• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Keluarga Teungku Di Tiro Dalam Perang Di Aceh Besar 1874-1911"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran I

Gambar 1 Peta Aceh tempo dulu

(2)

Lampiran II

Gambar 2

J.H.R Kohler (Panglima ekspedisi pertama ke Aceh)

(3)

Lampiran III

Gambar 3

J. Van Swieten (panglima ekspedisi kedua ke Aceh)

(4)

Lampiran IV

Gambar 4

Pasukan Marsose yang menaklukan pertanahan laskar Aceh

Sumber Foto :

(5)

Lampiran V

Gambar 5

Foto Perwira Belanda

(6)

Lampiran VI

Gambar 6

Perwira Belanda di Brigade III (1874)

Sumber foto :

(7)

Lampiran VII

Gambar 7

Kediaman Sultan Mahmudsyah, Kutaraja (Banda Aceh) 1874

Sumber Foto :

(8)

Lampiran VIII

Gambar 8

Bivak Belanda di Peunayong (1874)

(9)

Lampiran IX

Gambar 9

Salah satu Benteng Belanda

(10)

Lampiran X

Gambar 10

Tempat kediaman Gubernur Belanda

(11)

Lampiran XI

Gambar 11

Pintu Masuk Kutaraja

(12)

Lampiran XII

Gambar 12

Benteng Belanda

(13)

Lampiran XIII

Gambar 13

Benteng Meriam Belanda

(14)

Lampiran XIV

Gambar 14

Dalam Sultan Aceh

(15)

Lampiran XV

Gambar 15

Medan Perang Dalam Sultan Aceh

Sumber foto :

(16)

Lampiran XVI

Gambar 16

Mesjid Raya Banda Aceh

(17)

Lampiran XVII

Gambar 17

Salah satu Sultan Aceh

(18)

Lampiran XVIII

Gambar 18

Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zakaria, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1981/1982.

Alfian (ed), Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.

Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Amiruddin, Hasbi, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, Lhokseumawe: Nadya Foundation, 2003.

_______________, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik, Yogyakarta: Ceninnets Press, 2004.

Gottchalk, Louis, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.

Hasjmy, A, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan

Agressi Belanda, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Hurgronje, Snouck, Aceh Di Mata Kolonialis Jilid I, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985.

Ibrahim, Muhammad, dkk., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1991.

Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional – LIPI, 1976.

Jakub, Ismail, Teungku Tjhik Di-Tiro (Muhammad Saman): Pahlawan Besar Dalam

Perang Atjeh (1881-1891), Jakarta: N.V Bulan Bintang, 1952.

Kamajaya, Lima Putra-putri Aceh Pahlawan Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984.

(20)

Reid, Anthony, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera

Hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2005.

Said, Muhammad, Aceh Sepanjang Abad jilid II, Medan: Waspada, 1981. Sunny, Ismail, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhatara, 1980.

Tiro, A. Wahab Umar, Peranan Teungku-teungku Di Tiro Dalam Perang Atjeh. Dalam Rangka Menyambut Pekan Kebudayaan Aceh II, 1972.

Veer, Paul Van’t, Perang Aceh, Jakarta: Graviti Pers, 1985.

______________, Perang Belanda Di Aceh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1977.

(21)

Makalah/Skripsi/Ringkasan Disertasi/Internet

Abdullah, Teuku Imran, Hikayat Prang Sabi Satu Bentuk Karya Sastra Perlawan, Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2008.

Agustiningsih, Nur, Konflik Ulama-uleebalang 1903-1946 dan Pengaruhnya

Terhadap Perubahan Sosial di Aceh (Skripsi), Surakarta: Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2007.

Syarifuddin Mahmud, Pendidikan dan Perjuangan Tuanku Hasyim Banta Muda

Dalam Menentang Kolonialisme Belanda di Aceh, (Skripsi), Darussalam:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, 1985.

Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah Di Aceh, (Ringkasan Disertasi), Yogyakarta: Program Doktor Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Gadjah Mada, 2011.

Kecamatan Tiro/Truseb Dalam Angka 2012, Pidie: Badan Pusat Statistik Kabupaten

Sigli, 2012.

(22)

BAB III

MELETUSNYA PERANG DI ACEH

3.1 Latar Belakang Timbulnya Perang di Aceh

Pada awal abad ke-17 Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, dan sudah menjalin hubungan dengan Belanda melalui pertukaran utusan keduanya. Belanda mengirim delegasinya antara lain Cornelis Andoiannse, disertai sepucuk surat yang ditandangani Prins Maurits yang berisi ajakan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Aceh. Sultan menanggapi surat tersebut dengan mengizinkan Belanda mendirikan kantor dagangnya di ibukota Kerajaan Aceh sebagai tempat pembelian rempah-rempah seperti lada dan cengkeh yang sangat laris di Eropa pada saat itu.39

Untuk kunjungan balasan, pada tahun 1602 Kerajaan Aceh mengirimkan delegasinya ke Negeri Belanda. Pertukaran delegasi tersebut untuk mempererat pesahabatan kedua negara, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Kedatangan delegasi Aceh sebagai salah satu negara di kawasan Timur sangat menguntungkan Kerajaan Belanda, karena mereka sedang mencari dukungan dari berbagai negara untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan Spanyol. Kerajaan Aceh pada saat itu mengakui kemerdekaan Belanda.

Zakaria Ahmad, Cut Nyak Meutia, Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1981/1982, hlm. 5.

(23)

Persahabatan kedua kerajaan tersebut tidak selamanya berjalan baik, karena Belanda mempunyai misi untuk menguasai seluruh wilayah di Nusantara. Mereka selalu mencari kesalahan Kerajaan Aceh untuk dapat menyerangnya dengan alasan menegakkan keamanan dan perdamaian di Selat Malaka. Sebenarnya kemerdekaaan Aceh perlu dijamin seperti tercantum di dalam Traktat London tahun 1824 antara Inggris dan Belanda, namun berbagai alasan dan dalih dibuat-buat Belanda untuk merebut wilayah Aceh.41

41

Moehctar Nasution, Atjeh, Pematang Siantar: Poestaka Omita, hlm. 9.

Secara garis besar latar belakang yang menyebabkan meletusnya Perang Aceh adalah sebagai berikut:

1. Belanda menduduki daerah Siak, akibat dari perjanjian Siak 1858, dimana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda. Padahal sejak era Sultan Iskandar Muda daerah-daerah tersebut berada dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.

2. Belanda melanggar perjanjian maka berakhirlah perjanjian London 1824. Adapun isi perjanjian London adalah Belanda dan Inggris membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua negara di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura, dan keduanya mengakui kedaulatan Aceh.

(24)

4. Dibukanya terusan Suez oleh Ferdinan De Leseph tahun 1869 yang menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan antar negara.

5. Dibuatnya perjanjian Sumatra 1871 antara Inggris dengan Belanda yang isinya antara lain Inggris memberikan keleluasan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalu lintas selat Sumatera. Belanda mengijinkan Inggris bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guinea barat kepada Inggris.

6. Akibat perjanjian Sumatra, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan konsul Amerika, Itali dan Turki di Singapura dan mengirimkan utusan ke Turki tahun 1871.

7. Hubungan diplomatik yang dilakukan Aceh dengan konsul Amerika, Itali dan Turki di Singapura, menjadikan alasan bagi Belanda untuk menyerang Aceh.42

Penyebab lainnya yang memicu kemarahan Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda karena Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur yaitu Tanah Putih, Kubuh, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batubara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut, Perbaungan, Deli, Langkat dan Tamiang menjadi wilayah Hindia Belanda dan berada di bawah kedaulatan Siak.

43

42

Nur Agustiningsih,”Konflik Ulama-uleebalang 1903-1946 dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial di Aceh”, dalam Skripsi (belum diterbitkan), Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2007, hlm. 47.

43

Muhammad Said, op. cit., hlm. 590.

(25)

Belanda terus menerus mempengaruhi kerajaan-kerajaan kecil yang takluk dari Aceh, salah satunya adalah Kerajaan Deli. Belanda memberikan kewenangan bagi Deli untuk berhubungan langsung dengan Batavia sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, dan berjanji menolak persekutuan dengan Aceh.44

Pada tahun 1870 Sultan Ibrahim Mansur Syah mangkat. Para pembesar kerajaan dan ulama sepakat mengangkat Sultan Alaiddin Mahmud Syah yang masih berumur 14 tahun sebagai Sultan. Karena umur sultan pada saat itu masih muda, roda pemerintahan Aceh berada ditangan Habib Abdurrahman Al Zahir sebagai mangkubumi kerajaan yang dibantu oleh Majelis Kerajaan seperti Tuanku Hasyim Banta Muda, Panglima Polem Sri Muda Perkasa dan beberapa orang lainnya.45

Pada masa pemerintahannyalah perang Aceh akhirnya meletus (April 1873), setelah ditandatangani Perjanjian Sumatra antara Belanda dan Inggris pada 1 November 1871 sebagai ganti Traktat London yang mengakui kedaulatan Kerajaan Aceh. Salah satu poin terpenting dari penjanjian ini adalah Inggris menghapus perhatiannya terhadap perluasan wilayah di Sumatera oleh Belanda. Sebagai imbalan untuk Inggris, Belanda menyerahkan Pantai Guinea di Afrika. Akibatnya Belanda mempunyai peluang besar untuk menguasai Aceh.46

44

Paul Van’t Veer, Perang Belanda Di Aceh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1977, hlm. 27.

45 Muhammad Said, op. cit., hlm. 666 46

Ibid., hlm. 351.

