• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika yang bekerja sebagai konselor adiksi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika yang bekerja sebagai konselor adiksi."

Copied!
283
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Pada Mahasiswa Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Dyah Ayu Perwitasari

ABSTRAK

ABST RAK

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengeksplorasi proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika yang bekerja sebagai konselor adiksi. Selain itu, penelitian dilakukan untuk mengungkap faktor yang turut memberikan pengaruh terhadap proses regulasi diri. Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara semi terstruktur. Subjek pada penelitian ini berjumlah dua orang yang memiliki profesi atau pekerjaan sebagai konselor adiksi di sebuah panti rehabilitasi. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode Analisis Fenomenologis Interpretatif (AFI). Analisis data dilakukan dengan analisis tematik sehingga dapat ditemukan tema-tema tertentu dan menemukan hubungan pada domain. Proses validasi yang digunakan adalah kredibilitas dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya mekanisme kegagalan regulasi diri membuat individu mengalami ketergantungan terhadap narkotika. Kondisi ketergantungan yang dialami juga memberikan kejenuhan dan menimbulkan keinginan untuk lepas dari ketergantungan. Selanjutnya, proses rehabilitasi dilakukan sebagai intervensi atas perilaku adiksi yang dialami individu. Adanya dampak negatif yang dirasakan serta adanya kebutuhan memberikan motivasi bagi subjek untuk menetapkan suatu tujuan, yang mana tujuan tersebut merupakan unsur dari regulasi diri. Pasca rehabilitasi, individu masih berjuang untuk mempertahankan kesembuhannya. Kekambuhan maupun kejatuhan serta masih munculnya dorongan untuk kembali menggunakan menunjukkan bahwa regulasi diri diperlukan selama rentang hidup mantan pecandu. Pekerjaan sebagai konselor adiksi digunakan sebagai proses monitoring untuk mendukung kemampuan regulasi diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantan pecandu telah memiliki unsur-unsur regulasi diri, yaitu memiliki tujuan, adanya monitoring diri, dan operate. Faktor yang memengaruhi proses regulasi diri pada kedua subjek adalah faktor ekologi mikrosistem dan efikasi diri.

(2)

Study in Psychology in Sanata Dharma University

Dyah Ayu Perwitasari

ABSTRACT

ABSTRA CT

The purpose of this study was to explore the process of self-regulation towards ex-narcotic addicts who worked as addiction counselors. This research’s purpose was also to find out the factors that influenced the process of self-regulation. Data were collected through semi-structured interviews. The subjects of this research were two people who worked as addiction counselors in a rehabilitation clinic. Type of research was qualitative with Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) method. Data analysis was done by using thematic analysis to find specific themes and the relations among domains. Data validation was done through credibility and triangulation. The result showed there was a mechanism of self-regulation failure that made each individual got addicted to narcotics. The condition of addiction also caused boredom and the willingness to be free from addiction. Rehabilitation process was done to intervene the addiction behavior that experienced by each individual. There was negative impact that was felt and there was a need to motivate each subject to make a purpose which was an element of self-regulation. After rehabilitation, each individual was still struggling to maintain their recovery. Relapse or downfall and urge back to narcotics showed that self-regulation was needed for a lifetime period of each ex-addict. Their jobs as addiction counselors were used as monitoring process to support their self-regulation. The result showed that ex-addicts already had the elements of self-regulation which were having purpose, monitoring, and operating. The factors that affected the process of self-regulation to both subjects were microsytem ecology factor and self-effifacy.

(3)

PROSES REGULASI DIRI PADA MANTAN PECANDU NARKOTIKA

YANG BEKERJA SEBAGAI KONSELOR ADIKSI

HALAMAN JUDU L

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

HALAMAN JUDU L

Disusun Oleh:

Dyah Ayu Perwitasari

119114067

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

ii

2016

(5)

iii

(6)

iv

MOTTO

HALAMAN MOTTO

“Segala perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan

kepadaku”

“Refleksi adalah proses belajar yang paling indah”

“When you don’t give up, you can’t fail”

“Make a wish, take a chance, make a change, and breakaway”

“Live without limits”

(7)

v

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

My Dearest Savior, Jesus Christ

Orangtuaku, Papa dan Mama tercinta

Kakak-kakakku tersayang

My Love

Sahabat yang terkasih

Dan segenap pihak yang mendukung

(8)

vi

(9)

vii

PROSES REGULASI DIRI PADA MANTAN PECANDU NARKOTIKA

YANG BEKERJA SEBAGAI KONSELOR ADIKSI

Studi Pada Mahasiswa Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Dyah Ayu Perwitasari

ABSTRAK

ABST RAK

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengeksplorasi proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika yang bekerja sebagai konselor adiksi. Selain itu, penelitian dilakukan untuk mengungkap faktor yang turut memberikan pengaruh terhadap proses regulasi diri. Pengambilan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara semi terstruktur. Subjek pada penelitian ini berjumlah dua orang yang memiliki profesi atau pekerjaan sebagai konselor adiksi di sebuah panti rehabilitasi. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode Analisis Fenomenologis Interpretatif (AFI). Analisis data dilakukan dengan analisis tematik sehingga dapat ditemukan tema-tema tertentu dan menemukan hubungan pada domain. Proses validasi yang digunakan adalah kredibilitas dan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya mekanisme kegagalan regulasi diri membuat individu mengalami ketergantungan terhadap narkotika. Kondisi ketergantungan yang dialami juga memberikan kejenuhan dan menimbulkan keinginan untuk lepas dari ketergantungan. Selanjutnya, proses rehabilitasi dilakukan sebagai intervensi atas perilaku adiksi yang dialami individu. Adanya dampak negatif yang dirasakan serta adanya kebutuhan memberikan motivasi bagi subjek untuk menetapkan suatu tujuan, yang mana tujuan tersebut merupakan unsur dari regulasi diri. Pasca rehabilitasi, individu masih berjuang untuk mempertahankan kesembuhannya. Kekambuhan maupun kejatuhan serta masih munculnya dorongan untuk kembali menggunakan menunjukkan bahwa regulasi diri diperlukan selama rentang hidup mantan pecandu. Pekerjaan sebagai konselor adiksi digunakan sebagai proses monitoring untuk mendukung kemampuan regulasi diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantan pecandu telah memiliki unsur-unsur regulasi diri, yaitu memiliki tujuan, adanya monitoring diri, dan operate. Faktor yang memengaruhi proses regulasi diri pada kedua subjek adalah faktor ekologi mikrosistem dan efikasi diri.

(10)

viii

A SELF-REGULATION PROCESS OF EX-NARCOTIC ADDICTS WHO

WORK AS ADDICTION COUNSELORS

Study in Psychology in Sanata Dharma University

Dyah Ayu Perwitasari

ABSTRACT

ABSTRA CT

The purpose of this study was to explore the process of self-regulation towards ex-narcotic addicts who worked as addiction counselors. This research’s purpose was also to find out the factors that influenced the process of self-regulation. Data were collected through semi-structured interviews. The subjects of this research were two people who worked as addiction counselors in a rehabilitation clinic. Type of research was qualitative with Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) method. Data analysis was done by using thematic analysis to find specific themes and the relations among domains. Data validation was done through credibility and triangulation. The result showed there was a mechanism of self-regulation failure that made each individual got addicted to narcotics. The condition of addiction also caused boredom and the willingness to be free from addiction. Rehabilitation process was done to intervene the addiction behavior that experienced by each individual. There was negative impact that was felt and there was a need to motivate each subject to make a purpose which was an element of self-regulation. After rehabilitation, each individual was still struggling to maintain their recovery. Relapse or downfall and urge back to narcotics showed that self-regulation was needed for a lifetime period of each ex-addict. Their jobs as addiction counselors were used as monitoring process to support their self-regulation. The result showed that ex-addicts already had the elements of self-regulation which were having purpose, self-monitoring, and operating. The factors that affected the process of self-regulation to both subjects were microsytem ecology factor and self-effifacy.

