• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan untuk dilakukan kegiatan konseling dan penyuluhan atau promosi penggunaan antibiotik yang benar kepada masyarakat untuk meningkatkan tingkat pengetahuan dan keyakinan masyarakat sehingga dapat mengurangi kesalahpahaman dalam menggunakan atibiotik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

2.1.1 Definisi Antibiotik

Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin.Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Sifat toksisitas selektif yang absolut belum atau mungkin tidak akan diperoleh (Setiabudy,dkk., 2009).

2.1.2 Aktivitas dan Spektrum

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik; dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Setiabudy,dkk., 2009).

Selain dari sifat aktivitasnya, antibiotik dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu antibiotik narrow spectrum, seperti isoniazid karena hanya aktif terhadap mikrobakteri, kedua extended spectrum, misalnya ampisilin karena bertindak terhadap bakteri gram positif dan beberapa bakteri gram negatif dan yang ketiga broad spectrum, seperti tetrasiklin dan kloramfenikol mempengaruhi berbagai

spesies mikroba. Di samping itu, antibiotik broad spectrum cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman seperti Clostridium difficile (Harvey, 2012).

2.1.3 Golongan Antibiotik

Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu : a. Penisilin

Penisilin pertama kali diisolasi dari jamur Penicillium pada

tahun 1949. Obat ini efektik melawan beragam bakteri termasuk sebagian besar organisme gram positif. Penggunaan penisilin yang berlebihan menyebabkan timbulnya resistensi bakteri (pembentukan penisilinase), membuat obat ini tidak berguna untuk banyak strain bakteri. Meskipun demikian, penisilin tetap merupakan obat terpilih yang tidak mahal dan ditoleransi baik untuk beberapa

infeksi (Olson, 1995). Menurut Natinal Health Service, (2012)

penisilin merupakan antara antibiotik yang pertama kali ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun, 1928 dan paling sering digunakan untuk mengobati infeksi tertentu seperti infeksi kulit, infeksi dada dan infeksi saluran kemih. Antara antibiotik, penisilin merupakan antibiotik yang penting karena kurang toksik,

perkembangan bakteri terhadap resistensinya sedikit

(Mutschler,1999). Menurut Katzung, et al., (2012) penisilin dapat diklasifikasikan kepada beberapa kelompok yaitu:

i. penisilin (misalnya penisilin G) mempunyai aktivitas terbesar

terhadap organisma gram positif, kokus gram negatif, bakteri anaerob yang tidak memproduksi beta-laktamase,dan mempunyai sedikit aktivitas terhadap gram-negatif batang. Kelompok ini rentan terhadap hidrolisis oleh beta-laktamase.

ii.penisilin antistafilokokus (misalnya, nafcilin) ini resisten

terhadap beta laktamase dari stafilokokus dan aktif terhadap stafilokokus dan streptokokus, tetapi tidak aktif terhadap enterokokus, bakteri anaerob,gram negatif batang dan kokus.

iii. Penisilin dengan perluasan spektrum (ampisilin, penisilin

antipseudomonas) mempunyai spektrum antibakteri penisilin dan memiliki aktivitas yang tinggi terhadap organisma gram negatif, tetapi kelompok ini sering rentan terhadap beta- laktamase.

b. sefalosporin

Sefalosporin serupa dengan penisilin, tetapi lebih stabil terhadap banyak bakteria beta-laktamase sehingga mempunyai spektrum aktivitas yang lebih luas.Sefalosporin tidak aktif terhadap enterokokus dan Listeria monocytogenes.Sefalosporin diklasifikasikan ke dalam empat generasi yaitu: i. generasi pertama sangat aktif terhadap organisme gram positif, termasuk

pneumokokus, stafilokokus, dan streptokokus (Katzung, et al., 2012). Kelompok ini efektif melawan infeksi yang ditularkan melalui kulit pada

pasien-pasien opearsi. Misalnya sefazolin, sefadrosil, sefaleksin, dan sefalotin (Olson, 1995).

ii. generasi kedua memiliki paparan gram negatif yang lebih luas termasuk sefaklor, sefamandol, sefoksitin, sefotetan. Kelompok ini merupakan golongan heterogeneous yang mempunyai perbedaan-perbedaan individual dalam aktivitas, farmakokinetika, dan toksisitas (Katzung, et al., 2012).

