• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis ada beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu :

- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap etnis lain mengenai perbedaan sefalik indeks antara laki-laki dan perempuan, serta antara etnis satu dan lainnya dimana hal ini akan berguna bagi kedokteran forensik.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antropometri

Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti manusia dan metron yang berarti ukuran. Jadi, antropometri adalah pengukuran pada beberapa bagian tubuh seseorang, baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati (Suriyanto dan Koeshardjono, 1999). Antropometri merupakan suatu ilmu sistematis pengukuran tubuh manusia (Mane, Kale, Bhai, Hallikerimath, 2010). Sedangkan untuk bagian tubuh yang tidak dapat diukur (morfologi tubuh) dimasukkan ke dalam antroposkopi, misalnya bentuk, karakteristik dan distribusi, warna kulit, warna mata, rambut, bentuk hidung, serta bentuk bibir dan jenisnya (Suriyanto dan Koeshardjono, 1999).

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat terlihat dengan jelas dari tengkorak dan kerangka tulangnya, bahkan perbedaan ini masih dapat dilihat walaupun orang tersebut sudah meninggal. Maka dari itu seorang antropolog atau dokter forensik sering menggunakan tulang sebagai media identifikasi untuk menentukan jenis kelamin seseorang (Artaria, 2008). Namun, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada orang dewasa atau yang telah melewati masa pubertas (Chada,1995).

Penentuan jenis kelamin pada anak-anak tergantung pada perkembangannya. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, yang paling besar pengaruhnya adalah faktor hormon seksual. Hormon seksual akan mempengaruhi morfologi tubuh seseorang. Sehingga untuk membedakan jenis kelamin pada anak-anak ditentukan berdasarkan kelompok umurnya (Artaria, 2008).

Variasi antropometri dipengaruhi oleh perbedaan genetik dan modifikasi lingkungan. Dua hal tersebut dapat mempengaruhi struktur anatomi, organ, dan jaringan (Suriyanto dan Koeshardjono, 1999).

Jika antropometri dipakai untuk mengetahui ukuran tentang besar-kecilnya (size), maka untuk bentuk (shape) dapat diketahui dari proporsi antara ukuran-ukuran

yang dikenal sebagai indeks (Suriyanto dan Koeshardjono, 1999). Pada tulang tengkorak salah satunya adalah indeks sefalik, yaitu membandingkan lebar kepala dengan panjang kepala .

2.2. Tulang

Tulang merupakan jaringan hidup yang bersifat keras, terdiri dari sel-sel, serabut-serabut dan matriks yang bisa berubah bentuk apabila mendapat tekanan. Berdasarkan bentuknya, tulang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tulang kompakta dan tulang spongiosa. Tulang kompakta sesuai dengan namanya compact yang berarti padat. Sedangkan tulang spongiosa merupakan tulang yang terdiri dari anyaman-anyaman trabekula (Snell, 2006).

2.2.1. Klasifikasi Tulang

Menurut Snell (2006) tulang dikelompokkan berdasarkan bentuk umumnya dibagi menjadi :

1) Tulang Panjang

Biasanya terdapat pada ektremitas, contohnya ossa femur, ossa humerus, ossa ulna, ossa metacarpal, dan phalanges. Dikatakan tulang panjang karena panjangnya lebih besar dari lebarnya. Tulang panjang terdiri dari corpus, diafisis, dan epifisis. 2) Tulang Pendek

Tulang pendek dapat ditemukan pada tangan dan kaki, misalnya tulang scaphoid dan calcaneus. Biasanya berbentuk segi empat dan terdiri dari tulang spongiosa yang dilapisi oleh tulang kompakta.

3) Tulang Pipih

Tulang pipih biasanya terdapat pada tempurung kepala, seperti ossa frontale dan ossa parietale. Bagian dalam dan luar tulang ini terdiri dari selapis tulang kompakta yang dipisahkan oleh selapis tulang spongiosa.

Tulang iregular merupakan kelompok tulang yang tidak dimasukkan ke dalam golongan di atas, seperti tulang tengkorak, ossa vertebrae, dan ossa coxae. Tulang iregular terdiri dari tulang kompakta pada bagian luar dan tulang spongiosa pada bagian dalamnya.

5) Tulang Sesamoid

Tulang sesamoid merupakan tulang kecil yang terdapat pada permukaan tendon. Contohnya adalah tulang patella.