(26)

3.2 Agresi Belanda Pertama (1 April 1873)

Pada tanggal 7 Maret 1873 Belanda mengirimkan pasukannya ke Aceh dibawah pimpinan komisaris pemerintah untuk Aceh yaitu Edeelar Niuwenhuyzen serta angkatan perang di bawah komando Mayor Jendral J.H.R Kohler. Gerakan Belanda ke Aceh di kenal dengan “Agresi Pertama”, dengan kekuatan militer terdiri dari 168 opsir dan 3200 pasukan. Mereka berangkat dari pulau Jawa menggunakan kapal Citadel Van Antwerpen, Siak, Coehern, dan Marnix. Pada tanggal 23 Maret 1873 pasukan Belanda tiba di perairan Aceh.47

Komisaris Niuwhuyzen menuliskan sepucuk surat untuk sultan Aceh yang kala itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Dia mengutus Sidi Tahir untuk mengantarkan surat yang intinya meminta Aceh mengakui kedaulatan Belanda dan jangan melawan, namun Sultan Mahmud menolaknya.48 Setelah surat menyurat antara Komisaris dengan Sultan terjadi beberapa kali, maka surat "Pernyataan Perang" Belanda kepada Kerajaan Aceh yang telah ditulis pada tanggal 26 Maret 1873, disampaikanlah kepada Sultan pada tanggal 1 April 1873. Isi selengkapnya sebagai berikut :49

47 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 28. 48

Syarifuddin Mahmud, Pendidikan dan Perjuangan Tuanku Hasyim Banta Muda Dalam Menentang Kolonialisme Belanda di Aceh, dalam Skripsi (belum diterbitkan), Darussalam: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Darussalam, 1985, hlm. 46.

49

Muhammad Said, op. cit., hlm. 389.

"Komisaris gubernemen Hindia Belanda untuk Aceh;

(27)

Bahwa kepentingan umum itu telah terganggu oleh berlanjutnya pertentangan antara sesama negeri rantau takluk Aceh, diantaranya ada yang telah datang meminta bantuan Gubernemen Hindia Belanda, tetapi masih saja belum bisa diberikan;

Bahwa keinginan yang berulang-ulang dikemukakan oleh gubernemen supaya keadaan sedemikian jangan terjadi lagi dan keinginan supaya ditentukan kedudukan Aceh dalam hubungan yang lebih tepat kepada Gubernemen Hindia Belanda, tetapi selalu saja terhambat oleh keengkaran dari pihak pemerintah Kerajaan Aceh dan oleh kelengahan kerajaan itu untuk memelihaketertiban dan keamanan yang diperlukan dalam daerah takluknya; Bahwa percobaan untuk keperluan itu telah disambut dengan amat curang di kala gubernemen Hindia Belanda sedang didekati dengan maksud membina perhubungan lebih akrab dengan Aceh;

Bahwa telah diminta penjelasan kepada Sulthan Aceh, mula-mula dengan surat tanggal 22 bulan ini sesudah itu pada tanggal24, hasilnya tidak hanya tidak diberikan sama sekali penjelasan itu, tetapi juga telah tidak membantah segala apa yang didakwakan dalam surat itu dan lebih dari itu pula telah digiatkan mengumpul apa saja untuk mengadakan perlawanan;

Bahwa dengan itu tidak bisa lain artinya selain bahwa Aceh menantang gubernemen Belanda dan sikap permusuhannya semula hendak dipertahankannya;

Bahwa karena itu pemerintah kerajaan Aceh telah bersalah melanggar perjanjian yang sudah diikatnya dengan gubernemen Hindia Belanda bertanggal 30 Maret 1857 tentang perniagaan, perdamaian dan persahabatan, yang karena itu meyakinkan bahwa pemerintah kerajaan tersebut tidak dapat dipercayai;

Bahwa permintaan Hindia Belanda dalam keadaan sebagai ini merasa tidak mungkin lagi mempertahankan kepentingan umum sebagai yang diperlukan demi keamanan sendiri di bagian utara Sumatera, apabila tidak diambil tindakan kekerasan.

Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah Hindia-Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka di bawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam perang.

Termaktub di kapal perang "Citadel van Antwerpen" yang berlabuh di Aceh besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873,

(Tertanda) Nieuwenhuijzen. Disalin sama bunyinya :

(28)

(Tertanda) Cantervisser.50

Termaktub pada 1 hari bulan Safar 1290 (1 April 1873)".

Menanggapi surat dari Komisaris Niuwhuyzen, Sultan Mahmud sadar akan menghadapi perang dengan Belanda. Langkah yang diambil oleh sultan yakni mengirim surat balasan sekaligus surat terakhir dari Kerajaan Aceh sebelum perang dimulai. Isi dari surat tersebut adalah sebagai berikut :

"Surat yang telah kita kirimkan pada hari Ahad yang baru lalu telah tidak diberi tanggal hari bulan, hanya karena kesilapan belaka. Mengenai dengan permakluman yang dimaksud dalam surat kita itu, isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kita tidak ada tumbuh sedikitpun keinginan untuk merobah hubungan persaliabatan yang sudah diikat. Sebab kita hanya seorang miskin dan muda dan kita sebagai juga gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirulkalam kita sampaikan kepada tuan-tuan sekaliannya.

51

Perang pertama terjadi tanggal 8 april 1873. Pasukan Belanda mendarat di Pantai Ceurumen (sebelah timur Pelabuhan Ulee Lheue) dibawah pimpinan Mayor Jendral J.H.R Kohler. Di pantai tersebut terjadi pertempuran sengit, pasukan Aceh dipimpin oleh Teuku Panglima Polem, Mahmud Cut Banta dibantu oleh Teuku Ibrahim Muda Kuala, Teuku Imum Lueng Bata dan lain-lain. Dalam pertempuran ini,

Isi dari surat sultan ini menegaskan keteguhan hati dari seorang pemimpin yang tidak takut dengan ancaman dari bangsa yang menghendaki perang melawan negerinya. Tidak lama setelah maklumat perang yang ditulis oleh Niuwhuyzen kepada Sultan Aceh (1 April 1873), maka perang pun akhirnya dimulai.

50

A. Hasjmy, Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, hlm. 31-32.

51

(29)

Aceh kehilangan Teuku Imum Lamkrak dan Teuku Rama Setia serta beberapa orang lainnya. Begitu juga dengan pasukan Belanda, mereka kehilangan perwira tinggi angkatan lautnya yaitu Letkol JJ. Engelvaar dan ajudannya Letnan JJ. Brordgaast. Pertempuran yang pertama ini menandai dimulainya “Perang Aceh” yang terkenal dengan perang terlama dalam sejarah Nusantara.52

Setelah beberapa hari berperang, Belanda berhasil menguasai Mesjid Raya di Kutaraja, namun Belanda tidak dapat menguasai Keraton yang dipertahankan oleh pasukan Aceh. Akibatnya terjadi pertempuran paling besar untuk merebut kembali Masjid Raya Banda Aceh, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Pasukan Aceh datang dari beberapa wilayah diantaranya Peukan Aceh,

Lampu pejuang juga berdatangan dari lain.53

Kelemahan dari pihak Belanda ada pada panglima perangnya yaitu Jendral Kohler. Dia mengganggap remeh kekuatan pasukan Aceh. Kohler tidak mengatahui siasat perang yang diusung Aceh yaitu berperang secara gerilya. Belanda yakin Aceh akan ditaklukan dengan mudah karena mereka mengganggap Rakyat Aceh lemah dan Pertempuran ini dimenangkan oleh laskar Aceh dan Mesjid Raya dapat direbut kembali.

52 Ibrahim Alfian, op.cit., hlm. 66. 53

(30)

negerinya kacau balau serta Belanda mempunyai persenjataan yang modern kala itu.54

Salah satu sebab penting kenapa Agresi Belanda Pertama ini mengalami kegagalan adalah tewasnya Jenderal J.H.R Kohler yang ditembak pejuang Aceh di halaman Mesjid Raya Banda Aceh pada tanggal 14 April 1873.55 Penyebab lain adalah pasukan Belanda tidak mampu menghadapi perlawananan laskar Aceh dengan taktik perang gerilyanya. Pasca tewasnya Kohler pertahanan Belanda menjadi kacau, semangat mereka berkurang. Lain halnya di kubu pejuang Aceh, semangat mereka untuk mengusir Belanda semakin besar. Pada tanggal 23 April pasukan Belanda memperoleh izin dari Gubernur Jendral G.G Loudon di Batavia untuk mundur dan meninggalkan Mesjid Baiturrahman dalam keadaan terbakar dan kembali ke Jawa pada tanggal 29 April 1873.56

1.4Agresi Belanda Kedua (16 November 1873)

Kegagalan Belanda dalam agresi pertamanya ke Aceh tidak membuat niat mereka untuk menginvasi Aceh terhenti. Belanda semakin berambisi utuk menaklukan negeri tersebut secepatnya. Berbeda dengan sebelumnya, rencana agresi kedua ini dipersiapkan dengan matang agar mereka berhasil meredam perlawanan laskar Aceh yang selalu siap berperang melawan Belanda.

54

Ismail Jakub, op. cit., hlm. 29.

