• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

C. Saran

1. Bagi Mantan Pecandu

Dapat menemukan dampak negatif dari perilaku adiksi dan memiliki

kebutuhan yang menggerakkan untuk mencapai unsur-unsur regulasi diri.

Selain itu, mantan pecandu dapat mengupayakan untuk meregulasi

dirinya dengan menerapkan unsur-unsur regulasi diri dan mencegah

kegagalan regulasi diri dengan menggunakan mekanisme yang dianggap

paling kuat, yang dimiliki oleh mantan pecandu. Mantan pecandu juga

berusaha memahami kondisi ekologis dan meningkatkan efikasi diri

untuk mendukung upaya regulasi diri.

2. Bagi Panti Rehabilitasi dan Dinas Sosial

Dapat memberikan pendampingan bagi subjek terutama terkait

kemampuan meregulasi dirinya. Diharapkan panti rehabilitasi dan dinas

sosial dapat membantu residen untuk memiliki faktor dan kesadaran yang

kuat sebelum residen menerapkan unsur-unsur regulasi diri. Selain itu,

diharapkan juga memberikan pendampingan terhadap orang tua, tidak

hanya berupa pemantauan tetapi juga pengetahuan mengenai upaya

meregulasi diri dan adiksi kepada orang tua dari residen.

3. Bagi Orang Tua dan Keluarga Subjek

Memberikan pendampingan dan pengertian terutama di tahun awal saat

sebaiknya turut memantau dan memberi dukungan bagi residen agar

proses regulasi diri terus berjalan.

4. Bagi Penelitian Selanjutnya

Dapat meneliti mengenai dampak adiksi terhadap relasi, yang mana relasi

tersebut mempengaruhi regulasi diri. Diharapkan penelitian selanjutnya

mampu mengungkap faktor lainnya (seperti faktor kepribadian) yang

turut memberikan pengaruh terhadap regulasi diri. Selain itu, peneliti

menyarankan untuk penelitian selanjutnya agar menggunakan minimal

DAFTAR PUSTAKA

Abolghasemi, A., & Rajabi, S. (2013). The role of self regulation and affective control in predicting interpersonal reactivity of drug addicts. International

Journal of High Risk Behaviors & Addiction, 2(1), 28-33.

Adian. (2015). Tingkat kekambuhan pecandu narkoba tinggi. Diunduh dari: http://lampost.co/berita/tingkat-kekambuhan-pecandu-narkoba-tinggi.

Diakses pada tanggal 19 Februari 2016.

Amriel, R. I. (2008). Psikologi kaum muda pengguna narkoba. Jakarta: Salemba Humanika.

Aztri, S., & Milla, M. N. (2013). Rasa berharga dan pelajaran hidup mencegah kekambuhan kembali pada pecandu narkoba studi kualitatif fenomenologis.

Jurnal Psikologi, 9(1).

Bakhshani, N. M., & Hosseinbor, M. (2013). A comparative study of self- regulation in substance dependent and non-dependent individuals. Global

Journal of Health Science, 5(6). Canadian Center of Science and Education.

Bandura, A. (1997). Self efficacy. New York: W. H. Freeman and Company.

Bandura, A. (1999). A sociocognitive analysis of substance abuse: An agentic perspective. Psychological Science, 10(3).

Baumeister, R. F., Heatherton, T. F., & Dianne, M. T. (1994). Losing control:

How and why people fail at self-regulation. United Kingdom: Academic

Press.

Baumeister, R. F., & Heatherton, T. F. (1996). Self-regulation failure: An overview. Journal of Psychological Inquiry, 7(1), 1-15.

Baumgardner, S. R., & Crothers, M. K. (2009). Positive Psychology. New Jersey: Pearson

Bhandari, S., Dahal, M., & Neupane, G. (2015). Factors associated with drug abuse relapse: A study on the clients of rehabilitation centers. Al Ameen J

Med. Sci., 8(4), 293-298.

Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development (ed. Ke-2).

International Encyclopedia of Education, Vol. 3, Oxford: Elsevier.

Bukhtawer, N., Muhammad, S., & Iqbal, A. (2014). Personality traits and self regulation: A comparative study among current, relapse and remitted drug abuse patients. Health, 6, 1368-1375.

Clark, M. (2011). Conseptualizing addiction: How useful is the construct?.

International Journal of Humanities and Social Science, 1(13).

Creswell, J. W. (2010). Research Design: Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan

mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Karya asli terbit 2009).

Crockett, L. J., Raffaelli, M., & Shen, Y. (2006). Linking self-regulation and risk proneness to risky sexual behavior: Pathways through peer pressure and early substance use. Journal of Research on Adolescence.

Dennis, M., & Scott, C. K. (2007). Managing addiction as a chronic condition.

Addiction Science & Clinical Practice.

Endler, N. S., & Kocovski, N. L. (2000). Self-regulation and distress in clinical psychology. Handbook of Self-Regulation. Copyright by Academic Press.

Feist J., & Feist J. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika (Karya asli terbit 1998).

Ganendra, R. (2014). Kisah nyata suara hati mantan pecandu narkoba. Diunduh dari http://www.kompasiana.com/rahab/kisah-nyata-suara-hati-mantan- pecandu-narkoba_54f75c6ca33311f9368b460b diakses pada tanggal 12 Juli 2016.

Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif teori & praktik. Jakarta: Bumi Aksara.

Hammerbacher, M., & Lyvers, M. (2005). Factors associated with relapse among client in Australian substance disorder treatment facilities. 11 (6), 387-394.

Heatherton, T. F., & Wagner, D. D. (2011). Cognitive neuroscience of self- regulation failure. Trends in Cognitive Science, 15(3).

Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika

Hurriyati, E. A. (2010). Mengapa pengguna narkoba pada remaja akhir relapse?.

Humaniora, 1(2), 303-314.

Ibrahim, F., & Kumar, N. (2009). Factors effecting drug relapse in Malaysia: An empirical evidence. Journal of Asian Social Science, 5(12). Published by CCSE

Ismail, H. (2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pengguna putaw yang mendapatkan layanan pasca konseling di puskesmas kassi-kassi Makassar. Journal of Medical Surgical Nursing, 1(1), 47-51.

Jiloha, R. C. (2011). Management of lapse and relapse in drug dependence. Delhi

Psychiatry Journal, 14(2).

Kementrian Kesehatan RI. (2014). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Semester I, ASSN 2088-270x

King, L. A. (2010). Psikologi umum: Sebuah pandangan apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Lopez, S. J. (2008). Positive psychology: Exploring the best in people (Vol. 1). USA: Praeger Publishers.

Mattoo, S. K., Chakrabarti, S., & Anjaiah, M. (2009). Psychosocial factors associated with relapse in men with alcohol or opioid dependence. Indian

Journal Med. Res., 130, 702-708.

Melemis, S. M. (2015). Relapse prevention and the five rules of recovery. Yale

Journal of Biology and Medicine, 88, 325-332.

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal (Edisi

kelima, Jilid 2). Jakarta: Erlangga.

Poerwandari, K. E. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Prabowo, Andika. (2013). 22 persen pengguna narkoba adalah pelajar. Diunduh dari http://nasional.sindonews.com/read/773842/15/22-persen-pengguna- narkoba-adalah-pelajar-1377080228. Diakses pada tanggal 29 Mei 2015

Rahmadona, E., & Agustin, H. (2014). Faktor yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkoba di RSJ. Prof. HB. Sa‟Anin. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 8(2), 59-65.

Ridder, D. T. D,. & Wit, J. B. F. (2006). Self-regulation in health behavior: Concepts, theories, and central issues. John Wiley & Sons Ltd.

