• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Setelah mengemukakan kesimpulan, selanjutnya penulis menyampaikan saran sebagai berikut

1. Perlu adanya suatu organisasi/lembaga internasional seperti ICAO untuk penerbangan sipil yang khusus mengatur setiap hal mengenai ADIZ, sehingga kehadiran lembaga yang khusus mengatur ketentuan dan batasan yang jelas mengenai ADIZ sangat diperlukan untuk memberikan keadilan bagi setiap Negara yang ada.

2. Disarankan adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002, khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara Alur Laut Kepulauan Indonesia.

3. Untuk mendukung penegakan Hukum Udara, Pemerintah Republik Indonesia hendaknya dapat mendukung kebutuhan Alutsista dengan mempercepat program Minimum Essential Force, sehingga upaya mewujudkan ADIZ yang ideal dapat diterapkan secara efektif.

A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara 1. Sejarah hukum udara

Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap keamanannya. Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak- haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional.14

       14

Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online]

file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum_Udara_dan_Luar_A ngkasa.pdf diakses 21 Januari 2016.

Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya.15 Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1 November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang berkaitan dengan lalu lintas komersial.16

Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal

       15

T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002, hal 31

16

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2011, 427-428

tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta benda- benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun prinsip kedua adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity).17 Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat ketentuan- ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa.

Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6). Beberapa pakar hukum internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang

       17

Sefriani. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, 228-229.

di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan dan alat-alat penunjungnya.18

Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.19 Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang

       18

Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007, hal 187

19

Abdulrrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972, hal 55.

udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai bagi pesawat-pesawat asing.

2. Sumber hukum udara

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai berikut:

a. Konvensi Paris 1919

Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya Konvensi Chicago.

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.20

Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara

       20

Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory.

lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5:

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.21

Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan: Setiap Negara melakukan di masa damai untuk sesuai kebebasan lintas damai di atas wilayahnya dengan pesawat dari kontraktor lain Serikat , asalkan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ini yang diamati . Peraturan yang dibuat oleh Negara kontrak untuk pengakuan atas wilayahnya dari pesawat dari kontraktor lain Serikat harus diterapkan tanpa pembedaan kebangsaan

Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang

       21

lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.22

b. Konvensi Chicago 1944

Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara- negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan- ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris.

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan: “Negara mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk

       22

membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:

Setiap Negara kena setuju bahwa semua pesawat dari kontraktor lain Serikat, menjadi pesawat tidak bergerak di bidang jasa penerbangan internasional dijadwalkan berhak, tunduk pada ketaatan terhadap ketentuan Konvensi ini, untuk membuat penerbangan ke atau transit non-stop di nya wilayah dan membuat berhenti untuk tujuan non-lalu lintas tanpa perlu mendapatkan izin sebelumnya, dan tunduk pada hak Negara diterbangkan lebih membutuhkan arahan. Setiap Negara tetap berhak, karena alasan keselamatan penerbangan, membutuhkan pesawat yang ingin melanjutkan lebih daerah yang tidak dapat diakses atau tanpa fasilitas navigasi udara yang memadai untuk mengikuti ditentukan rute, atau untuk mendapatkan izin khusus untuk penerbangan tersebut. Pesawat tersebut, jika terlibat dalam pengangkutan penumpang, kargo, atau surat untuk remunerasi atau menyewa pada selain layanan udara internasional terjadwal, juga harus, tunduk pada ketentuan Pasal 7, memiliki hak istimewa untuk mengambil atau pemakaian penumpang, kargo, atau surat, tunduk pada hak setiap Negara di mana embarkasi atau debit tersebut dilakukan untuk memaksakan peraturan-peraturan tersebut, kondisi atau keterbatasan karena dapat mempertimbangkan diinginkan”.

Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat

kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule

internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:

" Tidak ada layanan udara internasional yang dijadwalkan dapat dioperasikan di atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau otorisasi lainnya dari Negara tersebut , dan sesuai dengan ketentuan izin atau otorisasi tersebut " .

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral. Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago, yaitu :

1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention 1944).

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA). 3. International Air Transport Agreement (IATA).

4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).

5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement). 6. The Provisional International Civil Aviation Organization (PICAO).

Sembilan puluh enam pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago

1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan Pasal 3 Bis, mengenai:

1) Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil (kemanusiaan).

2) Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat dibandar udara yang ditentukan

3) Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat udara sipil.

4) Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.

5) Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.

Dalam melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana diatur dalam Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya tingkat keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO menetapkan standard dan recommended practices untuk bisa diikuti oleh setiap

negara dalam menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Bila terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO, maka negara tersebut wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO sehingga bisa diketahui oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang mempunyai perbedaan pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya dicantumkan dalam suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi penerbangan di atas wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara (laut lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan pengaturan penggunaan ruang udara (annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti oleh semua negara.

3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929

Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian yang lengkapnya bernama ”Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air”, yang lebih dikenal dengan sebutan “ Perjanjian Warsawa “. Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :23 1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara

2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional. Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai limit tanggung jawab ganti rugi.

       23

Jambilawclub.blogspot.co.id/2011/01/sekelumit-tentang-hukum-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016).

B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional

Prinsip-prinsip hukum udara internasional tertuang dalam Konvensi- konvensi Hukum udara Internasional yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Konvensi-konvensi tersebut muncul dari konferensi Internasional yang dilakukan negara-negara didunia yang menganggap perlu adanya aturan-aturan yang mengatur tentang ruang udara (space). Adapun prinsip-prinsip hukum udara internasional adalah sebagai berikut :

1. Prinsip kedaulatan wilayah udara.

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti seluas- luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional lainnya.24 Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara, bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan kedalam maupun ke luar, mengatur hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain, membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksanaanya, mengatur politik ke luar negeri maupun dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam negeri, termasuk warga negara asing yang ada diwilayahnya, walaupun tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan maupun kegiatan sosial lainnya. Menurut Konvensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat memenuhi unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat mengadakan

       24

E. Suherman., Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung, 1984, hal 56.

hubungan internaional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun udara, walaupun persyaratan wilayah merupakan persyaratan mutlak untuk negara yang berdaulat.25

Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi teritorial (territorial jurisdiction principle) disamping prinsip-prinsip yuridiksi lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di udara seperti Konvensi Paris 1919,26Konvensi Chicago 1994,27 Konvensi Hanava 1928,28 Konvensi Jenewa 1958,29 Konvensi PBB 1982 (UNCLOS),30 dan Konvensi Wina 1961.31 Contohnya dalam Konvensi Paris 1919 mengatur tentang kedaulatan suatu negara terhadap wilayah udaranya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi “Para pengagung anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di ats wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum kebiasaan internaional yang terjadi sejak Inggris melakukan

       25

Konvensi Montevedeo 1993 persyaratan negara berdaulat adalah a permanent populations; a defined territory; a goverment and capacity to enter into relation with other States.

26

Convention Relating to the Reguation of Aerial Navigation, signed at Paris on 13 Oktober 1919.

27

Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago on 7 December 1944.

28

Convention on the Rights and Duties of States.

29

Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet, 1988 ; 455-480.

30

Convention on Commercial Aviation,signed at hanava on 20 February 1928

31

Convention on the territorial sea and the contigous zone, Lihat Muchtar K.,1983 : 209- 216.

tindakan sepihak (unilateral action) dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya perang dunia pertama 1918. The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayahnya

(Complete and exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The Aerial Navigation Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer.

Prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara diatas daratan maupun perairan tersebut dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang rumusannya : “The high contracting parties recognizw that every Power has complete and exclusive soverrignty over the air space above its territory. For the purpose of the present Convention, the territory of a state shall be understoos as including the national territory,both that of the mother country and of the colonies, and the territorial waters adjacent thereto”. Pencantuman prinsip kedaulatan atas wilayah udara diatas daratan dan perairan tersebut sesuai dengan penugasan Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Komisi Navigasi Penerbangan tersebut diarahkan memasukkan prinsip kedaulatan negara diatas daratan meupun perairan dan yuridiksi diatas wilayah udaranya.

2. Prinsip yuridiksi ruang udara.

Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo 1963. Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan di dlam pesawat

udara adalah negara pendaftar pesawat udara.32 Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata bahwa Konvensi Tokyo 1963 telah sepakat adanya unifikasi yuridiksi. Menurut konvensi tersebut disepakati yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara dalah negara pendaftar pesawat udara. Unifikasi demikian sangat penting sekali untuk mencegah terjadinya conflict of jurisdiction, karena transportasi udara mempunyai karakteristik internasional yang tidak mengenal batas kedaulatan suatu negara,

Dokumen terkait