• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran

5.2 Saran

a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi Atonik dan BAP yang tepat guna memacu pengkulturan organ vegetatif pucuk tanaman andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) secara in vitro.

b. Perlu dilakukan subkultur dengan media yang mengandung zat pengatur tumbuh yang dapat membentuk planlet.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani dan Manfaat Tanaman Andaliman

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu jenis rempah-rempah dari tumbuhan liar yang dikenal oleh masyarakat Batak Angkola dan Mandailing, Sumatera Utara. Tumbuhan ini merupakan jenis yang sangat dekat kekerabatannya dengan Zanthoxylum piperitum yang banyak ditemukan di daratan Cina serta Z. stimulans yang banyak dijual di Eropa (Hasairin, 1994). Di Indonesia, tumbuhan ini tumbuh liar di pegunungan dengan ketinggian 1400 m dpl pada temperatur 15-180 C. Asal tumbuhan ini dari daerah Himalaya Subtropis. Di dunia, tumbuhan ini tersebar antara lain di India Utara, Nepal, Pakistan Timur, Myanmar, Thailand, dan Cina. Di Cina, tumbuhan ini tumbuh pada ketinggian 2900 m dpl (Wijaya, 1999).

Menurut Hsuang Keng (1978 dalam Wijaya 1999) menyatakan bahwa sistematika tanaman andaliman adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Klass : Angiospermae Sub klass : Dicotyledoneae Ordo : Rutales

Family : Rutaceae Genus : Zanthoxylum

Spesies : Zanthoxylum acanthopodium DC.

Menurut Hasairin (1994), tinggi tanaman andaliman adalah 3-8 m. Batang dan cabangnya merah, kasar beralur, berbulu halus dan berduri. Buahnya bulat hijau kecil dengan diameter ± 4 mm (Tensiska, 2001). Bila digigit, buah ini mengeluarkan aroma yang wangi dan rasa tajam yang khas yang dapat merangsang produksi air liur. Hal ini

karena andaliman memiliki sifat karminativum (Hasairin, 1994). Khusus yang di Sumatera Utara mempunyai bunga lengkap dengan panjang ± 3 mm (Tensiska, 2001).

Famili jeruk-jerukan ini di habitatnya berupa tanaman semak dengan tinggi sekitar 5 meter (Sortha et al., 2004). Daunnya majemuk menyirip, panjang 1-20 cm dan lebar 3-15 cm, memiliki kelenjar minyak. Permukaan atas daun berwarna hijau mengkilat dan permukaan bawahnya hijau muda atau pucat, sedangkan pada daun muda permukaan bawahnya berwarna hijau kemerahan (Siregar, 2003; Wijaya, 1999). Bunga aksilar, majemuk terbatas, anak payung menggarpu, berkelamin dua, dan berwarna kuning pucat. Buah berbentuk kapsul, bulat hijau kecil, diameter 2-3 mm, mirip lada, jika sudah tua berwarna merah. Tiap buah memiliki 1 biji dengan kulit biji yang keras berwarna hitam berkilat (Sibuea, 2002). Tipe perkecambahan biji andaliman ialah epigin yakni tipe perkecambahan di atas tanah yang terjadi karena pembentangan ruas batang di bawah daun lembaga sehingga daun lembaganya terangkat ke atas tanah (Siregar, 2003).

Daya kecambah andaliman rendah. Perkecambahannya yang rendah dan umur berkecambah yang relatif lama disebabkan oleh struktur kulit biji yang keras. Struktur ini dapat menghalangi imbibisi air dan pertukaran gas dalam proses perkecambahan. Komponen volatil, berupa senyawa terpenoid yang terdapat pada andaliman (Wijaya 2001), diketahui merupakan senyawa penghambat perkecambahan. Tanaman yang tumbuh alami berasal dari biji yang disebarkan oleh burung (setelah memakan buah andaliman). Petani juga memperoleh bibit secara tidak sengaja dari lokasi bekas pembakaran gulma di daerah tanaman yang sudah tua (Siregar, 2003).