55 Paul Van’t Veer, op. cit., hlm. 36. 56

(31)

Hal yang pertama dilakukan Belanda adalah memata-matai Aceh dibawah pimpinan konsulnya di Penang yaitu G. Lavino. Setelah usaha G. Lavino dianggap matang, maka langkah selanjutnya yang di ambil oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda G.G. Loudon adalah mengangkat Letnan Jendral J. Van Swieten sebagai panglima agresi kedua tentara Hindia Belanda dan merangkap sebagai Komisaris Pemerintah Belanda untuk Aceh.57

Dengan dibebani tugas untuk menaklukkan Aceh dengan kekerasan, yang dibuat dalam sebuah instruksi oleh Loudon pada tanggal 16 Nopember 1873, maka pada tanggal 16 Nopember 1873 berangkatlah panglima agresi kedua Letnan Jendral J. Van Swieten menuju Aceh. Van Swieten membawa 60 buah kapal perang, yang diperlengkapi dengan 206 pucuk meriam, 22 pucuk mortir, 389 perwira, 7888 serdadu biasa, 32 orang perwira dokter, 3565 orang hukuman laki-laki yang dipaksa untuk berperang, 243 orang hukuman perempuan yang mungkin dijadikan sebagai tempat serdadu-serdadunya melampiaskan hawa nafsunya, pastor, guru agama. Disamping itu dibawa juga kakitangannya seperti Sidi Tahil, Datok Setia Abuhasan, Mas Sumo Widikdjo, Mohammad Arsyad, Ke Beng Swie, Pie Auw, Josee Massang, Pada Agresi kali ini Loudon memberikan kekuasan penuh bagi Van Swieten memegang kekuasan militer (panglima perang) dan sipil (Komisaris Pemeritah). Hal ini berbeda dari agresi pertama, karena kekuasan militer dibawah komando Kohler dan sipil dalam tangan Edeelar Niuwhuyzen. Langkah ini diambil agar Van Swieten dapat mengambil keputusan yang cepat dan tegas untuk menghadapi perlawanan Aceh.

57

(32)

Li Bieng Tjhet, Tjo Gee, Si Diman, Ramasamy, Si Kitab, Ameran, Malela dan Said Muhammad bin Abdurrahman Maysore.58

Pada tanggal 28 Nopember 1873 tentara kolonial Belanda di bawah pimpinan van Swieten tiba di perairan Aceh.

59

Akan tetapi pendaratan pasukan dilakukan pada tanggal 9 Desember 1873 dibawah pimpinan Mayor Jendral Verspick di Pantai Kuala Lue dan besoknya berkumpul di Kuala Gigieng. Enam hari kemudian mereka baru dapat mencapai Kuala Aceh, yang kemudian menuju Peunayong dan Gampong Jawa (Aceh Besar) untuk berperang.60

Dalam menghadapi serangan dari tentara Belanda, Laskar Aceh sangat bersemangat tinggi. Hal ini disebabkan karena kemenangan mereka ketika Agresi Belanda Pertama dan juga besarnya bantuan yang datang ke Aceh Besar, seperti bantuan dari Uleebalang Mereudeu, Uleebalang Pidie yang berkekuatan 500 orang.61

(33)

Keraton Aceh akhirnya jatuh pada pukul 12 siang tanggal 24 Januari 1874. J. Van Swieten menduduki Istana Kerajaan yang telah dikosongkan. Kemudian Van Swieten menulis dan mengirim surat kepada Gubernur Jendral Loudon di Batavia yang berbunyi :

"24 Januari kraton is ons stop koning en vaderland gelukgewenschtmet deze over winning" (24 Januari kraton sudah di tangan kita titik raja dan tanah air diucapkan selamat 'atas kemenangan ini).

Disamping itu, Van Swieten juga mengumumkan proklamasi atas kemenangannya merebut Keraton Aceh yang berbunyi :

"Bahwa Kerajaan Aceh, sesuai dengan hukum-perang, menjadi hak-milik Kerajaan Belanda". Banda Aceh itu dinamainya "Kutaraja" dengan mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat pada tanggal 16 Maret 1874.63

Empat hari setelah Keraton jatuh ketangan Belanda (28 Januari 1874), Sultan Mahmud Syah mangkat, Beliau kemudian dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Untuk menggantikan Sultan Mahmud, maka diangkatlah Muhammad Daud yang berumur 7 tahun sebagai lambang kerajaan, dengan mangkubuminya Tuanku Hasyim Banta Muda.64 Mendengar kabar tersebut Van Swieten sangat menyesal karena sultan kala itu tidak dapat menandatangani surat penyerahan daerahnya kepada Kerajaan Belanda.65

Pada tanggal 25 April 1874 Jendral Van Swieten kembali ke Jawa, jabatannya diganti oleh Kolonel Pel. Pel mengadakan hubungan dengan Aceh supaya

63

Muhammad Said, op. cit., hlm.473.

64 Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhatara, 1980, hlm. 182. 65

(34)

berdamai dengan Belanda dan meminta rakyat untuk mengibarkan bendera Belanda. Beberapa golongan uleebalang berpihak kepada Belanda karena ajakan Kolonel Pel, namun tidak sedikit yang masih setia terhadap negerinya dan tetap mendukung perjuangan. Laskar Aceh terus berperang walaupun Keraton Aceh telah jatuh dan terbukti dengan tewasnya Kolonel Pel pada akhir Februari 1874. Posisinya kemudian digantikan oleh Jendral Wiggers Van Kerchem.66

Jendral Wiggers merencanakan memperkuat daerah Aceh Besar yang sudah dibawah kekuasaannya serta menaklukan daerah-daerah yang masih melawan. Maka Wiggers mendatangkan Jendral Diemont, namun Wiggers tidaklah puas dengan kinerja dari Jendral Diemont. Tidak lama kemudian didatangkan Jendral Karel Van der Heyden untuk memuluskan langkahnya tersebut.67

Van der Heyden diangkat sebagai Gubernur sipil dan militer untuk menggatikan peran dari Jendral Diemont pada Januari 1878. Heyden membujuk rakyat Aceh agar jangan menentang Belanda, tetapi apabila tetap melawan maka jalan kekerasan akan dilancarkannya. Jendral Heyden membangun kembali Mesjid Raya Banda Aceh yang terbakar untuk menarik simpati rakyat. Dalam bidang pertahanan, Heyden berusaha menaklukan seluruh lembah sungai di Aceh Besar, membangun pos-pos ditempat yang srategis serta melindungi penduduk yang tidak bermusuhan

66 Ismail Sunny, op. cit., hlm. 37. 67

(35)

dengan Belanda. Kegiatan patroli dilakukan terus menerus oleh pasukan Belanda untuk menguatkan posisi Belanda dibawah pimpinannya.68

Srategi Van der Heyden sebagian besar berjalan dengan baik. Dengan menyerahnya Seulimun pada bulan September 1879 maka seluruh Aceh Besar berada dibawah kekuasaan Belanda. Semangat para Laskar Aceh mulai memudar, sikap pada masa perang ditunjukkan untuk menghadapi musuh berubah dengan sikap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap dari sergapan tentara Kompeni Belanda.

69

Untuk menghadapi situasi yang semakin sulit, beberapa langkah penting diambil diantaranya mengadakan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin terkemuka Aceh untuk mengadakan suatu musyawarah yang dipimpin Teungku Lueng Bata dan Teungku Lamnga. Mereka mengikrarkan sumpah “Wajib Perang Sabil” untuk mengusir Belanda. Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan bersama dalam musyawarah itu, maka para ulama mengambil peranan aktif dan penting baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai koordinator perlawanan rakyat terhadap Belanda.

70

1. Sifat jihad, rakyat yang diwajibkan turut serta memanggul senapang atau kelewang (tegasnya bertempur) adalah mereka yang sudah menyatakan sukarela untuk ambil bahagian langsung ;

(tanggal dari peristiwa ini belum ditemukan dalam catatan sejarah).

Hasil dari musyawarah ini juga ditujukan untuk rakyat umum, dengan memberikan mereka aturan-aturan yang berisi :

(36)

2. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk segera memperbaiki mesjid yang rusak akibat perang supaya kewajiban ibadat tetap terpelihara ;

3. Rakyat diwajibkan gotong-royong untuk bersama-sama mengatasi akibat perang ;

4. Dalam masa perang dilarang mengadakan pertemuan-pertemuan sukaria yang tiada bertalian dengan agama, seperti seudati dan yang seperti itu ;

5. Setiap yang membutuhkan bantuan, wajib diberi bantuan oleh penduduk, terutama jika mereka memerlukan pemondokan dan persembunyian ;

6. Apabila diperlukan untuk membikin benteng (kuta), rakyat diwajibkan bergotong-royong ;

7. Ulama setempat berwenang memberikan bantuan dan/atau menerima pengaduan-pengaduan rakyat di dalam mengatasi kesulitan yang dideritanya.71

Dukungan terhadap para pemimpin-pemimpin Aceh yang masih aktif terus berjuang juga datang dari “Dewan Delapan” yang berada di Penang dibawah pimpinan Teungku Paja.72

71 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 39. 72

Ibid., hlm. 39-40.

Dia mengirimkan sepucuk surat dengan perantaraan Panglima Polem kepada kerajaan Aceh yang berisi sebagai berikut :

(37)

Demikian kami mendapat kabat.

Kamipun ingin mengabarkan juga bahwa Perdana menteri Inggeris bernama Gladstone sudah diganti oleh Perdana Menteri baru yang bernama Disraeli, Gladstone dijatuhkan karena terlalu menyebelah Belanda. Sedangkan sebaliknya Disraeli bukanlah sahabat Belanda.

Belanda sendiri pada waktu ini mengalami kesusahan uang. Kopi yang belum sampai (masih dalam perjalanan) sudah dijual murah-murah, sebab Belanda kekurangan uang. Selain daripada itu luas tersiar kabar bahwa Belanda telah banyak sekali tewas di dalam pertempuran. Jumlahnya 7000 orang. Demikian juga jendral-jendralnya, dan sejumlah 27 opsir yang berpangkat tinggi-tinggi mati, dan ada seorang panglima bernama Nono Bixio dan ada pula seorang pangeran Jawa turut tewas. . . .73

Di Lamsie, Aceh Besar, diadakan suatu perundingan rahasia yang bernama Perundingan Lamsie

Surat yang dikirimkan oleh Teungku Paja tersebut membuat semangat para laskar Aceh semakin kuat untuk merebut kembali “Aceh Lhee Sagoe” yaitu kabupaten Aceh besar dan Banda Aceh sekarang.

