• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaturan Air Defence Identification Zone (Adiz) Sebagai Perwujudan Kedaulatan Teritorial Ditinjau Dari Konvensi Paris 1919"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007.

______________ Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977

______________. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa, 1972.

Ahmad. “Ketentuan dan Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)”, 2010

Abdurrasyid Priyatna, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Binacipta, Bandung, 1977.

Bungin, Burhan Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Bagus, Ida dkk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : CV Mitra Karya, 2003.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta 2011.

Istanto, F. Sugeng, “Hukum Internasional” Univesitas Atma Jaya Yogyakarta,1998

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Bina Cipta, Jakarta, 2010.

Likada, Frans. Masalah Lintas di Ruang Udara, Binacipta, Bandung, 1987.

Kristanto, Philip. Ekologi Industri,Penerbit Andi, Yagyakarta, 2002.

(2)

Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2011.

Martono, H. K. dan Amad Sudiro, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Martono,K. Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, Bandung, 1999.

Nugroho, Yuwono Agung, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Jakarta, Bumi Intitama, 2006.

Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.

Rudy, T. May. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002.

Ruwantissa Abeyratne, In Search of Theoretical Justification for ADIZ, Springer Science+Business Media, LLC 2011

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.

Ibrahim, Johny Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Surbaya, 2005.

Staens, Jill dan Lloyd Pettiford, Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.

Suradinata, Ermaya. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI,Suara Bebas, Jakarta, 2005.

Suherman,E. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.

(3)

Peraturan Perundang-Undangan

Charter of The United Nations (Piagam PBB).

Chicago Convention of 1944: Convention on International Civil Aviation. International Air Transport Agreement (IATA)

Paris Convention of 1919: Convention relating to the Regulation of Aerial navigation.

The Outer Space treaty of 1967.

Konvensi Chicago 1944

Tokyo Convention 1963: Convention on Offences and Certain OtherActscommitted on Board Aircraft

United Nation Convention On the Law of The Sea (UNCLOS)1982

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, Lihat Robert E.Riggs,1988;366-387; A. Le Roy Bennet, 1988 ; 455-480.

Convention on Commercial Aviation,signed at hanava on 20 February 1928

Convention on the territorial sea and the contigous zone, Lihat Muchtar K.,1983 : 209-216.

Buku Dasar-Dasar Hukum Udara Bagi Pelaksanaan Operasi Udara TNI AU. Cetakan IV Tahun 2011

Jurnal

Agus Pramono, Wilayah Kedaulatan Negara Atas Ruang Udara Dalam Perspektif Hukum Internasional, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2012

(4)

Internet

Ivanrifkyw.blogspot.co.id/2013/01/kedaulatan-teritorial-makalah-hukum.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)

Diansicute.blogspot.co.id/2011/12/kedaulatan-teritorial.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)

Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online] file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum _Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf diakses 21 Januari 2016

Jambilawclub.blogspot.co.id/2011/01/sekelumit-tentang-hukum-udara-nasional.html (diakses tanggal 1 Maret 2016)

Try Sutrisno Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional,

http://www.academia.edu/11336205/ (diakses tanggal 1 Maret 2016

Lautanopini.com/2014/03/08/jalinan-adiz-dan-keamanan-kawasan/(diakses tanggal 1 Maret 2016)

Dewysrinurlatifah.wordpress.com/hukum/hukum-internasional/ (diakses tanggal 1 Maret 2016).

Hipatioss.blogspot.co.id/2015/02/hukum-ruang-udara-dan-ruang-angkasa.html?view=sidebar (diakses tanggal 1 Maret 2016)

Foreignaffairs.Com/Articles/140367/David-A-Welch/Whats-An-Adiz (diakses pada 13 Maret 2016

(5)

BAB III

PENERAPAN AIR DEFENCE IDENTIFICATION ZONE (ADIZ)

DALAM KONVERSI PARIS 1919

A. Air Defence Identification Zone (ADIZ)

Air Defence Identification Zone (ADIZ) adalah suatu ruang udara tertentu yang didalamnya pesawat harus memberikan identifikasi sebelum memasuki

wilayah yang dimaksud. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek

internasional yang telah menjadi kebiasaan internasional (customary international law).42Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri (Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara

didunia termasuk Amerika membuat/menetapkan zona petunjuk pertahanan udara

atau Air Defense Identification Zone (ADIZ). Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar sampai ratusan kilometer di wilayah udara

bebas sesuai dengan kepentingan negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya

yang mungkin datang dari udara.43

ADIZ (Air Defence Identification Zone) atau Zona Identifikasi Pertahanan

Udara, adalah wilayah udara suatu negara yang melintasi suatu daratan atau

lautan. Wilayah udara tersebut mencakup: 44

       42

Markas Besar TNI AU, Buku Panduan Perwira Hukum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, Jakarta, 2000, hal. 8.

43

Hipatioss.blogspot.co.id/2015/02/hukum-ruang-udara-dan-ruang-angkasa.html?view=sidebar (diakses tanggal 1 Maret 2016)

44

(6)

1. Melampaui wilayah udara dari Negara tersebut, untuk mempermudah control

mereka atas pesawat-pesawat asing.

2. Kewenangan untuk mendeklarasikan ADIZ tidak diberikan atau dilarang oleh

perjanjian internasional, maupun hukum internasional.

Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang

udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah

ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang

untuk semua penerbangan.

Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau

daerah-daerah obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada

daerah-daerah tertentu lainnya. ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi

dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada

umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan

hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara

tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk

memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam

ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika

Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat

udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui

ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau

militer yang melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan

militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara

(7)

sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan

pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi

faktor penentu keberhasilan ADIZ.

Sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali

diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang

Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang

diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone” (CADIZ).