Saat ini andaliman diperhitungkan menjadi senyawa aromatik dan minyak esensial. Masyarakat Himalaya, Tibet dan sekitarnya menggunakan tanaman ini sebagai bahan aromatik, tonik, perangsang nafsu makan dan obat sakit perut (Hasairin, 1994). Manfaat lain buah andaliman berdasarkan penelitian adalah sebagai insektisida untuk menghambat pertumbuhan serangga Sytophilus zeamais. Efeknya berupa daya tolak makan serangga atau mengurangi selera makan serangga. Selain itu andaliman juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Andayanie, 2000). Sedangkan di Jepang, daun andaliman digunakan untuk pemberi aroma dan untuk dekorasi (Tensiska, 2001).

Andaliman mengandung senyawa terpenoid yang mempunyai aktivitas antioksidan yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan dari berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi serta perubahan warna dan aroma makanan. Selain itu senyawa terpenoid pada andaliman juga dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba. Hal ini memberikan peluang bagi andaliman sebagai bahan baku senyawa antioksidan atau antimikroba bagi industri pangan dan farmasi (Wijaya, 1999).

Hasil pengujian aktivitas antimikroba pada penelitian Andayanie (2000), menunjukkan bahwa ekstrak buah andaliman bersifat bakterisidal terhadap bakteri Bacillus stearothermophilus, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio cholera, dan Salmonella thypimurium. Selain itu andaliman juga mampu menghambat Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan S. thyposa. Dengan diketahuinya aktivitas antimikroba dari minyak atsiri andaliman serta komponen aktif penyusunnya, maka pemanfaatan andaliman dapat ditingkatkan sebagai bahan obat-obatan (Butar Butar, 2002).

2.2 Teknik Kultur Jaringan

Kultur adalah budidaya, sedangkan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Berarti kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan, 1994). Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan tanaman induknya (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Cara kerja kultur jaringan adalah berdasarkan prinsip “totipotensi”. Berdasarkan prinsip ini sebuah sel atau jaringan tumbuhan yang diambil dari bagian manapun akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan sempurna jika diletakkan pada media yang cocok. Perbanyakan dengan sistem kultur jaringan harus dilakukan dalam keadaan steril. Usaha pengembangan tanaman dengan kultur jaringan merupakan

usaha perbanyakan vegetatif tanaman yang dapat dikatakan masih baru. Namun saat ini sudah banyak sekali penemuan-penemuan tentang ilmu pengetahuan kultur jaringan dalam bidang pertanian, biologi, farmasi, kedokteran, dan sebagainya (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Menurut Katuuk (1989), kultur jaringan dapat membantu mengurangi perubahan-perubahan faktor lingkungan juga pengaruh negatif yang disebabkan oleh perubahan cahaya, suhu serta zat-zat hara dapat diatur. Selanjutnya kemampuan multiplikasi yang sangat cepat dari metode kultur jaringan memberi peluang bagi para pengusaha agar dapat menghemat waktu serta uang. Pengusaha yang memperbanyak tanaman dengan jalan stek jelas memerlukan waktu yang panjang. Bagi kultur jaringan hal ini tidaklah demikian.

2.3 Kultur Pucuk

Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Eksplan ini menjadi bahan dasar bagi pembentukan kalus yaitu bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan tanaman seperti daun, batang dan akar. Agar pertumbuhan bibit secara kultur jaringan berlangsung mudah, sebaiknya diambil sel yang berasal dari bagian yang meristem atau bagian tanaman yang masih muda, misalnya daun muda, ujung akar, dan keping biji. Bagian meristem dipilih karena bagian tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang lebih cepat (Nusmawarhaeni et al., 2001).

Eksplan untuk kultur pucuk boleh berasal dari berbagai pucuk batang, baik pucuk apikal, pucuk lateral, maupun pucuk aksilar. Keuntungan menggunakan eksplan pucuk atau tunas aksilar adalah memungkinkan mengontrol tunas yang dihasilkan bebas virus, tanaman yang dihasilkan secara genetik seragam dan pada banyak tanaman laju perbanyakannya lebih tinggi (Katuuk, 1989).