(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN

PERSETUJUAN

(12)

x

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaanNya

sehingga penulis dapat melalui setiap proses dalam penulisan skripsi dengan baik.

Proses pembuatan skripsi ini tentu melewati berbagai perjumpaan dan pengalaman

yang mengesankan. Melalui penulisan skripsi ini, tidak hanya pengetahuan baru

yang didapatkan, tetapi juga nilai dan kesan tersendiri bagi penulis.

Mencoba mengenali dan memahami apa yang sebelumnya tidak pernah

diketahui oleh penulis menjadi suatu tantangan tersendiri, terutama dalam hal

memahami proses jatuh-bangun seorang mantan pecandu narkotika. Proses mental

yang luar biasa yang dialami oleh seorang mantan pecandu dapat menjadi proses

refleksi tersendiri bagi penulis. Proses mental yang luar biasa, terlebih perjuangan

untuk bertahan dan pulih dari adiksi yang dialaminya.

Membuka mata dan hati, itulah yang penulis refleksikan selama proses

penulisan skripsi. Belajar dari pengalaman orang lain merupakan proses belajar

yang melibatkan refleksi bagi penulis. Bagaimana sebuah pengalaman dapat

menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang penting untuk dibagikan kepada sesama

sebagai proses pembelajaran dalam hidup.

(13)

xi

1.

Tuhan Yang Maha Esa, Yesus Kristus, yang kusebut sebagai Juru Selamat,

sumber penghiburan, harapan, dan kekuatan bagi penulis.

2.

Kedua orang tua saya, Papa Susamto Sanjaya dan Mama Erna Isvandari,

yang memberikan dukungan dan semangat, serta nasehat kepada penulis

selama proses mengerjakan skripsi. Sehat terus buat Papa dan Mama

3.

Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., M.Si., yang telah mendampingi,

membimbing, dan mendukung penulis selama proses mengerjakan skripsi.

Terimakasih banyak Bu, telah menyediakan waktu (selain waktu

bimbingan) untuk curhat. Sukses buat karir maupun studi Ibu ya.

4.

Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi yang

telah memberi ijin untuk mengikuti ujian skripsi.

5.

Kedua penguji yang baik hati, Dr. Tjipto Susana, M.Si. dan Dr. YB. Cahya

Widiyanto, M.Si., terimakasih atas saran, kritik, maupun masukan bagi

penulis untuk memberikan hasil penelitian yang lebih baik.

6.

Bro Eko dan Sis Lely, yang sudah membantu kelancaran skripsi dan

bersedia memberikan masukan dan informasi mengenai dunia adiksi. Sehat

selalu dan sukses buat kalian semua, aku mengasihi kalian

7.

Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang

turut memberikan dukungan hingga akhir proses mengerjakan skripsi.

8.

Panti Sosial Parmadi Putra, yang secara hangat dan terbuka memberikan

bantuan dan kelancaran dalam bentuk memberikan ijin penelitian.

(14)

xii

10.

Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Bu Nanik, Mas Gandung, dan Mas

Muji) yang selalu memberikan keramahan dan bantuan dalam hal

administrasi.

11.

Kedua kakak saya, Angelia Nirmalasari dan Ervanto Agung Sanjaya yang

telah memberikan semangat kepada penulis.

12.

Simon Yuarto, si “bawel” yang selalu member

ikan dukungan dan semangat

kepada penulis selama proses mengerjakan skripsi. I love you, darl.

13.

Teman-teman Teater Garis Aletheia, untuk Mba Ninit, Kak Yuni, Mba

Brenda, Indri, Grace, Cindy, dan Pak Wandy. Terimakasih atas doa dan

dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Tuhan memberkati

14.

Kepada Mas Putu, Mas Aga, Mba Melati, Mba Herlina, Sawilda, Bella,

Raysa Rere, Anita, Tuti, dan seluruh teman-teman Komunitas Debat,

terimakasih atas semangat dan dukungan yang kalian berikan.

15.

Serta kepada seluruh teman dan pihak lain yang turut mengisi hari-hariku,

yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena

itu, penulis menerima segala bentuk kritik atau masukan. Semoga penelitian ini

dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat membuka hati

untuk mendukung proses pemulihan pada mantan pecandu narkotika.

Yogyakarta

Penulis,

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Regulasi Diri ... 11

1. Pengertian Regulasi Diri ... 11

2. Unsur-unsur dalam Regulasi Diri ... 13

3. Pola-pola Umum dan Mekanisme Kegagalan Regulasi Diri ... 16

B. NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya) ... 27

1. Pengertian NAPZA ... 27

(16)

xiv

3. Efek yang Ditimbulkan oleh NAPZA ... 29

C. Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat... 31

1. Penggolongan Gangguan yang Berkaitan dengan Zat ... 31

2. Istilah Pengguna, Penyalah guna, dan Ketergantungan ... 32

3. Tahapan Ketergantungan... 33

4. Karakteristik Ketergantungan ... 34

D. Siklus Kekambuhan ... 35

1. Pengertian Kekambuhan (relapse) ... 35

2. Tahapan Relapse (kekambuhan) ... 36

3. Pemicu Terjadinya Kekambuhan (Relapse) ... 38

4. Tahapan Recovery (Kesembuhan) ... 40

E. Model Ekologi pada Perkembangan Manusia... 43

F. Self Efficacy ... 44

G. Dinamika Regulasi Diri pada Mantan Pecandu Narkotika ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 51

A. Jenis Penelitian ... 51

B. Fokus Penelitian ... 52

C. Subjek Penelitian ... 52

1. Teknik Pemilihan Subjek ... 52

2. Karakteristik Subjek ... 53

D. Metode Pengumpulan Data ... 53

E. Metode Analisis Data ... 56

F. Keabsahan Data ... 59

1. Kredibilitas ... 59

2. Triangulasi ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 62

1. Persiapan Penelitian dan Perijinan ... 62

2. Pelaksanaan Penelitian ... 64

B. Subjek Penelitian ... 65

(17)

xv

2. Latar Belakang Subjek ... 65

C. Analisis Data Penelitian ... 73

1. Kegagalan Regulasi Diri yang Dialami Oleh Subjek ... 73

2. Kondisi Subjek Saat Menjadi Pecandu ... 77

3. Awal dari Proses Regulasi Diri ... 81

4. Bentuk dan Upaya Regulasi Diri Pasca Rehabilitasi ... 88

D. Pembahasan ... 101

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

A. Kesimpulan ... 123

B. Keterbatasan Penelitian ... 124

C. Saran ... 125

(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman Wawancara... 54

Tabel 2. Waktu dan Tempat Penelitian...64

Tabel 3. Demografi Subjek...65

Tabel 4. Kegagalan Regulasi Diri yang Dialami Subjek...73

Tabel 5. Kondisi Saat Menjadi Pecandu...78

Tabel 6. Awal Proses Regulasi Diri...81

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Informed Consent...134

Surat Persetujuan Wawancara Subjek 1...135

Surat Persetujuan Wawancara Subjek 2...136

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Fakultas (bulan Oktober 2015)...137

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Fakultas (bulan Januari 2016)...138

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Gubernur (bulan Oktober 2015)...139

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Gubernur (bulan Januari 2016)...140

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Dinas Sosial (bulan Oktober 2015)...141

Surat Ijin Pelaksanaan Penelitian dari Dinas Sosial (bulan Januari 2016)...142

Transkrip Wawancara Subjek 1...143

Transkrip Wawancara Subjek 2...206

Lampiran Member Checking Subjek 1...255

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

A Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah yang sering muncul di dalam kehidupan

masyarakat hingga saat ini adalah terkait penyalahgunaan dan

ketergantungan obat-obatan terlarang/ narkotika. Narkotika (Sulistami,

Yulia, & Tegawati, 2013) merupakan zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Jumlah penyalahguna dan pecandu narkotika di Indonesia terus

mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Menurut data penelitian

Badan Narkotika Nasional (BNN) diprediksi angka prevalensi penyalahguna

narkoba

mencapai

5,1

juta

orang

di

tahun

2015

(http://portalindonesianews.com/posts/view/1626/tahun_2015_jumlah_peng

guna_narkoba_di_indonesia_capai_5_juta_orangdiakses tanggal 29 Mei

2015).

