• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Korban Mati Akibat Bencana Massal…

Bencana massal merupakan suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam ataupun ulah manusia, dapat terjadi secara tiba-tiba ataupun perlahan menyebabkan kerusakan lingkungan, kehilangan harta benda, bahkan hilangnya nyawa manusia, yang melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk mengatasinya (Singh, 2008). Bencana didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi yang menyebabkan banyak orang mengalami luka ataupun kematian (Interpol, 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2007 bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak atau secara perlahan tetapi terus menerus yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan memerlukan penanganan luar biasa dan tindakan darurat untuk menyelamatkan manusia dan lingkungannya (Henky dan Safitry, 2012).

Bencana digolongkan kedalam dua bentuk. Pertama bencana yang terjadi secara alami (natural disaster), contohnya seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan yang sejenisnya. Kedua bencana yang dibuat oleh manusia (man made disaster), seperti pengeboman, kecelakaan darat, laut, udara, kebakaran hutan, dan sejenisnya yang diakibatkan oleh ulah manusia (Singh, 2008).

Di Indonesia, penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana

Massal (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Identifikasi korban mati penting dilakukan karena ini merupakan suatu upaya memenuhi hak asasi manusia (HAM) dan pemenuhan aspek legal sipil juga keluarga korban, seperti pada korban kasus ledakan bom atau korban akibat terorisme lainnya (Depkes, 2010)

Untuk melakukan identifikasi pada kasus bencana massal diperlukan suatu tim yang terdiri dari beberapa orang ahli yang disebut tim DVI. Tim DVI terdiri dari anggota kepolisian dan dokter/dokter gigi forensik (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur identifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun ilmiah yang mengacu pada prosedur DVI Interpol (BNPB, 2011). Proses identifikasi ini penting dilakukan bukan hanya untuk mengetahui penyebab bencana, tetapi juga untuk menenangkan keluarga karena dapat diketahuinya identitas korban secara pasti (Prawestiningtiyas dan Algozi, 2009).

2.4.1. Tahapan Identifikasi

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011) proses DVI dibagi menjadi lima fase, yaitu fase TKP, fase post mortem, fase ante mortem, fase rekonsiliasi, dan fase debriefing.

Fase pertama yaitu olah TKP. Hal-hal yang perlu dilakukan tim DVI, yaitu melakukan olah TKP sebelum korban dipindahkan dari lokasi, memasang label pada tubuh korban, tidak melepas seluruh perlengkapan pribadi yang terpasang pada korban, mengumpulkan dan mencatat barang-barang yang tidak melekat, mengisi formulir Interpol DVI meliputi : perkiraan umur, tanggal dan lokasi korban ditemukan, kemudian formulir dimasukkan kedalam kantung jenazah (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase post mortem adalah fase pemeriksaan jenazah. Pada fase ini tim DVI bertugas menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari TKP, mengelompokkannya berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan jenazah, dan barang-barang. Selanjutnya, membuat foto jenazah, mengambil sidik jari

dan memeriksa golongan darah, melakukan pemeriksaan sesuai formulir Interpol DVI yang tersedia, memeriksa properti yang melekat pada korban, melakukan pemeriksaan gigi-geligi, mengambil sampel DNA, menyimpan jenazah yang sudah diperiksa, melakukan pemeriksaan barang-barang kepemilikan, dan mengirimkan data-data yang diperoleh ke unit pembanding data (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Pada fase ante mortem, tim DVI bertugas untuk mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari kelurga korban atau orang yang melapor kehilangan anggota keluarga, mengumpulkan foto semasa hidup dan data-data/ciri-ciri korban. Selanjutnya, mengambil sampel DNA pembanding, memasukkan data-data kedalam formulir Interpol DVI lalu mengirim data-data ke Unit Pembanding Data (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase keempat adalah fase rekonsiliasi, yaitu fase penggabungan data fase TKP, fase post mortem, dan fase ante mortem. Jika terdapat banyak kecocokan data, maka korban telah berhasil diidentifikasi. Selanjutnya, membuat surat keterangan kematian untuk korban yang telah berhasil dikenali dan surat-surat lainnya yang diperlukan (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Fase terakhir, fase debriefing yaitu mengumpulkan seluruh anggota tim dan instansi terkait untuk melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses identifikasi, agar proses identifikasi selanjutnya lebih baik lagi (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Kelima fase tersebut harus dikerjakan sesuai standar pada setiap kasus bencana. Namun, terdapat banyak kendala yang sering dijumpai dalam pelaksanaannya seperti, jumlah jenazah yang terlalu banyak, jumlah dokter forensik yang kurang, tempat penyimpanan jenazah yang minim, dan kurang koordinasi antara instansi atau individu yang terlibat (Henky dan Safitri, 2012).

Berdasarkan Interpol (2009), metode identifikasi yang dipakai sekarang, yaitu:

1. Metode identifikasi primer a. Sidik jari

Ada tiga alasan kenapa sidik jari digunakan sebagai metode identifikasi: - Sidik jari pada setiap orang berbeda

- Sidik jari tidak berubah dari kecil hingga dewasa - Sidik jari dapat diklasifikasikan

b. Gigi-geligi

Pemerikasaan gigi memberikan hasil yang cukup signifikan dengan membandingkan data post mortem dengan data ante mortem yang diperoleh dari dokter gigi semasa hidup korban.

c. DNA

Analisis DNA memberikan hasil yang akurat, dengan membandingkan DNA korban dengan DNA keluarga. Jika terdapat kecocokan maka identitas korban dapat diketahui.

2. Metode identifikasi sekunder a. Medik

Temuan medis seperti bekas luka ataupun bekas operasi dapat membantu mengidentifikasi korban.

b. Properti

Barang-barang pribadi yang ada pada korban seperti, perhiasan, pakaian, dokumen pribadi dapat membantu menentukan identitas korban.

Dahulu, metode identifikasi yang dipakai yaitu : 1. Metode sederhana

a. visual b. kepemilikan

c. dokumentasi 2. Metode ilmiah a. Sidik jari b. Serologi c. Odontologi d. Antropologi e. Biologi molekular

Namun, metode visual sekarang tidak digunakan lagi karena tidak bisa dipakai jika keadaan mayat sudah tidak utuh, sudah membusuk, terbakar, mutilasi, serta tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Prinsip proses identifikasi adalah dengan membandingkan data korban yang tidak dikenal (post mortem) dengan data yang disangka korban (ante mortem. Semakin banyak data yang cocok, maka hasilnya semakin baik (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Dokumen terkait