iii. generasi ketiga adalah sangat aktif terhadap gram negatif dan obat-obat ini mampu melintasi blood-brain barrier. Generasi ini aktif terhadap citrobacter, Serratia marcescens, dan providencia. Misalnya, sefoperazon, sefotaksim, seftazidim, seftizoksim, dan seftriakson (Katzung, et al., 2012).

iv. generasi keempat adalah cefepime. Obat ini lebih kebal terhadap hidrolisis oleh beta- lactamase kromosomal dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap P aeruginosa, Enterobacteriaceae, S aureus, dan S pneumonia. Obat ini sangat aktif terhadap haemophilus dan Neisseria (Katzung, et al., 2012). c. makrolida

Makrolida biasanya diberikan secara oral, dan memiliki spektrum antimikroba yang sama dengan benzilpenisilin (yaitu spektrum sempit, terutama aktif melawan organisme gram positif) serta dapat digunakan sebagai obat alternatif pada pasien yang sensitif penisilin, terutama pada infeksi yang disebabkan oleh streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, dan klosridium. Akan tetapi makrolida tidak efektif pada meningitis karena tidak menembus sistem saraf pusat dengan adekuat (Neal, 2006). Yang

clarithromycin, azithromycin dan troleandomycin. Yang paling sering

diresepkan agen antimikroba makrolida adalah eritromisin (Mosby, 1995).

d. Flurokuinolon

Golongan fluorokuinolon termasuk di dalamnya asam nalidixat, siprofloxasin, norfloxasin, ofloxasin, levofloxasin, dan lain–lain. Golongan fluorokuinolon aktif terhadap bakteri gram negatif. Golongan fluorokuinolon efektif mengobati infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh pseudomonas. Golongan ini juga aktif mengobati diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E.coli, dan Campilobacter (Katzung, et al., 2007).

e. Tetrasiklin

Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini. Tetrasiklinmemperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman gram positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Tetrasiklin merupakan obat yang sangat

efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumonia, Chlamydia trachomatis, dan

berbagai riketsia (Setiabudy, dkk., 2009).Tetrasiklin menembus

plasenta dan juga diekskresi melalui ASI dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan tulang dan gigi pada anak akibat ikatan tetrasiklin dengan kalsium. Tetrasiklin diekskresi melalui urin dan cairan empedu (Katzung, et al., 2007).

f. Aminoglikosida

Aminoglikosida merupakan salah satu antibiotik yang tertua. Sejak tahun 1944, antibiotik streptomisin merupakan produk dari

bakterium Streptomyces griseus. Selain itu, terdapat juga antibiotik

seperti neomisin, gentamisin, tobramisin, dan amikasin. Seperti penisilin, golongan ini aktif terhadap kedua bakteri gram negatif dan gram positif. Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa (Hauser, 2007).

g. Golongan Sulfonamida dan Trimetoprim

Sulfonamida dan trimetoprim merupakan obat yang mekanisme kerjanya menghambat sintesis asam folat bakteri yang akhirnya berujung kepada tidak terbentuknya basa purin dan DNA pada bakteri. Kombinasi dari trimetoprim dan sulfametoxazole merupakan pengobatan

yang sangat efektif terhadap pneumonia akibat P.jiroveci, sigellosis,

infeksi salmonela sistemik, infeksi saluran kemih, prostatitis, dan beberapa infeksi mikobakterium non tuberkulosis (Katzung, et al., 2007).

h. Golongan Kloramfenikol

Kloramfenikol merupakan inhibitor yang poten terhadap sintesis protein mikroba. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan memiliki

spektrum luas dan aktif terhadap masing – masing bakteri gram positif dan negatif baik yang aerob maupun anaerob (Katzung, et al., 2007). 2.1.4 Mekanisme Kerja

Antimikroba diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan mekanismekerjanya, sebagai berikut:

a. antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk

golongan β-laktam misalnya, penisilin, sefalosporin, dan

carbapenem danbahan lainnya seperti cycloserine, vankomisin, dan bacitracin.

b. antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,

meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler, termasuk deterjen seperti polimiksin, anti jamur poliena misalnya, nistatin dan amfoterisin B yang mengikat sterol dinding sel, dan daptomycin lipopeptide.

c. antibiotik yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S

untuk menghambat sintesis protein secara reversibel, yang pada umumnya merupakan bakteriostatik misalnya, kloramfenikol, tetrasiklin,eritromisin, klindamisin, streptogramin, dan linezolid.

d. antibiotik berikatan pada subunit ribosom 30S dan mengganggu

sintesis protein, yang pada umumnya adalah bakterisida Misalnya, aminoglikosida.

e. antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti rifamycin misalnya, rifampisin dan rifabutin yang menghambat enzim RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat enzim topoisomerase.

f. Antimetabolit, seperti trimetoprim dan sulfonamid, yang menahan

enzim - enzim penting dari metabolisme folat (Goodman Gillman, 2005).

2.1.5 Penggunaan Antibiotik

Berdasarkan penggunaannya, antibiotik dibagi menjadi dua yaitu antibiotik terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan pada pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif.

Terapi empiris merupakan terapi inisial yang diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis kumannya, sedangkan terapi definitif merupakan terapi yang diberikan pada kasus infeksi yang telah diketahui kuman penyebabnya berdasarkan hasil laboratorium mikrobiologi. Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada jaringan tubuh dengan dugaan kuat akan terkena infeksi, seperti pada operasi pembedahan. Antibiotik profilaksis biasanya diberikan secara intravena.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention, (2010) antibiotik hanya dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan bakteri dan tidak bermanfaat untuk mengobati penyakit akibat virus seperti flu atau batuk. Antibiotik harus diambil dengan preskripsi dokter.Dosis dan lama penggunaan yang ditetapkan harus dipatuhi walaupun telah merasa sehat. Selain itu, antibiotik tidak boleh disimpan untuk kegunaan penyakit lain pada masa akan datang dan tidak boleh dikongsi bersama orang lain walaupun gejala penyakit adalah sama. Strategi terapi dengan antibiotik ditentukan oleh karakteristik fenomena infeksi,

lokasi infeksi, pengenalan penyebab infeksi, kondisi fisiopatologik penderita, serta pengetahuan yang menyeluruh tentang antibiotik yang tersedia dalam arsenal terapi. Berikut ini berbagai faktor yang perlu diperhatikan untuk menunjang tercapainya sasaran penggunaan antibiotik (Wattimena, 1991):

a. Aktivitas antimikroba

b. Efektivitas dan efisiensi proses farmakokinetik c. Toksisitas antibiotik

d. Reaksi karena modifikasi flora alamiah tuan rumah e. Penggunaan kombinasi antibiotik

f. Pola penanganan infeksi

Hal-hal yang perlu diperhatikan bagi Pengguna Obat Antibakteri :

a. jangan sembarangan membeli antibiotik tanpa resep dokter

b. ikuti petunjuk takarannya, jangan mengurangi atau menambahnya

c. habiskan obat sesuai jumlah dalam resep dokter (umumnyaminimal

3 sampai 4 hari)

d. laporkan kepada dokter yang memeriksa apabila sedang

hamil,menyusui, atau alergi terhadap antibiotik tertentu (biasanyagolongan Penisilin)

e. apabila setelah digunakan antibiotiknya timbul gejala alergi,

atauinfeksi tidak kurang, konsultasikan lagi ke dokter (Widodo, 2004).

2.1.6 Resistensi Antibiotik

Resistensi antimikrobial merupakan resistensi mikroorganisme terhadap obat antimikroba yang sebelumnya sensitif. Organisme yang

resisten (termasuk bakteri, virus, dan beberapa parasit) mampu menahan serangan obat antimikroba, seperti antibiotik, antivirus, dan lainnya, sehingga standar pengobatan menjadi tidak efektif dan infeksi tetap persisten dan mungkin menyebar (Goodman Gillman, 2005).

Resistensi antibiotik merupakan konsekuensi dari penggunaan

antibiotik yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu sendiri, bisa jadi karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat.Ketidaktepatan serta ketidakrasionalan penggunaanantibiotik merupakan penyebab paling utama menyebarnya mikroorganismeresisten. Contohnya, pada pasien yang tidak mengkonsumsi antibiotik yang telahdiresepkan oleh dokternya, atau ketika kualitas antibiotik yang diberikan buruk (WHO., 2012).

