• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

29

KARANG DI KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU PENDAHULUAN

Eksploitasi sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah pesisir dalam dua dekade terakhir semakin menunjukkan kecenderungan yang meningkat dan mengancam kelestarian sumberdaya. Berbagai dampak negatif yang timbul apabila dibiarkan terus–menerus akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa sumberdaya perikanan–kelautan merupakan akses terbuka (open acces resources) untuk dimanfaatkan sehingga pengguna berlomba–lomba memanfaatkannya tanpa ada satu pun aturan yang membatasi (Faiza, 2011).

Pertimbangan atas pentingnya keberadaan sumberdaya perikanan–kelautan bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir kemudian menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan untuk menjaga kelestariannya. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya tersebut agar tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang terlindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan merupakan upaya pengelolaan yang bertujuan menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau–pulau kecil. Penetapan Daerah Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat (DPL–BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang (Pomeroy dan Rivera–Guieb, 2006).

Pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan dengan pendekatan DPL– BM merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologis dan sosial. Pemikiran ini berangkat dari asumsi bahwa laut tidak semata sebuah sistem ekologi, tetapi juga merupakan sistem sosial yang khas. Karena itu, pengembangan kelautan dengan memperhatikan sistem ekologi– sosial masyarakat yang khas menjadi penting. Kuatnya institusi lokal di pesisir merupakan pilar masyarakat bahari. Bila masyarakat berdaya, aturan lokal mereka bisa melengkapi kekuatan hukum formal dan masyarakat sekaligus menjadi pengawas sumberdaya yang efektif karena didukung pengetahuan lokal (traditional ecological knowledge).

Perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan– kelautan dapat berupa perilaku positif maupun negatif. Perilaku positif merupakan perilaku yang sesuai dengan norma–norma sosial budaya setempat serta prinsip ekonomi dan konservasi dalam melakukan usaha perikanannya. Perilaku negatif adalah kegiatan destruktif dalam melakukan usaha perikanan dan memberikan dampak negatif bagi kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Kecenderungan penurunan dan kerusakan kualitas sumberdaya perikanan– kelautan sebagai dampak eksploitasi yang berlebihan serta praktek–praktek destruktif juga terjadi di wilayah Kepulauan Seribu. Hasil penelitian Yayasan Terangi menunjukkan telah terjadi penurunan hasil tangkapan sebagai dampak

(2)

dari pemanfaatan sumberdaya yang berlebih. Selain itu juga masih ditemukan indikasi praktek penggunaan sianida dan alat tangkap yang merusak ekosistem terumbu karang di wilayah Kepulauan Seribu (Terangi, 2009).

Untuk memperbaiki kualitas sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan tersebut, pada tahun 2004 Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bersama masyarakat mulai menerapkan program Areal Perlindungan Laut–Berbasis Masyarakat (APL–BM) di lima kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, Pulau Tidung dan Pulau Pari. Program APL–BM merupakan program kolaboratif yang bertujuan memulihkan kualitas sumberdaya di wilayah perairan dengan melakukan aturan perlindungan dan pengelolaan pada zona tertentu.

Keberhasilan penerapan program perlindungan laut berbasis masyarakat sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah tersebut (Crawford et al., 2004). Secara sederhana, terdapat dua faktor utama karakteristik sosial ekonomi yang berkontribusi dalam pembentukan perilaku masyarakat pesisir dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan–kelautan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari proses perkembangan internal individu dan dinamika sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat seperti pengetahuan, pengalaman, penguasaan teknologi dan manajemen usaha, kearifan lokal, peran pemimpin informal dan faktor lainnya; sedangkan faktor eksternal berasal dari pengaruh di luar individu atau masyarakat seperti intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan dan program pembangunan, peran aparat pemerintah dan sektor swasta serta layanan penyuluhan pembangunan yang diberikan (Amanah, 2006; Aldon, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut : (1) mengidentifikasi profil wilayah dan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan dengan pendekatan program APL–BM di Kepulauan Seribu dan (2) mengidentifikasi karakteristik sosial–ekonomi masyarakat pemanfaat sumberdaya perikanan–kelautan berbasis terumbu karang di Kepulauan Seribu.

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai survei deskriptif yang melakukan pengukuran secara cermat terhadap fenomena sosial tertentu dengan mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 2006). Penelitian dilaksanakan di lima kelurahan yang memiliki program APL–BM, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Populasi penelitian ini adalah seluruh individu yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan–kelautan berbasis ekosistem terumbu karang sebagai sumber utama penghidupannya (pimary stakeholders) di lokasi penelitian. Responden dipilih dengan tehnik acak proporsional (proportional random sampling).

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Data sekunder dikumpulkan melalui analisis dokumen/publikasi dari lembaga terkait. Untuk melihat sejauh mana peubah–peubah saling berbeda pada masing–masing lokasi penelitian digunakan analisis uji beda Tuckey. Jumlah responden sebagai sampel

(3)

penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Sevilla dkk, 1993), yaitu : Keterangan : n N e = = = ukuran sampel

ukuran populasi (6287 orang)

persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir (e = 7 %)

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka kerangka pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut (Tabel 9):

Tabel 9. Kerangka Pemilihan Sampel Penelitian

Jaring Muroami Bubu Pancing Wisata

bahari

Trans- plantasi

N n N n N n N n N n N n

Kelurahan Panggang

Jumlah populasi = 1689, jumlah sampel = 56

1.Pemilik 13 1 28 1 168 6 129 4 33 1 17 1

2.Pekerja 75 3 495 15 331 10 190 6 168 6 42 2

Jumlah 88 4 523 16 499 16 319 10 201 7 59 3

Kelurahan Kelapa

Jumlah populasi = 1191, jumlah sampel = 39

1.Pemilik 92 3 0 0 72 3 46 2 0 0 0 0

2.Pekerja 719 22 0 0 184 6 78 3 0 0 0 0

Jumlah 811 25 0 0 256 9 124 5 0 0 0 0

Kelurahan Harapan

Jumlah populasi = 764, jumlah sampel = 25

1.Pemilik 75 3 0 0 64 2 21 1 0 0 0 0

2.Pekerja 450 14 0 0 129 4 25 1 0 0 0 0

Jumlah 525 17 0 0 193 6 46 2 0 0 0 0

Kelurahan Tidung,

Jumlah populasi = 669, jumlah sampel = 23

1.Pemilik 5 1 0 0 0 0 221 7 29 1 0 0

2.Pekerja 43 2 0 0 0 0 274 9 97 3 0 0

Jumlah 48 3 0 0 0 0 495 16 126 4 0 0

Kelurahan Pari

Jumlah populasi = 1974, jumlah sampel = 63

1.Pemilik 22 1 0 0 143 5 404 13 0 0 0 0

2.Pekerja 188 6 0 0 713 22 504 16 0 0 0 0

Jumlah 210 7 0 0 856 27 908 29 0 0 0 0

Total sampel diambil = 206

Sumber : data primer yang diolah

N n =

(4)

Kerangka Berpikir Penelitian

Penerapan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan wujud dari paradigma baru pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Secara konseptual, program ini merupakan praktek pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dilakukan secara bersama oleh kelompok masyarakat pemanfaat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Partisipasi kelompok pemanfaat tersebut merupakan komponen utama bagi upaya pemeliharaan sumberdaya perikanan–kelautan.

Namun demikian, pada saat ini masih terus terjadi penurunan kualitas sumberdaya perikanan–kelautan di wilayah Kepulauan Seribu. Hal ini mengindikasikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program APL– BM pada saat ini belum optimal. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya memerlukan persyaratan kemampuan individu dan organisasi masyarakat dalam implementsinya.

Karakteristik individu merupakan ciri yang melekat pada individu responden yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut menjadi pembeda yang khas antara satu individu dengan yang lainnya. Karakteristik individu yang diamati dalam penelitian ini adalah usia, pendidikan formal, pendidikan non formal, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman mengelola usaha perikanan–kelautan, jenis pekerjaan dan alat tangkap, status kepemilikan alat produksi dan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan.

Dinamika sosial budaya masyarakat adalah proses interaksi sosial antara kelompok–kelompok di dalam masyarakat maupun dengan pihak lain di luar lingkungan sosialnya yang mempengaruhi suasana atau menyebabkan perubahan di dalam sistem sosial tersebut. Perubahan tersebut meliputi aspek nilai–nilai, sikap dan perilaku dalam masyarakat tersebut. Indikator dari peubah dinamika sosial budaya masyarakat yang diamati pada penelitian ini adalah tingkat kekosmopolitan, tingkat keterdedahan media massa, dukungan kearifan lokal serta dukungan dari tokoh masyarakat informal, tokoh masyarakat formal/aparat pemerintah, pihak swasta dan organisasi non–pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan melalui implementasi program APL–BM di Kepulauan Seribu.