74

, yang diketuai oleh Panglima Polem75 yang dihadiri oleh Teungku Tjhik Abdul Wahab Tanoh Abeue dan sejumlah ulama dan uleebalang yang belum menyerah kepada kompeni Belanda. Masalah yang dibahas dalam perundingan adalah menggiatkan perang jihad untuk mengusir Belanda. 76

Dalam rapat itu Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abeue menegaskan bahwa tenaga perjuangan masih belum hancur seluruhnya, tetapi yang sudah kurang

73 Muhammad Said, op. cit., hlm. 474-475. 74

Perundingan Lamsie adalah suatu rapat rahasia yang diadakan di daerah Lamsie (Aceh Besar), lihat Ismail Jakub, op. cit., hlm. 38.

75 Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad

Daud adalah seorang panglima Aceh. Panglima Polem semasa hidupnya berjuang aktif untuk

kemerdekaan indonesia. Lihat

76

(38)

yaitu kesucian batin dan kekuatan hati, yang akhirnya beliau menutup nasehatnya dengan kata-kata:

"Sebelum kita memerangi musuh lahir, perangilah musuh batin dahulu, yaitu hawa nafsu. Harta rakyat yang ada pada kita masing-masing yang telah diambil karena menurut hawa nafsu, serahkanlah kembali dengan segera. Janganlah rakyat itu selalu teraniaya, tegakkanlah keadilan di tengah-tengah kita terlebih dahulu, sebelum kita minta keadilan pada orang lain. Dari itu tobatlah wahai teuku-teuku dahulu sebelum mengajak rakyat memerangi kompeni. Kalau tidak juga dikembalikan harta rakyat yang diambil dengan jalan yang tidak sah, yakinlah rakyat akan membelakangi kita dan kita akan tersapu bersih dari Aceh ini, melebihi dari yang sudah-sudah. Kalau yang saya minta teuku-teuku penuhi, maka saya akan bersama-sama Teuku-teuku kemedan perang. Bila tidak, saya dan murid-murid saya jangan dibawa serta. Dan saya pandang teuku-teuku berperang dengan saudara sendiri.”77

Teungku Panglima Polem kemudian menguatkan pendapat yang dikemukan oleh Teungku Chik Tanoh Abeue, agar para uleebalang mengembalikan harta rakyat. Kemudian bersama-sama menyerang Belanda yang telah menguasai Kutaraja. Langkah selanjutnya akan diatur dalam musyawarah yang akan datang.78

77 A. Hasjmy, op. cit., hlm. 40. 78

Ismail Jakub, op. cit., hlm. 40.

(39)

Para pejuang banyak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di daerah pedalaman di sekitar kaki Gunung Biram, dekat Lamtamot, kira-kira 10 km dari Seulimun. Sementara itu, Sultan Muhammad Daud Syah beserta rombongannya dipindahkan ke Keumala Dalam, Pidie. Kemudian daerah ini dijadikan pusat pemerintah Kerajaan Aceh sementara. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa Kerajaan Aceh masih mempunyai pemerintahan.79

Daerah Keumala Dalam dengan Tiro letaknya tidak terlalu jauh lebih kurang dua kilometer. Daerah Tiro pada saat itu terkenal dengan ulama yang berkarisma dan disegani di daerah Pidie yaitu “Teungku Syeh Muhammad Amin Dayah Cut”. Maka dikirimlah utusan dari Gunung Biram menuju Tiro untuk meminta bantuan menghadapi kompeni Belanda yang sudah menguasai Aceh Besar. Utusan tersebut bertemu dengan Teungku Syeh Muhammad Amin Dayah Cut dan menyampaikan amanah yang di bawanya dari Gunung Biram.

80

Amanah yang diterima dari utusan Gunung Biram tersebut dimusyawarahkan sebanyak dua kali oleh Teungku Dayah Cut. Hasil musyawarah pertama yaitu mengirimkan bantuan ke Aceh Besar. Kemudian keputusan dalam musyawarah kedua adalah mengangkat seorang pemimpin yang dapat menghidupkan kembali semangat para Laskar Aceh untuk berangkat ke Aceh Besar memimpin “perang sabil” yaitu perang melawan kafir Belanda. Maka diputuskanlah Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman atau yang lebih dikenal dengan gelar Teungku Chik Di Tiro yang

79 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 72. 80

(40)

menjadi Panglima Laskar Aceh untuk berangkat ke medan pertempuran di Aceh Besar.81

Mulai saat itu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman menjadi pimpinan perang sabil untuk menghadapi Belanda di Aceh Besar setelah mendapat restu dari pamannya Teungku Chik Dayah Cut dan Sultan Muhammad Daud Syah yang berada di Keumala Dalam.

82

81Ibid., hlm. 38.

82

A. Hasjmy, op. cit., hlm. 41.

Terpilihnya Teungku Chik Di Tiro tidak lepas dari semangatnya untuk berperang guna mengusir Belanda dari Aceh. Beliau diyakini dapat menghidupkan kembali semangat juang para laskar yang telah dilumat ketakutan ketika melihat keganasan Belanda merebut Keraton Aceh. Oleh karena itu Teungku Chik Di Tiro adalah tokoh pemimpin yang pantas untuk menghidupkan kembali semangat perang melawan serdadu Belanda di Aceh Besar.

(41)

BAB IV

PERAN KELUARGA TIRO DALAM PERANG DI ACEH BESAR

4.1 Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman

Muhammad Saman atau yang lebih terkenal dengan “Teungku Chik Di Tiro” adalah anak dari Teungku Syeh Abdullah dari desa Garot, Sigli (Aceh Pidie). Ibunya bernama Siti Aisyah, yang lahir pada tahun 1251 H (± tahun 1836 Masehi) di Dayah Krueng Cumbok lamlo, yang terkenal sekarang dengan Kota Bakti. Teungku Di Tiro semasa kecil hidup dalam lingkup kaum agama yang kuat, karena dia bergaul dengan murid-murid ayahnya yang mengajar ilmu agama Islam di Garot. Dia juga belajar Al Qur’an dan ilmu agama dalam Bahasa Djawi pada ibunya dan belajar tulisan Arab pada ayahnya. Memasuki usia 15 tahun Muhammad Saman sudah mempunyai ilmu-ilmu agama yang berguna, seperti tasawwuf, sejarah, mantiq,83

83

Ilmu mantiq atau logika adalah ilmu yang menelaah tata pikiran yang dituturkan dalam bahasa. Liha

ilmu bumi dan ilmu lain yang biasa dipelajari pada masanya. Dengan kemampuan yang ia miliki, maka

Akses

(42)

beliau menjadi tenaga pengajar bersama pamannya Teungku Chik Dayah Cut di Pesantren Tiro.84

Sebelum menjadi Panglima Perang, Teungku Chik Muhammad Saman memimpin Dayah Cot Murong dan mengajar di Dayah Cut, Tiro. Ilmu pengetahuan yang dipelajarinya setelah berangkat menunaikan ibadah haji diajarkan kepada para santri. Beliau juga menamkan semangat jihad kepada setiap santrinya. Teungku Chik Di Tiro juga berusaha mengajak santri dan masyarakat kepada persatuan dan kesatuan untuk berperang mengusir Belanda.85

Setelah mendapat mandat dari pamannya Teungku Chik Dayah Cut dan Sultan Muhammad Daud Syah yang berkedudukan di Keumala Dalam menjadi panglima perang sabil, Teungku Muhammad Saman mulai menyusun srategi dan mencoba menghimpun kembali barisan para laskar yang tersebar dan bersembunyi di pegunungan, seperti Gunung Biram yang berada di kaki Gunung Seulawah. Beliau juga memanggil beberapa teman baiknya seperti Pang Asyek, Teungku Muhammad Saleh Lampoh Raya dan Panglima Itam untuk bersama-sama berangkat ke Aceh Besar.

86

Cara lain yang ditempuh oleh Teungku Chik Di Tiro adalah mengadakan khotbah-khotbah dan kenduri yang bertujuan untuk menyebarluaskan ideologi perang sabil dan menyadarkan rakyat untuk berperang melawan Belanda. Acara tersebut juga Semangat juang yang telah hilang dari para Laskar Aceh mulai dihidupkan kembali oleh Teungku Chik Di Tiro.

(43)

dimaksudkan sebagai media informasi bagi orang-orang yang hadir dalam acara tersebut. Untuk menyadarkan para pemimpin seperti keuchik dan uleebalang yang telah mengakui kedaulatan Belanda, Muhammad Saman mengirimkan surat kepada mereka yang intinya meminta dukungan dan beralih membela negeri sendiri daripada memihak Belanda. Surat-surat tersebut dikirim melalui perantara seperti Habib Lamayong dan Habib Samalanga dibantu oleh pemimpin-pemimpin agama seperti Tengku Polem di Nyong, Teungku Awe Geutah Peusangan, Tengku Di Blang Bagoh dan lain-lain.87

Dalam perjalanan dari Tiro ke Aceh Besar pada awal tahun 1880, di berbagai tempat sepanjang jalan, Teungku Haji Muhammad Saman mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para ulama dan pemimpin rakyat, seperti di Garut (Pidie), Padang tiji (Pidie), Gunung Biram (Aceh Besar), Tanoh Abeue (Aceh Besar), Je Alang (Aceh Besar), Lamsie (Aceh Besar). Para ulama dan pemimpin rakyat yang dijumpainya, termasuk Teungku Panglima Polem dan Teungku Chik Tanoh Abeue, yang berjanji akan membantu usaha perang Teungku Chik di Tiro.88

Setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Tiro menuju ke Aceh Besar, akhirnya Teungku Chik di Tiro membina markas besarnya di Mereu dekat Indrapuri Tujuan pertemuan tersebut adalah agar para pemimpin rakyat yang masih aktif memberi dukungan terhadap angkatan perang sabil yang dipimpin oleh Teungku Chik Di Tiro yang akan menuju ke medan perang.