Konsekuensi yang ditimbulkan akibat adanya resistensi antibiotik yang paling utama adalah peningkatan jumlah bakteri yang mengalami resistensi terhadap pengobatan lini pertama. Konsekuensi ini akan semakin memberat. Dari konsekuensi tersebut, maka akibatnya adalah penyakit pasien akan lebih memanjang, sehingga risiko komplikasi dan kematian juga akan meningkat. Ketidakmampuan antibiotik dalam mengobati infeksi ini akan terjadi dalam periode waktu yang cukup panjang dimana, selama itu pula, orang yang sedang mengalami infeksi tersebut dapat menularkan infeksinya ke orang lain, dengan bagitu, bakteri akan semakin menyebar luas. Karena kegagalan pengobatan lini pertama ini, dokter akan terpaksa memberikan

peresepan terhadap antibiotik yang lebih poten dengan harga yang lebih tinggi serta efek samping yang lebih banyak. Banyak factor yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan karena resistensi antimicrobial ini. Dapat disimpulkan, resistensi dapat mengakibatkan banyak hal, termasuk peningkatan biaya terkait dengan lamanya kesembuhan penyakit, biaya dan waktu yang terbuang untuk menunggu hasil uji laboratorium tambahan, serta masalah dalam pengobatan dan hospitalisasi (Beuke, C.C., 2011).

2.1.7 Efek Samping Antibiotik

Menurut Setiabudy,dkk., (2009) efek samping antibiotik dapat terjadi sebagai berikut :

a. Reaksi alergi

Dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat.Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin.

b. Reaksi idiosinkrasi

Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antibiotik tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Ini di sebabkan mereka kekurangan enzim G6PD.

c. Reaksi toksik

Antibiotik umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif.Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik.Yang mungkin dapat dianggap relatif tidak toksik sampai kini ialah golongan penisilin.Contohnya golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap N.VIII, golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam mengganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Di samping faktor jenis obat, berbagai faktor dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik ; antara lain fungsi organ/ sistem tertentu sehubungan dengan biotransformasi dan ekskresi obat.

d. Perubahan biologik dan metabolik pada hospes pada tubuh hospes

Baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat pathogen.Misalnya pada penggunaan antibiotik, terutama yang berspektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi pathogen.

2.2 Pengetahuan 2.2.1 Pengertian

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

(1979) pengetahuan adalah hal hal yang mengenai sesuatu, segala apa yang diketahui, kepandaian.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

c. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

d. Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengethuan seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku-buku.

e. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

f. Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.2.2 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003).

Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo, 2003) mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan.

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non

behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau

dibentuk dari 3 faktor, yaitu :

a. Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai–nilai.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor–faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam

2.3 Keyakinan

Dalam bahasa sehari-hari istilah keyakinan atau belief sering disamaartikan dengan istilah sikap (attitude), disposisi (disposition), pendapat (opinion), filsafat

(philosopy), atau nilai (value).Ada juga peneliti yang menghubungkan belief dengan

motivasi (motivation) dan konsepsi (conception).Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu.Keyakinan yang dimiliki seseorang dipengaruhi oleh diri dan lingkungannya.Hal ini berimplikasi bahwa keyakinan seseorang dapat berubah sebab setiap saat setiap orang mengalami pembentukan, pengubahan, atau penguataan atas keyakinan yang dimilikinya (Safera,

2015).Dimana menurut Wikipedia Indonesia, Keyakinan adalah suatu sikap yang

ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar.Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu(Notoatmodjo, 2003).

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antibiotikpertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun 1910, sampai saat ini masih menjadi obat pilihan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi (Utami, 2012).Antibiotik ditemukan sekitar delapan dekade lalu dan sejak itu telah terjadi revolusi dalam manajemen, pengobatan dan hasil penyakit menular.Oleh karena itu, obat antibiotik adalah salah satu yang paling sering diresepkan, dijual dan digunakan di seluruh dunia (Abimbola, 2013).Penggunaan antibiotik sering kali tidak tepat, akibatnya terjadi peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotik (Baltazar, et al., 2009).