Kemampuan organisasi masyarakat yang diamati dalam penelitian ini meliputi kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial. Kemampuan teknis adalah kemampuan yang dimiliki oleh massyarakat berupa pengetahuan dan keterampilan tentang pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, yang meliputi aspek pemilihan lokasi, penetapan peraturan atas zonasi perlindungan dan transplantasi karang serta aspek teknis lainnya. Dengan kemampuan ini masyarakat akan mampu melaksanakan secara fisik berbagai kegiatan pengelolaan APL–BM dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan.

Kemampuan manajerial merupakan seperangkat kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat berupa pengetahuan dan ketrampilan tentang cara merencanakan, mengorganisasikan serta mengevaluasi kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dengan menerapkan program APL–BM. Dengan adanya kemampuan manajerial yang memadai, masyarakat akan mampu mengelola dan

(5)

mengembangkan sumberdaya perikanan–kelautan secara benar. Kemampuan sosial adalah kemampuan masyarakat untuk membangun hubungan interpersonal, dinamika kelompok, kemampuan bernegosiasi dan mengembangkan jejaring atau kemitraan dengan pihak lain alam dalam mengelola sumberdaya perikanan– kelautan.

Di samping kemampuan yang memadai, diperlukan pula motivasi masyarakat yang mendorong untuk berpartisipasi dan kemudian dapat mempertahankan partisipasi tersebut. Motivasi untuk melibatkan diri dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan merupakan indikasi adanya modal sosial masuarakat yang potensial untuk dikembangkan. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan pada umumnya didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh manfaat dari partisipasinya tersebut. Keinginan-keinginan tersebut akan mendorong dan mengarahkan serta mempertahankan intensitas partisipasi mereka.

Keinginan–keinginan yang memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi tersebut meliputi keinginan untuk meningkatkan pendapatan, keinginan untuk mendapat pengakuan atas kredibilitas sebagai warga negara yang mampu mengelola sumberdaya dan keinginan untuk menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Masyarakat yang termotivasi oleh keinginan–keinginan tersebut, diduga akan bersemangat untuk mengerahkan dan mencurahkan pikiran, tenaga dan materi untuk berpartisipasi agar keinginannya terpenuhi. Masyarakat yang kurang motivasinya dalam arti kurang memiliki keinginan sebagaimana telah disebutkan, akan rendah semangatnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya.

PEMBAHASAN Potensi Sumberdaya Perikanan–Kelautan di Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu yang terletak di Laut Jawa dan Teluk Jakarta merupakan wilayah dengan karakteristik dan potensi alam yang berbeda dengan wilayah DKI Jakarta lainnya. Wilayah ini pada dasarnya tersusun oleh ekosistem pulau–pulau sangat kecil dan perairan laut dangkal yang terdiri dari gugus kepulauan dengan komposisi 110 pulau sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal yang terdiri dari laguna, selat, teluk, terumbu karang tipe fringing reef dan reef flat, mangrove dan lamun dengan kedalaman laut dangkal sekitar 20–40 meter di sekitar pulaunya. Dari jumlah pulau yang berada di kawasan perairan tersebut di antaranya 20 pulau sebagai pulau wisata yang dikelola perorangan atau badan usaha dan 11 pulau sebagai hunian penduduk (Setyawan dkk., 2009).

Kepulauan Seribu mempunyai sumberdaya alam yang khas yaitu keindahan alam laut dengan ekosistem karang yang unik seperti terumbu karang, ikan hias dan ikan konsumsi, echinodermata, crustacea, molusca, penyu, tumbuhan laut dan darat, mangrove, padang lamun dan lain–lain. Terumbu karang di kawasan perairan ini membentuk ekosistem khas daerah tropik, pulau-pulaunya dikelilingi terumbu karang tepian (fringing reef) dengan kedalaman 1–20 meter. (Terangi, 2009).

Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di Kepulauan Seribu adalah jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral) misalnya Monstastrea dan Labophyllia, karang meja (table coral), karang kipas (gorgonia), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak

(6)

(soft coral). Jenis ikan hias yang banyak ditemukan diantaranya adalah jenis-jenis yang termasuk dalam famili Chaetodontidae, Apogonidae dan Pomancanthidae, sedangkan jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi antara lain adalah baronang (Family Siganidae), ekor kuning (Family Caesiodiae), kerapu (Family Serranidae) dan tongkol (Eutynus Sp.) (Setyawan dkk., 2009) .

Echinodermata yang banyak dijumpai diantaranya adalah bintang laut, lili laut, teripang dan bulu babi yang keberadaannya juga merupakan indikator kerusakan terumbu karang. Crustacea yang banyak dikonsumsi antara lain kepiting, rajungan (Portumus Sp.) dan udang karang (Spiny lobster). Moluska (binatang lunak) yang dijumpai terdiri dari Gastropoda dan Pelecypoda, termasuk jenis yang dilindungi di antaranya adalah kima raksasa (Tridacna gigas) dan kima sisik (Tridacna squamosa).

Kawasan perairan Kepulauan Seribu merupakan habitat bagi penyu sisik (Eretmochelys imbricata) yang dilindungi dan saat ini keberadaannya cenderung semakin langka. Dalam upaya pelestarian satwa ini, selain dilakukan perlindungan terhadap tempat–tempat penelurannya seperti beberapa pulau dan juga telah dilakukan pengembangan pusat penetasan, pembesaran dan pelepasliaran penyu sisik di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa.

Kegiatan di Pulau Pramuka dan Pulau Sepa tersebut dilakukan dengan cara mengambil telur dari pulau–pulau tempat bertelur untuk ditetaskan secara semi alami. Anak penyu (tukik) hasil penetasan tersebut kemudian sebagian dilepaskan kembali ke alam dan sisanya dipelihara untuk dilepaskan secara bertahap. Untuk jenis tumbuhan laut, kawasan Kepulauan Seribu ditumbuhi jenis lamun (seagrass) seperti thalasia dan enhalus serta ganggang laut/algae/rumput laut (seaweed) seperti Halimeda, Sargassum dan Caulerpa .

Jenis-jenis tumbuhan darat yang banyak ditemukan antara lain adalah kelapa (Cocos nucifera), mengkudu (Morinda citrifolia), ketapang (Terminalia catappa), butun (Baringtonia asiatica), sukun (Artocarpus atilis), pandan laut (Pandanus tectorius), sentigi (Pemphis acidula) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia). Di beberapa pulau juga ditemukan ekosistem mangrove yang di dominasi oleh jenis-jenis bakau (Rhizophora Sp.), api-api (Avicenia Sp.), tancang (BruguieraSp.) dan prepat (Sonneratia Sp.).

Sejarah Pengelolaan Laut Kepulauan Seribu

Sudah sejak lama wilayah laut dikenal sebagai wilayah yang tidak mempunyai status hukum kepemilikan (property right), sehingga sumberdaya perairan laut tersebut menjadi suatu obyek yang bersifat terbuka (openly accessed) bagi semua pihak. Khusus di wilayah Kepulauan Seribu, usaha pengelolaan wilayahnya sudah cukup lama dilakukan, baik melalui peraturan daerah maupun melalui peraturan pusat. Pengaturan daerah pemanfaatan laut di wilayah Kepulauan Seribu antara lain sebagai berikut :

(1) Perda Kotapraja Jakarta Raya Nomor 7 tahun 1962 tanggal 30 Maret 1962 tentang pengambilan batu barang, pasir, batu dan kerikil dari pulau-pulau dan beting-beting karang dalam wilayah lautan Kotapraja Jakarta Raya. (2) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

Ib.3/3/26/1969 tanggal 3 Desember 1969 tentang pengamanan penggunaan tanah di Kepulauan Seribu.

(7)

(3) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ca.19/1/44/1970 tanggal 6 Nopember 1970 tentang penutupan perairan di sekeliling taman-taman karang di gugusan Kepulauan Seribu untuk penangkapan ikan oleh nelayan–nelayan sebagai mata pencaharian (profesional).

(4) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Ea.6/1/36/1970 tanggal 31 Desember 1970 tentang larangan penangkapan ikan dengan mempergunakan alat bagan di lautan/perairan dalam wilayah Daerah Ibukota Jakarta.