Pada dasarnya, setiap Negara mendeklrasikan ADIZ demi mewujudkan

National Interest mereka. Dengan adanya ADIZ maka, Setiap pesawat yang

masuk ke dalam wilayah ADIZ tersebut, harus meminta izin atau mendapat izin

dari Negara tersebut. Jika tidak maka akan dianggap sebagai ancaman. AS sendiri

sudah mendeklasrasikan wilayah ADIZ mereka semenjak tahun 1950an. AS

mendeklarasikan ADIZ mereka di masa perang dingin untuk mengantisipasi

serangan dari Uni Soviet. Sampai saat ini, AS sudah memiliki lima zona ADIZ

mereka yaitu: Zona Pantai Timur, Pantai Barat, Alaska, Hawaii, dan Guam.45

       45

(8)

B. Status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut Hukum Udara

Internasional

Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan hukum dari

ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur

dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory. Hukum internasional tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari

negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang udara sepenuhnya tunduk

kepada kedaulatan (sovereignty) yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong

(subjacent state) sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).46

Konvensi Chicago 1944 tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai

batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara

horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago

khususnya pada kata “complete and exclusive”. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh

atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3

Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah

       46

(9)

negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin

terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Seperti diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah

berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian

setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah

sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai

batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang

diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya

sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara

tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.

Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau

berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka

penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui

perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional.

Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan

secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara.

Setiap Negara akan selalu berupaya melaksanakan pertahanan/bela diri

(Self Defence) dan pengawasan terhadap kondisi keamanan di wilayah udaranya dari berbagai bentuk ancaman. Hal inilah yang melatarbelakangi banyak negara

(10)

atau ADIZ. Kawasan ADIZ tersebut dapat ditetapkan merentang jauh keluar

sampai ratusan kilometer di wilayah udara bebas sesuai dengan kepentingan

negara dalam upaya mendeteksi bahaya-bahaya yang mungkin datang dari udara.

Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering

negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai

daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan.

Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah

obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada

daerah-daerah tertentu lainnya. ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam

sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya

terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga

mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut,

namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas

kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara

itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau

Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini

dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara.

ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau militer yang

melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan militer. Sistem

pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena

tujuannya untuk pertahanan udara di wilayah negara, tentu saja sistem ini

(11)

pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi

faktor penentu keberhasilan ADIZ.

C. Penerapan ADIZ di Berbagai Negara

Air Defense Identification Zone (ADIZ) Tiongkok Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional.

Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang

menyatakan: „the contracting States recognize that every State has complete and

exclusive sovereignty over the airspace above its territory”. Hukum internasional

tidak memberikan hak untuk lintas damai melalui ruang udara, dan untuk

memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan izin dari Chicago 1944 mengenai

Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil Aviation).47 Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak

ada satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat

dimiliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal.

Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “ complete and exclusive ”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara

penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun

pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan

penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya,

       47

(12)

dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif

(exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan

negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas

kedaulatan di wilayah udara. Wilayah udara secara horisontal adalah sama dengan

seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah

negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di

dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai

maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line), yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga

dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982. Begitu pula dalam hal

apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara

tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas

wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga

seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti

Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur

tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan ADIZ.

Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona

tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang

(13)

dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem

pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri

(self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.48 Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara

lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam

Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara

eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum

Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51.

Pasal itu berbunyi: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi Pasal 51 memang tidak

       48

(14)

menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri.

Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata

secara terbatas. Rosalyn Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah

memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka

hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga

mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk

menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana

hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak

membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). D.W. Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara

serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat

menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu

ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO, pada

chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace

yang mengakui keberadaan ADIZ suatu Negara.49

Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang

telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan

internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-negara

pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui

sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara

       49

(15)

mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain

dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain

maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan. Setelah Amerika

Serikat dan Kanada menerapkan ADIZ untuk wilayah udaranya, pada tanggal 23

November Tiogkok melakukan hal yang sama untuk wilayah udaranya.

Penggunaan ruang dan aset udara untuk target pencapaian tujuan militer

saat invasi Irak telah menandai secara signifikan pentingnya penguasaan ruang

dan kekuatan udara. Penguasaan atas ruang udara terkait juga pada kewenangan

untuk menetapkan ADIZ yang hingga saat ini tidak diatur oleh lembaga

internasional. Dasar penerapan ADIZ adalah terjaminnya hak suatu negara untuk

menciptakan prakondisi bagi setiap pergerakan udara. Dengan itu, pesawat apa

pun yang mendekati sebuah wilayah udara nasional dapat diminta untuk

mengidentifikasikan diri. 50 ADIZ mencantumkan wilayah udara atas daratan dan

lautan di mana identifikasi, lokasi, dan kontrol akan pergerakan pesawat

diperlukan bagi kepentingan keamanan nasional. Beberapa negara malah

menetapkan ”extended ADIZ zone” yang melampaui wilayah udara negara lain untuk memberikan lebih banyak waktu untuk memantau dan menindak pesawat

asing berawak atau tidak yang ditengarai memiliki potensi berbahaya. ADIZ

pertama kali ditetapkan AS setelah Perang Dunia II.

Diikuti beberapa negara antara lain Kanada, India, Jepang, Pakistan,

Norwegia, Inggris, RRC, Korea Selatan, dan ROC. Umumnya, zona ADIZ

mencakup wilayah tak terbantahkan atas kedaulatan suatu negara dan tidak

       50

(16)

tumpang tindih. Karena umumnya ditetapkan secara unilateral, terjadi beragam

model penerapan pada aplikasinya. Misalnya AS tidak pernah mengakui hak

negara pesisir untuk menerapkan prosedur ADIZ bagi pesawat asing untuk

memasuki wilayah udara nasional.