(22)

tersangka narkoba pada rentang usia 16 hingga 19 tahun mencapai 2.016

kasus, sedangkan untuk rentang usia 20 hingga 24 tahun tercatat setidaknya

terdapat 5.478 kasus. Sebanyak 22 persen pengguna narkoba di Indonesia

berasal dari kalangan pelajar. Jumlah tersebut menempati urutan kedua

terbanyak setelah pekerja yang menggunakan narkoba. Akan tetapi, 70

persen pengguna di kalangan pekerja tersebut merupakan pemakai lanjutan.

Artinya, sejak menjadi pelajar mereka sudah menggunakan narkoba.

(http://nasional.sindonews.com/read/773842/15/22-persen-pengguna-narkoba-adalah-pelajar-1377080228 diakses pada tanggal 29 Mei 2015).

DSM-IV TR (dalam Nevid, Rathus, & Grenee, 2005) menggunakan

istilah penyalahgunaan zat dan adiksi zat untuk menggolongkan

orang-orang yang penggunaan zatnya merusak fungsi mereka. Penyalahgunaan zat

melibatkan pola penggunaan berulang yang menghasilkan konsekuensi yang

merusak. Penyalahgunaan zat yang berlangsung dalam periode waktu yang

panjang atau meningkat menimbulkan adiksi pada zat. Adiksi merupakan

penggunaan habitual dan kompulsif yang diiringi dengan adanya

ketergantungan fisiologis dan psikologis. Ketergantungan fisiologis berarti

tubuh telah berubah sedemikian rupa akibat penggunaan secara teratur

sehingga tubuh menjadi tergantung pada pasokan zat yang stabil.

Ketergantungan psikologis ditandai dengan penggunaan secara kompulsif

untuk memenuhi kebutuhan psikologis (Nevid dkk., 2005).

(23)

keinginan diterima di suatu kelompok, pengaruh teman sebaya, adanya

masalah keluarga, dan masih banyak faktor penyebab lainnya (Rahmadona

& Agustin, 2014; Tambunan, Sahar, & Hastono, 2008). Cooper

menambahkan, adanya afek negatif yang dialami menjadi motivasi bagi

individu untuk menggunakan narkotika sebagai mekanisme penyelesaian

masalah (dalam Crockett, Raffaelli, & Shen, 2006).

Baumeister dan Heatherton (1996) mengungkapkan bahwa masalah

ketergantungan muncul sebagai akibat individu tidak memiliki disiplin dan

kontrol atas dirinya sendiri. Adanya kontrol diri yang tinggi direlasikan

dengan penyesuaian diri yang baik, kurangnya psikopatologi, relasi yang

sehat, meningkatnya kemampuan sosial, dan sedikit memiliki masalah

perilaku

kecanduan

seperti

merokok

dan

penyalahgunaan

obat

(Baumgardner & Crothers, 2009).

Kegagalan regulasi diri (tidak adanya disiplin dan kontrol diri) dinilai

sebagai masalah dasar yang telah meluas di kehidupan masyarakat

(Baumeister & Heatherton, 1996). Regulasi diri (merupakan pertukaran dari

kontrol diri) dinilai sebagai kekuatan manusia untuk merespon secara efektif

terhadap kejadian buruk yang dialami oleh individu (Lopez, 2008). Regulasi

diri juga dinilai sebagai kekuatan untuk mengontrol emosi, pikiran, dan

perilaku pada diri individu (Baumeister, Tice, & Heatherton, 1994).

(24)

adanya kemampuan dari regulasi diri mampu melindungi individu dari

perilaku berisiko seperti penyalahgunaan narkotika (Abolghasemi & Rajabi,

2013; Bakhshani & Hosseinbor, 2013).

Banyak peneliti yang menemukan adanya keterkaitan antara

rendahnya kemampuan regulasi diri dengan perilaku merokok, mabuk, dan

penyalahgunaan narkotika (Bukhtawer, Muhammad, & Iqbal, 2014).

Sayangnya, beberapa penelitian lebih berfokus pada kegagalan regulasi diri

dibandingkan dengan bagaimana proses regulasi diri dapat terbentuk

(Baumeister & Heatherton, 1996; Heatherton & Wagner, 2011).

Pecandu narkotika tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk

mengontrol dirinya. Hal itu terjadi karena pecandu terikat dengan

penyalahgunaan untuk menanggulangi sensasi yang tidak menyenangkan

atau untuk mengurangi emosi negatif (Abolghasemi & Rajabi, 2013). Untuk

itu, rehabilitasi merupakan solusi intervensi bagi individu yang terlibat

penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika. Proses rehabilitasi tentunya

beragam dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengubah perilaku adiksi

pada pecandu agar tidak mengalami kekambuhan. Akan tetapi, fakta

menunjukkan banyak pecandu yang telah menjalani proses rehabilitasi

mengalami kekambuhan (relapse) dan kembali lagi menjalani rehabilitasi.

(25)

(http://lampost.co/berita/tingkat-kekambuhan-pecandu-narkoba-tinggi diakses pada tanggal 19 Februari

2016). Relapse atau kekambuhan berarti individu secara utuh kembali pada

pola adiksinya atau kembali pada penyimpangan perilakunya (Jiloha, 2011).

Relapse dipandang sebagai tantangan dalam setiap treatment penyimpangan

perilaku (Ibrahim & Kumar, 2009) dan merupakan masalah terbesar bagi

pecandu dalam mempertahankan kesembuhannya (Bhandari, Dahal, &

Neupane, 2015).

Dalam perspektif biologis, adiksi merupakan penyakit kronis yang

disertai dengan perubahan fungsi otak. Adiksi dalam jangka waktu yang

lama dapat mengurangi jumlah reseptor pada neuron penerima di mana

dopamin berada. Akibatnya, kemampuan otak menjadi menurun untuk

memproduksi dopamin sendiri. Perubahan pada sistem dopamin dapat

menjelaskan adanya rasa ketagihan yang kuat dan munculnya kecemasan

saat individu mengalami gejala putus zat (Nevid dkk., 2005). Adiksi

merupakan penyakit otak (brain disease) yang memiliki konsekuensi secara

biokimia maupun psikososial. Adiksi dikatakan sebagai sesuatu yang kronis,

bahkan terkadang disertai kekambuhan otak (brain relapsing) dengan

perilaku kompulsif seperti mencari narkoba walaupun mengetahui

konsekuensi negatifnya (Jiloha, 2011). Uraian tersebut memperlihatkan

adanya kesulitan bagi individu dengan ketergantungan kimia dalam

mempertahankan abstinensi (Nevid dkk., 2005).

(26)

mengontrol emosi (Ibrahim & Kumar, 2009). Pasca rehabilitasi, individu

mengalami ketidakstabilan emosi, rasa mengidam, ego yang lemah, dan

adanya emosi negatif. Selain itu, individu menggunakan coping yang tidak

efektif untuk mengatasi emosi negatif. Tekanan hidup juga menjadi

penyebab relapse pada pecandu karena mampu menurunkan kontrol diri dan

menghasilkan coping yang negatif untuk mengatasi tekanan (Matoo,

Chakrabarti, & Anjaiah, 2009; Sinha, 2001; Syuhada, 2015). Dari hal

tersebut, dapat disimpulkan bahwa relapse terjadi karena individu masih

lemah dalam meregulasi dirinya, yaitu individu masih memiliki masalah

yang berkaitan dengan emosi (Bukhtawer dkk., 2014; Hammerbacher &

Lyvers, 2005; Hurriyati, 2010; Rosyidah & Nurdibyanandaru, 2010).