Budidaya meristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari eksplan yang ditanam. Kalus ini biasanya muncul dari bagian periderm, periblem, dan plerom, sepanjang tulang daun atau di antara tulang daun. Kalus sebenarnya adalah

proliferasi massa jaringan yang belum terdiferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan irisan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Dalam budidaya in vitro atau budidaya kultur jaringan, menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah penting. Setelah itu diusahakan rangsangan agar terjadi diferensiasi, terjadi akar dan tunas (Suryowinoto, 1996). Sebagai contoh dalam rangka kegiatan produksi metabolit sekunder dengan teknik kultur suspensi atau kalus maka sebagai langkah pertama untuk membuat inokulum perlu dibuat kalus sebagai starting material. Membuat kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu. Biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon yang banyak digunakan untuk induksi kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Menyangkut macam eksplan, Santoso & Nursandi (1995) memperoleh hasil bahwa macam eksplan sangat mempengaruhi kecepatan membentuk kalus. Eksplan daun mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dibandingkan eksplan batang utama, atau tangkai bunga (Santoso & Nursandi, 1995).

2.4 Media Kultur Jaringan

Mata rantai pertama dalam pelaksanaan kultur in vitro adalah persiapan media tanam. Dalam media tanam diberikan berbagai garam mineral, air, gula, asam amino, vitamin zat pengatur tumbuh, pemadat media untuk pertumbuhan dan perkembangan, dan kadang-kadang arang aktif untuk mengurangi efek penghambatan dari persenyawaan polifenol (warna coklat hitam) yang keluar akibat pelukaan jaringan pada jenis-jenis tanaman tertentu. Gula, asam amino, dan vitamin ditambahkan karena eksplan yang ditanam tidak lagi sepenuhnya hidup secara autotrof melainkan secara heterotrof atau mendapat suplai organik (Gunawan, 1995).

Media tanam dalam kultur jaringan adalah tempat untuk tumbuh eksplan. Media tanam ini harus berisi semua zat yang dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam dan macam tanaman. Campuran media yang satu mungkin cocok

untuk jenis-jenis tanaman (Rahardja, 1994). Komponen media kultur antara lain air, hara makro dan mikro, gula, vitamin, asam amino, bahan organik lain, agar-agar sebagai pemadat media serta zat pengatur tumbuh (Yusnita, 2003).

Jenis medium pada komposisi unsur kimia yang berbeda dapat digunakan untuk media tumbuh dari jaringan tanaman yang berbeda. Untuk tanaman andaliman ini menggunakan media MS (Murashige dan Skoog), dimana media ini digunakan untuk hampir semua tanaman, terutama tanaman herbaceus. Media ini mempunyai konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+ (Hendaryono & Wijayani, 1994).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologis tanaman (Hendaryono & Wijayani, 1994). Menurut Heddy (1983), zat pengatur tumbuh mempunyai peranan yang penting terhadap pembelahan sel, dan diferensiasi sel mulai perkembangan endosperm sampai perkecambahan biji pada fase vegetatif dan reproduktif. Penggunaan zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang sesuai adalah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman dengan harapan agar diperoleh hasil yang lebih cepat dan mungkin lebih besar (Kusumo, 1990).

Hormon tanaman itu sendiri terbagi dalam beberapa kelompok diantaranya: auksin, giberelin, sitokinin, etilen dan retardan (Tjionger, 2006). Pada kultur embrio, keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperm (Kosmiatin & Mariska, 2005).

Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting yaitu auksin dan sitokinin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Faktor yang

perlu diperhatikan dalam penggunaan zat pengatur tumbuh adalah jenis zat pengatur tumbuh, konsentrasi, periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1995).

2.5.1 Auksin

Auksin adalah suatu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan suatu tanaman. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa terdapat indikasi yaitu auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air, menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesa protein, meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel (Abidin, 1983).

Irvine et al. (1983 dalam Katuuk 1989), melakukan percobaan kultur jaringan pada tanaman tebu, menemukan bahwa 2,4-D paling banyak berpengaruh untuk inisiasi kalus. Untuk induksi kalus tanaman berdaun lebar 2,4-D banyak digunakan dengan konsentrasi 1-3 mg/l.