2.2.2. Perkembangan Tulang Tengkorak

1) Tulang Oksipital

Pusat osifikasi terlihat di pars squamosa oksipital bawah dan atas tulang pada minggu keenam dan ketujuh, di bagian basilar pada minggu kesepuluh dan pada bagian lateral sekitar minggu kedelapan. Pada saat lahir, tulang oksipital terdiri dari tiga bagian : squamosa, lateral dan basilar. Bagian squamosa dan lateral menyatu pada tahun pertama sampai keempat dan penyatuan bagian lateral dengan basilar terjadi pada tahun ketiga (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

2) Tulang Sphenoid

Tulang ini berkembang dari tujuh pasang inti yang muncul sejak akhir bulan kedua sampai akhir bulan ketiga. Pada saat lahir tulang sphenoid terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian badan yang berada di tengah, bagian sayap yang lebih kecil, bagian sayap yang lebih besar, yang masing-masing disatukan oleh pterygoid. Tiga bagian ini berkembang bersama-sama sejak usia satu tahun. Pada saat lahir sinus sphenoidal berukuran sangat kecil, kemudian mulai berkembang pada awal tahun keempat, dan pada tahun kesembilan sampai kesepuluh berkembang menjadi badan sphenoid. Penyatuan bagian basilar sphenoid dan tulang oksipital terjadi sekitar usia dua belas tahun (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

3) Tulang Temporal

Tulang temporal sewaktu lahir terdiri dari tiga bagian: squamosa, yang terbentuk pada akhir bulan kedua; timpani, yang mengalami osifikasi pada pertengahan bulan ketiga; pars petrosa, yang terbentuk pada bulan kelima. Ujung atas prosesus stiloideus mengeras pada akhir masa janin, ujung bawahnya mengeras segera setelah lahir, kemudian keduanya menyatu pada usia pertengahan. Prosesus mastoideus berkembang dari pars squamosa dan pars petrosa, namun belum berkembang dengan baik sampai usia dewasa. (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954). Prosesus mastoideus akan tampak sebagai tonjolan tulang pada usia sekitar dua tahun (Snell, 2006).

4) Tulang Frontal

Osifikasi tulang frontal terlihat pada setiap sisi saat akhir bulan kedua. Sinus frontale mulai terbentuk pada akhir tahun pertama dan terus berkembang hingga masa pubertas. Keduanya akan menyatu setelah tahun ketiga (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

5) Tulang Parietal

Kedua bagian parietal mengalami osifikasi dan berkembang masing-masing pada akhir bulan kedua (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

6) Tulang Ethmoid

Osifikasi untuk bagian papyraceous dimulai pada akhir bulan kelima, crista galli dan lamina perpendikular pada akhir tahun pertama. Proses osifikasi masih berlangsung sampai usia 6 tahun (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

7) Fontanela

Fontanela terdiri dari dua bagian, yaitu bagian anterior yang terletak diantara belahan ossa frontale dan ossa parietale dan bagian posterior yang terletak diantara pars squamosa ossis occipitalis dan pinggir posterior kedua

os parietale. Fontanela anterior akan menutup pada tahun kedua, dan fontanela posterior menutup pada usia kurang dari satu tahun (Snell, 2006).

2.3. Identifikasi

Identifikasi adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan jati diri atau identitas seseorang yang hidup maupun mati berdasarkan ciri-ciri yang khas pada orang tersebut (Cadha, 1995). Proses identifikasi merupakan suatu kebutuhan dalam penyidikan, terutama pada tindak pidana, untuk mengenali pelaku dan korban tindak kriminal. Seorang dokter dapat dimintai bantuan untuk mengetahui usia korban, penyebab luka atau bekas luka, dan kemungkinan penyebab kematian korban. Identifikasi juga berguna pada kasus-kasus perdata seperti menentukan ahli waris, masalah asuransi, ataupun untuk penentuan keturunan (orang tua biologis) (Kerr, 1954).

Dalam kasus kriminal, identitas korban diperlukan untuk mengetahui motivasi pelaku menghilangkan nyawa korban. Jika identitas korban tidak jelas maka akan sulit untuk mengetahui pelakunya (Idries, 2009).

Ada beberapa hal yang penting untuk diketahui dari korban yang diduga hasil tindak pidana, yaitu identitas korban, perkiraan waktu kematian, penyebab kematian, dan dugaan cara kematian (Idries, 2009). Untuk mengetahui identitas korban pada kasus tindak kriminal, dua metode utama yang dilakukan yaitu pengukuran antropometri dan pemeriksaan sidik jari (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

Antropometri pertama sekali dikenalkan oleh seorang dokter Perancis, Alfonsus Bertillon (1853-1914), dengan melakukan pengukuran pada tubuh, baik utuh ataupun terpisah-pisah, seperti pengukuran panjang dan lebar kepala, panjang dan lebar telinga, panjang batang tubuh, kaki, lengan bawah , rentang jari tengah, dan juga warna iris mata (Kerr, 1954).