(5) Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor Da.11/24/44/1972 tanggal 27 September 1972 tentang ketentuan dan persyaratan pemberian izin penunjukkan penggunaan tanah untuk mengusahakan/menempati pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Di sisi lain, dengan memperhatikan adanya indikasi potensi kawasan dan pemanfaatan sumberdaya alam laut di wilayah Kepulauan Seribu yang tinggi, Pemerintah Pusat juga melakukan pengaturan antara lain :

(1) Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982, yang menetapkan wilayah seluas 108.000 hektar Kepulauan Seribu sebagai cagar alam dengan nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu.

(2) Pernyataan Menteri Pertanian pada Konggres Taman Nasional Se-Dunia ke III tahun 1982 di Bali, Nomor 736/Mentan/X/1982 tanggal 10 Oktober 1982, yang menyatakan Cagar Alam Laut Pulau Seribu seluas 108.000 hektar sebagai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNKpS).

(3) Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986 tanggal 19 April 1986 tentang pembagian zona di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

(4) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts-II/1995 tanggal 21 Maret 1995 tentang Perubahan fungsi Cagar Alam Laut Kepulauan Seribu yang terletak di Kotamadya Daerah Tingkat II Jakarta Utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta seluas +/- 108.000 (seratus delapan ribu) hektar menjadi Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.

(5) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts-II/2000 tanggal 2 Agustus 2000 tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan di wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta seluas 108.475,45 (seratus delapan ribu empat ratus tujuh puluh lima koma empat puluh lima) hektar.

(6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186/Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002 tentang pembentukan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu sebagai unit pelaksana teknis pengelola Taman Nasional Kepulauan Seribu.

(7) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang penetapan kawasan pelestarian alam perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 (Seratus tujuh empat ratus delapan puluh sembilan) hektar di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

(8)

(8) Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Keputusan pemerintah tersebut membagi zonasi pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu menjadi sebagai berikut:

(1) Zona Inti Taman Nasional (4.449 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

a. Zona Inti I (1.389 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat pada posisi geografis 5°27'00" 5°29'00" Lintang Selatan dan 106°26'00"106°28'00" Bujur Timur yang merupakan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang.

b. Zona Inti II (2.490 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur dan perairan sekitar Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton dan Gosong Penjaliran, pada posisi 5°26'36"5°29'00" Lintang Selatan dan 106°32'00"106°36'00" Bujur Timur yang merupakan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata), ekosistem terumbu karang dan ekosistem hutan mangrove. c. Zona Inti III (570 hektar) meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin

Bira, Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar, pada posisi 5°36'00"5°37'00" Lintang Selatan dan 106°33'36"106°36'42" Bujur Timur yang merupakan perlindungan perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang.

Pengelolaan dalam zona inti ini dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pendidikan, penelitian dan penunjang budidaya.

b. Monitoring SDA hayati dan ekosistemnya.

c. Membangun sarana prasarana untuk monitoring, yang tidak merubah bentang alam.

(2) Zona Perlindungan Taman Nasional (26.284, 50 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti taman nasional. Zona perlindungan meliputi perairan sekitar Pulau Dua Barat, Dua Timur, Jagung, Gosong Sebaru Besar, Rengit, dan Karang Mayang, pada posisi geografis 5°24'00"–5°30'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°40'00" Bujur Timur dan daratan Pulau Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur seluas 39,5 hektar.

Pengelolaan dalam zona perlindungan dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pendidikan, penelitian, wisata terbatas dan penunjang budidaya

b. Membangun sarana prasarana untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas yang tidak merubah bentang alam. c. Pembinaan habitat, pembinaan populasi dan pemanfaatan jasa

lingkungan.

d. Pemanfaatan tradisional.

(3) Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional (59.634,50 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Zona Pemanfaatan Wisata meliputi perairan sekitar Pulau Nyamplung, Sebaru Besar, Lipan, Kapas, Sebaru Kecil, Bunder, Karang Baka, Hantu Timur, Hantu Barat, Gosong Laga, Yu Barat/Besar,

(9)

Yu Timur, Satu/Saktu, Kelor Timur, Kelor Barat, Jukung, Semut Kecil, Cina, Semut Besar, Sepa Timur/Kecil, Sepa Barat/Besar, Gosong Sepa, Melinjo, Melintang Besar, Melintang Kecil, Perak, Kayu Angin Melintang, Kayu Angin Genteng, Panjang, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat/Pelangi, Putri Kecil/Timur, Putri Barat/Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar/Matahari, Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar dan Kotok Kecil, pada posisi geografis 5°30'00" – 5°38'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°40'00" Bujur Timur serta 5°38'00"–5°45'00" Lintang Selatan dan 106°25'00"–106°33'00" Bujur Timur.

Pengelolaan dalam zona pemanfaatan wisata dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Pemanfaatan kawasan dan potensi dalam bentuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari.

b. Pengusahaan wisata alam/bahari oleh dunia usaha.

c. Penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan restocking.

d. Membangun sarpras pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari yang tidak merubah bentang alam.

e. Pembinaan habitat, pembinaan populasi dan pemanfaatan jasa lingkungan.

f. Pemanfaatan tradisional.

(4) Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Hektar) : adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk. Zona Pemukiman meliputi perairan sekitar Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang dan Pramuka pada posisi geografis 5°38'00"–5°45'00" Lintang Selatan dan 106°33'00"–106°40'00" Bujur Timur.

Pengelolaan dalam zona pemukiman dapat dilakukan kegiatan sebagai berikut: a. Pemanfaatan kawasan dan potensi dalam bentuk kegiatan penelitian,

pendidikan dan wisata alam/bahari.

b. Pengusahaan wisata alam/bahari oleh dunia usaha.

c. Penangkaran jenis untuk menunjang kegiatan penelitian, pendidikan, ilmu pengetahuan dan restocking.

d. Membangun sarpras pengelolaan, penelitian, pendidikan dan wisata alam/bahari yang tidak merubah bentang alam.

e. Pembinaan habitat dan pembinaan populasi serta pemanfaatan jasa lingkungan.

f. Pemanfaatan tradisional.

(10)

Peta zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 . Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu (Sumber : Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu)

(11)

Saat ini kondisi terumbu karang wilayah Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau–pulau yang berdekatan dengan daratan pulau Jawa. Penyebab terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat kegiatan manusia di antaranya adalah penangkapan ikan yang merusak dan berlebih, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang serta penebangan hutan mangrove (Terangi, 2009).

Mempertimbangkan laju kerusakan sumberdaya perikanan dan kelautan yang terus terjadi tersebut, pada tahun 2004 masyarakat secara partisipatif melalui program yang diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, sepakat untuk menetapkan program Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (APL– BM yang lokasinya berada dalam zona pemukiman kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pada areal inti perlindungan dilakukan upaya khusus konservasi dengan melakukan kegiatan tranplantasi karang dan restocking ikan. Areal inti juga dikelilingi pelampung sebagai penanda batas dengan areal penyangga dan pemanfaatan yang berada di luarnya.

Program APL–BM ini telah ditetapkan berdasarkan SK. Bupati No. 357 tahun 2004 tentang Penetapan Areal Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat di Kepulauan Seribu di Kelurahan Pulau Panggang. Konsep dasar dari APL–BM adalah membebaskan kawasan dari aktivitas ekstraktif yang dapat mempengaruhi kemampuan ekosistem perairan laut tersebut untuk memulihkan diri secara alamiah. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa pengelolaan kawasan APL– BM tersebut dilakukan secara kolaboratif bersama antara pemerintah, masyarakat dan stake holder lainnya.

Zonasi program APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berdasarkan SK. Bupati No. 357 tahun 2004 tersebut adalah :

(1) Areal inti : merupakan areal di mana pada lokasi tersebut tidak boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan apapun, kecuali aktivitas untuk kepentingan konservasi. Luas areal inti sebesar 11 Ha dan merupakan areal pemeliharaan fungsi ekologis perairan laut.

(2) Areal penyangga : merupakan areal yang ditetapkan untuk melindungi areal inti dengan luas 54 Ha. Areal ini dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain yang jenis dan waktu pemanfatannya disesuaikan dengan norma– norma yang ditetapkan masyarakat setempat.

(3) Areal pemanfaatan : merupakan areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan dengan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan dan menggunakan bahan yang dilarang. Luas areal ini adalah 110 Ha. Setelah ditetapkannya kawasan APL–BM di Kelurahan Pulau Panggang, Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu bersama masyarakat di empat kelurahan lainnya juga membentuk konsep pengelolaan yang sama. Terbentuknya lima program APL–BM tersebut berarti menjadi tugas Pemda Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu untuk melakukan pembinaan terhadap masyarakat dalam mengembangkan program tersebut. Keragaan program APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 10.