Sayangnya, bagaimana proses regulasi diri pada mantan pecandu tidak

diungkap oleh penelitian sebelumnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya,

penting untuk meneliti bagaimana peran regulasi diri untuk menjaga kondisi

abstinen terhadap narkotika (Bukhtawer dkk., 2014).

(27)

pecandu tidak kembali menggunakan narkotika. Berdasarkan hal inilah

peneliti ingin mengeksplorasi bagaimana regulasi diri pada mantan pecandu

narkotika yang memiliki keinginan untuk menjaga kondisi abstinen.

Fitri Syarifah menuliskan, rasa kecanduan yang diciptakan oleh

narkotika ternyata disimpan baik di dalam memori/ ingatan sebagai sesuatu

yang menyenangkan. Memori muncul kembali ketika mantan pecandu

mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Mantan pengguna narkoba

mengalami kesulitan mengendalikan keinginannya mengonsumsi narkoba

sampai

kapanpun

bila

tidak

didukung

lingkungan

yang

baik

(http://health.liputan6.com/read/2065201/mantan-pecandu-narkoba-tak-bisa-sembuh-selamanya

diakses pada tanggal 19 Februari 2016).

Tidak hanya mengenai kemampuan regulasi diri, faktor lingkungan

juga turut membantu dalam mempertahankan kesembuhan bagi mantan

pecandu narkotika. Faktor lingkungan dapat berupa dukungan dari keluarga

maupun dari significant other. Dukungan yang tidak konsisten memberikan

peluang bagi mantan pecandu narkotika untuk kembali kambuh (Aztri &

Milla, 2013; Bhandari dkk., 2015; Hammerbacher & Lyvers, 2005;

Hurriyati, 2010; Ismail, 2015). Dukungan dari keluarga maupun significant

other memiliki efek yang tinggi terhadap regulasi diri. Keluarga dan

significant other dapat menjadi prediksi pada regulasi diri. Individu yang

(28)

(sebagai contoh faktor lingkungan) memengaruhi regulasi diri dengan

menyediakan cara untuk mendapatkan penguatan (Feist & Feist, 2010).

Faktor lain yang turut memberikan pengaruh adalah terkait adanya

efikasi diri. Efikasi diri berperan untuk memperkuat keyakinan dalam usaha

mempertahankan kesembuhan bagi mantan pecandu narkotika (Aztri &

Milla, 2013; Dennis & Scott, 2007; Mattoo dkk., 2009; Syuhada, 2015).

Efikasi diri berguna sebagai motivasi dalam upaya individu meregulasi

dirinya (Bandura, 1999; Clark, 2011). Berdasarkan uraian tersebut, regulasi

diri juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti efikasi diri dan faktor

lingkungan. Inilah yang menjadikan proses regulasi diri menjadi suatu hal

yang kompleks dan saling memberikan pengaruh.

Upaya mantan pecandu untuk mempertahankan recovery tentunya

beragam. Hal yang dilakukan oleh Gibon adalah mendalami dunia adiksi

dengan cara belajar menjadi konselor. Menurut Gibon, dengan menjadi

konselor, dirinya dapat membantu orang lain sekaligus membantu dirinya

sebagai pengingat melalui program training yang ia lakukan. Gibon juga

mengungkapkan bahwa peran keluarga juga dirasa sangat besar bagi dirinya

(29)

B.

Pertanyaan Penelitian

B Pertany aan Penelitian

1.

Bagaimanakah proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika yang

bekerja sebagai konselor adiksi?

2.

Bagaimanakah pengaruh dari faktor lain dalam proses regulasi diri?

C.

Tujuan Penelitian C Tujuan Penelitian

1.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses regulasi diri pada

mantan pecandu narkotika yang bekerja sebagai konselor adiksi.

2.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana pengaruh dari

faktor lain dalam proses regulasi diri.

D.

Manfaat Penelitian

D Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pengetahuan dalam ilmu Psikologi mengenai

proses regulasi diri pada mantan pecandu narkotika. Selain itu,

penelitian ini juga memberikan sumbangan pengetahuan berupa

bagaimana pengaruh dari faktor lain terhadap proses regulasi diri pada

mantan pecandu narkotika.

2.

Manfaat Praktis

(30)

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

bagi mantan pecandu narkotika dalam upaya meregulasi dirinya

agar tidak kembali menggunakan narkotika pasca rehabilitasi.

b.

Bagi Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan

dan kesadaran bagi keluarga mantan pecandu narkotika untuk

senantiasa memberikan dukungan sebagai upaya membantu

mempertahankan kemampuan regulasi diri pada mantan pecandu

narkotika.

c.

Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kesadaran bagi

masyarakat untuk memberikan dukungan berupa penerimaan

sebagai upaya mempertahankan kesembuhan dari mantan pecandu

narkotika.

d.

Bagi Dinas Sosial/ Panti Rehabilitasi

(31)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Regulasi Diri

A Regulasi D iri

1.

Pengertian Regulasi Diri

Regulasi diri merupakan kemampuan untuk meregulasi atau

mengubah perhatian, perasaan, dan perilaku yang disesuaikan dengan

tuntutan internal dan eksternal dalam mencapai tujuan yang lebih tinggi

(dalam Crockett dkk., 2006; Ridder & Wit, 2006). Karolyi

mengungkapkan bahwa regulasi diri dan kontrol diri mengarah pada

kemampuan seseorang untuk memulai dan memandu tindakan mereka

dalam mencapai suatu tujuan di masa depan (dalam Baumgardner &

Crothers, 2009).

(32)

dorongan. Bentuk dasar dari mengesampingkan adalah menghentikan

rangkaian dari suatu respon.

Baumeister (dalam Lopez, 2008) mengidentifikasi bahwa kontrol

diri dipelajari melalui empat domain antara lain kontrol dorongan,

mengontrol pikiran, meregulasi mood atau emosi, dan mengontrol

keseluruhan proses yang menunjukkan kualitas performansi seseorang

(performance management). Hal utama dalam regulasi diri adalah

menghentikan dorongan yang tidak sehat.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa regulasi diri

memiliki dua fitur/ kekayaan umum yaitu: 1) regulasi diri sebagai sistem

motivasional yang dinamis dalam membuat tujuan (setting goals),

meningkatkan dan menetapkan strategi untuk meraih tujuan, menilai

perkembangan/ progres, dan meninjau ulang tujuan dan strategi yang

telah diterapkan. 2) regulasi diri berfokus pada mengelola respon/

dorongan emosi (emotional responses), yang mana terlihat sebagai

elemen penting dalam sistem motivasi, dan dipahami sebagai hal

kompleks dalam kaitannya dengan proses kognisi (Ridder & Wit, 2006).

Di sisi lain, Baumeister dan Heatherton (1996) membedakan

kegagalan regulasi diri menjadi dua, yaitu underregulation dan

misregulation. Underregulation berarti memiliki kegagalan dalam

(33)

yang tidak diinginkan. Misregulation berarti individu melibatkan kontrol

dengan cara yang salah atau tidak produktif sehingga hasil yang

diinginkan tidak tercapai.

2.

Unsur-unsur dalam Regulasi Diri

Baumeister dan Heatherton (1996) memberikan penjelasan

mengenai tiga komponen/ unsur dalam regulasi diri. Komponen dalam

regulasi ini dapat menjadi penentu keberhasilan regulasi diri pada

individu. Komponen regulasi diri digunakan untuk menjelaskan

mengenai fitur regulasi diri sebagai sistem motivasional yang dinamis

dalam membuat (setting goals) tujuan, meningkatkan dan menetapkan

strategi untuk meraih tujuan, menilai perkembangan/ progres, dan

meninjau ulang tujuan dan strategi yang telah diterapkan. Berikut adalah

tiga komponen dalam regulasi diri:

a.