Pendeteksian melalui sidik jari yang diperkenalkan oleh Nehemiah Grew (1614-1712) juga penting dilakukan. Berdasarkan hitungan matematis, sidik jari

merupakan sarana identifikasi yang memiliki ketepatan cukup tinggi, karena kemungkinan dua orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1. Namun, hal ini memiliki kendala karena diperlukan data sidik jari semua penduduk untuk dijadikan pembanding (Singh, 2008).

2.3.1. Klasifikasi Identifikasi

Menurut Chada (1995) identifikasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Identifikasi untuk orang hidup

Identifikasi penting dilakukan pada orang hidup untuk hal-hal seperti berikut :

a. Semua kasus mediko-legal

b. Penjahat atau prajurit militer yang melarikan diri c. Terdakwa kasus pembunuhan

d. Terdakwa pelaku pemerkosaan

e. Identitas bayi baru lahir yang tertukar (untuk menentukan orang tua kandungnya)

f. Anak yang hilang

g. Orang dewasa yang karena sesuatu hal kehilangan uangnya h. Tuntutan hak milik

i. Untuk kepentingan asuransi j. Tuntutan hak pensiun

2. Identifikasi untuk orang meninggal

Identifikasi pada jenazah dilakukan untuk beberapa kepentingan berikut ini: a. Kasus peledakan

b. Kasus kebakaran

c. Kecelakaan yang memakan banyak korban, seperti pada kecelakaan kereta api dan pesawat

e. Kasus kematian yang dicurigai melanggar hukum.

2.3.2. Data pada Proses Identifikasi

Menurut Nandy (2000) dan Chada (1995), data yang penting untuk diketahui dalam proses identifikasi orang yang hidup atau yang sudah mati meliputi :

1) Ras, agama, dan kebangsaan 2) Jenis kelamin

3) Usia

4) Warna kulit dan penampilan 5) Warna rambut dan jenis rambut

6) Sidik jari tangan dan kaki (dactylography) 7) Antropometri

8) Mata

9) Deformitas, yang didapat maupun bawaan (kongenital)

10)Tanda identifikasi, seperti bekas luka, tato, bekas-bekas yang timbul sehubungan dengan pekerjaan

11)Tulisan tangan 12)Gigi-geligi

13)Cara berjalan, sikap dan kebiasaan

14)Teknik superimposisi, rekonstruksi wajah dan penampilan 15)Gaya bicara dan suara

16)DNA

17)Barang-barang pribadi 18)Foto

2.3.3. Identifikasi Jenazah yang Tidak Dikenal

Masalah yang cukup sulit dalam proses identifikasi adalah saat tubuh korban tidak dapat dikenali. Kasus seperti ini biasanya terjadi pada jenazah

yang telah membusuk, korban kebakaran, dan korban mutilasi yang bisa disebabkan oleh beberapa kejadian seperti, pengeboman, kecelakaan kereta api, ataupun dimakan oleh hewan buas (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

Dari kasus-kasus tersebut kemungkinan identifikasi hanya bisa dilakukan dari bagian tubuh yang tersisa, misalnya tulang. Dengan melakukan identifiksi tulang akan didapatkan informasi-informasi penting mengenai jenis kelamin, ras, perkiraan tinggi badan, dan usia (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

2.4. Korban Mati Akibat Bencana Massal

Bencana massal merupakan suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam ataupun ulah manusia, dapat terjadi secara tiba-tiba ataupun perlahan menyebabkan kerusakan lingkungan, kehilangan harta benda, bahkan hilangnya nyawa manusia, yang melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk mengatasinya (Singh, 2008). Bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi yang menyebabkan banyak orang mengalami luka ataupun kematian (Interpol, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2007 bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak atau secara perlahan tetapi terus menerus yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan memerlukan penanganan luar biasa dan tindakan darurat untuk menyelamatkan manusia dan lingkungannya (Henky dan Safitry, 2012).

Bencana digolongkan kedalam dua bentuk. Pertama bencana yang terjadi secara alami (natural disaster), contohnya seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan yang sejenisnya. Kedua bencana yang dibuat oleh manusia (man made disaster), seperti pengeboman, kecelakaan darat, laut, udara, kebakaran hutan, dan sejenisnya yang diakibatkan oleh ulah manusia (Singh, 2008).

