• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Rumah Sakit harus mengeliminasi dan mengurangi perkembangan agen penyebab infeksi dan faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan infeksi nosokomial.

2. Petugas, dokter, ko-as dan perawat harus mengambil langkah dalam mengatasi infeksi nosokomial, seperti menggunakan handscoon dalam melakukan tindakan, menggunakan masker, menggunakan alat yang steril, melakukan tindakan sesuai dengan peraturan dari Rumah Sakit dengan baik.

3. Rumah Sakit menetapkan atau memilih prioritas penyakit untuk diisolasikan, seperti pada pasien-pasien infeksius, diprioritaskan di ruang isolasi dan dilarang dikunjungi oleh keluarganya atau dilarang ditunggu. 4. Rumah Sakit harus menyingkatkan lama perawatan pasien di r u a n g rawat

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI NOSOKOMIAL 2.1 Definisi

Nosokomial berasal dari bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomian berarti tempat untuk merawat atau disebut sebagai rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial adalah adanya infeksi di rumah sakit dengan catatan sewaktu masuk ke dalam rumah sakit tidak dalam masa inkubasi. Umumnya telah tampak sewaktu pasien masih dirawat di rumah sakit, tapi sebagian (kira-kira 25% dari infeksi luka operasi), gejala-gejala akan timbul setelah pasien pulang (mims CA., et al)

Infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan menjadi jelas setelah keluar dari rumah sakit. Infeksi pada bayi baru lahir yang diakibatkan dari jalan lahir. (Infectious Disease Epidemiology Section Office of Public Health Louisiana Dept of Health & Hospitals).

2.2 Epidemiologi

Infeksi nosokomial merupakan suatu masalah yang nyata di seluruh dunia dan terus meningkat (Alvarado, 2000). Contohnya, kejadian infeksi berkisar dari terendah sebanyak 1% di beberapa Negara Eropa dan Amerika hingga 40% di beberapa tempat Asia, Amerika Latin dan Sub sahara Afrika (Lynch, dkk 1997). Pada 1987, suatu survei prevalensi meliputi 55 rumah sakit di 14 negara berkembang pada empat wilayah WHO (Eropa, Mediterania timur, Asia Tenggara, dan pasifik Barat) menemukan rata-rata 8.7% dari seluruh pasien rumah sakit menderita infeksi nosokomial. Jadi pada setiap saat, terdapat 1.4 juta pasien di seluruh dunia terkena komplikasi infeksi yang didapat di rumah sakit (Tikhomirov, 1987). Pada survei ini frekuensi tertinggi dilaporkan dari rumah sakit di wilayah Timur Tengah Mediterania dan Asia tenggara masing-masing

11,8% dan 10% (Mayon-white dkk 1988). Angka kejadian ini belum mencerminkan keadaan saat ini, karena pada waktu itu pandemik HIV/AIDS baru saja mulai. Terlebih lagi, survei tidak mengikutkan negara di Afrika di mana insidens infeksi nosokomial jauh lebih tinggi. Walaupun demikian, survei memberikan beberapa pedoman tentang infeksi nosokomial apa yang sering terjadi di negara berkembang. Infeksi tempat pembedahan, infeksi saluran kencing dan infeksi saluran napas bawah (pneumonia) merupakan jenis utama yang dilaporkan. Urutan ini berbeda dengan yang dilaporkan di AS, misalnya, infeksi saluran kencing dan saluran pernapasan lebih umum, diikuti oleh infeksi tempat pembedahan (Emori dan Gaynes 1993).

Penelitian WHO dan lain-lain, juga menemukan bahwa prevalensi infeksi nosokomial yang tertinggi terjadi di Unit Gawat Darurat, perawatan bedah akut, dan bangsal ortopedi. Tidak mengherankan apabila kejadian infeksi lebih tinggi di antara pasien yang lebih rentan karena usia tua, dan beratnya penyakit yang sedang diderita.

2.3 Etiologi 2.3.1 Agen Infeksi

Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama ia dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada karakteristik mikroorganisme, resistensi terhadap zat-zat antibiotika, tingkat virulensi,dan banyaknya materi infeksius (Ducel, G, 2002).

Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Bakteri dan virus biasanya sering, jamur dalam kategori kadang-kadang dan parasit pula jarang dalam menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri (self infection). Kebanyakan infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui

makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal (Ducel, G, 2002).