(12)

Tabel 10. Sebaran Organisasi Masyarakat Pengelola APL–BM

No Nama Kelompok Lokasi

(Kelurahan) Tahun Terbentuk Jumlah pengurus (Orang) Luasan Areal Inti (Ha) Dasar Hukum 1 APL Panggang Lestari P. Panggang 2004 11 11 SK. Bupati No. 357/2004

2 APL Anemon P. Kelapa 2006 23 7 -

3 APL Bahari

Indah P. Harapan 2005 19 12 -

4 APL Pari Indah P. Pari 2005 18 12 -

5 APL Lestari

Indah P. Tidung 2005 20 10 -

Sumber : data primer, diolah

Pada saat dilakukan penelitian, kualitas ekosistem terumbu karang di areal inti perlindungan menunjukkan kondisi yang beragam. Kualitas ekosistem terumbu karang terbaik terdapat di lokasi APL–BM Kelurahan Pulau Tidung, diindikasikan dengan persentase penutupan karang keras paling tinggi dan indeks kematian karang paling rendah. Kondisi kualitas ekosistem terumbu karang di Kelurahan Pulau Tidung tersebut tergolong dalam kategori baik (Tabel 11). Tabel 11. Sebaran Kualitas Ekosistem Terumbu Karang di Areal Inti APL–BM

Kriteria Kualitas Ekosistem

Lokasi APL–BM

Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari

Tutupan karang

keras (%) 40,67 24,33 39,50 61,56 42,58

Indeks kematian

karang (0–1) 0,44 0,63 0,64 0,19 0,34

Sumber : Laporan Monitoring–Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011 Selain menerapkan program APL–BM dengan areal perlindungan khususnya, Pemda melalui Suku Dinas Kelautan–Pertanian sejak tahun 2005 juga melakukan program rehabilitasi sumberdaya laut khususnya ekosistem terumbu karang di areal pemanfaatan melalui aktivitas penenggelaman terumbu buatan (fish shelter). Fish shelter adalah struktur benda padat buatan manusia yang ditenggelamkan di perairan dengan tujuan dijadikan tempat perlindungan dan berkumpulnya ikan di dalam atau di sekitar struktur tersebut.

Fish shelter ditenggelamkan di sejumlah lokasi yang terumbu karangnya mengalami kerusakan atau yang perairannya ditengarai mengalami kelangkaan ikan. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang dapat menanggulangi dan memperbaiki sumberdaya perikanan dan kelautan secara lestari di wilayah Kepulauan Seribu. Sejauh ini, indikator pemulihan produktivitas sumberdaya pada fish shelter di Kelurahan Pulau Tidung menunjukkan indikasi kualitas paling baik berdasarkan sebaran jenis ikan dan jumlah ikan yang teramati dibandingkan dengan empat fish shelter lainnya. Keragaan pemulihan produktivitas sumberdaya perikanan pada fish shelter di Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 12. Sebaran lokasi APL–BM di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Gambar 3.

(13)

Tabel 12. Sebaran Komunitas Ikan Terumbu Karang pada Fish Shelter

Kriteria Lokasi Fish Shelter

Panggang Harapan Kelapa Tidung Pari

Distribusi jenis ikan 13 famili, 16 spesies 10 famili, 33 spesies 5 famili, 12 spesies 12 famili, 35 spesies 14 famili, 26 spesies Jumlah total pengamatan 240 585 237 702 530

Sumber : Laporan Monitoring–Evaluasi Ekosistem Laut Kepulauan Seribu, 2011

Sejarah Pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

Wilayah Kepulauan Seribu secara administrasi pada awalnya berstatus sebagai Kecamatan Pulau Seribu yang merupakan bagian dari wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara. Untuk meningkatkan perkembangan di wilayah Kepulauan Seribu dalam segala aspek terutama kelestarian lingkungan, konservasi sumberdaya alam serta pemberdayaan ekonomi, sosial budaya dan kesejahteraan rakyat, maka kemudian Kecamatan Kepulauan Seribu ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Ketentuan ini diatur dalam Undang–Undang Nomor 34 tahun 1999 tanggal 31 Agustus 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2001 tanggal 3 Juli 2001 tentang Pembentukan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peningkatan status menjadi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu diikuti dengan pemekaran kecamatan dari 1 menjadi 2 kecamatan dan dari 4 kelurahan menjadi 6 kelurahan. Pulau Pramuka ditetapkan sebagai ibukota kabupaten. Berkaitan dengan aspek penataan ruang kemudian disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang mengacu pada RTRW Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1986/2000 tanggal 27 Juli 2000, secara administrasi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu memiliki luas wilayah 8,76 Km2 (875,55 Ha) daratan dan dan luas lautan 6.997,5

Km2. Wilayah ini terdiri atas dua kecamatan dan enam kelurahan di mana semua kelurahannya merupakan kelurahan pesisir pantai dengan jumlah Rukun Tetangga sebanyak 122 unit. Posisi geografisnya terletak di antara 05°10'00''05°57'00'' Lintang Selatan dan 106°19'30" 106°44'50'' Bujur Timur, dengan batas geografis :

 Sebelah Timur dengan Laut Jawa

 sebelah Barat dengan Laut Jawa/Selat Sunda  Sebelah Utara dengan Laut Jawa/Selat Sunda

 Sebelah Selatan dengan Kota Administrasi Jakarta Utara, Kota Administrasi Jakarta Barat dan Kabupaten Tangerang.

(14)

Gambar 3. Sebaran lokasi APL–BM di Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu

(15)

Tipe iklim di wilayah Kepulauan Seribu adalah tropika panas dengan suhu maksimum 32°C dan suhu minimum 21°C. Kelembapan udaranya tergolong sistem musim equator yang cenderung dipengaruhi oleh variasi tekanan udara. Pada bulan November hingga April berlangsung musim hujan dengan hari hujan berkisar antara 10–20 hari/bulan. Sementara musim kemarau terjadi pada bulan Mei hingga Oktober dengan 4–10 hari hujan/bulan. Curah hujan bulanan tercatat rata–rata 142,5 dengan curah hujan terendah pada bulan Juni (0 mm) dan tertinggi pada September (307 mm). Gambaran umum keadaan iklim di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut (Tabel 13).

Tabel 13 . Keadaan Iklim Tahunan

Uraian 2011

Rata-rata Suhu Udara (°C) 28,40

Rata-rata Kelembaban Udara (%) 78,25

Rata-rata Tekanan Udara (mbs) 1.009,7

Rata-rata Kecepatan Angin (knots) 4,5

Hujan (hari) 175

Sumber: Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011

Keadaan pasang surut di Kepulauan Seribu dapat digolongkan sebagai pola harian tunggal. Kedudukan air tertinggi adalah 0,6 meter dan terendah adalah 0,5 meter di bawah duduk tengah. Rata–rata ketinggian air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata–rata ketinggian air pada pasang mati adalah 0,2 m di mana ketinggian air tahunan terbesar mencapai 1,10 meter. Kecepatan arus di Kepulauan Seribu berkisar antara 0,6 cm/detik-77,3cm/detik. Kecepatan arus dipengaruhi kuat oleh angin dan sedikit pasang surut. Arus permukaan pada musim barat berkecepatan maksimum 0,5 m/detik dengan arah ke timur sampai tenggara. Pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 m/detik. Gelombang laut yang terdapat pada musim barat mempunyai ketinggian pada 0,5–1,175 meter dan musim timur 0,5–1,0 meter (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011).

Berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu adalah 21.071 orang yang terdiri atas 10.695 laki-laki dan 10.376 perempuan yang tergabung dalam 4871 Kepala Keluarga. Berdasarkan hasil sensus tersebut tampak penyebaran penduduk masih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dibandingkan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, yaitu memiliki jumlah penduduk sebesar 12.742 orang di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 8.329 orang di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Sex rasio atau perbandingan laki-laki dengan perempuan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 103,07 persen. Untuk sex rasio menurut kecamatan masing-masing 101,87 persen di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan 103,87 persen untuk Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu sebesar 2,02 persen per tahun.

Laju pertumbuhan penduduk yang terjadi di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan adalah sebesar 2,76 persen per tahun dan di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara sebesar 1,57 persen per tahun. Dari rata–rata satu orang wanita usia subur 15–49 tahun dapat melahirkan 1–2 orang anak selama masa reproduksinya dan

(16)

dalam 1000 kelahiran hidup terdapat 13–14 orang bayi di bawah usia satu tahun yang meninggal. Usia harapan hidup penduduk mencapai hingga 75 tahun.