Rosyidah, R., & Nurdibyanandaru, D. (2010). Dinamika emosi pecandu narkotika dalam masa pemulihan. INSAN, 12(2).

Sinha, R. (2001). How does stress increase risk of drug abuse and relapse?

Psychopharmacology, 158, 343-359.

Smith, J. A. (2009). Psikologi kualitatif: Panduan praktis metode riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Karya asli terbit 2008).

Sulistami, S., Yulia R. N., & Tegawati L. M. (2013). Bahaya NAPZA. Jakarta: PT. Mustika Cendekia Negeri.

Syarifah, Fitri. (2014). Mantan pecandu narkoba tak bisa sembuh selamanya. Diunduh dari: http://health.liputan6.com/read/2065201/mantan-pecandu- narkoba-tak-bisa-sembuh-selamanya.Diakses pada tanggal 19 Februari 2016.

Syuhada, I. (2015). Faktor internal dan intervensi pada kasus penyandang relaps narkoba. Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8.

Tambunan, R., Sahar J., & Hastono S. P. (2008). Beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan NAPZA pada remaja di Balai Pemulihan Sosial Bandung. Jurnal Keperawatan Indonesia, 12(2).

Tariqi, R. & Tamini, B. K. (2014). Relationship between perceived social support with self regulation and self concept in students of Islamic Azad University, Saravan Branch, Iran. Journal of Multidisciplinary Research, 3, Issue 12, 83-93.

Zk. (2015). Tahun 2015 Jumlah Pengguna Narkoba di Indonesia Capai 5 juta Orang. Diunduh dari:

http://portalindonesianews.com/posts/view/1626/tahun_2015_jumlah_pengg una_narkoba_di_indonesia_capai_5_juta_orang. Diakses pada tanggal 29 Mei 2015

Informed Consent

Saya, Dyah Ayu Perwitasari, adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Saat ini, saya sedang melakukan penelitian mengenai pengalaman adiksi pada pecandu narkotika.

Tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi pengalaman sebelum menjadi pecandu narkotika hingga pasca rehabilitasi. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk meninjau peran sebagai konselor adiksi terhadap proses recovery. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk wawancara personal. Apabila anda berpartisipasi dalam penelitian ini, berarti anda turut serta dalam memberikan informasi mengenai pengalaman anda sebagai pecandu narkotika.

Saya meminta kesediaan anda untuk ikut serta sebagai partisipan dalam penelitian ini. Wawancara akan berlangsung sebanyak 3-5 kali selama kurang lebih satu jam setiap sesi wawancaranya. Selama proses wawancara berlangsung, anda bebas mengemukakan pikiran dan perasaan sejauh yang anda inginkan dan anda juga berhak untuk tidak mengungkapkan hal yang anda rasa tidak ingin diungkapkan.

Selama proses wawancara berlangsung, seluruh pembicaraan akan direkam menggunakan voice recorder. Wawancara berlangsung secara pribadi (antara peneliti dan partisipan). Identitas dan hasil rekaman anda sebagai partisipan akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti sehingga tidak ada pihak lain yang dapat mendengarkan atau memperoleh data anda. Penelitian ini akan diawasi dan dipastikan berjalan secara etis oleh Sylvia Carolina M. Y. M., M.Si.

Jika anda mempunyai pertanyaan mengenai penelitian ini, silakan anda secara bebas untuk menghubungi saya (peneliti) di nomor telepon 085701206355 atau email [email protected]. Terimakasih

TRANSKRIP WAWANCARA SUBJEK 1

W: Interviewer S: Subjek 1 (Sis X)

No. Verbatim Transformatif/ Narasi Interpretasi Tema/ sub Tema

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

W: eee untuk yang sesi ini, saya mencoba untuk mengajak

sharing aja, untuk menceritakan bahwa, tadi sempet bilang

kalo dulu juga pecandu. Nah itu kalau boleh tahu, pertama kali menjadi pecandu kapan Sis?