Jenis mikroba penyebab Infeksi Nosokomial : - Bakteri Gram negatif yang sering :

- Pseudomonas aeruginosa - Acinetobacter baumanni - Klebsiella pneumoniae ESBL - Escherichia coli ESBL - Enterobacter spp. - Proteus spp. - Serratia spp.

- Legionella pneumophila - Bakteri Gram positif yang sering : - Methicillin Resistant Staphylococcus - Aureus (MRSA)

- Methicillin Resistant Staphylococcus Epidermidis (MRSE) - Vancomycin Resistant Enterococcus (VRE)

- Virus : Hepatitis B, Hepatitis C, HIV - Jamur : Candida spp. , Aspergillus spp. - Parasit : Malaria

2.3.2 Respon dan toleransi tubuh pasien

Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah umur, status imunitas penderita, penyakit yang diderita, obesitas dan malnutrisi, orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan dan steroid serta tindakan invasif yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan terapi (WHO).

Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan

AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi (WHO).

2.3.3 Lingkungan

Tempat pelayanan kesehatan adalah lingkungan di mana orang yang terinfeksi dan orang yang berisiko mendapat infeksi akan berkumpul. Pasien dengan infeksi atau sebagai karier mikroorganisme patogen yang dimasukkan ke dalam rumah sakit adalah sumber yang utama dalam menyebabkan infeksi pada pasien lain dan petugas kesehatan. Orang yang ramai yang datang untuk menerima rawatan di rumah sakit, pasien yang sering ditukar dari satu unit ke unit yang lain, dan konsentrasi pasien yang sangat rentan terhadap infeksi dalam satu area (misalnya bayi baru lahir, pasien luka bakar dan pasien dalam perawatan intensif), semuanya berkontribusi pada pengembangan infeksi nosokomial (WHO).

2.3.4 Resistensi bakteri

Penggunaan obat antimikroba secara meluas untuk terapi atau profilaksis (termasuk obat topikal) adalah penentu utama bagi resistensi bakteri terhadap obat antimikroba. Dalam beberapa kasus, obat antimikroba menjadi kurang efektif karena resistensi bakteri. Antimikroba yang banyak digunakan menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap obat ini dan akhirnya muncul dan menyebar di tempat pelayanan kesehatan. Banyak bakteri seperti staphylococci dan

enterococci, saat ini telah menjadi resisten terhadap sebagian besar atau semua antimikroba yang dulunya efektif (WHO).

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial yang dikemukakan Darmadi (2008) adalah:

I. Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).

Petugas(dokter,perawat dan lain-lain)

penderita dalam perawatan

Bangsal/lingkungan

Gambar 2.1 Faktor-faktor luar (extrinsic factors) yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial

Penderita lain Peralatan medis

Makanan dan minuman Pengunjung atau

II. Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya. III. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay),

menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.

IV. Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure)

antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

2.5 Penilaian yang digunakan untuk Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial disebut juga dengan “Hospital Acquired Infection” apabila memenuhi batasan atau kriteria sebagai berikut: (Darmadi, 2008)

I. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

II. Pada waktu penderita mulai dirawat tidak dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

III. Tanda-tanda infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 3 × 24 jam sejak mulai dirawat.

IV. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.(Hasbullah T, 1992)

V. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

Dari batasan infeksi nosokomial tersebut di atas, ada catatan khusus yang perlu diketahui:

1. Penderita sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit dan kemudian menderita keracunan makanan dengan penyebab bukan produk bakteri, tidak termasuk infeksi nosokomial.

2. Untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit dan kemudian timbul tanda-tanda infeksi dapat digolongkan sebagai infeksi nosokomial apabila infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit.

3. Infeksi yang terjadi pada petugas kesehatan medis serta keluarga/pengunjung, tidak termasuk infeksi nosokomial.

2.6 Cara penularan Infeksi Nosokomial

Menurut Depkes RI (1995) macam-macam penularan infeksi nosokomial bisa berupa :

1) Infeksi silang (Cross Infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak langsung.

2) Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman dari penderita itu sendiri berpindah tempat dari satu jaringan kejaringan lain.

3) Infeksi lingkungan (Environmental infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di lingkungan rumah sakit, misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain.