87 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 153. 88

(44)

(Aceh Besar) dengan jumlah laskarnya lebih kurang 6000 orang. Kehadiran Teungku Chik Di Tiro di Aceh Besar sebenarnya diketahui oleh tentara Hindia Belanda, namun Belanda menganggap penyerangan yang akan dilakukan akan mudah dipatahkan seperti sebelumnya. Dari Benteng inilah Teungku Chik Di Tiro mulai mengirim utusan ke segala penjuru Aceh untuk menjumpai para ulama dan pemimpin rakyat, sehingga dalam waktu tiga bulan saja keadaan di seluruh Aceh, terutama di Aceh Besar, telah terbakar oleh panasnya ”semangat jihad”.89

Teungku Chik di Tiro juga kedatangan seorang tamu yaitu Teungku Haji Muhammad Pante Kulu90 yang baru saja pulang dari Mekkah, yang dikirim oleh pamannya Teungku Chik Dayah Cut. Teungku Haji Muhammad Pante Kulu, yang lebih terkenal dengan nama "Teungku Chik Pante Kulu" mempersembahkan kepada Teungku Chik di Tiro sebagai Panglima Perang Angkatan Sabil, sebuah karya sastra yang bernama “Hikayat Prang Sabi”.91 Hikayat tersebut berisi dua hal pokok yaitu, seruan dan ajakan ke medan “perang sabil” dan peringatan akan kejahatan kafir dengan tipu dayanya.92

Pada bulan April tahun 1881, Belanda melakukan serah terima jabatan panglimanya di Aceh, dari Van Der Heyden kepada Pruys Van Der Hooven. Kegiatan

89

Ibid., hlm. 41.

90

Teungku Chik Pante Kulu bernama lengkap Teuku Chik Haji Muhammad Pante Kulu adalah pengarang karya sastra yang bernama Hikayat Prang Sabi yang berisi anjuran melawan kair Belanda. Lihat Ismuha, op. cit., hlm. 40.

91

Hikayat Prang Sabi (HPS) adalah sebuah karya sastra yang disusun dalam Bahasa Aceh bersajak yang berisi anjuran melawan kafir yang disebut Perang Fi sabilillah yaitu Perang di jalan Allah. Lihat Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 108.

92

Imran Teuku Abdullah, “Hikayat Prang Sabi Satu Bentuk Karya Sastra Perlawan”, dalam

(45)

patroli yang pernah dijalankan oleh Heyden dihentikan oleh Jendral Pruys. Kebijakan yang dilaksanakan Pruys menyebabkan lemahnya pertahanan Belanda sehingga laskar Aceh dapat memasuki wilayah Aceh Besar. Mereka juga dapat memasukkan apa yang mereka butuhkan melalui Pantai Ulee Lheue, seperti persenjataan dan perbekalan.93

Setelah mendapat restu dari Teungku Chik Dayah Cut, Muhammad Saman mulai melakukan serangan pertama pada bulan Mei 1881 yaitu menyerang Benteng Indrapuri yang dipimpin oleh Pang Lamreh. Benteng tersebut dapat direbut oleh Laskar Aceh. Belanda yang kalah akhirnya melarikan diri ke Benteng Gleue Kameng dan Krueng Jreue, Aceh Besar. Penyerangan kembali dilakukan pada akhir tahun 1881 yaitu ketika menyerang Samahani, Aceh Besar dan Belanda kembali mengalami kekalahan dalam menghadapi serangan dari laskar aceh tersebut.

94

Akibat kekalahan yang dialami oleh Belanda ketika penyerangan yang dilakukan oleh para pejuang Aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro maka bangkitlah semangat juang para laskar dan meningkatnya kepercayaan terhadap Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman. Perlu kita pahami pada dasarnya Teungku Chik Di Tiro bukanlah berasal dari kalangan pejuang aktif berjuang menghadapi agresi Belanda pertama dan kedua. Beliau dari kalangan ulama dan aktif mengajar di

dayah bersama pamannya di Tiro, Pidie. Jadi tidak mengherankan pada awal

munculnya Teungku Chik Di Tiro sebagai Pimpinan Prang Sabi timbul keraguan

93 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 75. 94

(46)

dikalangan para pejuang. Namun keraguan tersebut dijawab dengan ideologi semangat jihad fi sabilillah yaitu berperang dijalan Allah melawan kafir Belanda.

Pada tanggal 12 Juni 1882 Teungku Chik Di Tiro memerintahkan untuk membagi laskarnya menjadi tiga pasukan. Pembagian laskar ini bermaksud untuk menyerang tiga Benteng Belanda sekaligus yaitu Benteng Ulee Lheu, Lhok Nga, dan Lam Tong Aceh Besar. Namun siasat Teungku Chik diketahui oleh Belanda sehingga penyerangan yang direncanakan tersebut dapat dipatahkan oleh tentara Hindia Belanda. Para laskar yang gagal untuk menyerang benteng-benteng Belanda tersebut mundur dan menyusun srategi lain agar serangan selanjutnya dapat berjalan dengan baik.95

Teungku Chik Di Tiro mempunyai rencana untuk merebut kembali Aceh Besar terutama Keraton Aceh yang telah dikuasai Belanda selambat-lambatnya akhir tahun 1883. Oleh karena itu, beliau menggerakkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyerang benteng-benteng Belanda dalam waktu yang bersamaan. Penyerangan tersebut terjadi di beberapa lokasi seperti Benteng Aneuk Galong, Cot Bak Seutui, Kedeu Bieng dan Mata Ie. Akibat dari serangan yang terus menerus kedudukan Belanda kian lama semakin terdesak.

96

Pemeritah Hindia Belanda menganggap kepemimpinan dari Jendral Pruys Van Der Hoven sangatlah lemah. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya intensitas serangan yang dipimpin oleh seorang ulama yang berasal dari Tiro. Langkah yang

95

Kamajaya, Lima Putra-putri Aceh Pahlawan Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia, 1984, hlm. 11.

96

(47)

diambil oleh pemerintah Hindia Belanda di Batavia yaitu menggantikan Jendral Pruys dengan P.F Langing Tobias. Tobias berpendapat meskipun peperangan terjadi di sana-sini namun perlawanan oleh laskar aceh secara umum tidak ada lagi.97

Pada bulan Juli 1884, kekuasaan Teungku Chik Di Tiro yang mempimpin para laskar membuat kekuatan Belanda semakin lemah. Namun hal yang dicapai beliau sampai Juli 1884 dinodai oleh hasutan para uleebalang kepada Sultan Aceh Muhammad Daud Syah yang mengatakan Aceh akan menjadi negeri Teungku Chik Di Tiro. Fitnah tersebut mempengaruhi sultan dan pada bulan Agustus 1884 sultan mengeluarkan maklumat yang berisi bahwa bagindalah Raja Aceh yang sah dan berkuasa di seluruh Aceh. Ketika maklumat Sultan Muhammad sampai kepada Teungku Chik Di Tiro, beliau memberi pandangannya bahwa tidak ada orang yang ingin menjadi raja sekarang di Aceh. Beliau hanya bertindak sebagai Panglima Laskar Aceh yang bertujuan untuk mengusir belanda.

Aggapan tersebut jelas tidak berdasarkan fakta tentang seranga-serangan yang dilakukan serentak oleh Laskar Aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro.

98

F. Langing Tobias mempunyai rencana untuk berdamai dengan Aceh dan mengembalikan kesultanan Aceh karena posisi Belanda yang semakin sulit ketika itu. Gagasan Langing Tobias ditolak oleh menteri jajahan Belanda, Weitzel, karena gagasan itu dianggap tidak ada gunanya. Belanda tidak akan setuju jika kedaulatannya tidak diakui, sebaliknya Aceh juga tidak akan setuju untuk mengakui

97 Ibrahim Alfian, op. cit., hlm. 76. 98

(48)

kedaulatan Belanda. Akibat berbeda pendapat akhirnya F. Langing Tobias mundur dan digantikan oleh Jendral E. Demmeni sebagai pimpinan militer dan sipil pada tanggal 19 Agustus 1884.99

E. Demmeni diberikan tugas yang sangat penting, yaitu untuk menyelamatkan tentara Belanda di Aceh Besar yang sedang berperang dengan laskar Aceh. Demmeni diberi waktu selama enam bulan untuk menyelamatkan serdadu ke dalam suatu "lini konsentrasi". Hal ini disebabkan karena serangan-serangan yang terus dilakukan oleh laskar Aceh. Di atas kertas, lini tersebut membentang dari Kuta Pagami dan Lamteh di sebelah selatan melalui Lamboro hingga ke Kuta Pohama di sebelah timur, Aceh Besar. Dengan dibentuknya lini konsentrasi maka Demmeni dapat mengurangkan jumlah tentaranya sampai tiga batalyon infantri.