Di Indonesia, penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana

Massal (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Identifikasi korban mati penting dilakukan karena ini merupakan suatu upaya memenuhi hak asasi manusia (HAM) dan pemenuhan aspek legal sipil juga keluarga korban, seperti pada korban kasus ledakan bom atau korban akibat terorisme lainnya (Depkes, 2010)

Untuk melakukan identifikasi pada kasus bencana massal diperlukan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang ahli yang disebut tim DVI. Tim DVI terdiri dari anggota kepolisian dan dokter/dokter gigi forensik (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur identifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmiah yang mengacu pada prosedur DVI Interpol (BNPB, 2011). Proses identifikasi ini penting dilakukan bukan hanya untuk mengetahui penyebab bencana, tetapi juga untuk menenangkan keluarga karena dapat diketahuinya identitas korban secara pasti (Prawestiningtiyas dan Algozi, 2009).

2.4.1. Tahapan Identifikasi

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011) proses DVI dibagi menjadi lima fase, yaitu fase TKP, fase post mortem, fase ante mortem, fase rekonsiliasi, dan fase debriefing.

Fase pertama yaitu olah TKP. Hal-hal yang perlu dilakukan tim DVI, yaitu melakukan olah TKP sebelum korban dipindahkan dari lokasi, memasang label pada tubuh korban, tidak melepas seluruh perlengkapan pribadi yang terpasang pada korban, mengumpulkan dan mencatat barang-barang yang tidak melekat, mengisi formulir Interpol DVI meliputi : perkiraan umur, tanggal dan lokasi korban ditemukan, kemudian formulir dimasukkan kedalam kantung jenazah (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase post mortem adalah fase pemeriksaan jenazah. Pada fase ini tim DVI bertugas menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari TKP, mengelompokkannya berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah, dan barang-barang. Selanjutnya, membuat foto jenazah, mengambil sidik jari

dan memeriksa golongan darah, melakukan pemeriksaan sesuai formulir Interpol DVI yang tersedia, memeriksa properti yang melekat pada korban, melakukan pemeriksaan gigi-geligi, mengambil sampel DNA, menyimpan jenazah yang sudah diperiksa, melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan, dan mengirimkan data-data yang diperoleh ke unit pembanding data (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Pada fase ante mortem, tim DVI bertugas untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari kelurga korban atau orang yang melapor kehilangan anggota keluarga, mengumpulkan foto semasa hidup dan data-data/ciri-ciri korban. Selanjutnya, mengambil sampel DNA pembanding, memasukkan data-data kedalam formulir Interpol DVI lalu mengirim data-data ke Unit Pembanding Data (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase keempat adalah fase rekonsiliasi, yaitu fase penggabungan data fase TKP, fase post mortem, dan fase ante mortem. Jika terdapat banyak kecocokan data, maka korban telah berhasil diidentifikasi. Selanjutnya, membuat surat keterangan kematian untuk korban yang telah berhasil dikenali dan surat-surat lainnya yang diperlukan (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase terakhir, fase debriefing yaitu mengumpulkan seluruh anggota tim dan instansi terkait untuk melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi, agar proses identifikasi selanjutnya lebih baik lagi (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Kelima fase tersebut harus dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana. Namun, terdapat banyak kendala yang sering dijumpai dalam pelaksanaannya seperti, jumlah jenazah yang terlalu banyak, jumlah dokter forensik yang kurang, tempat penyimpanan jenazah yang minim, dan kurang koordinasi antara instansi atau individu yang terlibat (Henky dan Safitri, 2012).

Berdasarkan Interpol (2009), metode identifikasi yang dipakai sekarang, yaitu:

1. Metode identifikasi primer a. Sidik jari

Ada tiga alasan kenapa sidik jari digunakan sebagai metode identifikasi: - Sidik jari pada setiap orang berbeda

- Sidik jari tidak berubah dari kecil hingga dewasa - Sidik jari dapat diklasifikasikan

b. Gigi-geligi

Pemerikasaan gigi memberikan hasil yang cukup signifikan dengan membandingkan data post mortem dengan data ante mortem yang diperoleh dari dokter gigi semasa hidup korban.

c. DNA

Analisis DNA memberikan hasil yang akurat, dengan membandingkan DNA korban dengan DNA keluarga. Jika terdapat kecocokan maka identitas korban dapat diketahui.