2.7 Dampak infeksi nosokomial

Infeksi nososkomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan sehingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-de-Leon 1991). Dampak infeksi nosokomial jelas di Negara miskin, terutama yang dilanda HIV/AIDS, karena temuan terakhir membuktikan bahwa pelayanan medis yang tidak aman merupakan factor penting dalam transmisi HIV (Gisselquist dkk 2002).

Selama 10-20 tahun terakhir banyak kemajuan dalam mengatasi masalah mendasar yang menjadi penyebab meningkatnya kejadian infeksi nosokomial.

Infeksi nosokomial meningkatkan biaya pelayanan kesehatan di negara-negara yang kurang mampu karena meningkatnya:

Lama rawat inap di rumah sakit,

i. Terapi dengan obat-obat mahal (seperti obat retroviral untuk HIV/AIDS, dan antibiotik)

ii. Penggunaan pelayanan lain (seperti pemeriksaan laboratorium, rontsen, transfusi)

Konsekuensinya, di negara dengan sumber daya rendah, upaya pencegahan infeksi nosokomial harus dianggap jauh lebih penting jika, upaya untuk memperbaiki pelayanan kesehatan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya akan dilakukan (Panduan pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya terbatas).

2.8 Pencegahan

Pencegahan infeksi nosokomial yang dikemukakan oleh WHO (2002) menyatakan bahwa infeksi nosokomial membutuhkan keterpaduan, pemantauan, dan program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter, perawat, terapis, apoteker, dan lain-lain. Pencegahan infeksi nosokomial yang menjadi kunci utama yaitu:

a. membatasi transmisi organisme antara pasien dalam melakukan perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan, menggunakan sarung tangan, teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi dan teknik desinfektan. b. mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk infeksi.

c. melindungi pasien dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang tepat, nutrisi, dan vaksinasi.

d. membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous dengan meminimalkan prosedur invasif, dan mempromosikan penggunaan antimikroba yang optimal. e. surveilans infeksi, mengidentifikassi dan mengendalikan wabah.

f. pencegahan infeksi pada tenaga kesehatan.

g. Pencegahan dapat juga dilakukan secara source isolation dan protective isolation.

h. meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus menerus dengan memberikan pendidikan.

2.9 Sejarah infeksi nosokomial pada pasien obstetri

Menjelang paruh kedua abad XIX Ignaz Philip Semmelwis, seorang dokter ahli kebidanan di Wina Austria, telah mengamati 30% dari para ibu yang melahirkan di rumah sakit menderita demam setelah melahirkan dengan angka kematian sebesar 12,24%. Mereka yang melahirkan di rumah sendiri tidak terserang demam demikian.

Semmelwis melihat pula bahwa para dokter muda yang memeriksa para ibu tersebut di rumah sakit umumnya tidak mencuci tangannya sebelum melakukan pemeriksaan. Ketika kemudian salah seorang dokter itu meninggal karena demam setelah tangannya terluka karena terkena pisau bedah, Semmelwis menyimpulkan bahwa demam pada para ibu yang melahirkan itu akibat sepsis (terkena hama) dan dapat menular.

Kemudian ia mewajibkan para dokter yang akan memeriksa pasien agar terlebih dahulu mencuci tangan mereka dengan cairan kaporit. Dengan cara ini angka kematian para ibu dapat diturunkan sampai 1,27%.

Tetapi, Semmelwis tidak mendapat atas penemuannya itu, bahkan banyak ditentang oleh para dokter di zamannya. Akhirnya, ia meninggal di rumah sakit jiwa di Wina pada thaun 1865 (Managemen Berbasis Lingkungan, 2006).

2.10 Definisi Infeksi nosokomial pada pasien obstetri

Infeksi yang tidak ada dan juga tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien masuk ke dalam rumah sakit. Kebanyakan infeksi saluran kencing dan endometritis adalah nosokomial sekalipun organisme penyebabnya dari dalam yaitu ada dalam saluran genital bawah maternal sebelum persalinan. (Panduan pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya terbatas)

2.11 Teori infeksi nosokomial pada persalinan pervaginam dan seksio sesarea Setiap tindakan medis obstetri baik fisiologis (normal) maupun patologis (abnormal) akan mengundang resiko adanya invasi mikroba pathogen yang akan menimbulkan penyakit infeksi bagi ibu dan janinnya (Darmadi, 2008)