100

Belanda mulai membuat lini konsentrasi pada tanggal 20 Agustus 1884 yang terdiri dari 16 benteng dengan jarak antar benteng lebih kurang satu sampai dua kilometer. Benteng-benteng tersebut satu sama lainnya dihubungkan dengan jalur kereta api. Setelah membangun lini konsentrasi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda berharap bahwa kedudukan mereka di Kutaraja akan aman dari serangan para laskar Aceh yang tengah giat-giatnya menyerang pasukan Belanda.101

(49)

menganggap Tengku Chik Di Tiro berhasil mengubah ideologi peperangan melawan mereka menjadi ideologi Prang Sabi, yaitu suatu perang agama, dan beliau berhasil mendamaikan para uleebalang yang saling berselisih. Rakyat yang siap tempur berbondong-bondong datang untuk menjadi laskar dan rela mati dalam peperangan karena pada akhirnya akan dianggap mati syahid.102 Hal-hal yang demikian menjadikan Teungku Chik Di Tiro sebagai tokoh yang paling takuti Belanda masa itu.103

Jendral E. Demmeni meninggal pada bulan Desember 1886 dan digantikan oleh Kolonel H.K.F. van Teijn. Ia diberikan tugas untuk mempertahankan lini konsentrasi yang telah dibangun oleh Belanda dan memulihkan kembali kekuasaan sultan di Aceh Besar dibawah kerangka pemerintah Hindia Belanda. Pada masa Van Teijn serangan dari laskar aceh dibawah pimpinan Teungku Chik Di Tiro tidak berkurang, sebaliknya posisi Belanda semakin sulit dalam lini konsentrasi. Disamping itu, Teungku Chik Di Tiro juga memberlakukan aturan “Top Larang” yaitu sebuah aturan yang melarang seluruh masyarakat Aceh mengadakan hubungan perdagangan dengan pasukan Belanda yang terkurung dalam lini konsentrasi di Aceh Besar.104

Pada tahun 1887, Teungku Chik Dayah Cut paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia. Sejak awal perjuangan, Teungku Chik Dayah

102 Mati Syahid adalah seorang muslim yang meninggal ketika berperang atau berjuang di

jalan Allah atau mempertahankan hak dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah SWT. Lihat Hasbi Amiruddin, op. cit., hlm. 50.

103 H.C Zentgraaff, op. cit., hlm. 16. 104

(50)

Cut memainkan peranan yang cukup penting sebagai penghubung markas besar di Benteng Mereu (Aceh Besar) dengan daerah Tiro yang berfungsi untuk melaporkan hal-hal yang penting ke Tiro dan memberikan bantuan-bantuan untuk perjuangan Teungku Chik Di Tiro bersama barisan laskarnya di Aceh Besar, baik berupa tenaga maupun harta.105

Pada awal Oktober 1887, Teungku Chik Di Tiro melancarkan serangan ke lini pertahanan Belanda di sekitar Meusapi dan Rajabedil (Aceh Besar) dengan kekuatan 400 orang pasukan. Dalam pertempuran tersebut 41 orang tewas dipihak Aceh, sedangkan Belanda kehilangan empat orang dan 17 luka-luka. Jendral Van Teijn kemudian mengambil langkah meninggalkan politik menunggu untuk bertahan dalam lini konsentrasi. Van Teijn juga menjatuhkan sanksi kepada masyarakat Aceh Besar yang dianggap membantu laskar aceh dengan melarang warga menangkap ikan, dan bagian-bagian dari pantai Aceh yang srategis ditutup.106

Laskar Aceh tidak hanya melakukan serangan-serangan ke beberapa benteng milik Belanda, mereka juga melakukan pengrusakan kabel telepon sepanjang 51.000 meter dan menanam ranjau-ranjau di bawah jembatan kereta api. Selama tahun 1889 Teungku Chik Di Tiro bersama laskarnya melancarkan serangan ke benteng Lambaro, Lamreung, dan Lampeneurot. Sampai akhir tahun 1889 seluruh lini Belanda mendapat tekanan yang sangat kuat dari barisan pejuang Aceh.

(51)

Dikalangan perwira tinggi Belanda Teungku Chik Di Tiro dianggap sebagai orang yang congkak dan angkuh. Penilaian tersebut diberikan Belanda kepadanya setelah Teungku Chik Di Tiro mengirimkan surat yang berisi agar semua residen Belanda beralih masuk Islam untuk menghindari nasib terusir secara hina dari Aceh. Surat Teungku Chik Di Tiro mendapat kecaman dari Belanda karena menurut mereka perang Aceh bukanlah perang Agama. Hal ini membuat niat Belanda untuk melenyapkan pimpinan Angkatan Sabi ini semakin kuat.108

Pemerintah Hindia Belanda mempunyai sebuah keyakinan bahwa perlawanan yang dimobilisasi Teungku Chik Di Tiro tidak akan pernah ada habisnya. Maka seandainya Ulama Tiro tersebut dapat dilenyapkan maka berakhirlah Perang Aceh. Belanda mulai mengatur siasat mencari orang lokal yang bersedia melaksanakan tugas tersebut dan segala permintaanya akan dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.109

Usaha Belanda untuk membunuh Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman akhirnya berhasil melalui perempuan tua yang bernama Nyak ubit. Pada saat Teungku Chik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seulimeng (Aceh Besar), beliau dijamu hidangan kenduri yang telah diberi racun oleh Nyak Ubit. Setelah menyantap makanan tersebut, kesehatan Teungku Chik Di Tiro mulai menurun. Keadaan yang demikian membuat Teungku Chik Di Tiro memanggil seluruh panglima dan keluarganya, beliau berpesan hendaklah peperangan diteruskan. Tiga hari kemudian,

108 H.C Zentgraaff, op. cit., hlm. 27. 109

(52)

tepatnya 25 Januari 1891, Teungku Chik Di Tiro akhirnya meninggal pada usia 55 tahun.110

Teungku Muhammad Amin atau yang lebih dikenal Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin diangkat menjadi Panglima Laskar Aceh oleh sultan pada tahun 1892 untuk melanjutkan perjuangan yang telah digariskan ayahnya. Mat amin, begitu Belanda menyebutkan namanya, tidak mempunyai kemampuan yang sepadan dengan ayahnya. Belanda menganggap dia bukanlah seorang pemimpin yang besar dan berpengaruh. Tengku Mat Amin adalah anak tertua dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.

4.2 Teungku Chik Di Tiro Muhammad Amin

Dengan meninggalnya Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman maka

barisan Laskar Aceh kehilangan tokoh yang sangat penting dalam menghadapi sepak terjang tentara Hindia Belanda di Aceh Besar. Namun seperti telah diwasiatkan beliau yaitu peperangan wajib diteruskan sehingga dicarilah pengganti untuk memimpin angkatan perang sabil yang bertujuan mengusir Belanda dan tidak mengenal damai.

111

Dalam melanjutkan perjuangan ayahnya, Teungku Muhammad Amin menetapkan Benteng Aneuk Galong (Aceh Besar) sebagai markas besar laskar Aceh. Beliau terus melanjutkan perjuangan dan menjalankan program yang telah dijalankan ayahnya seperti “Top Larang” dan memperkuat benteng-benteng yang telah direbut

110 Ismuha, op. cit., hlm. 39. 111

(53)

dari tangan belanda seperti Benteng Lamgut, Bihui, Lamnyong, Kuta Pahama dan lain-lain.112

Pada bulan Juli 1896 Belanda mengerahkan pasukan dibawah komando Graafland, untuk mengepung Benteng Aneuk Galong. Benteng tersebut dipertahankan dengan gigih oleh kurang dari 200 Laskar Aceh dibawah pimpinan Teungku Mat Amin. Namun Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan dan jumlah tentara sehingga benteng tersebut tidak dapat dipertahankan oleh laskar Aceh.113

“Kini cerita saya mengenai perjalanan saya yang terakhir, sukses besar merebut Anakgalong. Tepat pada jam 12 tengah malam tanggal 28, kami bergerak dengan kekuatan dua batalyon serta barisan marsose menuju Lambaru, dibawah pimpina overste Van Heust, dan saya sendiri sebagai kepala staf. Setelah berhenti minum secangkir di tempat overste Bisschoff di Lambaru, pada jam 02.30 kami bergerak meneruskan barisan menuju Anakgalong. Hari terang bulan dan berita yang kita terima mengatakan bahwa benteng tersebut dipertahankan oleh lebih kurang 200 orang. Ditengah perjalanan terdapat dua buah jembatan yang dirusakkan, sehingga hal itu menyusahkan kita pula. Namun, jam setengah lima kami tiba di muka benteng tersebut, dan pada jam lima kurang seperempat terdengar tembakan pertama, dan penyerbuan dimulai dengan perkelahian satu lawan satu di dalam benteng, dan pada jam lima semua beres sudah. Detik-detik yang mengesankan sekali pertempuran itu; keadaan gulap gulita, dan yang terdengar hanyalah letusan senapan serta jeritan inlander-inlander saja. Pihak Aceh meninggalkan korban 110 Suasana perang tersebut digambarkan oleh Jendral Van Daalen yang ikut ambil bagian dalam penyerangan tersebut melalui sepucuk surat bertanggal 5 Juli 1896 yang dikirim kepada isterinya yang tinggal di pulau Jawa. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut :

112 Ismail Jakub, op. cit., hlm. 148. 113

(54)

yang tewas jatuh ke pihak kita serta dua orang yang masih hidup, yakni anak lelaki usia 5 serta 6 tahun yang luka ringan.”114

Akibat serangan yang dilancarkan pasukan Belanda tersebut, Teungku Mat Amin tewas dalam mempertahankan Benteng Aneuk Galong. Jasadnya kemudian di kebumikan dekat makam ayahnya di Mereu, dekat Indrapuri (Aceh Besar).115

4.3Teungku Chik Di Buket Di Tiro

Teungku Chik Di Buket Di Tiro atau yang sering disebut Teungku di Buket bernama lengkap Teungku Muhammad Ali Zainal Abidin. Ia adalah satu-satunya putra Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman dengan isteri kedua Cut Nyak Aceh.116

Teungku di Buket juga dikenal dengan prinsip pantang menyerah kepada Belanda walaupun semakin lama kekuatan dan semangat juang dari para laskar Aceh terus menyusut. Beliau tetap menjaga wasiat yang telah diamanahkan oleh ayahnya sebelum wafat yaitu tetap melanjutkan perang menghadapi kafir Belanda. Dibawah komando beliau para pejuang tetap melakukan perlawan dengan berbagai cara, diantaranya menyerang pos-pos Belanda dan melakukan taktik bergerilya.117

Sepak terjang beliau akhirnya terhenti ketika penyerbuan tiba-tiba dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 21 Mei 1910. Dibawah pimpinan Komando Sersan Mollier, Belanda melancarkan serangan terhadap barisan pejuang Teungku Di Buket

(55)

yang berakhir dengan tewasnya 12 Laskar Aceh, diantaranya Teungku Di Buket sendiri. Jasad Teungku Di Buket sendiri kemudian dibawa ke Gunung Halimon dan dikebumikan di daerah tersebut.118

4.4Teungku Chik Di Tiro Mahyiddin

Dengan tewasnya Teungku Chik Di Buket Di Tiro akibat serbuan serdadu Belanda, maka pimpinan Angkatan Perang Sabil dipegang oleh Teungku Chik Di Tiro Mahyiddin. Beliau sendiri adalah anak ketiga dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.