Standar atau ukuran

Standar atau ukuran merupakan tujuan atau konsep lainnya yang

mungkin untuk dicapai oleh individu. Standar atau ukuran dapat

berupa norma sosial, tujuan personal, harapan mengenai orang lain,

dan sebagainya (Baumeister dkk., 1994).

(34)

bahwa tujuan yang menantang akan melibatkan minat dan usaha pada

individu dibandingkan dengan tujuan yang mudah dicapai.

Tujuan dibuat dengan adanya ukuran yang jelas dan konsisten.

Tanpa adanya ukuran yang jelas dan konsisten, maka regulasi diri

akan terganggu. Selain itu, standar/ ukuran yang bertentangan dan

mengandung konflik dapat menghambat regulasi diri yang efektif

(Baumeister & Heatherton, 1996). Tujuan yang baik merupakan suatu

tujuan yang dibuat oleh individu mengenai apa yang ingin dicapai,

bukan dihindari. Penelitian yang dilakukan oleh Elliot dan Sheldon

(dalam King, 2010) memperoleh penemuan bahwa tujuan yang dibuat

untuk menghindari sesuatu diasosiasikan dengan kinerja dan stress

yang buruk.

b.

Pemantauan (monitoring)

(35)

Mengonsumsi alkohol dapat meningkatkan kegagalan regulasi

diri karena mengurangi atensi sehingga seseorang memiliki

kekurangan dalam memonitoring dirinya sendiri. Kegagalan dalam

menilai kelebihan diri sendiri (atau underestimasi kemampuan) juga

dapat menjadi penghalang dalam mencapai tujuan dan menghambat

regulasi diri (Baumeister & Heatherton, 1996).

c.

Menjalankan (operate)

Menjalankan (operate) menunjuk kepada kemampuan seseorang

mengubah keadaan saat ini untuk mencapai tujuan. Regulasi diri dapat

gagal walaupun seseorang memiliki tujuan yang jelas dan pemantauan

yang efektif, hanya dikarenakan tidak mampu beradaptasi dengan

perubahan. Beradaptasi dapat berarti individu menyesuaikan diri

dengan

lingkungan

atau

individu

mengubah

lingkungannya

(Baumeister & Heatherton, 1996).

Tujuan dari menjalankan (operate) ini adalah menghasilkan

perubahan terhadap dorongan/ keinginan ataupun respon. Regulasi diri

berarti dapat mengesampingkan suatu respon yang terjadi secara

normal, natural, atau karena kebiasaan (Baumeister dkk., 1994).

(36)

3.

Pola-pola Umum dan Mekanisme Kegagalan Regulasi Diri

Dasar dari regulasi diri adalah memiliki standar, memantau diri

sendiri untuk mencapai standar, dan mengubah respon agar individu

dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap standarnya. Kegagalan

regulasi diri dapat terjadi pada dasar-dasar tersebut. Kegagalan regulasi

diri juga dapat terjadi akibat individu tidak mampu mengesampingkan,

menghentikan, maupun mengatasi dorongan. Berikut adalah pola umum

kegagalan regulasi diri (Baumeister dkk., 1994):

a.

Konflik pada standar/ tujuan (conflicting standards)

Menurut Karoly (dalam Baumeister dkk., 1994), kegagalan regulasi

dapat terjadi ketika seseorang tidak memiliki standar/ tujuan yang

mana standar/ tujuan tersebut yang menjadi dasar dari regulasi diri.

Secara umum, masalah yang dialami oleh individu adalah ketika

dirinya memiliki beberapa tujuan yang tidak konsisten, bertentangan,

atau tidak cocok.

(37)

Higgins menunjukkan bahwa tujuan yang tidak spesifik dan memiliki

konflik dalam mengarahkan diri membuat seseorang menjadi kacau,

bimbang, memiliki respon yang menentang, kebingungan akan

identitasnya, dan memiliki distres emosi (dalam Baumeister dkk.,

1994).

b.

Reduksi pada monitoring (reduction of monitoring)

Kegagalan regulasi diri dapat terjadi ketika seseorang bertindak

curang saat memantau/ memonitoring dirinya dalam mencapai suatu

tujuan. Regulasi diri yang efektif melibatkan adanya evaluasi

mengenai diri dan tindakan secara berkala terkait dengan tujuan dan

melihat bagaimana untuk meningkatkannya.

Sikap/ perilaku yang konsisten juga kerap dikaitkan dengan

kemampuan seseorang untuk memonitor dirinya sendiri. Memiliki

sikap yang konsisten membuat individu dapat berfokus untuk

mengevaluasi dirinya dan berada pada trek yang dibuatnya untuk

mencapai suatu tujuan.

(38)

Hull mengungkapkan bahwa mengonsumsi alkohol dapat

mengurangi kesadaran diri dengan cara mereduksi proses kognisi yang

berkaitan dengan diri. Akibatnya, individu kehilangan kapasitas untuk

berpikir mengenai diri mereka sendiri, tidak mampu mengevaluasi

diri, tidak membandingkan dirinya sendiri dengan tujuan/ standar

personal, dan memiliki dampak dari kejadian saat ini untuk masa

depan mereka (dalam Baumeister dkk., 1994).

c.

Regulasi Diri: Kekuatan yang Terbatas (Limited Source)

Kegagalan regulasi diri terjadi ketika seseorang tidak cukup

memiliki kekuatan akan suatu tugas. Regulasi diri melibatkan

perlawanan antara kekuatan dari dorongan dan gangguan untuk

beraksi dengan kekuatan dari mekanisme regulasi diri untuk

menginterupsi respon tersebut dan mencegah aksi yang diakibatkan

dari gangguan tersebut.

(39)

Asal dari “kekuatan” yang dibutuhkan agar regulasi diri berhasil

dengan melibatkan self-stopping. Self-stopping melibatkan sumber

mental dan fisik. Untuk mengendalikan sebuah dorongan/ kebiasaan/

kecenderungan lainnya, seseorang terkadang menggunakan kekuatan

mental dan fisik.

Berdasarkan konsep “kekuatan” dalam regulasi diri, berikut adalah

beberapa penyebab tidak adanya kekuatan pada diri seseorang untuk

melakukan regulasi diri:

1)

Kelemahan yang kronis

Setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda dalam

menghadapi respon/ dorongan yang sama. Setiap orang memiliki

kapasitas yang berbeda-beda dalam mengendalikan dorongan,

keinginan, perasaan, dan tindakan mereka. Akan tetapi, kekuatan

pada tiap orang dapat ditingkatkan melalui latihan yang rutin.

Kekuatan regulasi diri dapat melemah apabila tidak dilatih secara

rutin.

2)

Temporary (kekuatan merupakan sumber yang terbatas)

(40)

tersinggung sehingga mereka cenderung meningkatkan perilaku

merokok, diet ketat atau banyak makan, menyalahgunakan alkohol

atau obat-obatan (Baumeister & Heatherton, 1996).

3)

Kekuatan dari respon/ dorongan lebih besar

Kegagalan regulasi diri dapat terjadi ketika seseorang memiliki

keyakinan bahwa respon yang dihadapi memiliki kekuatan yang

besar sehingga sulit untuk dikendalikan. Dorongan dan keinginan

bisa saja menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu. Baumeister dan

Heatherton (1996) memberi penjelasan bahwa kekuatan regulasi

diri dapat ditingkatkan dengan adanya latihan yang teratur sehingga

regulasi diri menjadi lebih mudah dari sebelumnya. Kesuksesan

dalam merehabilitasi para tahanan dapat dilihat dari menguatnya

kemampuan regulasi diri. Ketika seseorang meningkatkan kekuatan

regulasi dirinya, seseorang menjadi lebih baik dalam hal

mengontrol dorongan sepanjang waktu.

d.