Persalinan pervaginam berhubungan dengan sejumlah faktor yang meningkatkan resiko perempuan terhadap endometriosis dan infeksi saluran kencing termasuk:

a. Ketuban pecah lama (>24 jam)

b. Trauma jalan lahir (laserasi vaginal atau perineal dan robekan uretral) c. Pengeluaran plasenta secara manual karena tertinggalnya sisa-sisa plasenta d. Episiotomi

e. Persalinan forceps tengah (Hemsell 1991; Newton, Prihoda dan Gibbs 1990)

Seksio sesarea merupakan faktor paling penting yang memberi sumbangan pada frekuensi dan keparahan endometritis pascapersalinan (Gibbs 1980).

Infeksi di tempat sayatan bedah Organ/ rongga sayatan bedah Infeksi saluran kencing Pneumonia Infeksi aliran darah primer Lainnya 19% 55% 12% 3% 2% 9% Tabel 2.1 Distribusi infeksi nosokomial pada pasien seksio sesarea

Diadaptasi dari: Horan dkk. 1993.

Infeksi sayatan bedah organ/ruangan seperti endometritis lebih dari separuhnya dan yang paling serius dan mahal adalah infeksi luka (hampir 20%). Umpamanya, pasien dengan luka biasanya menghabiskan 7 hari lebih lama di rumah sakit daripada mereka yang tidak terkena infeksi dan 4 hari lebih lama dari pasien dengan endometritis. Infeksi luka terutama akibat kontaminasi langsung

dari area sayatan dengan organisme pada rongga uterus pada saat pembedahan. (Panduan pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya

Faktor predisposisi untuk infeksi luka adalah perempuan yang:

I. Mempunyai vaginosis bacterial (Gardenella vaginalis) yang diperoleh dari endometrium

II. Diseksio sesarea sewaktu kala dua persalinan

III. Didiagnosis infeksi selaput ketuban (korioamniotis) sebelum kelahiran (Mead 1993)

Infeksi obstretik lainnya jarang, berkisar kurang 1% sampai dengan 15%. Urutan frekuensi yang menurun, termasuk infeksi saluran kencing nosokomial (kira-kira 12%) yang kebanyakan terjadi pada perempuan yang mengalami seksio sesarea,infeksi episiotomi (<5%,biasanya sederhana dan tidak sulit), pneumonia nosokomia (3% dan hampir selalu pada pasien pasca seksio sesarea), Septikemia yaitu 2% dan kebanyakan pada pasien pasca seksio sesarea, dan infeksi payudara yaitu mastitis pada perempuan pasca persalinan menyusui (<3%) (Panduan pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya terbatas). 2.12 Perawatan ibu pascapersalinan

Untuk meminimalkan infeksi nosokomial pada ibu pascapersalinan perhatikan hal-hal berikut : (Panduan pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan Sumber Daya terbatas).

Gunakan sarung tangan pemeriksaan atau utiliti sewaktu membersihkan perineum, menyentuh lokia atau epiostomi. Pada waktu pascapersalinan dini, yakinkan ibu dapat berkemih tanpa kesukaran. Ajari ibu bagaimana membersihkan daerah perineum dengan air matang sesudah mengganti kotek atau buang air. Jika menyusui, ajari ia merawat payudara dan puting susu untuk mencegah infeksi yaitu mastitis. Jika persalinan diseksio sesarea, untuk mencegah masalah pernapasan dalam masa pascapersalinan:

- Hati-hati menggunakan obat

- Segera mobilisasi dan tarik napas dalam sering-sering

Jika persalinan dengan seksio sesarea dan memakai kateter menetap, untuk mencegah masalah urinasi :

- Periksa bahawa urin tetap mengalir dan penampungan terpasang baik. - Mencabut kateter sesegera mungkin (dalam 24-28 jam).

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Infeksi nosokomial adalah adanya infeksi yang tampak pada pasien ketika berada didalam rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, dimana infeksi tersebut tidak tampak pada saat pasien diterima di rumah sakit.Infeksi nosokomial ini termasuk juga adanya tanda tanda infeksi yang muncul setelah pasien keluar dari rumah sakit dan juga termasuk infeksi pada petugas petugas yang bekerja di fasilitas kesehatan (WHO).

Infeksi nosokomial saat ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian(mortality) dirumah sakit,sehingga dapat menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju (Darmadi,2008).