Jepang satu-satunya negara yang menerapkan ekspansi atas ADIZ-nya

(1972 dan 2010). Korea Selatan baru memperluas zona identifikasi wilayah udara

nasionalnya hingga 666.480 km2menyikapi eskalasi terkait China ADIZ (CADIZ)

pada akhir 2013. Selain menetapkan ADIZnya di Laut China Timur, secara tegas

China juga mewajibkan semua pesawat sipil dan nonsipil untuk mengidentifikasi

diri ketika mendekati zona CADIZ. 51

Kemhan China bahkan menetapkan penerapan “langkah-langkah darurat

defensif” oleh AU PLA untuk pesawat yang tidak mau memberikan

identifikasinya (Bitzinger, 2013). Sesungguhnya, langkah nyata China akan penerapan ADIZ dan aturan mainnya merupakan reaksi atas aksi kebijakan AS di

kawasan dengan ”US Strategic Pacific”yang merupakan elemen kunci evolusi

kekuatan-militer di mana akan membawa perubahan signifikan terhadap aliansi

AS di kawasan. Pemerintah China secara strategis menetapkan CADIZ untuk

dapat mengantisipasi beberapa kemampuan baru terkait teknologi terkini militer

AS antara lain pesawat tempur F- 35, Sistem Tempur Aegis, serta pesawat

surveillance MQ-4C TRITON yang memiliki kemampuan pemindaian 360 derajat

dan memiliki sistem identifikasi otomatis yang jelas akan menjadi senjata

mata-mata utama tak berawak. IMQ-C4 akan mulai beroperasi pada 2015 dengan lima

       51

(17)

basis operasi untuk mengawasi Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Korea

Utara, dari ketinggian 60.000 kaki selama 24 jam nonstop. Australia yang menjadi

aliansi utama AS di kawasan sudah sejak lama juga mengoperasikan satelit stasiun

pelacakan dikenal sebagai fasilitas Joint Defence Space Research/Pine Gap.

Satelit ini menjadi kontributor kunci untuk jaringan global

surveillanceECHELON.

Pemerintah Indonesia menjadi sorotan tersendiri dalam ‘diam’-nya

menanggapi masalah ADIZ di Laut China Timur. Sebenarnya momentum ini

dapat digunakan oleh Presiden SBY untuk menetapkan ADIZ Indonesia segera

secara unilateral agar mampu melegitimasi ulang kepemimpinan SBY dalam

masa-masa terakhir jabatannya. Pertama, ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik

dan psikologis karena seorang pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada

kebijakan luar negeri untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar

masalah domestik negara. Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan

nasionalisme. Ketiga,ADIZ dapat dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan

peran Indonesia dalam memperluas proyeksi kekuatan menghadapi kebijakan

‘Rebalancing AS’ yang sesungguhnya telah mengundang reaksi ‘Imbalancing’

kawasan. CADIZ dapat merupakan bagian dari strategi China untuk dapat

menerapkan anti-access and area-denial jauh dari garis pantai China. AS

dipastikan akan terseret dalam konflik atas ADIZ, di mana bobot kredibilitas

aliansi AS untuk menjaga stabilitas kawasan akan diuji. Misalnya seberapa jauh

AS akan berpihak pada Jepang atau Taiwan dalam sengketa militer serta

(18)

utama di konflik Laut China Timur atas inisiatif Presiden Taiwan Ma Ying Jeaou

(2012).52

Kekhawatiran yang mengemuka bahwa CADIZ juga akan diterapkan di

Laut China Selatan dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan

Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang terabaikan. ”Claiming what is ours and defending what is ours”seharusnya menjadi semangat Indonesia dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya. Langkah

inisiasi unilateral ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk

melindungi kepentingan nasional atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan

atas ruang udara. Pemimpin Indonesia perlu meniru kepercayaan diri Jepang

dengan ADIZ-nya yang tumpang tindih dengan Taiwan. ADIZ antara Taiwan dan

Jepang membentang membagi wilayah udara di atas Pulau Yonaguni dan

menjadikan daerah timur masuk ke wilayah Jepang dan daerah barat masuk ke

wilayah ke Taiwan. ADIZ Jepang telah memperluas areanya hingga 12 mil laut

dari baseline. Terkait klaim sepihak itu, PM Jepang Yukio Hatoyama tegas

mengatakan norma-norma internasional atas demarkasi ADIZ terletak pada

kebijaksanaan tiap negara sehingga wajar bagi Jepang untuk tidak meminta

persetujuan Taiwan akan penetapan zonaADIZ- nya. Hatoyama dapat dijadikan

contoh kriteria pemimpin yang diperlukan oleh negara suprastrategis seperti

Indonesia.

Penerapan ADIZ Indonesia terbentang di atas Pulau Jawa, Pulau Bali dan

sebagian wilayah Nusa Tenggara Barat dengan luas keseluruhan berbentuk empat

       52

(19)

persegi panjang dengan ukuran lebar dari utara ke selatan 180 NM, dan

panjangnya dari Barat ke Timur 390 NM, merupakan upaya pemerintah

melakukan pengamanan wilayahnya untuk kepentingan pertahanan dan

keamanan, pusat-pusat pemerintahan serta melindungi obyek vital nasional.

Penetapan koordinat dan luas wilayah ADIZ Indonesia tercantum di Aeronautical Information Publication (AIP) pada lampiran XVI.53

       53

(20)

A. Pengaturan ADIZ dalam Hukum Udara Internasional

Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona

tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang

bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan

dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem

pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri

(self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB.54

Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari

kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional

(customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat.

Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan

hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut

prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam

PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi: idak ada dalam Piagam ini akan merugikan hak

yang melekat pertahanan diri individu atau kolektif jika serangan bersenjata

terjadi terhadap Anggota PBB , sampai Dewan Keamanan telah mengambil

langkah yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional .

       54

(21)

Langkah-langkah yang diambil oleh Anggota dalam pelaksanaan hak ini membela

diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan tidak akan dengan cara

apapun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab dari Dewan Keamanan

bawah Piagam ini untuk mengambil tindakan kapan seperti itu dianggap perlu

untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan

internasional.”

Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri.

Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata

secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah

memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka

hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga

mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk

menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana

hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak

membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara

serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat

menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu

(22)

(International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan ADIZ suatu negara.

Selain itu, dasar hukum pendirian ADIZ adalah praktek internasional yang

telah menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan Hukum kebiasaan

internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara-

negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara

melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu

negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh

negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan

dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.