Kelambanan psikologis (psychological inertia)

(41)

respon/ dorongan lebih efektif daripada menginterupsi dorongan yang

sudah terjadi (Baumeister dkk., 1994).

e.

Pola Sebab-Akibat Kegagalan (lapse-activated causal patterns)

Dalam hal regulasi diri, kegagalan timbul ketika ada faktor yang

menjadi pemicu atau mendorong seseorang untuk melakukan hal yang

menyimpang. Ada saatnya orang terbawa oleh dorongan itu namun

dengan cepat ia menarik diri dan kembali pada keadaan yang

seharusnya. Tapi tidak jarang orang terbawa dan terhanyut sehingga

menggelinding seperti bola salju (sebuah metafor yang umum dipakai

untuk menjelaskan pola sebab-akibat dari kegagalan regulasi diri),

yang dalam hal ini ketika seseorang terjerumus dan mengalami

berbagai permasalahan yang semakin membesar ibarat bola salju yang

semakin menggelinding kebawah semakin membesar.

Kunci untuk memahami pola sebab-akibat kegagalan ini adalah

adanya dua model. Model yang pertama adalah ketika muncul faktor

yang membuat seseorang untuk melanggar program/aturan. Model

kedua adalah ketika sebuah faktor muncul dan mengubah kegagalan

awal menjadi kegagalan yang lebih besar atau berlarut-larut. Model

kedua ini hanya terjadi ketika model pertama telah terjadi.

(42)

yang jernih. Emosi dapat memicu efek bola salju, seperti misalnya

ketika seseorang eks-alkoholis yang lama tidak merasakan alkohol,

akhirnya karena situasi dan kondisi menyerah pada keadaan dan

mengalami lapse (kekambuhan). Perasaan kacau balau bercampur

dengan rasa bersalah akibat meneguk alkohol kembali setelah berhasil

menjauh selama mungkin justru mendorongnya menenggak botol

demi botol agar perasaan tidak enak itu hilang.

Hal lain yang menyebabkan adanya kegagalan adalah keyakinan

nol-toleransi (zero tolerance). Pada keyakinan nol-toleransi, tidak ada

zona abu-abu (ya atau tidak sama sekali). Keyakinan nol-toleransi

berarti meniadakan sama sekali dorongan, stimulus, maupun hal lain

yang dapat menggagalkan usaha regulasi diri. Akan tetapi, tidak ada

orang yang sempurna 100%. Ketika individu gagal (contoh: tergelincir

menggunakan alkohol semenjak abstinen), hal tersebut akan

menggiringnya ke dalam bencana yang lebih besar. Adanya perasaan

tidak enak/ bersalah justru membuatnya semakin larut atau semakin

besar dalam mengonsumsi alcohol (Baumeister dkk., 1994).

f.

Pemberontakan atensi (renegade attention)

(43)

usaha regulasi diri. Strategi terbaik adalah mencegah stimulus

tersebut, seperti menghindari daripada menghadapi stimulus tersebut.

Penyebab dari kegagalan regulasi diri adalah kegagalan dalam

transcendence (kesadaran). Ketika individu memiliki tujuan yang

terlampau panjang dan memiliki idealisme yang tinggi, atensi akan

terbenam dan regulasi diri menjadi terancam. Walaupun kesadaran

berperan dalam mengarahkan atensi, tetapi dalam hal ini cenderung

melemahkan kapasitas regulasi diri.

Kapasitas untuk menunda kesenangan (delay of gratification)

merupakan salah satu yang penting dari teori regulasi diri. Seseorang

yang sukses menunda kesenangan akan fokus pada reward yang lebih

besar (yang diperoleh dari tujuan jangka panjang) daripada reward

yang secara langsung tersedia di hadapannya (Baumeister &

Heatherton, 1996).

Transcendence merupakan aspek penting dari regulasi emosi.

Seseorang mengendalikan kemarahan, rasa frustasi, atau kekecewaan

dengan melihat apa yang terjadi dibalik situasi segera (immediate

situation). Mereka membayangkan mengapa terjadi hal yang buruk

sehingga memunculkan hasil berupa kemungkinan yang positif

maupun memunculkan motif yang menguntungkan (Baumeister &

Heatherton, 1996).

(44)

Dengan melihat faktor-faktor penyebab kegagalan pengendalian

diri, efek bola salju adalah lanjutan dari kegagalan pada tahap awal

(first lapse), yaitu kondisi saat seseorang tak mampu menarik kembali

dirinya agar tidak „menggelinding‟ pada trek yang p

enuh masalah dan

menghancurkan upaya pengendalian diri itu sendiri. Sikap

nol-toleransi yang coba diterapkan sebagai upaya pengendalian diri justru

berefek samping ketika pertahanan diri yang dibangun dengan kokoh

itu akhirnya hancur dan mengakibatkan timbulnya emosi yang tak

tertahankan (perasaan bersalah yang datang bertubi-tubi dan berujung

pada sikap kepalang tanggung).

(45)

cukup”.

Akan tetapi,

perasaan untuk „memberi penghargaan‟ ini justru

berlanjut dengan porsi yang lebih besar.

Spiraling distress (kemasygulan yang terus terulang) adalah pola

lain yang umum dalam efek bola salju. Seseorang barangkali tidak

kehilangan akal sehatnya ketika filter kegagalan pengendalian diri

bekerja. Orang itu mampu merefleksikan kembali lapse pertama yang

baru saja terjadi, namun dalam tahap refleksi ini ia cenderung tidak

berpikir positif melainkan membayangkan kualitas dirinya yang

memburuk. Semakin ia mencoba untuk mengawasi perilakunya dan

mengevaluasi diri, semakin kuat rasa bersalahnya dan orang tersebut

akan mudah tergelincir di trek bola salju (Baumeister dkk., 1994).

h.

Penyerahan/ pembiaran (acquiescence: letting it happen)

Pecandu narkoba dan alkohol lebih suka disebut sebagai korban

karena kecanduan mereka (serta lapse yang terjadi pasca rehabilitasi)

disebabkan oleh keadaan yang memaksa atau menjerumuskan.Hal ini

menarik dan penting, karena sikap penyerahan atau pembiaran ini

telah menjadi latar belakang berbagai macam faktor yang telah

dibahas terkait dengan kegagalan pengendalian diri. Ketika seorang

pecandu narkoba minta disebut sebagai korban padahal ia tak sekedar

pengguna namun juga merangkap pengedar, istilah korban ini

nampaknya tidak lagi tepat digunakan.

(46)

helpless (tak berdaya), namun mereka memilih untuk tidak

mengindahkan aturan-aturan pengendalian diri yang mereka coba

terapkan dan secara aktif membiarkan pengendalian diri mereka gagal.

Bagi mereka yang secara sadar menggagalkan pengendalian diri,

hal yang umum terjadi adalah saat mereka telah sampai pada sebuah

titik jenuh atau titik nadir dan merasa bahwa mereka perlu untuk

melupakan masalah, menenangkan diri atau semacamnya. Sikap ini

menunjukkan bahwa penyerahan adalah murni pilihan berdasarkan

kesadaran atau karena kesengajaan. Memang ada hal-hal yang

tampaknya mustahil untuk dikendalikan dan upaya pengendalian diri

yang dilakukan (apalagi dipaksakan) oleh seseorang justru malah

membuatnya melakukan pembiaran ketika hasrat untuk menggagalkan

pengendalian diri itu muncul (Baumeister dkk., 1994).

i.