2.5.2 Sitokinin

Sitokinin adalah turunan dari adenine. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Seperti juga auksin, sitokinin ada yang alamiah dan sintetis. Sitokinin yang pertama kali ditemukan adalah kinetin, yang diisolasi dari DNA ikan Herring yang diautoklaf dalam larutan yang asam oleh Skoog di Laboratorium Botany University of Wisconsin. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu ditambahkan ke dalam media untuk tembakau dapat memacu pembelahan sel atau sitokinesis. Sitokinin mempengaruhi proses fisiologi dalam tanaman. Sitokinin juga berpengaruh di dalam perkembangan embrio (Wattimena, 1988).

Menurut (Gunawan, 1995), menyatakan bahwa sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah:

 Kinetin (6-furfuryl amino purine)

 Zeatin (4-hydroxil-3-methyl-trans-2-butenyl aminopurine)

 BAP/BA (6-benzyl amino purine/6-benzyl adenine)  PBA

 ZCl-4

 2,6- Cl-4 PU ; N (2,6-dicloro-4 pyridyl)-N-phenylurea).  Thidiazuron (N-phenyl-N-1,2,3-thiadiazol-5-tl-urea).

Menurut Wetter & Constabel (1991), sitokinin dibutuhkan bersama 2,4-D untuk mendapatkan pembentukan kalus yang baik. Golongan sitokinin yang umumnya digunakan adalah BAP karena telah diketahui lebih tahan terhadap kerusakan. BAP dan Thidiazuron adalah golongan sitokinin yang aktif.

2.5.3 Zat pengatur tumbuh atonik

Atonik adalah suatu zat pengatur tumbuh sintetik berbentuk larutan dalam air, berwarna cokelat dan berbau khas (Wuryaningsih, 1993). Atonik adalah gabungan garam-garam natrium dari S-nitroquiocol dan garam natrium dari paranitrophenol (Kusumo, 1990). Atonik mengandung zat aktif natrium orto nitrofenol, natrium paranitrofenol, natrium 2,4 di nitrofenol, dan natrium 5 nitroguaiakol (Saptarini et al., 2001).

Atonik bukan merupakan hormon tanaman (fitohormon) atau pestisida tetapi suatu zat kimia yang dapat merangsang proses biokimia dan fisiologis tanaman, sehingga atonik termasuk zat pengatur tumbuh (Kusumo, 1990). Atonik biasanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman terhadap unsur hara, meningkatkan daya serap daun, keluarnya bunga, pembentukan buah, meningkatkan jumlah dan bobot buah (Saptarini et al., 2001)

2.6 Glutamin

Asam amino sebagai sumber nitrogen organil relatif jarang diperlukan, karena sumber nitrogen utama dalam media biasanya NO3- dan NH4+. Namun, jika diperlukan sebagai sumber nitrogen organik, asam amino yang sering digunakan adalah glutamin

(Yusnita, 2003). Karena glutamin merupakan penyimpan nitrogen yang utama pada tumbuhan dan juga mudah di sintesis oleh tumbuhan (Salisbury & Ross, 1991).

Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino karena dapat menjadi pembawa amonia untuk sintesis asam-asam amino baru dalam jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994). Keberadaan asam amino dalam bentuk D-asam glutamat mempunyai berbagai pengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tumbuhan. (Robinson, 1991). Glutamin juga sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadi-nya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Salisbury & Ross, 1991).

2.7 Induksi Kalus

Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan awal yang membelah diri secara terus menerus. Dalam keadaan in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikroorganisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984).

Budidaya maristem atau embrio bertujuan untuk menumbuhkan kalus dari eksplan yang ditanam. Kalus ini biasanya muncul dari bagian periderm, periblem dan plerom, sepanjang tulang daun atau di antara tulang daun. Kalus sebenarnya adalah proliferasi massa jaringan yang belum terdeferensiasi. Massa sel ini terbentuk pada seluruh permukaan eksplan, sehingga semakin luas permukaan irisan eksplan semakin cepat dan semakin banyak kalus yang terbentuk (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Dalam kultur in vitro, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Bila eksplan yang digunakan mengandung kambium, maka kalus dapat terbentuk tanpa perlakuan zat pengatur tumbuh. Pembentukan kalus pada eksplan yang ada kambium ini serupa dengan kejadian penyangkokan dan penyetekan (Gunawan, 1987).