B. Pengaturan ADIZ yang dibenarkan dalam Hukum Udara Internasional

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara- negara maju untuk

melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas

yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip

hukum udara internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip

yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada

navigasi udara. Pengaturan mengenai zona larangan terbang ini sendiri terdapat

pada Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929

(23)

1. Konvensi Paris 1919

Zona larangan terbang diatur dalam Pasal 3 Setiap negara kena berhak untuk

alasan militer atau kepentingan keselamatan publik untuk melarang pesawat dari

negara kena lainnya , di bawah hukuman yang masing-masing pesawat pribadi

dan orang-orang dari negara kena lainnya untuk penerbangan dari tawaran

daerah-daerah tertentu dari wilayahnya . Dalam hal wilayah dan luasnya daerah-daerah yang

dilarang harus diterbitkan dan diberitahukan terlebih dahulu untuk stat kontraktor

lainnya. Pasal 4 Setiap pesawat menemukan dirinya di atas area yang dilarang

harus, menyadari fakta memberikan sinyal marabahaya pada paragraf 17

Lampiran D dan tanah secepat mungkin di luar daerah dilarang di salah satu

bandar udara terdekat dari negara secara tidak sah terbang di atas.

Menurut kedua pasal tersebut setiap negara berhak untuk menetapkan zona

larangan terbang atas pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan

nasional dengan ancaman hukuman bilaman terdapat pelanggaran. Ketentuan ini

sesuai dengan usul yang disampaikan oleh delegasi Prancis pada saat Konferensi

Paris 1910.

Konferensi Paris 1910 Prancis mengusulkan negara kolong berhak melarang

setiap penerbangan pesawat udara militer melalui ruang udara di atas wilayah

udaranya (right of the subjacent state of deny passanger of foreign military and police aircraft trough such airspace), namun demikian zona larangan terbang tersebut tidak boleh diskriminasi anatar pesawat udara sipil nasional dengan atau

pesawat udara sipil asing satu terhadap yang lain. Dalam hal terjadi pesawat udara

(24)

terbang secepatnya meninggalkan zona larangan terbang tersebut sebelumnya

harus dipublikasikan kepada negara anggota lainnya.

Zona larangan terbang yang telah diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Konvensi

Paris 1919 kemudian diubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni

1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat

untuk mengizinkan pesawat udara sipil nasional terbang di zona larangan terbang

dalam hal sangat penting dan darurat. Demikian pula dikatakan dalam masa damai

negara tersebut berhak untuk menetapkan zona larangan terbang seluruh atau

sebagian wilayahnya.

Semua bentuk penerbangan dilarang terbang di zona larangan terbang.

Bilamana hal ini dilakukan juga harus memberitahun China dan negara anggota

Konvensi Paris 1919 lainnya. Menurut Pasal 4 Konvensi Paris 1919, dalam hal

terdapat pesawat udara sipil asing berada di zona larangan terbang, segera

mengirim tanda bahaya (distress) sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat diluar zona larangan terbang tempat

pesawat udara tersebut terbang.

2. Konvensi Chicago 1940

Zona larangan terbang, di samping diatur dalam Konvensi Paris 1919, juga

diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Berdasarkan Pasal 1 jo Pasal 9 Konvensi

Chicago 1944.

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :

(25)

international scheduled airlines service, and the aircraft of the other contracting states likewise engaged. Such prohibited area shall reasonable extent and location so as not to interference unnecessarily with navigation, description of such prohibited areas in the teritory of contracting states, as well as any subsequent alteration therein, shall be communicated as soon as possible to the other contracting states and to international civil aviation organization;

2. Each contracting states reserves also the right, in exceptional circumstances or during a period of emergency, or in the interest of public safety, and with immediate effect, temporary to ristrict or to prohibit flying over the whole or any part of its territory, on conditions that such ristriction or prohibition shall be applicable without distinction of nationality to aircraft of all other states; 3. Each contracting state, under such regulations as it may prescribe, may

require any aircraft entering the areas contemplated in the subparagraphs (a) or (b) above to effect a landing as soon as practicable thereafter at some designted airport within its territory.

Terjemahan

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 :

1. Setiap negara dapat , untuk alasan kebutuhan militer atau keamanan publich,

membatasi atau melarang seragam pesawat dari negara lain untuk

penerbangan lebih dari daerah-daerah tertentu dari wilayahnya, asalkan tidak

ada perbedaan dalam hal ini dibuat antara pesawat dari negara yang wilayah

yang terlibat, terlibat dalam pelayanan penerbangan terjadwal internasional ,

dan pesawat dari negara-negara kontraktor lainnya juga terlibat . daerah

terlarang seperti wajib batas wajar dan lokasi agar tidak campur tangan yang

tidak perlu dengan navigasi , deskripsi daerah terlarang seperti di teritory

negara kontraktor , serta setiap perubahan berikutnya di dalamnya , harus

dikomunikasikan secepat mungkin ke negara anggota lainnya dan organisasi

penerbangan sipil internasional.

2. Setiap kena cadangan negara juga kanan, dalam keadaan luar biasa atau

(26)

dengan segera, sementara untuk ristrict atau untuk melarang terbang di atas

seluruh atau sebagian dari wilayahnya, pada kondisi yang ristriction atau

larangan tersebut berlaku tanpa membedakan kebangsaan untuk pesawat dari

semua negara-negara lain.

3. Setiap negara kena, di bawah peraturan seperti itu mungkin meresepkan,

mungkin memerlukan pesawat memasuki wilayah dimaksud dalam sub ayat

(a) atau ( b ) di atas untuk efek mendarat sesegera mungkin setelah di

designted beberapa bandara dalam wilayahnya.

Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak

menetapkan zona larangan atau pembatasan terbang atas pertimbangan keamanan

umum, pertimbangan militer, asalkan tidak ada perlakuan yang bersifat

diskriminatif antara pesawat negara nasional dengan negara asing atau pesawat

udara asing satu terhadap yang lain. Penetapan zona larangan terbang atau

pembatasan tersebut harus wajar dan tidak mengganggu penerbangan

internasional. Rincian zona larangan terbang maupun pembatasan tersebut harus

segara diberitahukan kepada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional serta

negara anggota lainnya. Dalam keadaan yang sangat mendesak atau darurat atau

kepentingan keselamatan umum negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil

Internasional juga berhak melarang seluruh maupun sebagian wilayah asalkan

tidak bersifat diskriminatif. Bilamana pesawat udara menyadari di zona larangan

terbang, segera meninggalkan zona larangan tersebut dan mendarat di Bandar

(27)

Di Amerika Serikat, berdasarkan ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago

1944, juga menetapkan zona larangan terbang sejauh 200 mil dari perbatasan

Amerika Serikat yang dikenal sebagai ADIZ. Dalam jarak 200 mil terhitung sejak

perbatasan Amerika Serikat, pesawat udara yang tidak dikenal harus

menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut tidak dilakukan, pesawat udara

tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika Serikat demikian diikiuti oleh

adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga mengumumkan zona larangan

terbang (Canadian Air Defence Identification Zone- CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang belum dikenal harus menyampaikan jati diri. Pesawat udara

negara (State Aircraft) yang mengejar tidak boleh menggunakan kekerasan, apalagi menembak pesawat udara sipil yang kesasar di zona larangan terbang,

karena penembakan pesawat udara sipil tersebut bertentangan dengan hukum

internasional, tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri, dan tidak sesuai dengan semangat yang tersirat dalam konvensi Chicago 1944. Menurut

hukum internasional, pesawat udara sipil yang ditembak oleh pesawat udara

negara (State Aircraft) merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), karena pesawat udara sipil tidak di persenjatai. Disamping itu, penembakan

pesawat udara sipil tersebut tidak sesuai dengan ajaran hukum (doctrine) bela diri

(Self Defend) yang mengajarkan bahwa perbuatan penembakan tersebut tidak seimbang dengan ancaman yang dihadapi, ajaran hukum bela diri (Self Defend)

mengatakan bahwa kalau seseorang akan memukul dengan rotan, kemudian di

dahului dipukul dengan kayu dapat disebut membela diri (Self Defend).

(28)

semangat keselamatan penerbangan (Safety First) yang tersirat dalam Pasal 44 huruf (a) Konvensi Chicago 1944 menyampaikan jati diri, bilamana hal tersebut

tidak dilakukan, pesawat udara tersebut akan menghadapi bahaya. Sikap Amerika

Serikat demikian diikiuti oleh adik kandungnya yaitu Kanada. Kanada juga

mengumumkan zona larangan terbang (CADIZ), mewajibkan pesawat udara yang

belum dikenal harus menyampaikan jati diri.

C. Penerapan ADIZ Overlapping terhadap wilayah Alur Laut Kepulauan

ADIZ sebagai zona dimana pesawat udara yang masuk wilayah tersebut

harus melaporkan rencana penerbangan (flight plan), pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dalam

mendukung penegakkan ADIZ Indonesia dibutuhkan sistem pertahanan udara

yang saling terintegrasi terdiri dari ATC, Kohanudnas, pesawat tempur sergap

serta personel yang memonitor ADIZ. Sistem tersebut bekerja dengan

menggunakan metoda dan proses tertentu agar keberadaan ADIZ Indonesia dapat

efektif untuk menegakkan kedaulatan hukum dan kedaulatan di wilayah udara.

Salah satu cara untuk mempertahankan kedaulatan udara Indonesia dapat

menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (Air Defence Identification Xone/ADIZ). ADIZ digunakan untuk menangkal ancaman dari luar dengan cara mengidentifikasi setiap pesawat baik pesawat sipil maupun militer yang akan

masuk ke wilayah udara suatu negara. ADIZ sudah digunakan oleh Amerika dan

(29)

udara suatu negara atau sering disebut dengan asas bela diri (self defence).55 Asas bela diri dengan menggunakan ADIZ merupakan cara yang tepat dan proporsinal.

Penetapan wilayah ADIZ dapat dimulai dari wilayah teritorial suatu negara hingga

mencapai ruang udara diatas laut bebas yang berbatasan dengan negara itu.

Penetapan ADIZ tidak berdampak pada perluasan wilayah territorial suatu

negara atas laut lepas. Penetapan ADIZ ini digunakan semata-mata untuk

keamanan dan pertahanan negara dari ancaman yang masuk ke wilayah udara

negara itu. Dampak dari penetapan ADIZ adalah setiap pesawat baik sipil maupun

militer yang akan masuk ke wilayah negara itu akan melaporkan diri kepada

pengawas penerbangan. Biasanya ADIZ dikelola oleh militer negara itu

(Angkatan Udara negara itu). Meskipun sistem pelaporan ADIZ berbeda dengan

pengaturan lalu lintas udara sipil. ADIZ akan lebih optimal dalam menangkal

bahaya yang masuk dari wilayah udara bila sistem ADIZ ini diintegrasikan

dengan sistem radar yang terhubung dengan sistem persenjataan pertahanan

udara.56 Pemberlakuan ADIZ ini sejalan dengan teori penguasaan Cooper

(Cooper’s Control Theory) yaitu kedaulatan suatu negara ditentukan oleh

       55

Charter of the United Nations (1945), 892 UNTS 119, Pasal 51 “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence in an armed attack occurs against a Member of the United Nations, until the Security Council has taken measures necessary to maintain international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self-defence shall be immediately reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security Council under the present Charter to take anytime such action as it deems necessary in order to maintain or restore international peace and security.”

56

(30)

kemampuan negara itu untuk mempertahankan dan menguasai ruang yang ada

diatas wilayahnya atau disebut juga dengan ruang udaranya.57

Dalam konteks Indonesia penggunaan ADIZ ini sangat tepat mengingat:

luas wilayah Indonesia; penetapan jumlah kepulauan yang masuk ke wilayah

kedaulatan NKRI belum dapat dipastikan; sengketa perbatasan dengan negara

tetangga belum dapat sepenuhnya diselesaikan. Penggunaan ADIZ ini seiring

dengan pertahanan kedaulatan NKRI mengingat beberapa kali dari tahun 2009

sampai awal tahun 2011 tercatat 14 pelanggaran wilayah udara RI, wilayah udara

Indonesia yang dilintasi oleh pesawat dari negara lain tanpa ijin dari Indonesia.