Misregulasi

Misregulasi melibatkan cara/ teknik/ metode yang salah sehingga

memberi hasil yang berbeda dari yang diinginkan. Pola misrelugasi

disebabkan kurangnya pengetahuan sehingga individu menerapkan

cara yang salah untuk mencapai tujuan/ keinginan mereka.

(47)

mengeluarkan banyak darah atau melubangi tengkorak untuk

menyembuhkan penyakit yang tak tersembuhkan, padahal cara

tersebut tidak valid bahkan sangat berbahaya). Ketiga, budaya dapat

mendukung berbagai keyakinan yang menghambat regulasi diri yang

optimal (misal: budaya “nrimo” di satu sisi baik, tetapi bisa juga

merugikan bagi orang lain).

Pada beberapa kasus, seseorang mengalami misregulasi karena

regulasi dirinya berfokus pada aspek yang salah dalam perilakunya.

Pertama, mereka berfokus untuk mengontrol hidupnya pada hal-hal

yang tidak dapat dikendalikan/ dikontrol. Lebih tepatnya, seseorang

berusaha untuk merasa nyaman dengan idealismenya dengan cara

mengontrol dirinya untuk mencapai tujuan idealisnya. Kedua,

seseorang mengalami misregulasi karena berfokus mengontrol distres

emosinya dibandingkan sesuatu yang lebih utama. Sebagai contoh,

penyalah guna narkoba menggunakan narkoba untuk mengontrol/

meredam gejolak emosinya dibandingkan mengontrol perilaku

penyalahgunaan itu sendiri (Baumeister dkk., 1994).

B.

NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)

1.

Pengertian NAPZA

B NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya)

(48)

digunakan di media massa, sedangkan istilah NAPZA muncul seiring

dengan meningkatnya penyalahgunaan zat kimia dan lebih banyak

dibahas di kalangan akademisi (Sulistami dkk., 2013).

NAPZA terdiri

atas tiga komponen, yaitu:

a.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi

sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

b.

Psikotropika merupakan bahan ataupun zat baik alamiah maupun

buatan yang bersifat psikoaktif pada susunan syaraf pusat. Psikoaktif

berarti memiliki sifat memengaruhi otak dan perilaku sehingga

menyebabkan perubahan aktivitas mental dan perilaku pemakainya

(Sulistami dkk., 2013).

c.

Zat Adiktif lainnya merupakan obat serta bahan-bahan aktif yang

menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan

sehingga pemakai ingin menggunakan secara terus-menerus dan

memberikan efek lelah atau rasa sakit yang luar biasa apabila

dihentikan (Sulistami dkk., 2013).

2.

Jenis-Jenis Penggolongan NAPZA

(49)

a.

NAPZA alami merupakan NAPZA yang berasal dari olahan tanaman.

Selain itu, NAPZA alami tidak mengalami proses fermentasi ataupun

produksi. Tanaman yang tergolong NAPZA alami antara lain ganja/

Cannabis sativa, opium/ candu, dan kokain (Sulistami dkk., 2013).

b.

NAPZA semisintetis, merupakan golongan NAPZA yang dibuat dari

alkaloida opium dengan inti penathren dan diproses secara kimiawi

untuk menjadi bahan obat yang berkhasiat sebagai narkotika. NAPZA

golongan ini telah diproses sedemikian rupa dan melalui proses

fermentasi (Sulistami dkk., 2013). Contoh dari jenis NAPZA

semisintetis yang sering digunakan adalah heroin/ putau, kodein, dan

morfin.

c.

NAPZA sintetis merupakan golongan NAPZA yang diperoleh melalui

proses kimia dengan menggunakan bahan baku kimia, sehingga

diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika. Jenis ini

dikembangkan untuk keperluan medis dan untuk menghilangkan rasa

sakit (Sulistami dkk., 2013). Contoh NAPZA sintetis antara lain

adalah pethidine, metadon, dan megadon.

3.

Efek yang Ditimbulkan oleh NAPZA

Berikut adalah efek yang ditimbulkan oleh NAPZA:

(50)

dan tidak merasa kelelahan. Stimulan juga dapat mengubah suasana

hati menjadi lebih tenang. Kondisi tersebut dapat memperpanjang

waktu individu untuk beraktivitas. Akan tetapi, stimulan dalam dosis

tinggi dapat menyebabkan kegelisahan, kecemasan, bahkan psikosis

paranoid (Amriel, 2008). Contoh zat yang bersifat stimulan antara lain

kafein, tembakau, amfetamin/ sabu-sabu, ekstasi, kokain, dan ganja

(Amriel 2008; Sulistami dkk., 2013).

b.

Depresan: berbeda dengan stimulan, depresan bekerja dengan cara

mengurangi aktivitas fungsional tubuh, sehingga pemakai merasa

tenang bahkan tertidur atau tak sadarkan diri (Sulistami dkk., 2013).

Depresan menurunkan kerja otak sehingga pengguna mengalami

penurunan ketegangan dan merasa rileks. Pada saat yang sama, fungsi

fisik dan mental serta kendali diri juga mengalami penurunan tak

terkendali (Amirel, 2008). Contoh zat yang tergolong depresan adalah

alkohol, opium, putau/ heroin, morfin, kodein, valium, librium,

megadon, dan temazepam, serta inhalant atau zat tertentu yang

dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara dihisap melalui hidung

(Amriel, 2008; Sulistami dkk., 2013).

(51)

d.

Halusinogen: zat ini berfungsi meningkatkan apresiasi dan

pengalaman indrawi bagi pengguna. Suasana hati pengguna semakin

tajam dan mengalami persepsi yang terdistorsi sehingga memunculkan

halusinasi. Beberapa jenis zat halusinogen adalah kanabis/ ganja,

LSD, dan ekstasi (Amriel, 2008).

Brown dan King (dalam Amriel, 2008) menjelaskan jika individu

mengonsumsi beberapa jenis obat sekaligus akan memunculkan efek

yang tidak terduga dan berbahaya. Apabila individu menggabungkan

depresan dan analgesik, maka efek obat akan mematikan dan bereaksi

semakin kuat.

C.

Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat

C Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat

1.

Penggolongan Gangguan yang Berkaitan dengan Zat

DSM-IV (dalam Nevid dkk., 2005) menggolongkan gangguan yang

berkaitan dengan zat menjadi 2 kategori. Pertama, gangguan penggunaan

zat (substance use disorders) berarti melibatkan penggunaan maladaptif

dari zat psikoaktif yang meliputi penyalahgunaan zat dan ketergantungan

zat. Kedua, gangguan akibat penggunaan zat (substance-induced

disorders) merupakan gangguan yang muncul akibat penggunaan zat

(52)

2.

Istilah Pengguna, Penyalah guna, dan Ketergantungan

Terdapat istilah tertentu untuk membedakan seseorang dalam

mengonsumsi NAPZA. Seseorang yang mengonsumsi NAPZA dapat

disebut pengguna, penyalah guna, atau pecandu. Berikut beberapa

pengertian terkait ketiga hal tersebut (Sulistami dkk., 2013):

a.

Penggunaan rekreasional/ eksperimental

Penggunaan rekreasional berarti seseorang menggunakan pertama kali

atau sesekali untuk tujuan mencari kesenangan. Pada tingkat ini,

seseorang menggunakan NAPZA karena adanya dorongan rasa ingin

tahu ataupun mendapatkan tekanan dari teman sebayanya. Pengguna

belum memiliki masalah terkait penggunaan zatnya. Selain itu,

NAPZA dikonsumsi dalam jumlah kecil hingga sedang oleh

penggunanya (Sulistami dkk., 2013).

b.

Penggunaan sirkumstansial/ situasional

Pada tingkat ini, seseorang mengonsumsi NAPZA dengan tujuan

mencari efek tertentu untuk mengatasi kondisi tertentu. Pada tingkat

ini, seseorang dapat memiliki masalah terkait penggunaannya atau

tidak. Sebagai contoh, seorang tentara yang menggunakan morfin

dalam peperangan agar dapat merasakan perasaan santai dan terlepas

dari tekanan yang dialaminya (Sulistami dkk., 2013).

c.

