• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Melihat dari kesimpulan di atas bahwa besarnya peran dari keluarga ulama Teungku Di Tiro. Oleh karena itu penulis menyarankan :

1. Tulisan ini diharapkan dapat memberi contoh kepada seluruh generasi penerus bangsa bagaimana keberanian dari keluarga ulama Tiro dalam menentang penjajahan Belanda di Aceh Besar dalam mempertahankan agama, bangsa dan negara di medan peperangan.

2. Melihat besarnya jasa-jasa keluarga tersebut, sudah sepantasnya kita memberikan penghormatan terhadap Teungku Chik Di Tiro beserta keturanannya dalam menentang kekuasaan Belanda di Aceh.

3. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Mengingat perjuangan keluarga Teungku Chik Di Tiro yang lebih memilih mati syahid dalam medan pertempuran dari pada menyerah dan tunduk pada kekuasaan Belanda adalah suatu hal yang penting untuk di kenang.

4. Untuk menghargai jasa-jasa mereka yang telah berkorban untuk kemerdekaan bangsa kita, sudah sepantasnya kita mengisi kehidupan kita yang merdeka ini dengan pembangunan yang merata untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH TIRO

2.1Geografis

Tiro adalah sebuah kecamatan di daerah Sigli, Aceh Pidie, Aceh. Tiro sendiri terbagi menjadi beberapa desa yang dipimpin oleh seorang keuchik.29 Statistik daerah

Kecamatan Tiro terdiri dari sembilan belas desa yaitu Blang Rikui, Panton Beunot, Dayah Cot, Dayah Kampung Baro, Dayah Baroh, Dayah Teungoh, Pulo Keunari, Pulau Tambo, Peunadok, Pulo Glumpang, Mancang, Panah, Pulo mesjid, Trieng Cudo Tunong, Mampree, Trieng Cudo Baroh, Rabo, Pulo Siblah, dan Lhok Igeuh. Ibu kota Kecamatan Tiro berada di Desa Mancang.30

Daerah Tiro memiliki batas wilayah kecamatan sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Mutiara Timur. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Glumpang Tiga. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sakti dan Kecamatan Titeu. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tangse. Kecamatan Tiro memiliki luas sebesar 255 km2. Daerah ini terletak di hamparan dan lembah pegunungan bukit barisan. Rata-rata ketinggian adalah 20-180 m diatas permukaan laut. Secara klimatologi memiliki curah hujan rata-rata 1,485.6 mm/tahun dengan suhu rata-rata berkisar 26-27o

29

Keuchik adalah sebutan masyarakat Aceh kepada kepala desa yang berfungsi sebagai

pelaksana roda pemerintahan desa. Lihat Alfian, Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 55.

30

Kecamatan Tiro/Truseb Dalam Angka 2012, Pidie: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sigli, 2012, hlm. 1.

Pada masa perang Aceh, daerah Tiro memainkan peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan daerah Tiro belum dikuasai Belanda dan letaknya yang jauh dari pantauan kompeni Belanda. Faktor lain yang membuat daerah Tiro ini menjadi penting karena pendapat menyatakan bahwa pimpinan ulama Pidie saat itu adalah di Tiro.31 Kenyataannya bahwa masyarakat Aceh sangat menghormati tokoh ulama untuk dijadikan panutan dan penunjuk arah dalam kehidupan. Sehingga para laskar Aceh berangkat ke Tiro untuk meminta pertolongan pasca Keraton Aceh jatuh ke tangan Belanda.

Daerah Tiro terletak di pedalaman Sigli di kaki Gunung Halimon. Oleh karena itu, daerah ini merupakan salah satu daerah penyuplai kebutuhan angkatan perang yang berada di Aceh Besar. Selain itu, daerah Tiro menjadi pusat informasi bagi bagi para laskar Aceh melalui Teungku Chik Dayah Cut mengenai keadaan di kawasan Pidie dan sekitarnya.