Resistensi antibiotik telah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011), Indonesia menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan beban tinggi kekebalan obat terhadap kuman

Multidrug Resistance (MDR) di dunia berdasarkan data World Health

Organization (WHO) tahun 2009.

Penelitian yang dilakukan oleh Lim dan Teh (2012) di Putrajaya, Malaysia menyebutkan bahwa 83% responden tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak bekerja untuk melawan infeksi virus dan 82% responden tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati batuk dan flu. Beberapa pernyataan dari responden diantaranya adalah tidak masalah menghentikan pemakaian antibiotik ketika gejala telah membaik dan mengkonsumsi sedikit antibiotik dari yang diresepkan dokter akan lebih sehat daripada mengkonsumsi seluruh antibiotik yang diresepkan (Pratama, 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Widayati (2012) di Yogyakarta menyatakan sekitar 71% tidak memiliki pengetahuan yang cukup tepat mengenai penggunaan antibiotik, lebih dari setengah percaya antibiotik dapat mencegah penyakit menjadi lebih buruk (74%), dan kurang dari setengah percaya bahwa antibiotik tidak memiliki efek samping (24%) (Toraya, et al., 2015). Penelitian lain yang dilakukan di Lithuania menyebutkan lebih dari 61,1% responden memiliki pengetahuan rendah tentang antibiotik. Hampir setengah responden mengganggap antibiotik efektif terhadap infeksi virus (26%) atau infeksi bakteri dan virus (21,7%). Sebanyak 47,7% menganggap flu biasa sebagai indikasi yang tepat untuk penggunaan antibiotik (Pavyde, et al., 2015).

Kesalahpahaman masyarakat dalam penggunaan antibiotik berpotensi dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak tepat, dimana orang – orang percaya antibiotik sebagai “obat yang luar biasa” atau “obat kuat” yang mampu mencegah dan menyembuhkan setiap gejala maupun penyakit. Pengetahuan dan keyakinan merupakan faktor yang berhubungan dapat mempengaruhi perilaku penggunaan antibiotik tiap individu. Pengetahuan dengan sendirinya tidak cukup untuk mengubah perilaku, tetapi berperan penting dalam membentuk keyakinan dan sikap. Konsekuensi dalam menggunakan antibotik dengan pengetahuan yang kurang berpotensi mengarah kepada kesalahpahaman mengenai penggunaan tersebut. Mengingat bahwa penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada masyarakat terus menjadi masalah pada negara - negara maju maka diberlakukan pemberian informasi pengetahuan dan keyakinan tentang antibiotik. Akan tetapi, pemberian informasi serupa masih cukup langka, terutama di Indonesia (Widayati, 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui Pengetahuan, Keyakinan dan Penggunaan Antibiotik pada Masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1Kerangka Pikir Penelitian 1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang menjadiperumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. bagaimana tingkat pengetahuan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

b. bagaimana tingkat keyakinan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

c. bagaimana penggunaan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

d. apakah karakteristik masyarakat (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan) mempengaruhi pengetahuan antibotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

e. apakah karakteristik masyarakat(jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan) mempengaruhi keyakinan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

Karakteristik responden: - Jenis kelamin - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan responden tentang antibiotik.

- Keyakinan responden tentang antibiotik.

f. apakah pengetahuan masyarakat mempengaruhi keyakinan masyarakat tentang antibiotik di Kelurahan Padang Bulan Selayang II?

1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah :

a. tingkat pengetahuan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II tergolong baik.

b. tingkat keyakinan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II tergolong baik.

c. penggunaan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II tergolong tepat.

d. karakteristikmasyarakat (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan) mempengaruhi pengetahuan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

e. karakteristik masyarakat (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan) mempengaruhi keyakinanantibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

f. pengetahuan masyarakat mempengaruhi keyakinan antibiotik pada masyarakatdi Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian in adalah untuk :

a. memperoleh gambaran pengetahuan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II

b. memperoleh gambaran keyakinan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

c. memperoleh gambaran penggunan antibiotik pada masyarakat di Kelurahan Padang Bulan Selayang II.

d. mengetahui pengaruhkarateristik masyarakat (jenis kelamin, usia, pendidikan

Dokumen terkait