Menurut Yusnida (2006), air kelapa merupakan endosperm dalam bentuk cair yang mengandung unsur hara dan zat pengatur tumbuh sehingga dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan. Air kelapa sudah sejak dahulu digunakan sebagai campuran media. Ada yang melaporkan bahwa air kelapa muda lebih baik dari air kelapa tua, namun ada yang membuktikan sebaliknya. Konsentrasi air kelapa yang biasa digunakan adalah 7-15% (70-150 ml/l) (Katuuk, 1989), dapat juga sampai 200 ml/l (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Pada air kelapa selain mengandung bahan makanan seperti asam amino, asam organik, gula dan vitamin juga terkandung sejumlah hormon tumbuh seperti sitokinin 5,8 mg/l, auksin 0,07 mg/l dan giberelin serta senyawa lain yang dapat memacu proses perkecambahan biji (Yusnida, 2006) selanjutnya dapat dilihat di Lampiran G halaman 41. Selain itu, air kelapa juga digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman karena mengandung sejumlah besar zat-zat biokimia yang berperan untuk pertumbuhan tanaman, juga berfungsi sebagai suplemen karena dapat memacu pertumbuhan sel, jaringan, maupun organ pada tanaman, seperti biji dan akar pada teknik kultur jaringan (Katuuk, 1989).

Pada penelitian Ghautheret (1942 dalam Gunawan 1987), menemukan bahwa air kelapa dapat digunakan untuk mempertahankan pertumbuhan jaringan yang diisolasi dari sumber yang berlainan. Pada tahun 1949, Caplin & Steward memperoleh pertumbuhan kalus yang lebih baik pada media dengan 5% air kelapa dan casein hydrolysate dari pada media dengan IAA. Penelitian yang lebih mendalam, menemukan bahwa efek air kelapa pada pertumbuhan menjadi lebih baik, bila dalam media juga diberikan auksin. Auksin tertentu dan air kelapa, dapat bersifat sinergis. Steward dan Caplin (1951) menemukan bahwa antara 2,4-D dan air kelapa terjadi reaksi sinergistik yang memacu pertumbuhan kalus Daucus carota.

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) merupakan salah satu bumbu masakan yang memiliki potensi sebagai sumber antioksidan alami. Tanaman ini ditemukan tumbuh liar di daerah Tapanuli sebagai rempah pada masakan Batak Angkola dan Batak Mandailing. Sebagai rempah, andaliman memiliki keistimewaan seperti yang dinyatakan oleh Parhusip et al. (1999), bahwa masakan khas Batak yang menggunakan andaliman umumnya memiliki ketahanan yang lebih lama. Buah andaliman, rempah-rempah asli dari Sumatera Utara. Andaliman sering disebut sebagai “The Golden Spicy From North Sumatera”. Buah ini dipakai sebagai bumbu masakan dimana memberikan aroma yang khas (Katzer’s, 2004; Sibuea, 2002).

Andaliman secara umum belum dikenal masyarakat Indonesia. Walau telah diperdagangkan di luar daerah asalnya, namun masih hanya dikenal dan dipergunakan oleh kalangan terbatas. Padahal melihat keunikan sensorik yang dimiliki dan mungkin juga aktivitas fisiologisnya, bukan mustahil rempah ini dapat menjadi salah satu rempah yang berpotensi merebut peluang pasar ekspor. Untuk itu perlu ditunjang dengan informasi hasil penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, disamping teknologi penanganan yang tepat sehingga diperoleh terobosan-terobosan produk yang mempunyai nilai ekonomi lebih (Wijaya, 1999).