Statistik daerah Kecamatan Tiro kecamatan tiro terdiri dari 43 dusun dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2061 ruta dan 7412 jiwa penduduk. Pemerintahan desa masing-masing dipimpin oleh keuchik gampong dan kepala dusun, untuk mempermudah administrasi desa dibantu oleh aparat desa antara lain sekretaris

keuchik serta perangkat desa.

31

2.2Pendidikan Keagamaan

Sebelum kedatangan Belanda, eksistensi pendidikan agama di daerah Aceh sudah sangat kuat. Hal ini dibuktikan keberadaan meunasah32 dan dayah yang

dijadikan sebagai sarana pendidikan agama Islam di Aceh. Di sisi lain, realitas bahwa masyarakat Aceh merupakan penganut agama Islam fanatik yang menempatkan ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya basis nilai dan sistem pandangan dunia (world view).33

Di daerah Tiro sendiri, sebelum kedatangan Belanda telah berdiri sebuah

dayah yang yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut. Beliau sendiri merupakan

paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman yang maju sebagai panglima perang Laskar Aceh dalam menghadapi Belanda di Aceh Besar. Dayah tersebut Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah penting, dan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang berkualitas, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai ke islaman. Oleh karena itu, dayah dan meunasah di Aceh tidak sulit untuk dijumpai dan tersebar di seluruh Aceh.

32

Meunasah adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang berada di tiap-tiap desa di Aceh. Meunasah mempunyai fungsi sebagai tempat beribadah, belajar, musyawarah, pusat informasi, tempat kenduri massal di kampung, tempat menginap bagi musafir dan juga tempat pejabat-pejabat kampung memutuskan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 68.

33

Nirzalin, “Krisis Agensi Politik Teungku Dayah Di Aceh”, dalam Ringkasan Disertasi,

Yogyakarta: Program Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Gadjah Mada, 2011, hlm. 2.

menjadi tempat bagi para santri yang datang dari segala penjuru Aceh untuk belajar ilmu Agama Islam.

Selain dari dayah yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut di daerah Tiro, di Pidie juga terdapat beberapa pusat pendidikan agama Islam seperti di Langga, Langgo, Sriweue, Simpang, Ie Leubeue (Ayer Labu). Namun daerah Tiro mempunyai daya tarik sendiri bagi para santri yang ingin menuntut ilmu kesana. Hal ini disebabkan kepintaran Teungku Chik Dayah Cut dalam bidang agama Islam yang sudah sangat dikenal di hampir daerah diseluruh Aceh.34

Wilayah Tiro tampil terhormat dikarenakan kehadiran kader-kader ulama dan terdapatnya makam keramat tokoh-tokoh pendahulunya. Tidak ada orang yang berani membawa senjata di kawasan ini, walaupun pada masa perang sekalipun. Hukum dan landasan agama mejadi landasan yang kuat di daerah Tiro. Hasilnya masyarakat yang dibesarkan di daerah Tiro merasa sudah ditakdirkan untuk mendalami hukum agama yang mulia sehingga Tiro terkenal sebagai daerah yang kuat dalam penegakan syariah dan hukum-hukum agama Islam.

35

Status atau gelar teungku di Aceh terkait erat dengan kualitas kewibawaan personal serta pengetahuan tentang Agama Islam yang kuat bukan berdasarkan genealogis (keturunan). Seseorang yang dinyatakan mempunyai kemampuan yang

2.3 Kedudukan Teungku

34

Snouck Hurgronje, op. cit., hlm. 28.

35

baik dan layak menyandang status teungku akan nampak dari keseharian dan tingkah lakunya. Hal itu terlihat dari kemampuannya memimpin acara keagamaan dan menjadi panutan masyarakat dalam penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan. Kemudian layak atau tidaknya seseorang digelar teungku juga dilihat dari ketaatannya dalam aktivitas sehari-hari.36

Pada periode Kerajaan Aceh Darussalam peranan teungku sangat dominan. Dengan kualitas intelektualnya, mereka tidak hanya mampu mempengaruhi struktur

Hubungan kekuasaan teungku dengan masyarakat Aceh tidak dibangun berdasarkan kekayaan ekonominya tetapi semata-mata berdasarkan ilmu, spiritual dan ikatan ideologis keagamaannya dengan masyarakat. Di aceh, sawah dan kebun bukan sesuatu yang langka di miliki masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka tidak bergantung pada sumber ekonomi teungku dayah bahkan sebaliknya teungku

dayahlah yang bergantung secara ekonomi pada masyarakat melalui bantuan-bantuan

agama seperti shadaqah, infaq, nadzar, dan jakeut (zakat).