S: kalo pecandu, kalo sudah mulai nyandu itu eee kira-kira empat sampai lima tahun lalu.

W: itu kira-kira umur berapa?

S: berapa ya.. 20 sekian kali ya (sambil tertawa) itu sekitar 25 sekian.

W: kalau mulai pertama kali pakai sebelum pecandu itu kapan?

S: iya, itu kira-kira tahun 99, W: masih TK aku (hehehe)

S: waktu itu saya SMA, saya SMA itu. Masih sekolah. Sekarang kan aku 32

W: dulu pertama kali pakai apa?

(1-17) subjek pertama kali menjadi seorang pecandu kira-kira empat hingga lima tahun yang lalu saat dirinya berumur kurang lebih 25 tahun. Pertama kali, subjek mengonsumsi alkohol.

Gerbang menuju adiksi, dimulai dengan mengonsumsi alkohol

Pola kegagalan RD: Rolling the snowball (16- 17)

18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

W: mungkin bisa dicritain sis, dulu gimana dari awalnya alkohol terus nyoba-nyoba yang lain gitu?

S: mungkin gini, karena pada waktu itu yang paling mudah memang alkohol, soalnya pada waktu itu masih di jual di supermarket.

W: oh gitu....

S: habis alkohol, karena dulu di sekolah aku ibaratnya karena ada yang ngedarin kan ya, saya tidak tahu itu bandar atau apa, tapi kita bisa beli dari dia gitu, eee itu ganja, habis itu waktu SMA itu. Waktu kuliah, saya pakai inex

W: apa itu? S: inex itu estacy W: oo estacy

S: iyaaa nah itu habis itu mulai kuliah itu lalu ke puttau.

W: nah itu kan perjalanannya kan agak panjang kan ya sis bisa sampai ke puttau begitu. Nah itu prosesnya gimana sis? S: ya itu juga komunitas, kita kumpul, pada minum, fun, karoke. Nah makin ke sini, kita kan juga ngrokok itu, nah

(18-31) pertama kali, subjek mengonsumsi alkohol pada sekitar tahun 1999. Subjek merasa alkohol menjadi dasar adiksi pada dirinya. Setelah mengonsumsi alkohol, subjek mulai mengonsumsi ganja dan mendapatkan ganja dengan mudah dari pengedar selama dirinya duduk di bangku SMA. Menginjak bangku perkuliahan, subjek menggunakan estacy. Selama duduk di bangku perkuliahan, subjek mengonsumsi Puttau.

(32-41) subjek menceritakan bahwa dirinya terjerumus ke narkoba karena ajakan dari temannya. Selain itu, subjek juga seorang perokok sehingga pada

Gate menuju adiksi: diawali dengan alkohol, lalu ganja, estacy, kemudian puttau

Subjek mengonsumsi narkoba karena ajakan/ pengaruh dari temannya

Pola kegagalan RD: Rolling the snowball (24- 27)

Pola Kegagalan RD: Pola sebab akibat kegagalan 

38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57

W: dari ganja terus ada yang nawarin puttau gitu ya? S: dari ganja ke inex dulu. Ke estacy dulu. Nah habis itu kan lulus SMA, estacy. Nah habis itu kan komunitas temen kampus. Itu aja juga masih alkohol.

W: itu makin lama makin berat efeknya atau sama efeknya? S: dan kebetulan puttau itu efeknya yang paling lumayan berat.

W: itu efeknya kayak gimana Sis?

S: sakau yang dibilang sakau ya Puttau itu.. eehhm kalau memang, eehm sebenernya aku juga nyoba sabu juga itu mental, efeknya tu gak dapet. Karena apa? Karena aku udah nyobain puttau. Jadi puttau itu udah keraknya racun gitu kan.. Keraknya dari sabu itu.. Hehehehe. Terus dan itu aku juga suntik

W: oo suntik juga..