Pembagian wilayah kecamatan, kelurahan dan luasan pulau pemukiman di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Pulau Berpenghuni

Nama Kecamatan Nama Kelurahan Nama Pulau Berpenghuni Luas Wilayah Pulau

Berpenghuni (Ha) 1. Kepulauan

Seribu Utara (jumlah pulau : 79)

a. Kel. Pulau Panggang (jumlah pulau : 13) b. Kel. Pulau Kelapa (jumlah pulau : 30) c. Kel. Pulau Harapan (jumlah pulau : 36)

1. Pulau Pramuka 2. Pulau Panggang 1. Pulau Kelapa 2. Pulau Kelapa Dua 1. Pulau Harapan 2. Pulau Sebira 9,00 16,00 6,70 8,82 1,9 13,09 2. Kepulauan Seribu Selatan (jumlah pulau : 31)

a. Kel. Pulau Tidung (jumlah pulau : 15) b. Kel. Pulau Pari (jumlah pulau : 6) c. Kel. Pulau Untung Jawa

(jumlah pulau : 10)

1. Pulau Tidung Besar 2. Pulau Payung Besar 1. Pulau Pari

2. Pulau Lancang Besar 1. Pulau Untung Jawa

50,13 20,86 41,32 15,13 40,10

Total : 2 Kecamatan 6 Kelurahan, 110 pulau 11 pulau berpenghuni 223,05 Ha luasan pulau

berpenghuni

Sumber : Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011

Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang sebagian besar merupakan lautan memiliki luas wilayah sebesar 8,76 kilo meter persegi yang dihuni 21.071 orang, maka rata–rata tingkat kepadatan penduduk adalah 2.422 orang/kilometer2. Rincian keragaan demografi dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Keragaan Demografis :

Uraian Satuan 2011

Jumlah Penduduk Jiwa 21.071

 Laki-laki Jiwa 10.711

 Perempuan Jiwa 10.300

 Kec. Kep. Seribu Utara Jiwa 12.750

 Kec. Kep. Seribu Selatan Jiwa 8.321

Kepadatan Penduduk Jiwa/km² 2.422

Sex Ratio (L/P) % 103,99

Penduduk menurut Umur Ketergantungan

 0 – 14 tahun Jiwa 6.736

 15 – 64 tahun Jiwa 13.762

 65+ tahun Jiwa 573

Dependency Ratio Ratio 53,11

(17)

Kemajuan pembangunan manusia secara umum ditunjukkan oleh angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang ditinjau dari 3 aspek yaitu : (1) aspek pendidikan diwakili oleh indeks rata–rata lama sekolah dan angka melek huruf, (2) aspek kesehatan diwakili oleh angka harapan hidup dan (3) aspek ekonomi diwakili oleh kemampuan/daya beli. IPM Kepulauan Seribu selama 3 tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang selalu meningkat sehingga dapat dikatakan pembangunan manusia di Kepulauan Seribu mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Peningkatan ini terutama dipicu oleh semakin membaiknya mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan secara umum.

Secara makro, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan (GK). GK adalah sejumlah rupiah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal makanan dan bukan makanan agar tetap hidup. Ukuran GK adalah rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Penduduk yang tingkat pengeluarannya di bawah GK termasuk dalam penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin menurun dari 15,12 % pada tahun 2010 menjadi 13,58 % pada tahun 2011. Keragaan karakteristik pembentuk IPM dan kemiskinan di Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Karakteristik Pembentuk IPM dan Kemiskinan

Karakteristik 2009 2010 2011

Angka Harapan Hidup (tahun) 70,32 70,44 70,55

Angka Melek Huruf (%) 97,25 97,47 98,36

Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 7,8 7,92 7,96

Pengeluaran per Kapita Disesuaikan (Rp.000) 588,04 590,25 590,55

IPM(indeks) 70,14 70,5 70,82

Penduduk miskin (%) 13,6 15,12 13,58

Garis Kemiskinan (Rp / kapita / bulan) 314.358 292.173 314.358 Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka, 2011

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Salah satu sasaran pembangunan adalah terciptanya lapangan kerja baru dari tahun ke tahun sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) pada tahun 2011 sebesar 71,43 % dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi keterlibatan penduduk dalam pasar kerja, baik yang mencari pekerjaan maupun yang sedang bekerja semakin baik. Tingkat pengangguran pada tahun 2011 sebesar 9,89 persen menurun dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan perbandingan menurut tiga sektor utama (pertanian, manufaktur dan jasa), pilihan bekerja pada tahun 2011 didominasi oleh sektor pertanian/perikanan 89,93 %. Sedangkan dari status pekerjaan dapat dilihat penduduk yang bekerja di sektor informal (52,40 %) selalu lebih besar dibandingkan sektor formal (47,60 %) pada tahun 2011 (Tabel 17).

(18)

Tabel 17. Statistik Ketenagakerjaan

Uraian 2009 2010 2011

Angkatan Kerja (orang) 8358 10165 10178

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 61,28 64,47 71,43

Pekerja formal (%) 37,20 37,90 47,60

Pekerja informal (%) 62,80 62,10 52,40

Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 11,57 11,38 9,89

UMP (Rp. 000) 972,60 1.069,70 1.118,01

Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka

Kemampuan baca tulis merupakan pengetahuan minimum yang dibutuhkan oleh penduduk untuk mencapai hidup sejahtera. Angka melek huruf dari tahun ke tahun semakin meningkat dan tahun 2011 telah mencapai 98,36 %, artinya sebanyak 98,36 % penduduk berusia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin atau huruf lainnya.

Angka rata-rata lama sekolah dari tahun ke tahun semakin panjang dan pada tahun 2010 mencapai 7,96 tahun, artinya rata-rata lamanya penduduk berusia 15 tahun keatas untuk menempuh pendidikan formal (yang pernah dijalani) hampir 8 tahun atau setara kelas 2 SLTP. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi sekolah, yaitu perbandingan antara penduduk yang sekolah pada usia tertentu dengan banyaknya penduduk pada usia yang sama. Tahun 2011 angka partisipasi sekolah paling tinggi usia SD mencapai 99,51 %, kemudian usia SLTP mencapai 95,22 % dan usia SLTA sebesar 75,34%. Rasio murid-guru adalah salah satu ukuran yang dapat menggambarkan kualitas pendidikan. Semakin kecil rasio murid-guru, maka beban seorang guru semakin kecil. Rasio murid-guru di masing-masing tingkat pendidikan hampir merata yaitu berkisar antara 9 sampai 14, artinya 1 guru memiliki beban tanggung jawab terhadap 9 sampai 14 murid (Tabel 18).

Tabel 18. Jumlah Sekolah dan Rasio Murid–Guru

Tingkat

Pendidikan Sekolah Murid Guru

Rasio Murid-Guru TK 14 653 71 9 SD 14 2787 208 13 SLTP 7 1096 91 12 SLTA 1 417 30 14 SMK 1 262 24 11

Sumber : Kepulauan Seribu Dalam Angka, 2011

Sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar 6.997,5 Km2 maka Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Terdapat sebanyak 1.367 armada kapal perikanan yang masih didominasi spesifikasi tekonologi dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, seperti alat tangkap pancing, bubu dan jaring dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang di tahun 2011.

Pada tahun 2011 tangkapan ikan laut sebanyak 2838,8 ton dan dari budidaya ikan laut sebesar 964 ton. Jenis ikan tangkapan yang mendominasi adalah tongkol, ekor kuning dan bawal. Sementara ikan lain yang juga tertangkap adalah layang, kembung, selar dan lain–lain. Produksi ikan laut dapat ditingkatkan

(19)

terutama dari hasil budidaya. Hal ini dapat dicapai karena meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan produk perikanan dan kelautan. Hasil lain dari penangkapan ikan laut yaitu ikan hias laut sebanyak 631.219 ekor. Produksi budidaya rumput laut semakin menurun, hingga di tahun 2011 sebesar 370,32 ton kering. Hal ini karena kurang baik pengelolaannya dan kualitas air laut yang semakin rendah karena sering tercemar buangan limbah.

Salah satu kendala pengembangan potensi sektor perikanan laut disebabkan minimnya pelabuhan pendaratan ikan (PPI) dan hanya ada 1 tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, dua tempat pengumpul (palele) di Pulau Panggang dan Pulau Kelapa, sehingga nelayan lebih memilih mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Muara Angke (Tabel 19).