Di daerah Tiro bahkan seluruh Aceh pada masa kesultanan, gelar teungku

dayah dapat dikatakan sebagai seorang ulama. Keputusan dan tindakan mereka yang

sangat dihormati masyarakat dan di anggap sebagai sebuah fatwa yang harus dilaksanakan. Masyarakat memandang para teungku (ulama) sebagai umat yang di istimewakan Tuhan dan merupakan pewaris nabi. Sakralitas teungku dayah yang disokong oleh pengetahuan agama dan kekuatan spiritualnya melahirkan kepercayaan bahwa mereka merupakan tokoh yang suci dan keramat (karamah).

36

pemerintahan namun dapat mengendalikannya. Hal ini ditunjukkan pada posisi struktural mereka sebagai Qadhi Malikon Ade (Ketua Mahkamah Agung) dan diplomat yang handal dalam urusan-urusan internasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan konsep agama dan politik yang menjadi kebijakan kerajaan banyak lahir dari mereka.37

Eksistensi para teungku yang sangat besar di Aceh menyebabkan Perang Aceh melawan Belanda di bawah agensi teungku. Mereka mengubah pandangan masyarakat dari perang mempertahankan negara menjadi perang mempertahankan negara dan agama Islam sekaligus. Keberhasilan para teungku melakukan transformasi perang ini sebagai perang agama atau jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) menyebabkan mereka dan para pengikutnya tidak lagi memaknai Belanda sebagai musuh negara tetapi sebagai musuh agama atau kafir.38

37

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga

Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91.

38

Nirzalin, op. cit., hlm. 19.

Menurut para teungku, kematian dalam arena perang bukanlah sesuatu yang harus ditakuti tetapi kematian merupakan awal dari kebahagian karena diyakini masuk surga sebagai seorang syuhada (syahid). Kegigihan, fanatisme dan tindakan yang mengidelogi dibawah kendali teungku menyebabkan perang Aceh-Belanda ini berlangsung lebih dari 30 tahun. Belanda juga mengakui Perang Aceh merupakan perang terlama di nusantara yang menghabiskan banyak biaya. Suatu perlawanan yang tidak terjadi di wilayah nusantara lainnya.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Secara kultural, teungku adalah panggilan/gelar kehormatan yang diberikan masyarakat Aceh kepada seseorang yang berpredikat sebagai alim ulama/seorang ulama. Mereka merupakan tamatan dari dayah.1 Hal ini dipahami karena sampai sekarang ini dayah untuk kultur Aceh masih dipandang sebagai soko guru pendidikan agama dan keulamaan. Demikian juga orang-orang yang terlibat dalam lembaga keagamaan desa umumnya adalah lulusan dari dayah.2

- Pernah belajar di lingkungan dayah dan mempunyai pengetahuan kuat tentang Agama Islam,

Gelar teungku diperoleh seseorang dengan dua syarat:

- Mendapat pengakuan dari masyarakat.3

Syarat pertama dapat dipenuhi seseorang setelah menempuh pendidikan agama, baik pendidikan formal maupun informal. Syarat kedua, baru dapat dipenuhi sesudah masyarakat melihat ketaatannya terhadap ajaran Islam serta pengetahuannya

1

Dayah merupakan istilah yang disebutkan oleh masyarakat Aceh yang dikenal di Jawa dan berbagai tempat lainnya sebagai pondok pesantren. Dayah mempunyai fungsi sebagai tempat belajar berbagai ilmu Agama Islam, membentuk karakter keislaman bagi para santri, tempat para remaja mendapat status terhormat dalam masyarakat dan menjadi sebuah lembaga yang mengingatkan dan mengarahkan mereka yang telah jauh dari ajaran Islam. Lihat Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003, hlm. 33.