Penggunaan intensif/ reguler

(53)

depresi), maupun mempertahankan kemampuan yang dikehendaki.

Dosis yang digunakan berada pada dosis rendah hingga dosis sedang.

Pada tingkatan penggunaan ini, sering juga disebut dengan tingkat

penyalahgunaan. Penyalah guna biasanya mulai mengalami masalah

terkait penggunaannya. Sebagai contoh, seseorang terlambat bekerja

karena mabuk pada malam sebelum ia berangkat kerja (Sulistami

dkk., 2013).

d.

Penggunaan kompulsif/ adiktif

Pada tahap ini, pemakai sudah berada pada tahap yang paling parah

dan paling berbahaya. Pemakai pada tahap ini sering disebut adiksi

atau pecandu. Untuk mencapai efek fisik maupun psikologis yang

diinginkan maupun sekadar menghindari gejala putus zat (sakau),

diperlukan dosis yang tinggi secara rutin (setiap hari maupun beberapa

kali dalam sehari). NAPZA menjadi sesuatu yang dianggap penting

dalam kehidupan seseorang sehingga dapat melebihi aktivitas lainnya

(Sulistami dkk., 2013).

3.

Tahapan Ketergantungan

Sebelum mengalami ketergantungan, individu memiliki pola umum yang

menghantarnya menuju adiksi. Berikut adalah beberapa tahapan menuju

adiksi (Nevid dkk., 2005):

(54)

merasa euforik. Pengguna merasa masih dapat mengendalikan diri dan

merasa yakin bahwa mereka dapat berhenti sewaktu-waktu.

b.

Penggunaan rutin: pada tahap ini, individu mulai mengatur dirinya

untuk mendapatkan dan menggunakan obat. Individu mulai

menyangkal untuk menutupi konsekuensi negatif dari perilaku

mereka. Selain itu, nilai-nilai yang dianut individu mulai berubah

seperti menganggap obat merupakan hal yang lebih berharga

dibandingkan hal penting lainnya (seperti keluarga, pekerjaan, dan

sebagainya). Tahapan ini ditandai dengan munculnya masalah akibat

penggunaan obat.

c.

Adiksi/ ketergantungan: pada tahapan ini, individu merasa tidak

berdaya untuk menolak obat karena ingin mengalami efek obat atau

untuk menghindari adanya gejala putus zat.

4.

Karakteristik Ketergantungan

Berikut adalah karakteristik ketergantungan yang diadaptasi dari DSM

IV-TR untuk menunjukkan diagnosis adiksi pada individu (Nevid dkk.,

2005):

(55)

b.

Gejala putus zat, yaitu mengalami gejala tertentu (gejala khas dari

suatu zat) apabila tidak mengonsumsi zat. Ditunjukkan dengan

mengonsumsi zat yang sama atau zat yang terkait (zat pengganti).

c.

Penggunaan dosis yang lebih besar untuk periode waktu yang lebih

lama.

d.

Kurang berhasil melakukan kontrol diri atau adanya keinginan untuk

mengurangi/ mengendalikan penggunaan zat.

e.

Menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas memperoleh zat,

menggunakan zat, atau memulihkan diri dari penggunaan zat.

f.

Individu mengurangi aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional

akibat dari penggunaan zat.

g.

Terus berlanjutnya penggunaan zat walaupun terdapat bukti adanya

masalah yang muncul akibat penggunaan zat.

D.

Siklus Kekambuhan

D Siklus Kekambuhan

1.

Pengertian Kekambuhan (relapse)

Relapse/ kekambuhan berarti individu secara utuh kembali pada

pola adiksinya atau kembali pada penyimpangan perilakunya (Jiloha,

2011). Mahmood (dalam Ibrahim & Kumar, 2009) menambahkan,

relapse berarti penggunaan atau penyalahgunaan zat setelah individu

menjalani proses rehabilitasi secara fisik dan psikis. Slip atau

(56)

konsekuensi akibat kembalinya perilaku menggunakan narkoba (Jiloha,

2011).

2.

Tahapan Relapse (kekambuhan)

Relapse atau kekambuhan pada individu terjadi secara bertahap.

Relapse dapat terjadi dalam waktu mingguan dan terkadang bulanan

sebelum individu tersebut kembali menggunakan narkotika. Tujuan dari

sebuah tritmen atau pengobatan adalah untuk membantu individu

menyadari tanda-tanda awal dari relapse dan untuk meningkatkan

kemampuan coping untuk mencegah relapse sedini mungkin. Berikut

adalah tahapan relapse menurut Melemis (2015):

a.

Emotional Relapse

Selama mengalami emotional relapse, individu tidak berpikir

untuk menggunakan kembali karena mereka mengingat saat-saat

tritmen sehingga mereka tidak ingin menggunakan. Tanda-tanda

emotional relapse antara lain seperti mengisolasi diri, pergi ke

pertemuan tetapi tidak ingin berbagi pengalaman (sharing), fokus

pada orang lain (fokus pada bagaimana orang lain memengaruhi

mereka), dan kebiasaan makan dan tidur yang buruk.

(57)

dirinya. Kepedulian terhadap emosi yang dialami individu dapat

diatasi dengan memiliki waktu untuk diri sendiri, memperlakukan diri

dengan baik, dan mengijinkan relaksasi bagi diri sendiri.

b.

Mental Relapse

Pada tahapan ini, individu sedang berperang dengan pikirannya

sendiri. Pikiran individu mengalami pertentangan antara adanya

pengurangan perlawanan untuk relapse dengan keinginan untuk

menghindari. Tanda-tanda dari mental relapse antara lain mengidam

narkoba, berpikir tentang sesuatu (orang, tempat, dan benda) yang

berkaitan

dengan

penggunaan

narkoba

di

masa

lampau,

meminimalkan konsekuensi dari pemakaian di masa lalu,

self-bargaining, berbohong, memikirkan rencana untuk menggunakan di

bawah kontrol diri, melihat kesempatan untuk relapse, dan

merencanakan untuk relapse.

Adanya self-bargaining membuat individu berpikir untuk

menggunakan secara berkala dan mungkin merasa dapat mengontrol

(sebagai contoh: menggunakan sekali atau dua kali selama satu tahun).

Adanya self-bargaining dapat membuat individu kembali ke pola

adiksinya walaupun tidak menggunakan zat yang sama.

c.

Physical Relapse

(58)

mengonsumsi alkohol maupun narkoba, sedangkan relapse berarti

mengalami penggunaan yang tidak terkendali.

3.

Pemicu Terjadinya Kekambuhan (Relapse)

Jiloha (2011) membagi pemicu terjadinya kekambuhan menjadi dua

bagian besar yang di dalamnya terdapat sub-bagian, yaitu faktor

intrapersonal dan faktor interpersonal.

a.

Faktor Intrapersonal

1)

Upaya mengatasi emosi negatif

Individu

mengalami

kekambuhan

sebagai

bentuk

coping

(penyelesaian) atas emosi negatif yang dialaminya. Emosi negatif

(emosi yang tidak menyenangkan) dapat berupa perasaan frustasi,

kemarahan, kekecewaan, kesedihan, kecemasan, dan lain

sebagainya. Kekambuhan dapat terjadi sebagai akibat dari

kesalahan reaksi dalam mengevaluasi tekanan, seperti kesulitan

dalam pekerjaan atau mengalami kemalangan.

2)

Upaya mengatasi kondisi fisik dan psikis yang buruk

Gambar

Gambar 3. Skema Menuju Proses Kesembuhan..................................................122
Tabel 2. Waktu dan Tempat Penelitian...............................................................64
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Tabel 1 Pedoman Wawancara
+7

Referensi

Dokumen terkait