Tabel 19. Statistik Kelautan dan Pertanian Kab. Adm. Kepulauan Seribu

Uraian 2010 2011

Nelayan Budidaya Ikan Laut

dan Rumput Laut (orang) 521 250

Nelayan Penangkap Ikan Laut (orang) 4.880 4.880

Jumlah Fish Shelter (buah) 362 527

Jumlah Kapal Perikanan (kapal) 1.367 1.367

Tutupan Terumbu Karang (persen) 33,60 40,00

Transplantasi Karang (buah) 5.476 8.119

Sumber : Kabupaten Kepulauan Seribu dalam Angka

Karakteristik Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya Perikanan–Kelautan Karakteristik Individu

Karakteristik individu responden secara umum adalah berusia dewasa muda (rataan usia 37,8 tahun), memiliki tingkat pendidikan formal tingkat menengah (rataan durasi pendidikan formal 7,4 tahun) dan tingkat pendidikan non formal rendah (rataan durasi pendidikan non formal setara 7,6 jam pelatihan). Mayoritas responden juga tergolong berpenghasilan rendah (rataan pendapatan Rp. 1.893.470), memiliki tanggungan keluarga rendah (rataan tanggungan keluarga 2,9 jiwa), memiliki pengalaman rendah (rataan pengalaman 18,5 tahun), bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing (31,1 %), berstatus sebagai pekerja dalam struktur relasi kerja (65 %) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam pengelolaan sumberdaya perikanan kelautan (47,4%). Sebaran karakteristik individu responden selengkapnya disajikan pada Tabel 20.

Jenis kelamin responden secara keseluruhan adalah pria. Hal ini berkaitan dengan pembagian peran gender yang masih berlaku kuat pada masyarakat di Kepulauan Seribu bahwa yang pantas melakukan pekerjaan nelayan yang mencari ikan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan aktivitas di laut adalah para laki–laki saja. Jenis pekerjaan baru yang tumbuh dalam sepuluh tahun terakhir yaitu budidaya karang komersial dan pemanduan kegiatan ekowisata bahari juga secara keseluruhan digeluti oleh para laki–laki. Hal ini disebabkan karena kedua pekerjaan tersebut memerlukan kemampuan menyelam dan bekerja di bawah air yang dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan fisik laki–laki.

(20)

Tabel 20. Sebaran Karakteristik Individu Responden X.1. Karakteristik Individu Kelurahan Total % Panggang (%) Harapan (%) Kelapa (%) Tidung (%) Pari (%) X. 1.1. Umur (rentang kelas : umur 17–70 tahun)

Dewasa muda (18–40) 65,5 52,4 86,4 57,9 69,8 66,4 Dewasa madya (41–65) 32,7 42,9 13,6 36,8 30,2 31,2 Dewasa akhir (>65) 1,8 4,8 0,0 5,3 0,0 2,4 Rataan umur (tahun) 37,3 39,1 31,9 42,3 38,5 37,8

X.1.2. Pendidikan formal (rentang kelas : durasi 1–17 tahun)

Dasar (1–6 tahun) 47,3 52,4 31,8 47,4 9,6 38,4 Menengah (7–12 tahun) 52,7 47,6 68,2 31,6 90,5 58,1 Tinggi (> 12 tahun) 0,0 0,0 0,0 21,1 0,0 4,2 Rataan pendidikan formal (tahun) 7,4 7,2 7,8 9,4 5,1 7,4

X.1.3. Pendidikan non formal (rentang kelas : durasi 0–90 jam)

Rendah (0–29 jam) 74,5 100 100 89,5 100 92,0 Sedang (30–60 jam) 14,5 0,0 0,0 10,5 0,0 5,0 Tinggi (61–90 jam) 10,9 0,0 0,0 0,0 0,0 3,0 Rataan pendidikan

non formal (jam) 25,8 0,6 0,0 5,3 0,0 7,6

X.1.4. Tingkat pendapatan

(rentang kelas : pendapatan Rp. 500.000–Rp. 5.000.000 per bulan)

Rendah (500.000– 1.999.999) 45,5 89,6 88,6 21,1 93,7 69,1 Sedang (2.000.000- 3.499.999 ) 52,7 10,4 11,4 73,7 6,3 29,5 Tinggi (3.500.000-5.000.000) 1,8 0,0 0,0 5,3 0,0 1,4 Rataan pendapatan (rupiah) 1.911.900 1.802.600 1.876.140 2.252.700 1.775.400 1.893.470

X.1.5. Jumlah tanggungan (batas kelas : tanggungan 1–8 jiwa)

Rendah (1–3) 76,4 52,4 56,8 92,1 47,4 65,0

Sedang (4–5) 23,6 42,9 43,2 7,9 52,6 34,0

Tinggi (6–8) 0,0 4,8 0,0 0,0 0,0 1,0

Rataan tanggungan

(21)

Tabel 20. (Lanjutan) X.1. Karakteristik Individu Kelurahan Total % Panggang (%) Harapan (%) Kelapa (%) Tidung (%) Pari (%) X.1.6. Pengalaman mengelola usaha perikanan kelautan

(batas kelas : durasi pengalaman 1–60 tahun)

Rendah (1–19 tahun) 60,0 42,9 84,1 52,6 33,3 54,5 Sedang (20–39 tahun) 25,5 47,6 15,9 31,6 57,1 35,5 tinggi (40–60 tahun) 14,5 9,5 0,0 15,8 9,5 9,9 Rataan pengalaman (tahun) 19,1 19,6 12,1 21,0 19.6 18,5 X.1.7. Jenis pekerjaan Nelayan jaring payang 5,2 58,7 58,1 0,0 10,6 26,5 Nelayan

jaring ikan hias 10,0 0,0 0,0 7,2 0,0 3,4

Nelayan muroami 20,9 0,0 0,0 0,0 0,0 6,2

Nelayan bubu 29,5 25,3 21,5 0,0 43,4 23,9

Nelayan pancing 18,9 16,0 20,4 74,0 46,0 31,1

Pemandu wisata 11,9 0,0 0,0 18,8 0,0 6,2

Budidaya karang 3,5 0,0 0,0 0,00 0,0 0,7

X.1.8. Status kepemilikan alat produksi

Pekerja 60,0 66,6 72,7 52,6 73,1 65,0

Pemilik 40,0 33,4 27,3 47,4 26,9 35,0

X.1.9. Pengetahuan dalam mengelola usaha perikanan kelautan (rentang kelas : skor pengetahuan 11–22)

Rendah (skor 11–14 ) 14,5 9,5 6,8 5,3 11,1 9,4 Sedang (skor 15–18) 45,5 52,4 54,6 10,5 52,4 47,4 tinggi (skor 19–22) 40 38,1 38,6 84,2 36,5 43,2 Rataan pengetahuan (skor) 18,1 18,0 18,1 20,2 17,4 18,1

Sumber : data primer, diolah

Usia Responden

Secara mayoritas responden berada pada kelompok usia dewasa muda (18–40 tahun) dengan rentang usia berkisar antara 17 tahun sampai dengan 70 tahun dan rataan usia 37,8 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok yang tergolong dalam usia produktif dengan ciri kemampuan fisik yang prima.

Selain berhubungan dengan kemampuan fisik, menurut Klausmeier dan Goodwin (1975), usia merupakan salah satu karakteristik penting dalam perkembangan kapasitas individu karena juga berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas belajar. Hal ini berarti bahwa individu yang berada pada usia produktif secara potensial akan lebih mudah menjalani proses belajar dalam menerima perubahan dan ide–ide baru. Berdasarkan pandangan ini, dilihat dari faktor usia maka para individu yang bekerja di bidang perikanan dan kelautan di wilayah

(22)

Kepulauan Seribu merupakan aset sumberdaya manusia (SDM) yang potensial untuk diberdayakan. Secara statistik tidak terdapat perbedaan nyata pada variabel usia di antara lima kelurahan yang diamati.

Tingkat Pendidikan Formal Responden

Pendidikan merupakan salah satu faktor dasar yang berpengaruh bagi perkembangan kualitas pribadi dan kemajuan masyarakat. Kekuatan suatu bangsa atau masyarakat tidak ditentukan secara mutlak oleh akumulasi sumberdaya alam yang berlimpah, melainkan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, upaya untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dapat ditempuh melalui proses peningkatan pendidikan masyarakat. Melalui pendidikan, individu dan masyarakat akan mampu untuk memikirkan masa depannya dan akan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Mayoritas responden (58,1 %) pernah mengikuti pendidikan formal pada tingkat menengah dengan rentang pendidikan 1 tahun sampai 17 tahun dan rataan durasi pendidikan formal selama 7,4 tahun atau setara dengan kelas II SLTP. Tingkat pendidikan ini belum memenuhi standar ideal program wajib belajar sembilan tahun sebagai mana yang telah ditetapkan secara nasional oleh pemerintah. Tingkat pendidikan yang belum memadai dapat menimbulkan hambatan atau implikasi lain yang bersifat mengurangi respons dalam proses belajar untuk menerima dan melakukan perubahan serta dalam proses mengolah informasi. Masih rendahnya tingkat pendidikan formal responden ini dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kemampuan mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan.