2

Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004, hlm. 1

3

Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional – LIPI, 1976, hlm. 14.

tentang Islam yang mendalam. Mengetahui tanpa mengamalkan pengetahuan itu, tidak cukup membuat masyarakat mengakui bahwa dia pantas untuk menjadi seorang ulama. Hal ini disebabkan karena pengakuan sebagai ulama, di iringi dengan penghormatan terhadap yang diakui tersebut.4

Dalam sejarah Aceh, terdapat hubungan yang kuat antara ulama dan masyarakat. Hal ini terlihat dari kebersamaan mereka berjuang mempertahankan Aceh. Pada masa itu posisi ulama malah di depan bertindak sebagai pemimpin rakyat.

5

Kejatuhan istana/ keraton dan dikuasainya Aceh Besar pada agresi Belanda ke II di bawah komando Jendral Van Swieten pada 16 Maret 1874, membuat para pejuang memutuskan menyingkir ke daerah pedalaman karena dari segi kekuatan baik dari jumlah tentara maupun persenjataan Belanda lebih unggul dibandingkan pejuang Aceh.

Ulama yang dimaksud disini adalah Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman yang berasal dari Tiro, Pidie.

6

Keberhasilan Van Swieten merebut Keraton Aceh dipelajarinya dari kegagalan Agresi Pertama yang di pimpin oleh Jendral J.H.R Kohler sebagai pemegang pimpinan militer dan Niuwhuyzen sebagai pimpinan sipil. Maka Van Swieten mendapat mandat memangku dua jabatan tersebut sekaligus yaitu sebagai pimpinan militer dan sipil. Srategi yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda

4

Ismuha, loc. cit. 5

Ismail Jakub, Teungku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): Pahlawan Besar Dalam Perang Atjeh (1881-1891), Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1952, hlm. 35.

6

pada Agresi ke II tersebut sukses merebut Aceh Besar yang kemudian diganti namanya menjadi ”Kutaraja”.7

Perlawanan rakyat Aceh untuk dapat merebut kembali Aceh Besar khususnya tidak pernah berhenti, mereka mempunyai modal kekuatan yaitu keikutsertaan semua lapisan masyarakat, para Tuanku (keluarga Sultan) uleebalang, ulama, rakyat, sehingga perang ini dapat dikatakan perang rakyat semesta (volks oorlog).8 Peperangan di Aceh juga merupakan perang terlama dalam sejarah pendudukan Belanda di Nusantara.9

Untuk tetap meneruskan perjuangan para pejuang Aceh yang ingin tetap melakukan perlawanan berkumpul di gunung Biram dekat Lamtamot, kira-kira 10 km dari Seulimun untuk mengadakan pertemuan. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas langkah-langkah lebih lanjut dalam menghadapi situasi saat itu. Hasil dari pertemuan itu memutuskan untuk mencari bantuan ke luar Aceh Besar.

10

Bantuan tersebut harus berasal dari ulama karena ulamalah yang mempunyai pengaruh besar dalam menghadapi kondisi yang sulit seperti itu. Mereka kemudian mengirimkan beberapa utusan ke daerah Tiro (Pidie). Pemilihan daerah tersebut disamping karena memiliki tokoh ulama, juga merupakan daerah yang terdekat dan lebih mudah dihubungi. Salah satu ulama yang terkenal di Tiro saat itu adalah

7

Paul Van’t Veer, Perang Aceh, Jakarta: Graviti Pers, 1985, hlm. 69. 8

Uleebalang adalah golongan yang memerintah negeri. Mereka merupakan kepala wilayah. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99.

9

Muhammad Ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991, hlm. 119.