Teungku Mahyiddin mulai terjun ke medan perang semasa ayahnya masih menjadi panglima perang. Pada tahun 1881 Beliau pernah menyerang pos-pos Belanda di sekitar Indrapuri, Aceh Besar. Semenjak itu Teungku Mahyiddin mulai aktif mempertahankan Benteng Lamkrak yang merupakan benteng terbesar kedua setelah Benteng Aneuk Galong. Pasca jatuhnya Benteng Aneuk Galong ke tangan Belanda, Benteng Lamkrak kemudian dijadikan markas besar bagi Laskar Aceh untuk bertahan dan menyusun srategi.119

Pasukan Belanda terus memusatkan perhatian untuk melemahkan posisi Ulama Tiro yang terus silih berganti. Belanda memusatkan kekuatan untuk menyerang laskar Aceh di bawah komando Van Heutsz, tujuannya adalah Benteng Lamkrak. Penyerangan yang dilakukan Belanda secara besar-besaran membuat

118 Zentgraaff, op. cit., hlm. 57. 119

(56)

Teungku Mahyiddin harus menyingkir dan meninggalkan Benteng Lamkrak menuju Mereu. Dari sinilah dapat kita pahami bahwa kekuatan dari laskar Aceh sepeninggalnya Teungku Chik Di Tiro Muhammmad Saman semakin melemah.120

Akibat serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Belanda, Benteng Mereu akhirnya jatuh ketangan Belanda. Benteng tersebut menjadi basis pertahanan terakhir para laskar Aceh dibawah kepemimpinan Teungku Chik Mahyiddin di wilayah Aceh Besar. Dengan jatuhnya benteng-benteng tersebut ketangan Belanda akhirnya Teungku Mahyiddin mundur bersama sebagian besar pasukannya ke Cot Kan, Tiro (Pidie). Mereka kemudian melakukan perang gerilya untuk menyerang barisan pasukan Belanda yang sedang memburu rombongan mereka.

121

Setelah mengumpulkan informasi tentang keberadaan Teungku Chik Mahyiddin, akhirnya pada tanggal 5 September 1910 Belanda mengetahui lokasi keberadaan Teungku Chik Mahyiddin. Belanda menyusun siasat untuk mengepung lokasi tersebut. Dibawah pimpinan Letnan Schmidt mereka menyerang lokasi yang diyakini ditempati oleh Teungku Mahyiddin. Pertempuran yang tidak berimbang tersebut dimenangkan oleh Belanda dan turut gugur didalamnya adalah Teungku Chik Mahyiddin dan kemudian dikebumikan di Pulo Mesjid Tangse, Pidie.122

120

Zentgraaff, op. cit., hlm. 57.

121

A. Wahab Umar Tiro, Peranan Teungku-teungku Di Tiro Dalam Perang Atjeh. Dalam

Rangka Menyambut Pekan Kebudayaan Aceh II, 1972, hlm. 30.

122

(57)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perjuangan keluarga ulama tiro dalam perang di Aceh Besar untuk menentang penjajahan Belanda di mulai ketika Istana/ Keraton Aceh jatuh ketangan Belanda. Perjuangan tersebut dipelopori oleh salah satu tokoh ulama termuka di Pidie yaitu Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman. Setelah Aceh Besar jatuh ke tangan Belanda, para pejuang Aceh terpaksa mundur ke Gunung Biram (kaki Gunung Seulawah) untuk menyelamatkan diri dari gempuran para serdadu Belanda. Hal ini membuktikan bahwa semangat dan persatuan dibarisan laskar Aceh mulai luntur.

Munculnya kader ulama Tiro (1881) erat hubungannya dengan keadaan pejuang Aceh saat itu yang kehilangan semangat juangnya. Setelah mendapat restu dari Teungku Chik Dayah Cut, berangkatlah Teungku Chik Di Tiro ke Gunung Biram bersama dengan pengikutnya untuk menemui para pejuang yang berdiam di kawasan ini. Beliau menanamkan ideologi perang sabil untuk membangkitkan kembali semangat para laskar Aceh agar kembali mengangkat senjata melawan Belanda yang telah menduduki Aceh Besar.

(58)

Kalimantan dan lain-lain. Dari merekalah Syeh Saman mendapatkan informasi bahwa bertahun-tahun mereka juga berperang melawan Belanda untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Seruan Perang Sabil yang dikumandangkan oleh Tgk Chik Di Tiro mendapat sambutan hangat dari berbagai kalangan, baik kaum ulama maupun panglima. Dengan adanya bantuan tersebut, Tgk Chik Di Tiro semakin kuat dan siap menghadapi Belanda. Hasil usaha menghimpun kekuatan pejuang tidak lah sia-sia. Teungku Chik Di Tiro berhasil menghimpun kekuatan sebanyak 6000 orang pasukan.

Suatu hal penting yang harus di ingat, sejak Teungku Chik Di Tiro maju sebagai pimpinan perang sabil, para laskar Aceh kembali menemukan kepercayaan diri untuk menghadapi Belanda di medan perang. Satu persatu benteng Belanda di taklukan, seperti benteng Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain.

Berbagai usaha dilakukan Belanda untuk melenyapkan kekuasaan keluarga Teungku Chik Di Tiro. Selain lewat peperangan juga melalui imbalan bagi siapa saja yang dapat menangkap Teungku Chik Di Tiro hidup atau mati. Siasat Belanda tersebut akhirnya berhasil. Teungku Chik Di Tiro meninggal dunia pada tanggal 25 Januari 1891 setelah menyantap makanan yang telah di bubuhi racun kedalamnya.

(59)

Pada tahun 1896, pasukan Belanda menyerang Benteng Aneuk Galong. Pertempuran ini di menangkan oleh Belanda dan Teungku Chik Muhammad Amin menjadi korban dari serangan Belanda tersebut. Dengan jatuhnya Benteng Aneuk Galong, menyebabkan para laskar terpaksa mundur ke daerah pedalam Pidie. Pimpinan angkatan perang yang telah kosong segera di isi oleh Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket. Mereka mendirikan pusat pertahanan di sekitar Gunung Halimon, Tangse (Pidie).

Perjuangan anak-anak dari Teungku Chik Di Tiro terus berlanjut, walaupun kenyataannya posisi mereka terus terdesak oleh siasat Belanda yang ingin menghancurkan seluruh keluarga ulama Tiro tersebut. Teungku Di Buket dan Teungku Mahyiddin tidak mengenal damai dengan kompeni Belanda. Teungku Di Buket meninggal dalam sebuah penyerbuan tanggal 21 Mei 1910. Tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 5 September 1910 Teungku Chik Mahyiddin juga tewas dalam menghadapi pasukan Belanda.

Keberanian keluarga ulama Tiro dalam menentang penjajahan di Aceh besar sangat merepotkan kekuasan Belanda. Zentgraaff menyebutkan “tidak ada satu keluarga Aceh pun pada waktu itu yang begitu besar pengaruhnya dalam Perang

Aceh, selain keluarga ulama Tiro. Dan tidak pula ada satu keluarga Aceh lainnya,

(60)

5.2 Saran

Melihat dari kesimpulan di atas bahwa besarnya peran dari keluarga ulama Teungku Di Tiro. Oleh karena itu penulis menyarankan :

1. Tulisan ini diharapkan dapat memberi contoh kepada seluruh generasi penerus bangsa bagaimana keberanian dari keluarga ulama Tiro dalam menentang penjajahan Belanda di Aceh Besar dalam mempertahankan agama, bangsa dan negara di medan peperangan.

2. Melihat besarnya jasa-jasa keluarga tersebut, sudah sepantasnya kita memberikan penghormatan terhadap Teungku Chik Di Tiro beserta keturanannya dalam menentang kekuasaan Belanda di Aceh.

3. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya. Mengingat perjuangan keluarga Teungku Chik Di Tiro yang lebih memilih mati syahid dalam medan pertempuran dari pada menyerah dan tunduk pada kekuasaan Belanda adalah suatu hal yang penting untuk di kenang.