Potensi ancaman bagi Indonesia yang wilayah udaranya sudah beberapa kali

dilanggar oleh pesawat berbendera negara lain sangat tinggi.

Penggunaan ADIZ di Indonesia didukung oleh radar militer (TNI AU) yang

berada di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot, Cibalimbing,

Ngeliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe, Dumai,

Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki.

Wilayah kedaulatan RI yang terdeteksi oleh radar militer belum seluruhnya.

Sedangkan dukungan dari radar sipil berada di Soeta, Juanda, dan Ngurah Rai.

Penggunaan ADIZ di Indonesia baru meliputi wilayah Jawa, Pulau Madura,

sebagian kecil Sumatera Selatan, Lombok, Bali dan sebagian kecil Pulau

Sumbawa bagian barat. ADIZ tidak berada di luar wilayah laut teritorial

Indonesia. Ruang udara yang dapat terdeteksi baru sekitar 5.193.252 Km2

sehingga proteksi ADIZ di Indonesia belum optimal karena proteksi belum

       57

(31)

mencakup seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Proteksi ADIZ di Indonesia

hanya digunakan untuk melindungi ibukota negara yaitu Jakarta dan obyek vital di

Jawa dan sekitarnya. Sedangkan obyek vital negara lainnya seperti di Papua,

Kalimantan dan Sulawesi belum dapat diproteksi.

Eksistensi Indonesia sebagai negara berdaulat yang mempunyai hak penuh

untuk mengatur segala urusan dalam negeri sedang dipertanyakan oleh sebagian

pihak dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas ruang udaranya kepada

Singapura. Meskipun kedaulatan udara Indonesia tidak serta merta diambil oleh

Singapura. Namun dengan memberikan hak pengaturan lalu lintas udara yang

merupakan salah satu penjabaran dari hak Indonesia untuk mengatur urusan dalam

negeri secara tidak langsung, Indonesia sudah mendelegasikan sebagian haknya

untuk mengatur lalu lintas ruang udaranya kepada Singapura.58 Hal ini dapat

dibaca sebagai pelemahan Indonesia di bidang pertahanan yang akan mengancam

keamanan dan kedaulatan negara RI. Disisi yang lain Indonesia akan kehilangan

pendapatan dari fee penerbangan yang melintas di wilayah udara Indonesia karena

fee ini akan masuk ke negara lain (Singapure) meskipun pesawat suatu negara melewati ruang udara Indonesia.

Sebagai negara kelautan (dalam hal ini Indonesia) membawa

konsekuensi dalam penyediaan Archipelagic Sea Lane Passage

atau kemudian kita sebut sebagai Alur Laut Kepulauan dan rute penerbangan di

atasnya, untuk perlintasan kapal laut maupun pesawat terbang asing. Hal demikian

       58

(32)

diatur dalam pasal 53 konvensi PBB tentang Hukum laut 1982/ UU Nomor 17

Tahun 1985.

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) adalah Alur laut yang ditetapkan

sebagai alur untuk pelaksanaan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan berdasarkan

konvensi hukum laut internasional. Alur ini merupakan alur untuk pelayaran dan

penerbangan yang dapat dimanfaatkan oleh kapal atau pesawat udara asing diatas

laut tersebut untuk dilaksanakan pelayaran dan penerbangan damai dengan cara

normal. Penetapan ALKI dimaksudkan agar pelayaran dan penerbangan

internasional dapat terselenggara secara terus menerus, langsung dan secepat

mungkin serta tidak terhalang oleh perairan dan ruang udara teritorial Indonesia.

ALKI ditetapkan untuk menghubungkan dua perairan bebas, yaitu Samudera

Hindia dan Samudera Pasifik. Semua kapal dan pesawat udara asing yang mau

melintas ke utara atau ke selatan harus melalui ALK.59

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 Tentang

Alur Laut Kepulauan Indonesia mengatur hak dan kewajiban kapal dan pesawat

udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan :

1) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan

dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang

terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.

2) Pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama

melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke

       59

(33)

kedua sisi dari garis sumbu dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari

garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat

udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari

10% (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada

pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulau-pulauan tersebut

3) Pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap

kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia,

atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas Hukum Internasional

yang terdapat dalam Piagam PBB.

4) Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak

Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan

atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan

amunisi.

5) Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan

pendaratan di wilayah Indonesia.

6) Pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan

tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem

telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan

orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.

7) Pesawat udara asing, tennasuk kapal atau pesawat udara riset atau survey

(34)

boleh melakukan kegiatan riset kelautan atau survey hidrografi, baik dengan

mempergunakan peralatan deteksi maupun peralatan pengambil contoh,

kecuali telah memperoleh izin untuk hal itu.

8) Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut

Kepulauan harus menaati dan menghormati peraturan udara yang ditetapkan

oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan

penerbangan.

Berdasarkan penetapan ADIZ yang dilakukan oleh Indonesia, hal ini

kemudian menimbulkan permasalahan apabila dikaitkan dengan adanya penetapan

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pengaturan berkaitan dengan Hak dan

Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur

Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang telah ditetapkan diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002. ALKI I yang meliputi Selat Sunda

dan Selat Lombok yang telah diajukan kepada International Maritime Organization (IMO) overlapping dengan ADIZ Indonesia yang di sekitar atas udara sebagian kecil Sumatera Selatan, Jawa dan Madura, Bali, Lombok dan

sebagian kecil Pulau Sumbawa. Sehingga dalam praktek penerapan ADIZ,

Indonesia juga harus memperhatikan ketentuan yang berlaku terkait ALKI.