10

Teungku Chik Dayah Cut Muhammad Amin, beliau adalah tokoh yang sangat dihormati dan disegani masyarakat Tiro karena memiliki pengetahuan yang luas dalam agama Islam dan merupakan pimpinan pesantren di Tiro. Faktor lain karena daerah Tiro belum dikuasai Belanda, kecuali daerah Sigli saja.11

“Saya bersedia pergi memimpin perang ke Aceh Besar, bila hadirin sekalian menaruh kepercayaan dan bersedia membantu dari belakang. Benar kesulitan demikian memuncak, tetapi semangat keimanan dan contoh yang diperlihatkan Untuk menghindari dari mata-mata musuh, utusan dari gunung Biram berangkat menuju Tiro melalui bukit barisan dipinggir Gunung Seulawah. Ulama yang dijumpai pada saat itu adalah Teungku Chik Dayah Cut. Kepada beliaulah utusan gunung Biram menyampaikan amanah yang dibawa langsung dari Aceh Besar. Selanjutnya, Teungku Chik Dayah Cut mengundang orang-orang terkemuka di sekitar Tiro untuk melakukan rapat di Dayah Krueng (Tiro). Dalam rapat pertama, utusan Gunung Biram menjelaskan suasana Aceh Besar pada waktu itu. Kemudian Teungku Chik Dayah Cut memberikan komentar seperlunya. Rapat kedua diadakan di Dayah Lampoh raya (Tiro) untuk menentukan sikap dan bantuan yang dapat diberikan kepada pejuang yang masih ada di Aceh Besar. Rapat kedua ini juga untuk menentukan siapa pemimpin yang akan diutus ke Aceh Besar, guna membantu perjuangan menghadapi Belanda di Aceh Besar.

Dalam rapat kedua Teungku Chik Dayah Cut berbicara dengan keponakannya yang baru pulang dari Mekkah yaitu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman. Kemudian Syekh Muhammad Saman maju kedepan untuk berpidato yang isinya :

11

Junjungan Nabi Besar Muhammad S.A.W., beliau tegak seorang diri mengemukakan kebenaran di tengah-tengah tanah Arab, mendorong kita untuk maju kemuka dan tidak berputus asa. Sekiranya dibiarkan terus musuh leluasa menjalankan usahanya menaklukan negeri kita dari satu daerah ke satu daerah, niscaya pada suatu masa kelak, kita akan terusir ke gunung-gunung ataupun musnah dari permukaan bumi. Seluruh daerah sudah habis diambil musuh, hanya tinggal lagi sekeping tanah ditempat kita ini. Bila ini pun kita lepaskan, maka lenyaplah seluruh negeri kita ditelan musuh. Dari itu saya bersedia menerima seruan utusan Gunung Biram dengan segala senang hati.”12

Semua yang hadir dalam rapat itu menyambut hangat dan dengan suara bulat menyetujui beliau menjadi Panglima Perang.

13

Tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu, yang mempunyai peran besar dalam Perang Aceh, selain keluarga Teungku di Tiro, dan tidak ada satu pun keluarga Aceh lainnya, yang meneruskan perjuangan sampai titik darah penghabisan, selain keluarga tersebut. Teungku Chik Di Tiro-lah tokoh yang paling besar perannya Semenjak itu Teungku Haji Syekh Muhammad Saman yang lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Di Tiro memegang pimpinan perjuangan melawan Belanda di Aceh. Beliau dengan keberanian tampil ke depan sebagai pimpinan peperangan yang sudah terbengkalai. Maka dimulailah pembinaan lasykar-lasykar muslimin, bermodalkan semangat jihad. Perjalanan Teungku Chik Di Tiro dimulai dari Tiro kabupaten Pidie, menuju ke medan peperangan di Aceh Besar, dengan mendapat bantuan dari segenap golongan rakyat, baik berupa alat-alat perang, bekal makanan, materi, maupun tenaga sukarela. Mereka bergabung menjadi lasykar muslimin yang dibentuk mencapai jumlah puluhan ribu.