S: awalnya aku langsung suntik. W: berarti langsung suntik ga isep gitu?

S: engga.. aku langsung suntik.. Naah itu awalnya muntah- muntah memang. Karena aku ga bisa ngukur dosisnya kan. Naah aku muntah-muntah, udah lemes, ga karu-karuan. Terus

(42-59) subjek merasakan adanya efek yang lebih berat ketika dirinya

mengonsumsi puttau. Subjek merasakan adanya efek, yaitu sakau (gejala putus zat) saat mengonsumsi puttau. Subjek

mengonsumsi puttau pertama kali langsung dengan cara suntik. Subjek merasa bahwa puttau merupakan kerak dari racun dibandingkan dengan sabu. Subjek tidak merasakan adanya efek saat mengonsumsi sabu. Subjek mengalami reaksi fisik seperti muntah, lemas, dan

tidak karuan (tidak enak di badan) karena

tidak mampu mengukur dosis saat injeksi puttau. Selanjutnya subjek mampu mengatur dosis dan mengalami kenaikan

Mengalami gejala putus zat/ sakau selama mengonsumsi puttau.

Mengalami kenaikan dosis.

Karakteristik adiksi: Mengalami sakau (46-50) Mengalami kenaikan dosis (57-59)

60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76

W: itu berarti di SMA itu dapetnya dari temen ya?

S: iya.. dari temen. Karena aku waktu SMA itu kan tinggalnya sama nenek. Jadi lumayan eemm ga terlalu fine juga sih.

W: eee kalo pake ganja itu efeknya gimana Sis?

S: ganjaa.. eehhmm kalo ganja itu luar biasa. Kalo diisep kayak rokok itu apa ya.. itu kan larinya ke mata. Naa untuk efeknya itu keliatannya dari mata. Naah itu nanti pokoknya udah ngantuk, terus kayak udah nge-fly gitulah.. itu biar tambah hhmm gimana ya biar tambah seneng terus. Biasanya kan disedot gitu.

W: itu pakai ganja kira-kira berapa lama Sis?

S: pakai ganja itu kelas kira-kira mulai kelas 2 sampai lulus eee lulus SMA. Itu ga langsung lanjut ya, paling berhenti berapa bulan gitu. Terus coba inex (estacy).

W: itu jadi pecandu itu riwayatnya gimana Sis?

S: pecandu.. hmm dibilang saya mulai kecanduan sesuatu itu ya pada saat saya pakai puttau. Karena ya itu tadi, untuk

(624-627) subjek mendapatkan narkoba dari teman sekolahnya didukung ia tinggal di rumah nenek yang dirasa tidak begitu (fine) baik baginya.

(63-73) subjek menceritakan bahwa ganja dikonsumsi dengan cara dihisap seperti rokok. Efek dari ganja terlihat dari matanya sehingga menimbulkan rasa kantuk dan menimbulkan rasa fly

(terbang). Subjek menggunakan ganja dari kelas 2 SMA hingga lulus SMA. Setelah itu, subjek mengonsumsi estacy.

(74-87) subjek merasakan awal kecanduan ketika mengonsumsi puttau. Subjek merasakan adanya perlawanan (berontak)

Mendapatkan narkoba dari teman, didukung dengan tinggal di rumah nenek yang kurang pengawasan.

Subjek mengonsumsi ganja sejak kelas 2 SMA hingga tamat SMA. Efek yang didapat dari ganja adalah mengantuk,

fly/ terbang, dan senang.

Subjek juga mengalami peningkatan dalam hal menggunakan narkoba, yaitu meningkat ke efek yang diatasnya

Subjek mengalami adiksi fisiologis selama mengonsumsi puttau.