Sebagai konsekuensinya, kedaulatan ruang udara NKRI yang utuh tersebut

ternyata masih terdapat perdebatan dan pengecualian bahwa di atas ALKI

diberikan hak lintas bagi pesawat udara asing tanpa izin. Ruang udara di atas

ALKI, perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak dirugikan.

(35)

dejure oleh International Maritime Organization (IMO). Pun demikian dengan PP no. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing

Dalam Melaksankan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan di alur laut kepulauan yang

telah ditetapkan. Belum diterimanya penetapan ALKI oleh IMO ini, menyebabkan

beberapa negara pengguna ALKI berpotensi untuk memanfaatkan celah hukum

yang ada pada Pasal 53 (12) UNCLOS 1982 yaitu menggunaan alur laut dan rute

penerbangan di atasnya yang biasa digunakan untuk navigasi internasional yang

sifatnya sama dengan alur bebas yaitu tanpa izin dari negara pemilik kedaulatan.

Berdasarkan uraian di atas, terhadap negara-negara yang memiliki Alur

Laut Kepulauan seperti Indonesia, harus mendapat pengakuan dan kejelasan

hukum dari Organisasi Internasional dalam hal ini International Maritime Organization (IMO). Serta perlu adanya kejelasan peran dan fungsi dengan diterapkannya ADIZ diatas kawasan tersebut sehingga di satu sisi negara

memenuhi tuntutan internasional dengan disediakannya Alur Laut Kepulauan, dan

di sisi lain negara tetap dapat menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah

(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dalam bab V

penulis menyimpulkan hasil pembahasan guna menjawab dan mengidentifikasi

permasalahan yang ada diantaranya adalah :

1. Pengaturan hukum udara internasional, yaitu Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah

Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum Internasional, dalam

pasal tersebut yang menjadi sumber Hukum Internasional yaitu: Konvensi

Paris 1919, Konvensi Chicago 1944Kebiasaan-kebiasaan Internasional,

Prinsip -prinsip hukum yang diakui oleh bangsa beradab dan Yurisprudensi.

2. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) dalam Konversi Paris 1919, yaitu ketentuan yang harus penuhi antara lain Flight Information Region (FIR) dan Upper Flight Information Region (UIR) di mana Pemberian pelayanan bagi penerbangan yang terjadi dalam lapisan sampai jarak

ketinggian 20.000 kaki, sedangkan pemberian pelayanan bagi penerbangan

yang terjadi dalam lapisan sampai pada jarak ketinggian di atas 20.000 kaki.

3. Pengaturan Air Defence Identification Zone (ADIZ) sebagai perwujudan kedaulatan teritorial ditinjau dari Konvensi Paris 1919, Setiap negara

berdaulat mempunyai wilayah kedaulatan yang dibatasi dengan batas daratan,

perairan yang meliputi laut teritorial yang berhadap-hadapan dengan negara

(37)

serta batas kedaulatan udara secara horisontal dan secara vertikal. Kedaulatan

udara secara vertikal belum ada kata sepakat secara internasional. Dalam

praktek batas kedaulatan udara tergantung dari kemampuan negara tersebut

untuk mempertahankan kedaulatannya.

B. Saran

Setelah mengemukakan kesimpulan, selanjutnya penulis menyampaikan

saran sebagai berikut

1. Perlu adanya suatu organisasi/lembaga internasional seperti ICAO untuk

penerbangan sipil yang khusus mengatur setiap hal mengenai ADIZ, sehingga

kehadiran lembaga yang khusus mengatur ketentuan dan batasan yang jelas

mengenai ADIZ sangat diperlukan untuk memberikan keadilan bagi setiap

Negara yang ada.

2. Disarankan adanya revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun

2002, khususnya hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban pesawat udara

asing yang melintas di wilayah udara Alur Laut Kepulauan Indonesia.

3. Untuk mendukung penegakan Hukum Udara, Pemerintah Republik Indonesia

hendaknya dapat mendukung kebutuhan Alutsista dengan mempercepat

program Minimum Essential Force, sehingga upaya mewujudkan ADIZ yang

(38)

A. Sejarah dan Sumber Hukum Udara

1. Sejarah hukum udara

Perkembangan hukum udara diawali pada Konferensi Internasional

Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun 1910 setelah sejumlah

balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas negara Perancis, yang

mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu ancaman terhadap

keamanannya. Sembilan tahun setelah Konferensi pertama tersebut dibentuklah

Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif

terhadap ruang udaranya. Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan

kedaulatan negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk

ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat

dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai

pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan

hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan

internasional.14

       14

Syahmin, et al., 2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa, [online]

(39)

Konvensi Paris 1919 ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan

baru berlaku pada tanggal 11 Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris

1919 tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum

mengenai penerbangan udara. Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi

Paris 1919 menjelaskan mengenai kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta

terhadap ruang angkasa di atas wilayah darat dan lautnya. Kendati demikian pada

perkembangannya, konvensi tersebut mengalami beberapa perubahan materi

terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa

setiap negara memiliki kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di

atasnya.15 Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa

hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para

pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu

lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika

Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1

November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan

dasar yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan

pengambilan bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang

berkaitan dengan lalu lintas komersial.16

Perkembangan yang hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum

Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4 Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian diikuti oleh pesawat ruang

angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara lain menganggap hal

       15

T. May Rudy. Hukum Internasional II. Bandung: Refika Aditama, 2002, hal 31

16

(40)

tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka. Prinsip-prinsip yang

berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation principle dan Freedom exploitation principle. Prinsip pertama atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta

benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim atau

diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara. Adapun prinsip kedua adalah

prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk

dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity).17 Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan-tuntutan kedaulatan di

ruang angkasa oleh negara-negara secara individu dan untuk membuat

ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai ruang angkasa.

Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang

angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih

tegas. Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para

astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata yang mengikat (Syahmin, 2012: 6). Beberapa pakar hukum

internasional memberikan definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain

Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang

mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang mengatur ruang

yang hampa udara. Ruang lingkupnya meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang

       17

(41)

di antariksa dimana hukum antariksa diteapkan dan berlaku, bentuk kegiatan

manusia yang diatur di ruang tersebut, dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan

dan alat-alat penunjungnya.18

Paul Fauchile berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah

kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu

bebas. Akan tetapi tindakan menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah

benar. Hal tersebut diasumsikan bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang

berbeda. Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini melahirkan dua kelompok

besar, yaitu mereka yang berpendapat bahwa udara sifatnya itu bebas yang

dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas dan mereka yang

berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah

negaranya. Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di

atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah

dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam. Akan tetapi ketika

pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis

dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori

kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.19 Teori ini dipakai dan

dikukuhkan tidak hanya oleh negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh

negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris

1919, untuk pengaturan navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui

bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang

       18

Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pres, 2007, hal 187

19

(42)

udara di atas wilayahnya dan perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga

konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai

bagi pesawat-pesawat asing.

2. Sumber hukum udara

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai

berikut:

a. Konvensi Paris 1919

Beberapa bulan sebelum ditanda tanganinya perjanjian perdamaian di

versailles, Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk

mengadakan suatu panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk

menyiapkan suatu peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa

yang akan datang. Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu

perjanjian penerbangan, yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober

1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya

Konvensi Chicago.

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara

menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris

1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara

di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur

maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.20

Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa

ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara

       20

(43)

lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5:

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization, permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada pembatasan terhadap masalah lintas. Pembatasan tersebut mempunyai hubungan

dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang

menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan

pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara

negara anggota Konvensi.21

Selanjutnya hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah ketentuan

Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan: Setiap Negara melakukan di masa damai untuk sesuai kebebasan lintas damai di atas wilayahnya dengan pesawat

dari kontraktor lain Serikat , asalkan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ini

yang diamati . Peraturan yang dibuat oleh Negara kontrak untuk pengakuan atas

wilayahnya dari pesawat dari kontraktor lain Serikat harus diterapkan tanpa

pembedaan kebangsaan

Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan

kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat

udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara

anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang

       21

(44)

lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut

terakhir.22

b. Konvensi Chicago 1944

Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang

pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk

mengundang berbagai Negara, baik negara sekutunya maupun

Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-Negara-negara Amerika Latin untuk

menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun

ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan

mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris.

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari

Konvensi Paris 1919, menyatakan: “Negara mengakui bahwa setiap negara

memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas wilayah udara di atas wilayahnya”.

Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara peserta Konvensi

di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan

merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun

demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang

penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas

wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara

ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari

wilayahnya. Oleh karena itu, demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas

penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk

       22

(45)

membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun

multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:

Setiap Negara kena setuju bahwa semua pesawat dari kontraktor lain Serikat, menjadi pesawat tidak bergerak di bidang jasa penerbangan internasional

dijadwalkan berhak, tunduk pada ketaatan terhadap ketentuan Konvensi ini, untuk

membuat penerbangan ke atau transit non-stop di nya wilayah dan membuat

berhenti untuk tujuan non-lalu lintas tanpa perlu mendapatkan izin sebelumnya,

dan tunduk pada hak Negara diterbangkan lebih membutuhkan arahan. Setiap

Negara tetap berhak, karena alasan keselamatan penerbangan, membutuhkan

pesawat yang ingin melanjutkan lebih daerah yang tidak dapat diakses atau tanpa

fasilitas navigasi udara yang memadai untuk mengikuti ditentukan rute, atau untuk

mendapatkan izin khusus untuk penerbangan tersebut. Pesawat tersebut, jika

terlibat dalam pengangkutan penumpang, kargo, atau surat untuk remunerasi atau

menyewa pada selain layanan udara internasional terjadwal, juga harus, tunduk

pada ketentuan Pasal 7, memiliki hak istimewa untuk mengambil atau pemakaian

penumpang, kargo, atau surat, tunduk pada hak setiap Negara di mana embarkasi

atau debit tersebut dilakukan untuk memaksakan peraturan-peraturan tersebut,

kondisi atau keterbatasan karena dapat mempertimbangkan diinginkan”.

Pasal 5 menyatakan bahwa penerbangan non-schedule yang melintasi batas wilayah negara, baik penerbangan yang bersifat non-trafic maupun penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan

(46)

kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule

internasional. Sedangkan Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan

terjadwal internasional yang berbunyi:

" Tidak ada layanan udara internasional yang dijadwalkan dapat dioperasikan di

atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau

otorisasi lainnya dari Negara tersebut , dan sesuai dengan ketentuan izin atau

otorisasi tersebut " .

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani

pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau pe

Referensi

Dokumen terkait

Suatu yang sangat menarik, sekalipun sangat kompleks, tipe proses industri mikroorganisme, salah satu produknya yang diharapkan tidak dihasilkan selama fase pertumbuhan primer,

Jika disimpulkan protocol TCP/IP adalah salah satu jeni protocol yang memungkinkan kumpulan komputer untuk berkomunikasi dengan suatu standar yang

Bahasa pemrogaman itu sendiri sudah ditemukan pada tahun setelah diketemukannya mesin komputer, mulai generasi yang paling pertama kali yaitu kode mesin,

Manajemen Pembelajaran merupakan salah satu faktor terpenting dalam menyelenggarakan pengajaran. Dengan adanya manajemen dapat mewujudkan proses pembelajaran yang

Indikator dari peubah dinamika sosial budaya masyarakat yang diamati pada penelitian ini adalah tingkat kekosmopolitan, tingkat keterdedahan media massa, dukungan

Penulis menemukan permasalahan bahwa PT Asuransi Adira Dinamika Outlet Jambi melakukan kesalahan perhitungan PPh Pasal 21 yang disebabkan kesalahan dalam perkalian tarif

Laporan Akhir Ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Pada Jurusan Teknik Elektro.. Program Studi Teknik Telekomunikasi Politeknik

Adapun penerapan akuntansi berbasis akrual memudahkan dalam penjajian laporan keuangan, karena akuntansi berbasis akrual mudah dioperasikan dan laporan keuangan yang