Penulis menggunakan zat pengatur tumbuh atonik dan BAP pada media ½ MS. Menurut Imelda (2007), BAP sering digunakan karena BAP mempunyai efektivitas untuk perbanyakan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah. Selain itu BAP diketahui lebih tahan terhadap kerusakan (Wetter & Constabel, 1991).

Menurut Saptarini et al. (2001), atonik digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar, keluarnya bunga, pembentukan buah dan meningkatkan jumlah

dan bobot buah. Menurut Pranata (2010), penggunaan atonik 2 ml/l terhadap kultur kemenyan mampu menginisiasi pembentukan kalus dan memberikan pengaruh terbaik terhadap berat basah kalus

Secara konvensional, tanaman andaliman berkembangbiak melalui biji. Namun daya kecambahnya rendah dan umur untuk berkecambah benih cukup lama dan bervariasi, yaitu dari 24-100 hari setelah semai dengan persentase perkecambahan sebesar 17,5%. Usaha untuk memecahkan dormansi benih andaliman belum menunjukkan hasil yang konsisten. Biji yang dihasilkan setiap tanaman berjumlah banyak, namun biji tersebut belum tentu dapat berkecambah. Oleh karena itu dalam hal ini digunakan primordial daun andaliman dengan perbanyakan secara teknik kultur jaringan, karena dengan teknik kultur jaringan ini dapat diperoleh bibit yang banyak dalam waktu singkat, dan memiliki sifat genetika yang serupa dengan induknya bila dibandingkan menanamnya secara konvensional (Siregar, 2003).

Pada penelitan ini penulis menggunakan media ½ MS yang diperkaya dengan air kelapa, sebab media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan (Nugroho & Sugito, 2000). Media yang digunakan secara luas dalam kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog (MS) yang dikembangkan pada tahun 1962 (Gunawan, 1995). Media MS ini mengandung amonium dengan konsentrasi tinggi (20 mµ) serta kandungan nitrat dan kalsium yang tinggi dibandingkan dengan metode lainnya (Evans, 1981). Gunawan (1995) menyatakan bahwa, dari berbagai komposisi di media MS kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan setengah dari konsentrasi garam-garam makro yang digunakan (½ MS).

Selain ZPT, air kelapa sudah sejak dahulu digunakan sebagai campuran media. Penggunaannya dilaporkan oleh Ovenbeek pada tahun 1941 dalam mengkulturkan embrio tanaman Datura. Telah diselidiki bahwa air kelapa mengandung sejumlah komponen yang sangat berguna untuk pertumbuhan (Katuuk, 1989). Menurut Hendaryono & Wijayani (1994), menyatakan bahwa konsentrasi air kelapa yang biasa digunakan adalah 200 ml/l, dapat juga digunakan mulai 70-150 ml/l (Katuuk, 1989).

Sebagai bahan informasi, sebelumnya penelitian ini berjudul ”Pengaruh GA Pada Media ½ MS Terhadap Kultur Biji Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium

DC.), tetapi setelah peneliti melakukan percobaan pada kultur biji andaliman dengan menggunakan media ½ MS dengan penambahan GA (gibberelic acid) yaitu konsentrasi 0; 1,0; 1,5; dan 2 mg/l tetapi kultur tidak mau terinisiasi. Kemudian dilakukan percobaan lagi dengan perlakuan eksplan yaitu biji andaliman dibakar pada ranting-ranting tanaman andaliman yang kering, biji diskarifikasi, dan biji didinginkan di dalam lemari pendingin selama 1 jam dengan media yang sama tetapi kultur tetap juga tidak mau terinisiasi. Kemudian dilakukan lagi percobaan kultur biji andaliman dengan kombinasi ZPT, yaitu GA dengan konsentrasi 0; 1,0; 1,5; 2,0 mg/l dan BAP dengan konsentrasi 0; 1,0; 1,5; 2,0 mg/l tetap saja kultur tersebut tidak terinisiasi.

Setelah itu dilakukan lagi percobaan dengan menggunakan media ½ MS yang diperkaya dengan air kelapa sebanyak 150 ml dengan kombinasi GA 0; 0,5; 1,0; 1,5

Dokumen terkait