Pola sebab akibat kegagalan: Ekologi – mikrosistem (61-62) Pola kegagalan RD: Pemberontakan atensi – gratifikasi (64-69) Rolling the snowball (71- 73)

Karakter adiksi: Gejala putus zat (75-87)

79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98

atau dua kali itu badan yang berontak. Oke dari pikiran kita, “wah gue sakit nih”. Padahal engga, karena dari badan itu nagih. Ternyata pada saat itu baru masuk sekali atau dua kali, ga sampe tiga kali kok. Itu karena saya suntik kan, jadi mungkin efeknya eee jadi lebih dahsyat juga. Terus pada bilang, “oo itu loe udah sakau tu”. Nah dari situ saya coba lagi itu. Itungan berapa menit gitu lah ingus saya langsung berhenti, badan udah ga sakit-sakit, yang ga karuan itu udah ilang.

W: jadi udah nagih gitu ya? Eehm ini kalo Puttau ini makenya lebih buat ke pain killer atau gimana?

S: awalnya itu buat apa ya.. hmm awalnya tu emang buat pain

killer. Kayak tentara perang kalo sakit di kasih itu langsung

sembuh tu. Ya kayak gitu-gitu. Kalo buat saya sendiri, mm karena awalnya memang satu, karena pergaulan juga, terus yang kedua saya juga punya banyak masalah yang saya gak bisa buat meng-cover itu, yasudah saya terjerumus di situ. Setelah nyobain, eh itu malah bikin masalah karena setelah saya nyobain, itu malah bikin kecanduan badan saya. W: berarti kecanduan ini udah pada tahap badan nagih gitu

ketagihan fisiologis. Subjek merasakan adanya efek yang dahsyat karena dirinya mengonsumsi puttau dengan cara suntik. Saat subjek merasa adanya sakau, di situlah subjek mencoba kembali puttau tersebut. Saat mengonsumsi puttau, ingus dan rasa sakit di badan menjadi hilang.

(88-100) awal Subjek mengonsumsi puttau adalah karena pengaruh pergaulan dan tidak mampu meng-cover (mengatasi) masalahnya yang dirasa banyak. Setelah mengonsumsi Puttau, subjek mengalami kecanduan fisiologis.

Subjek mengonsumsi puttau karena pengaruh pergaulan dan merasa memiliki banyak masalah.

Subjek mengalami kecanduan fisiologis.

Subjek juga mendapatkan narkoba karena pengaruh pergaulan

Pola kegagalan RD: Pola sebab akibat kegagalan:

Tekanan emosi (94-97) Ekologi – mikrosistem (92-93)

101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119

W: kalo pake puttau itu perasaannya kayak gimana, feelingnya kayak gimana?

S: yaa damai-damai aja sih ya, santai, slow, dan itu kayak mmm kayak obat bius juga kan ya, matanya jadi turun gitu kan kaya orang ngantuk gitu. Tapi di situ, kita kayak, tadinya ga bisa lakuin apa-apa karena sakau, terus kita pake itu terus jadi sehat kan.. Tapi nanti kalo efeknya udah ilang, misal selang berapa jam, itu nanti kayak gitu lagi, nah makanya harus nyari lagi. Naah nanti kayak gitu lagi, ngedrop lagi, yaudah.. Karena efeknya itu cepet, makin kita naik dosis, makin cepet pula efeknya.

W: oo begitu, semacam ada kenaikan dosis begitu ya Sis? S: iyaaa.. toleransi yah.. toleransi... nah ya itu, kita udah ada di tahap toleransi itu.

W: nah itu kenaikan dosis yang dialami itu kayak gimana sis? Atau toleransinya itu gimana?

S: kalo toleransi, aku bisa tahap toleransi itu aku cuma bisa nemuin di puttau. Sama di obat, itu pun aku temuin karena aku lagi sakau. Jadi aku emang konsumsi painkiller

(101-111) perasaan yang dialami subjek selama mengonsumsi Puttau adalah adanya rasa damai, santai, dan slow (pelan) seperti obat bius. Subjek merasa sebelumnya sakit akibat sakau, kemudian merasa sehat setelah mengonsumsi puttau. Subjek merasa efek dari Puttau hanya sementara. Subjek juga mengalami tahap toleransi, yaitu adanya kenaikan dosis saat mengonsumsi Puttau.