Sebuah survei mengenai prevalensi infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 % rumah sakit pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4 juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di Mediterranian Timur sebesar 11,8 %, diikuti wilayah Asia Tenggara 10%, kemudian wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropah 7,7 % (WHO/CDS/CSR/EPH/2002.12).

Berdasarkan data dari beberapa penelitian pada tahun 1995-2010, prevalensi infeksi nosokomial di negara-negara berpendapatan tinggi berkisar antara 3,5- 12%; sementara prevalensi di Negara-negara berpendapatan rendah dan menengah berkisar antara 5,7-19,1%, termasuk 7,1% di Indonesia. Di Indonesia, masalah infeksi nosokomial juga merupakan masalah yang cukup serius.Apalagi di rumah sakit yang jumlah penderita yang dirawatnya banyak dengan tenaga perawat yang terbatas Penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap

mendapat infeksi yang baru selama dirawat. Pasien bedah merupakan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapatkan infeksi nosokomial, lebih-lebih apabila dirawat di rumah sakit dengan tingkat hygiene lingkungan rumah sakit yang masih belum sesuai dengan yang dipersyaratkan (JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 384 – 392).

Suatu kehamilan merupakan satu proses alami yang berjalan waktu ke waktu. Janin tumbuh dalam rahim seorang ibu dengan harapan dapat tumbuh secara fisiologis dan dapat lahir melalui sebuah proses persalinan yang fisiologis pula.Namun pada kenyataannya tidak semua kehamilan dan persalinan dapat berjalan secara fisiologis,tetapi sebaliknya berjalan secara patologis sehingga sangat berisiko terhadap ibu serta janin yang akan dilahirkannya (Darmadi, 2008). Setiap tindakan medis obstetri, baik fisiologis (normal) maupun patologis (abnormal) akan mengundang risiko adanya invasi mikroba patogen yang akan menimbulkan penyakit infeksi bagi ibu di rumah sakit yang dinamakan infeksi nosokomial pada pascapersalinan (Darmadi, 2008).

Di banyak negara-negara sedang berkembang infeksi pascapersalinan tetap menjadi nomor dua dari pendarahan pascapersalinan yang menjadi penyebab kematian maternal, dan menjadi penyebab utama komplikasi maternal dari persalinan. Di kebanyakan negara,endometritis akut sekarang merupakan infeksi pascapersalinan yang umum. Tingkat range infeksi dari yang terendah 1-3% setelah persalinan pervaginam di rumah sakit dengan pelayanan berkualitas tinggi dan praktik pencegahan infeksi yang baik, sampai setinggi 85% setelah seksio sesarea risiko tinggi pada pasien kurang gizi yang sangat letih,yang dibedah di rumah sakit pendidikan yang besar yang memiliki sumber-sumber pelayanan kesehatan terbatas. Seksio sesarea merupakan faktor paling penting yang memberi sumbangan pada frekuensi dan keparahan endometritis pascapersalinan (Gibbs 1980).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, saya ingin merumuskan permasalahan yaitu Berapakah angka prevalensi spesies bakteri yang menonjol bagi kasus infeksi nosokomial pada pasien wanita pascapersalinan di bagian Departemen Obgyn RSUP Haji Adam Malik, Medan dari Juni 2012 hingga Desember 2012?

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mendapatkan prevalensi spesies bakteri yang menonjol bagi kasus infeksi nosokomial pada pasien wanita pascapersalinan di bagian Departemen Obgyn RSUP Haji Adam Malik, Medan dari bulan Juni 2012 hingga Desember 2012.

1.3.2.Tujuan khusus

Untuk mengetahui tentang jenis bakteri yang paling banyak dari kasus infeksi nosokomial pada wanita pascapersalinan yang melahirkan anak secara pervaginam dan juga seksio sesarea di pascapersalinan di Departemen Obgyn RSUP Haji Adam Malik, Medan.

1.4.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti berikut. 1. Data atau informasi hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para petugas

di rumah sakit dengan mengidentifikasikan masalah yang menyebabkan infeksi nosokomial dengan cara yang cepat dan benar.

2. Masukan data hasil penelitian ini juga dapat mencegah resiko terjadinya infeksi nosokomial dan para petugas akan lebih berhati-hati ketika merawat

Dokumen terkait