Rendahnya tingkat pendidikan responden mengindikasikan perlunya peningkatan kualitas layanan pendidikan formal sesuai dengan program wajib belajar sembilan tahun yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, perlu diadakan penambahan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik pada tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Saat ini pada setiap desa telah terdapat satu buah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, sedangkan untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas harus menempuh jarak yang cukup jauh karena berada di ibukota Kecamatan. Terdapat masing – masing 14 SD Negeri, 7 SLTP Negeri, 1 SLTA Negeri dan 1 SMK Negeri jurusan administrasi dan nautika.

Terdapat perbedaan nyata antara tingkat pendidikan formal di Kelurahan Pulau Pari dengan keempat kelurahan lainnya, di mana rataan tingkat pendidikan formal di kelurahan tersebut paling rendah yaitu 5,1 tahun. Hal ini berkaitan dengan permasalahan konflik status kepemilikan lahan yang terjadi di pulau tersebut yang telah berjalan sejak tahun 1980–an , sehingga pemerintah tidak banyak membangun fasilitas layanan publik di wilayah Pulau Pari.

Pendidikan Non Formal Responden

Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dalam organisasi atau kelembagaan masyarakat agar mampu memerankan tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan menduduki tempat yang penting dalam proses pengembangan sumberdaya manusia.

(23)

Hampir keseluruhan responden (92 %) tergolong pada kategori pendidikan non formal rendah atau hanya pernah mendapat 0–30 jam pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan–kelautan, bahkan dari jumlah tersebut sebanyak 79,7 % responden belum pernah sama sekali mengikuti pendidikan non formal atau pelatihan. Rendahnya tingkat pendidikan non formal ini bukan berarti responden tidak ingin mengikuti pelatihan yang diadakan, namun lebih disebabkan karena kurangnya kesempatan atau sangat terbatasnya jangkauan informasi tentang pelatihan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan responden dalam mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan yang selama ini digelutinya.

Salah satu upaya mengembangkan kualitas sumberdaya manusia dan kapasitas organisasi agar mampu melaksanakan tugas tugas sosialnya dengan baik adalah melalui pelatihan (Mangkuprawira, 2003). Pendapat tersebut tidak berhenti pada organisasi formal semata, tetapi juga relevan untuk diperluas maknanya pada lingkup masyarakat nelayan. Pendidikan non formal dalam bentuk pelatihan dengan demikian menjadi instrumen penting dalam upaya meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia nelayan dari aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan yang pada akhirnya diharapkan akan mengembangkan kemampuan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan – kelautan secara bijak.

Pelatihan yang selama ini pernah diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun organisasi non pemerintah adalah pelatihan selam (snorkeling dan scuba diving), pelatihan transplantasi karang untuk perdagangan dan konservasi, pelatihan desain dan konstruksi alat tangkap ramah lingkungan, pelatihan pemanduan ekowisata bahari, pelatihan sistematika administrasi dan penguatan dinamika kelompok, pelatihan perencaan pembangunan partisipatif dengan metode PRA dan pelatihan metode monitoring–evaluasi sumberdaya.

Terdapat perbedaan nyata antara durasi pendidikan non formal yang diterima responden dari kelurahan Pulau Panggang dengan empat kelurahan yang lain. Rataan tingkat pendidikan non formal di Kelurahan Pulau Panggang adalah 25,8 jam pelajaran yang jauh di atas rataan durasi secara keseluruhan sebesar 7,6 jam pelajaran. Bahkan pada Kelurahan Pulau Kelapa, keseluruhan responden belum pernah mendapat pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pelatihan yang terpusat di Kelurahan Pulau Panggang yang berstatus ibukota kabupaten sehingga akses untuk mengikuti pelatihan tersebut tidak menjangkau penduduk di wilayah kelurahan yang lain. Beberapa responden di Kelurahan Pulau Panggang juga menyebutkan bahwa informasi tentang penyelenggaraan pelatihan tidak tersebar dengan merata dan transparan.

Tingkat Pendapatan Responden

Rentang pendapatan responden pada penelitian ini berkisar antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 5.000.000 per bulan dengan rataan pendapatan sebesar Rp. 1.893.470 per bulan, di mana keseluruhan pendapatan tersebut berasal dari usaha pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan. Sebanyak 69,1 % responden tergolong dalam tingkat pendapatan yang rendah dalam persepsi masyarakat. Jika rataan pendapatan dibagi dengan rataan jiwa yang berada dalam satu rumah tangga yaitu 4 orang, maka besaran pendapatan per kapita per bulan di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 478.367,5. Angka ini masih berada di atas garis kemiskinan sebesar Rp. 314.358 yang ditetapkan oleh pemerintah daerah,

(24)

tetapi masih berada di bawah angka pengeluaran per kapita per bulan disesuaikan sebesar Rp. 591.810.

Terdapat perbedaan rata-rata pendapatan yang diterima responden di kelima lokasi di mana rata-rata pendapatan responden di Kelurahan Pulau Tidung merupakan yang tertinggi dan berbeda secara signifikan dengan rata-rata pendapatan responden di empat wilayah kelurahan lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena responden di Pulau Tidung memperoleh penghasilan yang lebih tinggi karena kondisi sumberdaya yang relatif lebih baik kualitasnya. Mayoritas responden di Pulau Tidung bekerja sebagai nelayan pancing yang bersifat ramah lingkungan sehingga tekanan lingkungan yang diberikan tidak sebesar alat tangkap lainnya. Tren perkembangan kunjungan wisata yang menggembirakan juga bisa dimanfaatkan oleh responden di Pulau Tidung dengan bekerja sebagai pemandu wisata pancing maupun pemandu wisata olahraga air.

Tanggungan Keluarga

Sebagian besar responden (65%) memiliki tanggungan jiwa yang tergolong rendah (1–3 orang), di mana rataan jumlah tanggungan jiwa dalam satu keluarga adalah 2.9 jiwa. Jika dilihat dari aspek ketersediaan tenaga kerja maka menurut pandangan responden, anggota keluarga adalah sumber tenaga kerja yang berguna karena biasanya tidak diperhitungkan sebagai biaya produksi. Jika dipandang dari sudut manajemen finansial keluarga, kondisi tersebut juga merupakan beban karena kebutuhan hidup yang dirasakan semakin meningkat dan kadang tidak mampu terkejar oleh jumlah pendapatan diperoleh.

Kondisi ini menuntut kepala keluarga untuk bekerja lebih keras dan jika memungkinkan akan melakukan strategi diversifikasi pekerjaan. Terdapat perbedaan signifikan pada jumlah tanggungan responden di Kelurahan Pulau Pari dibandingkan dengan keempat pulau yang lain, di mana rataan jumlah tanggungan tersebut 3,6 paling tinggi dari ke empat kelurahan lainnya dan nilainya lebih besar dari nilai rataan.

Pengalaman Mengelola Usaha Perikanan–Kelautan

Pengalaman responden mengelola usaha perikanan – kelautan berkisar antara 1–60 tahun, di mana mayoritas responden (54,5 %) tergolong memiliki pengalaman dalam selang rendah (1–19 tahun). Rataan durasi pengalaman responden adalah selama 18,5 tahun di mana rentang waktu tersebut merupakan proses yang cukup lama dalam membentuk perilaku dan kemampuan petani dalam mengelola sumberdaya perikanan–kelautan.

Sarwono (2002) menyatakan bahwa pengalaman memiliki pengaruh terhadap perilaku individu, artinya apa yang dialami oleh individu akan menjadi bekal dalam membentuk kondisi psikologis seseorang untuk merespons berbagai stimulus yang diterima. Semakin berpengalaman individu dalam mengelola usaha perikanan–kelautan maka perilakunya semakin cermat dalam memahami permasalahan yang dihadapi. Kondisi tersebut dapat menjadi faktor penunjang dalam upaya peningkatan kemampuan individu dalam mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Terdapat perbedaan signifikan pada durasi pengalaman pada Kelurahan Pulau Kelapa dibandingkan dengan keempat kelurahan lainnya di mana nilai rataan pengalaman tersebut (12,1 tahun) merupakan nilai terendah dan lebih kecil dari nilai rataan pengalaman secara keseluruhan.

(25)

Jenis Pekerjaan dan Alat Tangkap

Keseluruhan responden bekerja di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan. Mayoritas responden bekerja dalam bidang yang secara tradisional berkembang secara turun temurun sebagai nelayan dengan alat tangkap pancing (31,1 %), jaring payang (26,9 %), bubu (23,9 %), muroami (6,2 %), jaring ikan hias (3,4%) atau bekerja pada yang jenis pekerjaan yang baru berkembang dalam sepuluh tahun terakhir yaitu sebagai pemandu ekowisata bahari (6,2 %) dan budidaya karang komersial (0,7 %).