12

Ismuha, op. cit.,hlm. 38. 13

untuk mengatur srategi mengusir penjajah Belanda dari Aceh. Dialah yang berhasil menghimpun angkatan perang dengan jumlah yang besar pada masanya.14

Melihat sepak terjang Teungku Chik Di Tiro yang sangat berpengaruh besar bagi perjuangan di Aceh, Belanda mulai mengatur siasat untuk melenyapkannya. Menurut Belanda, bila Teungku Chik Di Tiro tidak ada lagi, maka perlawanan akan berakhir dan Aceh akan menyerah. Dengan bantuan seorang perempuan bernama Nyak Ubit, Teungku Chik Di Tiro berhasil dibunuh. Pembunuhan terhadap Teungku Chik Di Tiro dilakukan oleh Nyak Ubit dengan cara membubuhi racun pada makanannya pada saat Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng (Aceh Besar) bagian sagi XXII. Racun itu dimasukkan kedalam daging burung berkik. Tiga hari kemudian beliau meninggal dunia dengan meninggalkan pesan pada panglima-panglima dan kaum keluarganya. Pesan beliau adalah, sekiranya dipanggil Allah SWT, hendaklah peperangan diteruskan. Siapapun kelak yang menggantikannya, hendaklah dipilih bersama-sama. Beliau meninggal di benteng Aneuk Galong (Aceh Besar) pada malam selasa tanggal 10 djumadil akhir tahun 1308 hijriah bertepatan dengan bulan 28 Januari tahun 1891, dalam usia 55 tahun.15

Wafatnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman tidak menyebabkan perjuangan rakyat Aceh melemah. Perjuangan tetap dilanjutkan silih berganti oleh keturunannya. Dimulai dari Tengku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin, anak tertua dari Tungku Chik Di

14

H.C. Zentgraaff, Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1983, hlm. 16. 15

Tiro Muhammad Saman. Dari tahun 1891 sampai tahun 1896, Teungku Muhammad Amin meneruskan program yang telah digariskan oleh ayahnya untuk mengusir Belanda. Lima tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juli 1896, Teungku Chik Muhammad Amin tewas setelah Belanda menyerang benteng Aneuk Galong (Aceh Besar).16 Perjuangan selanjutnya secara bergantian dipimpin oleh Tengku Chik Di Tiro Mahyiddin, dan Teungku Chik Di Buket Tiro, sampai tahun 1911.

Besarnya peran Teungku-teungku Di Tiro dalam perjuangan melawan Belanda di Aceh Besar, tentu sangat penting untuk dituliskan. Selama ini orang hanya mengenal Teungku Chik Di Tiro saja, sedangkan peran keluarga dari Teungku Chik Di Tiro tidak banyak yang mengetahui. Mereka berperan besar dalam menentang kekuasaan Belanda di Aceh Besar. Skop waktu penelitian ini di awali tahun 1874 karena tahun tersebut merupakan awal dari kejatuhan Keraton Aceh ke tangan Belanda. Adapun tahun 1911 sebagai batasan akhir dari penelitian ini karena pada tahun tersebut berakhirnya perjuangan ulama dari Tiro.

16

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan suatu landasan yang digunakan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang akan dibahas dan menjadi akar permasalahan dalam sebuah penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas untuk mempermudah menghasilkan penelitian yang objektif, maka perlu diberikan batasan masalah terhadap penelitian tentang “Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911”, untuk itu dibuatlah pokok permasalahan yang kemudian dirangkum dalam pertanyaan, antara lain :

1. Apa latar belakang Keluarga Teungku Di Tiro ikut dalam perang melawan Kolonialisme Belanda di Aceh Besar?

2. Bagaimana peranan Keluarga Teungku Di Tiro dalam memimpin perjuangan di Aceh Besar pada periode 1874-1911?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Di dalam sebuah penelitian tentunya memiliki suatu tujuan dan manfaat dari penelitian yang dilakukan. Sehingga sedikit banyaknya dapat menjawab mengapa penelitian tersebut dilakukan. Dalam prosesnya penelitian bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan ini adalah :

1. Untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi Keluarga Teungku Di Tiro ikut dalam perang melawan Kolonialisme Belanda di Aceh Besar.

Dokumen terkait