2. Metode identifikasi sekunder a. Medik

Temuan medis seperti bekas luka ataupun bekas operasi dapat membantu mengidentifikasi korban.

b. Properti

Barang-barang pribadi yang ada pada korban seperti, perhiasan, pakaian, dokumen pribadi dapat membantu menentukan identitas korban.

Dahulu, metode identifikasi yang dipakai yaitu : 1. Metode sederhana

a. visual b. kepemilikan

c. dokumentasi 2. Metode ilmiah a. Sidik jari b. Serologi c. Odontologi d. Antropologi e. Biologi molekular

Namun, metode visual sekarang tidak digunakan lagi karena tidak bisa dipakai jika keadaan mayat sudah tidak utuh, sudah membusuk, terbakar, mutilasi, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Prinsip proses identifikasi adalah dengan membandingkan data korban yang tidak dikenal (post mortem) dengan data yang disangka korban (ante mortem. Semakin banyak data yang cocok, maka hasilnya semakin baik (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

2.5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin seseorang dapat diidentifikasi dengan mudah dari organ-organ tubuh spesifik, contohnya payudara. Dari payudara dapat dibedakan dengan jelas apakah korban laki-laki atau perempuan (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954). Pertanyaan mengenai jenis kelamin sering muncul pada kasus disgenesis gonad, jenazah yang telah membusuk, mutilasi, atau pada kasus yang hanya ditemukan rangka tulang. Pada kasus-kasus tersebut biasanya sulit untuk membedakan apakah orang itu laki-laki atau perempuan (Nandy, 2000).

Perbedaan secara umum antara perempuan dengan laki-laki yaitu, perempuan memiliki lebih sedikit rambut pada permukaan tubuhnya, ekstremitas yang lebih halus, lebih banyak lemak dibawah kulit, dan sedikit otot. Selain itu perempuan juga memiliki tulang yang lebih kecil, dengan permukaan yang lebih halus dan rongga medulla yang lebih lebar daripada laki-laki. Jika dilihat dari rongga kepala, perempuan

memiliki rongga kepala yang lebih kecil dan sedikit bagian tulang yang menonjol, rahang bawah yang sempit, dan ukuran wajah yang lebih kecil daripada laki-laki. Dinding dada pada wanita terlihat lebih kecil dan bulat, sternum lebih pendek serta tangan dan kaki yang lebih kecil dibandingkan laki-laki. (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

Dilihat dari tulang pelvisnya, akan menunjukkan perbedaan yang lebih jelas daripada tulang lainnya. Pada perempuan, tulang iliumnya lebih vertikal dan panggulnya lebih sempit dibandingkan laki-laki. Foramen obturatoria pada perempuan kecil dan berbentuk segitiga, sedangkan pada laki-laki lebih besar dan berbentuk ovoid (Gonzales, Vance, Helpern, Uberger, 1954).

Menurut Nandy (2000) ada beberapa data yang bisa digunakan untuk menentukan jenis kelamin, yaitu

1) Morfologi fisik 2) Tulang

3) DNA

4) Pakaian (tidak signifikan) 5) Biopsi gonad

6) Pemeriksaan Hormon (pada kasus interseks)

Ciri khas jenis kelamin pada tulang kerangka hanya terlihat pada seseorang yang telah mengalami pubertas. Maka penentuan jenis kelamin dari tulang hanya mungkin dilakukan pada korban yang telah melampaui masa pubertas (Chada, 1995).

Untuk menentukan jenis kelamin bisa dengan kerangka yang utuh maupun yang tidak utuh. Semakin banyak tulang yang dikumpulkan, semakin besar keakuratannya.

Pada rangka utuh keakuratannya sebesar 100%, jika rangkanya tidak utuh tetapi didapati tulang pubis dan tengkorak keakuratannya menjadi 98%. Pemeriksaan tulang pelvis saja sebesar 95%, tulang tengkorak saja 90%, dan dengan tulang panjang keakuratannya sebesar 80-85%. Semua kerangka tulang, pelvis (tulang pinggul dan

sakrum), tengkorak, mandibula, sternum dengan manubrium dan tulang femur sangat berguna untuk menentukan jenis kelamin (Nandy, 2000).