(61)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH TIRO

2.1Geografis

Tiro adalah sebuah kecamatan di daerah Sigli, Aceh Pidie, Aceh. Tiro sendiri terbagi menjadi beberapa desa yang dipimpin oleh seorang keuchik.29 Statistik daerah

Kecamatan Tiro terdiri dari sembilan belas desa yaitu Blang Rikui, Panton Beunot, Dayah Cot, Dayah Kampung Baro, Dayah Baroh, Dayah Teungoh, Pulo Keunari, Pulau Tambo, Peunadok, Pulo Glumpang, Mancang, Panah, Pulo mesjid, Trieng Cudo Tunong, Mampree, Trieng Cudo Baroh, Rabo, Pulo Siblah, dan Lhok Igeuh. Ibu kota Kecamatan Tiro berada di Desa Mancang.30

Daerah Tiro memiliki batas wilayah kecamatan sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Mutiara Timur. Sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Glumpang Tiga. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sakti dan Kecamatan Titeu. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tangse. Kecamatan Tiro memiliki luas sebesar 255 km2. Daerah ini terletak di hamparan dan lembah pegunungan bukit barisan. Rata-rata ketinggian adalah 20-180 m diatas permukaan laut. Secara klimatologi memiliki curah hujan rata-rata 1,485.6 mm/tahun dengan suhu rata-rata berkisar 26-27o

29

Keuchik adalah sebutan masyarakat Aceh kepada kepala desa yang berfungsi sebagai

pelaksana roda pemerintahan desa. Lihat Alfian, Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 55.

30

Kecamatan Tiro/Truseb Dalam Angka 2012, Pidie: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sigli, 2012, hlm. 1.

(62)

Pada masa perang Aceh, daerah Tiro memainkan peran yang sangat penting. Hal ini disebabkan daerah Tiro belum dikuasai Belanda dan letaknya yang jauh dari pantauan kompeni Belanda. Faktor lain yang membuat daerah Tiro ini menjadi penting karena pendapat menyatakan bahwa pimpinan ulama Pidie saat itu adalah di Tiro.31 Kenyataannya bahwa masyarakat Aceh sangat menghormati tokoh ulama untuk dijadikan panutan dan penunjuk arah dalam kehidupan. Sehingga para laskar Aceh berangkat ke Tiro untuk meminta pertolongan pasca Keraton Aceh jatuh ke tangan Belanda.

Daerah Tiro terletak di pedalaman Sigli di kaki Gunung Halimon. Oleh karena itu, daerah ini merupakan salah satu daerah penyuplai kebutuhan angkatan perang yang berada di Aceh Besar. Selain itu, daerah Tiro menjadi pusat informasi bagi bagi para laskar Aceh melalui Teungku Chik Dayah Cut mengenai keadaan di kawasan Pidie dan sekitarnya.

Statistik daerah Kecamatan Tiro kecamatan tiro terdiri dari 43 dusun dengan jumlah rumah tangga sebanyak 2061 ruta dan 7412 jiwa penduduk. Pemerintahan desa masing-masing dipimpin oleh keuchik gampong dan kepala dusun, untuk mempermudah administrasi desa dibantu oleh aparat desa antara lain sekretaris

keuchik serta perangkat desa.

31

(63)

2.2Pendidikan Keagamaan

Sebelum kedatangan Belanda, eksistensi pendidikan agama di daerah Aceh sudah sangat kuat. Hal ini dibuktikan keberadaan meunasah32 dan dayah yang

dijadikan sebagai sarana pendidikan agama Islam di Aceh. Di sisi lain, realitas bahwa masyarakat Aceh merupakan penganut agama Islam fanatik yang menempatkan ajaran-ajaran Islam sebagai satu-satunya basis nilai dan sistem pandangan dunia (world view).33

Di daerah Tiro sendiri, sebelum kedatangan Belanda telah berdiri sebuah

dayah yang yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut. Beliau sendiri merupakan

paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman yang maju sebagai panglima perang Laskar Aceh dalam menghadapi Belanda di Aceh Besar. Dayah tersebut Keberadaan lembaga dayah dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah penting, dan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang berkualitas, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu sarat dengan nilai ke islaman. Oleh karena itu, dayah dan meunasah di Aceh tidak sulit untuk dijumpai dan tersebar di seluruh Aceh.

32

Meunasah adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang berada di tiap-tiap desa di Aceh. Meunasah mempunyai fungsi sebagai tempat beribadah, belajar, musyawarah, pusat informasi, tempat kenduri massal di kampung, tempat menginap bagi musafir dan juga tempat pejabat-pejabat kampung memutuskan dan memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 68.

33

Nirzalin, “Krisis Agensi Politik Teungku Dayah Di Aceh”, dalam Ringkasan Disertasi,

(64)

menjadi tempat bagi para santri yang datang dari segala penjuru Aceh untuk belajar ilmu Agama Islam.

Selain dari dayah yang dipimpin oleh Teungku Chik Dayah Cut di daerah Tiro, di Pidie juga terdapat beberapa pusat pendidikan agama Islam seperti di Langga, Langgo, Sriweue, Simpang, Ie Leubeue (Ayer Labu). Namun daerah Tiro mempunyai daya tarik sendiri bagi para santri yang ingin menuntut ilmu kesana. Hal ini disebabkan kepintaran Teungku Chik Dayah Cut dalam bidang agama Islam yang sudah sangat dikenal di hampir daerah diseluruh Aceh.34

Wilayah Tiro tampil terhormat dikarenakan kehadiran kader-kader ulama dan terdapatnya makam keramat tokoh-tokoh pendahulunya. Tidak ada orang yang berani membawa senjata di kawasan ini, walaupun pada masa perang sekalipun. Hukum dan landasan agama mejadi landasan yang kuat di daerah Tiro. Hasilnya masyarakat yang dibesarkan di daerah Tiro merasa sudah ditakdirkan untuk mendalami hukum agama yang mulia sehingga Tiro terkenal sebagai daerah yang kuat dalam penegakan syariah dan hukum-hukum agama Islam.

35

Status atau gelar teungku di Aceh terkait erat dengan kualitas kewibawaan personal serta pengetahuan tentang Agama Islam yang kuat bukan berdasarkan genealogis (keturunan). Seseorang yang dinyatakan mempunyai kemampuan yang

(65)

baik dan layak menyandang status teungku akan nampak dari keseharian dan tingkah lakunya. Hal itu terlihat dari kemampuannya memimpin acara keagamaan dan menjadi panutan masyarakat dalam penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan. Kemudian layak atau tidaknya seseorang digelar teungku juga dilihat dari ketaatannya dalam aktivitas sehari-hari.36

Pada periode Kerajaan Aceh Darussalam peranan teungku sangat dominan. Dengan kualitas intelektualnya, mereka tidak hanya mampu mempengaruhi struktur

Hubungan kekuasaan teungku dengan masyarakat Aceh tidak dibangun berdasarkan kekayaan ekonominya tetapi semata-mata berdasarkan ilmu, spiritual dan ikatan ideologis keagamaannya dengan masyarakat. Di aceh, sawah dan kebun bukan sesuatu yang langka di miliki masyarakat. Hal ini menyebabkan mereka tidak bergantung pada sumber ekonomi teungku dayah bahkan sebaliknya teungku

dayahlah yang bergantung secara ekonomi pada masyarakat melalui bantuan-bantuan

agama seperti shadaqah, infaq, nadzar, dan jakeut (zakat).

Di daerah Tiro bahkan seluruh Aceh pada masa kesultanan, gelar teungku

dayah dapat dikatakan sebagai seorang ulama. Keputusan dan tindakan mereka yang

sangat dihormati masyarakat dan di anggap sebagai sebuah fatwa yang harus dilaksanakan. Masyarakat memandang para teungku (ulama) sebagai umat yang di istimewakan Tuhan dan merupakan pewaris nabi. Sakralitas teungku dayah yang disokong oleh pengetahuan agama dan kekuatan spiritualnya melahirkan kepercayaan bahwa mereka merupakan tokoh yang suci dan keramat (karamah).

36

(66)

pemerintahan namun dapat mengendalikannya. Hal ini ditunjukkan pada posisi struktural mereka sebagai Qadhi Malikon Ade (Ketua Mahkamah Agung) dan diplomat yang handal dalam urusan-urusan internasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan konsep agama dan politik yang menjadi kebijakan kerajaan banyak lahir dari mereka.37

Eksistensi para teungku yang sangat besar di Aceh menyebabkan Perang Aceh melawan Belanda di bawah agensi teungku. Mereka mengubah pandangan masyarakat dari perang mempertahankan negara menjadi perang mempertahankan negara dan agama Islam sekaligus. Keberhasilan para teungku melakukan transformasi perang ini sebagai perang agama atau jihad fi sabilillah (perang di jalan Allah) menyebabkan mereka dan para pengikutnya tidak lagi memaknai Belanda sebagai musuh negara tetapi sebagai musuh agama atau kafir.38

37

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera Hingga

Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 91.

38

Nirzalin, op. cit., hlm. 19.

Gambar

Gambar 1 Peta Aceh tempo dulu
Gambar 3 J. Van Swieten (panglima ekspedisi kedua ke Aceh)
Gambar 4
Gambar 5 Foto Perwira Belanda
+7

Referensi

Dokumen terkait

kepada teller beserta buku tabungan dan uang tunai setoran awal, nasabah.. menunggu untuk diberikan bukti penyetoran dan buku tabungan

Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat rencana produksi menggunakan Newsboy Problem karena produk susu termasuk Perishable Product

audience maka konsep desain yang digunakan dalam perancangan ini adalah “Bumi Cendrawasih”. Konsep ini berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan Kabupaten

Menurut Heizer dan Render (1999: 443) sebagaimana yang dikutip oleh Pawitan dan Paramastya (2008) merumuskan beberapa strategi pengelolaan persediaan berdasarkan

Hal ini disebabkan oleh karena saat usia tersebut anak sudah mulai mendapat makanan pendamping ASI, antibody yang didapat dari ibu mulai menurun, sudah dapat merangkak

1) Character adalah watak dari orang yang akan diberi kartu, kejujuran, kesungguhan dalam memenuhi janji dan keinginan untuk memenuhi janji. 2) Capacity adalah

atas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Ekonomi Kreatif...

Mahasiswa program studi D3 Kebidanan STIKes Santa Elisabeth Medan mendapat pengalaman nyata dalam melaksanakan Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Ny.W P 2 A 0 dengan