, bahwa seperti apapun canggihnya program keselamatan kerja yang ada akan menjadi tidak efektif kecuali di dalam organisasi sudah terbentuk persepsi dari pekerja bahwa iklim organisasi telah mendukung secara penuh usaha-usaha keselamatan kerja. Jika manajer menunjukkan melalui perilaku yang aman (safety behavior) bahwa mereka benar-benar mengerti dan menerapan konsep dan praktek-praktek keselamatan kerja, hal ini akan tergambarkan di dalam perilaku yang aman yang ditunjukkan pekerjanya. Bila mana manajemen hanya memberikan tidak lebih dari sekadar lip service untuk keselamatan kerja, gagal menggunakan perlengkapan keselamatan kerja tetapi mereka mengharapkan pekerja menggunakannya, atau membolehkan poor housekeeping dan praktek-praktek kerja yang tidak aman, maka pekerja akan memiliki sikap yang bertentangan dengan keselamatan kerja (Winarsunu, 2008).

2.6.2 Dimensi Iklim Keselamatan Kerja (Safety Climate)

Iklim keselamatan kerja terdiri atas 8 dimensi, yaitu : pelatihan keselamatan kerja, sikap manajemen, pertimbangan perilaku keselamatan kerja pada saat promosi,

level resiko di tempat kerja, status dari personil keselamatan kerja, tahapan pekerjaan, efek perilaku keselamatan kerja dalam status sosial dan status komite keselamatan kerja. Namun diimensi iklim keselamatan kerja ini semakin meluas seiring berkembangnya penelitian (Zohar, 1980 dalam Cheng-chia, Yi-Shun, Sue-Ting, Suh-er, Mei-Fei, 2009).

Beberapa peneliti telah mencoba untuk mengidentifikasi fitur-fitur umum terutama mengenai dimensi. Clarke (1999) telah melakukan studi tentang iklim keselamatan kerja dan menemukan variasi dimensi iklim keselamatan kerja. Lima dimensi umum yang diidentifikasi yaitu ;

1. Manajemen keselamatan

2. Tanggung jawab dan keterlibatan pekerja 3. Tugas / lingkungan kerja

4. Sikap manajemen 5. Tindakan manajemen.

Kemudian disusul oleh sebuah survei yang dilakukan oleh Flin et al. (2000), enam dimensi dipakai dalam kuesioner iklim keselamatan kerja. Enam dimensi tersebut yaitu :

1. Manajemen / pengawasan 2. Sistem keselamatan 3. Risiko

6. Prosedur/peraturan.

Dalam sebuah penelitian serupa, Guldenmund (2010) mengidentifikasi enam dimensi yang tercantum di bawah ini yaitu :

1. Manajemen 2. Risiko 3. Peraturan keselamatan 4. Prosedur 5. Pelatihan 6. Pekerjaan

Adapun dimensi-dimensi iklim keselamatan, menurut Lu dan Tsai (2007) terbagi dalam enam dimensi, yaitu :

1. Praktek keselamatan kerja manajemen 2. Praktek keselamatan kerja atasan 3. Sikap keselamatan kerja

4. Pelatihan keselamatan kerja 5. Keselamatan kerja

6. Praktek keselamatan rekan kerja

Menurut Lin et al, (2008) iklim keselamatan kerja dibagi menjadi tujuh dimensi, yakni :

1. Kesadaran dan kompetensi kselamatan kerja 2. Komunikasi keselamatan kerja

4. Dukungan manajemen 5. Pertimbangan resiko

6. Peringatan keselamatan kerja 7. Pelatihan keselamatan keja

Dalam dunia keselamatan kerja saat ini, iklim keselamatan kerja yang baik merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman karena 88% kecelakaan kerja berawal dari perilaku tidak aman, dan perilaku tidak aman berawal dari persepsi pekerja, namun sangatlah sulit untuk dapat mengukur iklim keselamatan kerja karena penelitian yang mendalaminya masih minim.

Berawal dari hal tersebut, peneliti keselamatan kerja dari wilayah Nordik (Swedia,Finlandia, Denmark, Norwegia dan Islandia), melakukan sebuah penelitian untuk dapat membuat sebuah alat pengukur iklim keselamatan kerja. Mereka

kemudian merumuskan sebuah kuesioner yang bernama “ The Nordic Safety Climate

Questionnaire” (NOSACQ-50). NOSACQ-50 terdiri dari 7 dimensi pertanyaan di mana setiap bagiannya mewakili unsur dari iklim keselamaan kerja:

1. Prioritas keselamatan kerja manajemen, komitmen dan kompetensi 2. Kewenangan keselamatan kerja dari manajemen

3. Keadilan terhadap keselamatan kerja dari manajemen 4. Komitmen keselamatan kerja dari para karyawan

5. Prioritas keselamatan kerja dari karyawan dan sikap tidak mau ambil risiko keselamatan kerja

6. Komunikasi dan pelatihan keselamatan kerja termasuk percaya terhadap komptensi keselamatan kerja dari rekan kerja

7. Kepercayaan pekerja terhadap sistem keselamatan kerja 2.7 Operasi Rig (Rig Operation)

2.7.1 Rig

Rig adalah suatu instalasi peralatan untuk melakukan pengeboran ke dalam reservoir bawah tanah untuk memperoleh air, minyak, atau gas bumi, atau deposit mineral bawah tanah. Rig pengeboran bisa berada di atas tanah (on shore)

atau di atas laut/lepas pantai (off shore) tergantung kebutuhan pemakaianya (Hartati,

2014).

2.7.2 System Operasional Rig

Pada setiap rig pengeboran terdapat beberapa unit/sistem yang memiliki fungsi yang berbeda dan bekerja saling berkaitan membentuk sebuah proses yang kompleks. Berikut adalah pekerjaan yang dilakukan pada setiap sistem operasional pengeboran.

1. Sistem Angkat (Hoisting System)

Sistem angkat (hoisting system) adalah perangkat utama dalam sistem dan

perlengkapan pengeboran. Fungsi dari sistem angkat adalah untuk menyediakan

fasilitas untuk mengangkat, menahan dan menurunkan perlengkapan rotary ke dalam

a. Struktur pendukung (rig) yang terbuat dari kerangka baja, yang terletak tepat

diatas lubang pengeboran. Struktur ini terdiri dari drilling tower (derrick atau

mast, a frame), substructure, rig floor.

b. Hoisting Equipment, peralatan pengangkat ini berfungsi untuk mengangkut dan

menurunkan peralatan ke dan dari dasar sumur, yang terdiri dari draw works,

crown block, traveling block, deadline anchor, hook, elevator, drilling line.

Sistem angkat yang dilakukan selama operasi pengeboran dilakukan secara mekanik dan manual, sebagian besar dilakukan secara mekanik, karena alat-alat yang dilakukan pengangkatan adalah alat-alat berat, seperti bit, pipa pengeboran, HWDP (Heavy Weight Drill Pipe), drill collar, dan casing. Satu pipa pengeboran (drill pipe) dengan diameter 5 inci dan panjang 30 kaki, memiliki berat sekitar 19,5 lb/ft sehingga

± beratnya mencapai 265 kg, sedangkan drill collar memiliki berat antara 2500-4000

pon atau sekitar 1250-2000 kg, tergantung dari diameternya.

Sebelum dilakukan proses pengangkatan dengan hoisting system, pipa-pipa

pengeboran diangkat terlebih dahulu dari tempat penyimpanan dengan menggunakan

Dokumen terkait