Tabel 2.1. Perbedaan Jenis Kelamin Berdasarkan Bagian-Bagian Tulang Tengkorak

Bagian Tulang Tengkorak Laki-Laki Perempuan

1. Ukuran Lebih besar, kapasitas

intrakranial 10% lebih besar dari perempuan

Lebih kecil, kapasitas intrakranial 10% lebih kecil dari laki-laki

2. Glabella Kurang menonjol Lebih menonjol

3. Tulang supra-orbital Lebih menonjol Kurang menonjol

4. Prosesus mastoideus Lebih menonjol Kurang menonjol

5. Protuberentia occipital Lebih menonjol Kurang menonjol

6. Arkus zigomatikum Lebih menonjol Kurang menonjol

7. Dahi Cenderung Datar Agak bulat

8. Celah hidung Tinggi dan sempit Rendah dan lebar

9. Permukaan tulang Lebih kasar dengan

banyak bagian yang menonjol untuk tempat perlekatan otot

Lebih halus dengan sedikit bagian yang menonjol untuk tempat perlekatan otot

Sumber : Nandy, A. Purba. 2000. Principles of Forensic Medicine 2.6. Sefalik Indeks

Sefalik indeks adalah perbandingan antara lebar maksimum tulang tengkorak dengan panjang maksimumnya dalam persen. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa banyak sekali kasus yang korbannya dalam keadaan tidak utuh. Maka pengukuran sefalik indeks ini sangat membantu jika hanya ditemukan tulang tengkoraknya saja. Pengukuran sefalik indeks sangat berguna dalam antropologi untuk menentukan ras dan jenis kelamin (Shah dan Jadhav, 2004).

Menurut Nandy (2000) lingkar kepala merupakan keliling bidang horizontal yang melewati titik ophryon dan oksipital. Panjang kepala diukur antara titik glabella dan oksipital. Sedangkan lebar kepala merupakan diameter terbesar lingkaran kepala melewati tepat diatas tulang mastoid.

Gambar 2.1. Titik Kefalometrik (Dikutip dari : Gonzales, Thomas, Vance M, Helpern M, Umberger C, 1954)

Ket. gambar : al (alveolar process), ba (basion), br (bregma), gl (glabella), n (nasion), oc (occipital point), op (ophryon), sn (subnasal point)

Gambar 2.3. Lebar Kepala (Dikutip dari : Akinbami BO, 2014)

Sefalik indeks dihitung menggunakan rumus :

Lebar kepala maksimum x 100 Sefalik indeks =

Panjang kepala maksimum

Berdasarkan sefalik indeks bentuk kepala manusia dibagi menjadi empat kategori, yaitu dolichocephaly (sefalik indeks kurang dari 74.9), mesocephaly (sefalik indeks 75 - 79.9), brachycephaly (sefalik indeks 80 - 84.9), dan hyperbrachycephaly (sefalik indeks lebih dari 85) (Yagain, Pai, Kalthur, Chethan, dan Hemalatha, 2012).

Tabel 2.2. Klasifikasi Panjang Kepala dan Lebar Kepala Berdasarkan Martin & Saller (1957)

Laki-laki Perempuan Klasifikasi panjang Kepala Sangat pendek

Pendek Sedang Panjang Sangat panjang X-16.9 17-17.7 17.8-18.5 18.6-19.3 >19.4 X-16.1 16.2-16.9 17-17.6 17.7-18.4 >18.5

Klasifikasi lebar kepala Sangat sempit Sempit Sedang Lebar X-13.9 14-14.7 14.8-15.5 15.6-16.3 X-13.4 13.5-14.1 14.2-14.9 15-15.7

Sumber : Yagain, V.K, Pai S.R, Kalthur S.G, Chethan P. & Hemalatha I. Study of Cephalic Index in Indian Students. Int. J. Morphol., 30(1): 126, 2012

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Identifikasi jenazah sangat penting dilakukan meskipun jenazah tersebut dapat dikenali. Hal ini dilakukan untuk memastikan identitas korban. Menurut Gonzales (1954) pada jenazah yang tidak dikenal, identifikasi akan sulit dilakukan apabila jenazah dalam keadaan terpotong-potong (kasus mutilasi) dan juga rusak berat yang disebabkan oleh kebakaran, ledakan, kecelakaan, ataupun korban telah mengalami pembusukan. Pada kasus tersebut sering kali hanya didapati kepalanya saja, tangan dan kaki, atau hanya ditemukan tulang belulang saja.

Pada kasus bencana massal, proses identifikasi menjadi sangat penting karena jumlah korban mati yang banyak dan sulit dikenali. Pada kasus ledakan bom Bali yang terjadi tahun 2002 sebanyak 202 korban mati, dan kecelakaan pesawat Mandala di

Dokumen terkait