(112-126) subjek kembali menegaskan bahwa dirinya sudah memasuki tahap toleransi/ kenaikan dosis. Toleransi hanya di temukan di puttau. Subjek mengonsumsi painkiller sebelum mengenal dan

mengonsumsi puttau. Saat mengalami kecanduan dengan puttau, subjek

menggunakan painkiller sebagai substitusi/

Subjek mengalami reaksi psikologis seperti merasa damai, santai, dan slow. Subjek mengalami gejala putus zat/ sakau.

Subjek mengalami toleransi/ kenaikan dosis

Menggunakan obat tertentu sebagai substitusi/ pengganti saat mengalami toleransi selama mengonsumsi puttau

Pola kegagalan RD: Pemberontakan atensi – gratifikasi (103-107) Karakter adiksi: Toleransi (110-111) Tanda adiksi: Toleransi (113-114) Menggunakan substitusi

122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141

S: jadi sebelum puttau, biasa tuh aku kan pakainya obat tidur. Obat tidur sama inex. Udah gitu kan. Pas kenal puttau, baru aku kenal obat painkillernya buat ngilangin sakaunya. W: buat pengganti sementara gitu ya?

S: iya buat substitusi gitu lah.

W: kalau puttau itu dulu ndapetinnya gimana Sis? Misal pas badan nagih gitu Sis..

S: dari temen.. ada linknya, jadi langsung ke bandarnya. Jadi mau ke temen yang sana atau ke temen yang situ, karena kebanyakan teman juga pecandu Puttau. Jadi kemana-mana ya ada.

W: lebih mahal ya dari ganja?

S: iya.. Karena gini ya, satu, si bandar ini bilang, “sekalinya pake Puttau, badan akan ketagihan”. Jadi mau ga mau ya konsumen bakal ngejar ini barang. Jadi yaa mau gimana.. yaa sebelas duabelas lah sama sabu. Kalo sabu ya dibutuhkan buat amfetamin gitu ya, lebih semangat juga, buat dopping gitu. Kalo Puttau itu lebih ada ke depressannya gitu. Jadi kalo misal saya lagi pake Puttau sehari, naah paling tidak saya harus punya antisipasi atau substitusi yang lain. Biasanya

(127-143) subjek mendapat informasi dari seorang bandar bahwa puttau memiliki efek adiksi fisiologis. Subjek menceritakan bahwa sabu dibutuhkan untuk amfetamin dan menimbulkan efek seperti dopping (menimbulkan semangat), sedangkan puttau memiliki efek depressan. Subjek memiliki antisipasi berupa menyediakan obat yang lain seperti Kodefin sebagai pengganti saat mengalami sakau

Menegaskan kembali bahwa subjek membutuhkan substitusi sebagai pengganti puttau saat mengalami sakau.

Selain itu, subjek secara sadar membiarkan kegagalan itu terjadi

Pola kegagalan RD: Letting it happen (134- 137)

Pola sebab akibat kegagalan:

Ekologi – mikrosistem (129-132)

144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163

W: nah itu kan sis X konsumsi alkohol, inex, dan sebagainya itu kan juga karena pergaulan kan ya sis. Nah itu sis X konsumsi drugs itu dalam rangka apa sis?

S: moment waktu itu, moment kan ya. Waktu itu apa ya, taun baruan kan ya dan kebetulan waktu itu ada party. Dan waktu itu pada kumpul sama temen, yaudah. Sebenernya inex itu aku juga udah nyoba dari SMA.

W: kalo misal udah ga ada moment nih, itu menggunakan drugs dalam rangka apa sis?

S: dalam rangka jenuh, bete. “mau ngapain ya? Ga ada

Dokumen terkait