Dalam penilaian responden secara umum, jenis aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan–kelautan yang paling ramah lingkungan di Kepulauan Seribu adalah penangkapan ikan dengan pancing, yang diikuti secara berturut– turut oleh penangkapan ikan dengan bubu, penangkapan ikan dengan jaring payang, kegiatan pemanduan ekowisata bahari, kegiatan budidaya karang komersial, penangkapan dengan jaring ikan hias dan yang terakhir adalah kegiatan penangkapan ikan dengan jaring muroami.

Jenis alat tangkap pancing yang paling banyak digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu adalah pancing tangan (hand line) sederhana karena mudah dioperasikan dibandingkan dengan jenis peralatan tangkap lainnya pada kedalaman perairan sekitar 100 meter. Jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain bambangan (kakap merah, snapper), ekor kuning (Caesio Sp.), ikan putih (Caranx Sp.) dan lain sebagainya.

Jenis pancing lain yang juga banyak digunakan adalah pancing gurita yang ditujukan untuk menangkap gurita. Desain pancing gurita ini sangat spesifik, karena pada badan alat pancingnya terdapat sekian banyak mata kail yang melengkung dan mencuat ke atas. Melalui tali pancing yang panjang, maka alat pancing yang bermata banyak tersebut diturunkan pada lokasi yang diduga banyak dihuni gurita, yang umumnya pada karang bergua-gua batu. Pada bagian sedikit di sebelah atas mata pancing tersebut ditautkan beberapa ikan umpan pada tali pancing.

Pancing tangan yang memiliki sekaligus banyak mata pancing juga digunakan oleh nelayan Kepulauan Seribu, terutama digunakan pada musim ikan tongkol. Pada umumnya nelayan pancing di Kepulauan Seribu beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2–3 orang dengan tujuan menghemat penggunaan bahan bakar, meskipun ada pula nelayan pancing yang beroperasi sendirian. Kelompok nelayan pancing ini biasanya dipimpin oleh pemilik kapal yang ikut melaut.

Bubu adalah alat tangkap berukuran cukup kecil yang banyak digunakan oleh nelayan tradisional di Kepulauan Seribu untuk menangkap udang, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Pengoperasian bubu cukup mudah dan bersifat pasif yaitu dengan menunggu ikan masuk dan terperangkap di dalam bubu. Sifat ini membuat bubu ramah terhadap lingkungan karena tidak merusak terumbu karang sebagai habitat ikan. Selain itu, di dalam bubu terdapat cukup ruang untuk bergerak ikan dan posisi bubu yang sepenuhnya terendam di dalam air menjamin ikan tangkapan berada dalam kondisi yang segar.

Konstruksi bubu yang umum digunakan oleh nelayan di Kepulauan Seribu berbentuk mata panah dengan dasar sehingga memudahkan pemasangannya di dasar perairan atau di sela–sela terumbu karang yang berlawanan dengan arus. Bahan yang digunakan untuk membuat bubu umumnya berasal dari kayu, bambu,

(26)

jaring dan kawat. Tindakan dalam mengoperasikan bubu yang masih berpotensi merusak terumbu karang adalah nelayan terkadang mengambil karang sebagai pemberat agar tidak terbawa arus. Nelayan bubu umumnya beroperasi dalam kelompok yang terdiri dari 2–3 orang dengan tujuan menghemat bahan bakar. Kelompok nelayan bubu ini dipimpin oleh nelayan pemilik kapal dan alat tangkap yang ikut langsung melaut, namun ada juga nelayan bubu yang beroperasi secara sendirian.

Jaring payang adalah alat penangkap ikan yang cukup lama dikenal nelayan di Kepulauan Seribu. Jaring payang adalah pukat kantong yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish), terutama jenis–jenis pelagis kecil seperti tongkol, ekor kuning, layang, selar, kembung, lemuru, tembang dan lain-lain. Prinsip umum pengoperasiannya adalah dengan melingkari gerombolan ikan dan kemudian pukat kantong tersebut ditarik ke arah kapal. Kedua sayapnya berguna untuk mengejutkan dan menggiring ikan untuk masuk ke dalam kantong. Penangkapan dengan payang dilakukan dengan kapal motor. Penggunaan tenaga kerja berkisar antara 7 orang untuk payang berukuran kecil dan 14 orang untuk payang besar. Daerah penangkapan jaring payang ini pada perairan yang tidak terlalu jauh dari pantai atau daerah subur di sekitar karang.

Jaring ikan hias adalah alat tangkap dengan target ikan hias yang banyak hidup di sekitar terumbu karang. Jaring ini dioperasikan secara berkelompok antara 2–3 orang nelayan karena pengoperasiannya memang memerlukan tenaga penyelam untuk menggiring ikan hias. Dimensi jaring adalah lebar antara 10–25 meter dan tinggi 1–1,5 meter dengan bukaan mata jaring 2–3 inchi. Jaring ikan hias ini biasanya dioperasikan pada daerah terumbu karang dengan kedalaman sampai dengan 5 meter sehingga para penyelam tidak menggunakan kompresor sebagai alat bantu pernafasan. Kelompok nelayan ikan hias ini biasanya dipimpin oleh seorang pemilik kapal yang ikut melaut.

Muroami atau di Kepulauan Seribu dikenal sebagai jaring kongsi atau jaring kincring merupakan salah satu alat penangkap ikan yang efektif dalam menangkap ikan karang. Desain muroami terdiri atas sayap dan kantong atau dapat juga berupa jaring yang berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan kantong.

Pengoperasian unit penangkapan muroami saat ini ditengarai sebagai salah satu penyebab kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Dari segi konstruksi alat tangkap, ukuran mata jaring muroami yang terlalu kecil menyebabkan ikan karang yang berukuran kecil pun dapat tertangkap sehingga mengancam keberlangsungan hidup populasi ikan karang karena belum sempat bereproduksi. Dari metode pengoperasiannya, pemasangan alat tangkap dan penggiringan ikan yang dilakukan nelayan penyelam dengan menginjak–injak terumbu karang. Penggunaan kompresor pada penyelam juga berbahaya. Tak sedikit nelayan penyelam diserang penyakit dekompresi yang menyebabkan lumpuh permanen atau kehilangan nyawa. Bila terjadi kecelakaan kerja, pengobatan atas nelayan hanya didasarkan kebijakan pemilik. Pada umumnya nelayan muroami bekerja dalam satu kelompok yang terdiri dari 15–20 orang yang dipimpin oleh seorang kepala nelayan sebagai wakil dari pemilik kapal yang tidak ikut melaut.

Gambar

Gambar 2 .  Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu   (Sumber : Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu)
Tabel 10. Sebaran Organisasi Masyarakat Pengelola APL–BM
Gambar 3.  Sebaran lokasi APL–BM di Wilayah Kabupaten Administrasi          Kepulauan Seribu
Tabel 14. Pembagian Wilayah Administrasi dan Luasan Pulau Berpenghuni
+6

Referensi

Dokumen terkait

dan strategi umum (grand strategy) yang akan mencapai pilihan yang paling dikehendaki. { Mengembangkan sasaran tahunan

Bidang Teknis Fungsional mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, penyusunan rencana dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan Teknis Fungsional serta melakukan

Oleh karena itu, feromon seks berpeluang untuk dikembangkan pada areal yang lebih luas, terutama pada sentra produksi bawang merah dan endemis serangan hama ulat bawang.. Kata

Isi liputan berita mencakup informasi terkait pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi, apa tujuan kolaborasi, apa dampaknya, tindak lanjut yang akan dilakukan dan

ProducƟ on (Ton) Rerata Produksi/ Yield (Kg/Ha) Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja (TK) TBM/ Immature TM/ Mature TTM/TR/ Damaged Jumlah/ Total 1. JAKARTA JAWA BARAT BANTEN JAWA

Atas nama Direksi PT Tempo Scan Pacific Tbk dan entitas anak (“Tempo Scan”) kami ingin memberikan laporan yang berkaitan dengan kinerja keuangan dan kegiatan usaha inti Tempo

hasil persidangan untuk penyelenggaraan rapat koordinasi Menteri, rapat kelompok kerja, dan forum koordinasi serta rapat pimpinan Kementerian Koordinator Bidang

Hasil penelitian dilapangan terkait dengan Promosi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di Kabupaten Merauke saat ini menuai banyak kritikan karena dianggap tidak mampu menjalankan