• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Hasil persinggungan antara realitas di lapangan dan konsep teoritis berupa pandagan teologis para ahli maupun harapan dari Paus Benediktus XVI dalam ensiklik Deus Caritas Est―telah mendorong penulis untuk menyarankan beberapa hal berikut ini:

1. Perlu membuat penelitian lebih lanjut mengenai tema ini dengan menggunakan metode quesioner (penyebaran angket), sehingga ada perbandingan. Maksud penulis, hanya untuk menguji sintesis dari temuan penelitian ini.

2. Penelitian lain juga perlu ditingkatkan dengan tema yang digarap seputar eksistensi Gereja terkini. Hal ini perlu digarisbawahi karena dewasa ini Gereja entah disadari atau tidak sedang diterpa banyak masalah. Tujuannya agar semua komponen Gereja bisa mengetahui secara jelas duduk berdirinya suatu persoalan dan cara mengatasinya. Hal ini dipandang perlu jika kita masih

menghendaki agar Gereja Katolik tetap kokoh berdiri di tengah dunia yang sarat akan tantangan tersebut.

3. Akhirnya, penulis insaf dengan hati yang tulus bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran konstruktif dari siapa saja, diperlukan demi penyempurnaan karya tulis ini.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi VI). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Behbehani, S.S. (2003). Ada Nabi Dalam Diri. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Benidiktus XVI. (2010). Deus Caritas Est, Seri Dokumen Gereja No. 83 (R.P. Piet

GO, O.Carm, Penerjemah). Jakarta: Departemen Komunikasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia. (Dokumen asli diterbitkan tahun 2005)

Bogdan, R.C. dan Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Method. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Datubara, P.

(2001). Keuskupan Agung Medan Menyongsong Milenium III, dalam F. Hasto Rosariyanto, SJ, (ed), Bercermin Pada Wajah-wajah Gereja Keuskupan Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Gitowiratmo, St. (2003). Seputar Dewan Paroki. Yogyakarta: Kanisius. Gulo, W. 2007. Metode Penelitin. Jakarta: Grasindo.

Konsili Vatikan II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II (R. Hardawiryana, penerjemah). Jakarta : Obor (Dokumen asli diterbitkan tahun 1966).

Kirchberger, G. (2007). Allah Menggugat. Maumere: Ledalero.

Koentjaraningrat. (1983). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kusuma, S.T. (1987). Psiko Diagnostik. Yogyakarta: Kanisisus.

Lalu, Y. (2010). Gereja Katolik Memberi Kesaksian tentang Makna Hidup. Yogyakarta: Kanisius.

Martasudjita, E. (2010). Kompendium tentang Prodiakon. Yogyakarta: Kanisius.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Oentoro, J. (2010). Gereja Impian: Menjadi Gereja yang Berpengaruh. Jakarta:

Ricoeur, P. (1977). Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation. USA: Yale University Press.

Sairin, W. (2002). Visi Gereja Dalam Memasuki Milenium Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Satori, D. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.

Stefanus, D. (2010). Pendidikan Agama Kristen: Berbagi Cerita dan Visi Kita. Jakarta: Gunung Mulia.

Sugiyono. (2007). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA.

_______. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: ALFABETA.

_______. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. ALFABETA. _______. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA. Suharyo, I. (1996). Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius.

Sujoko, A. (2009). Identitas Yesus dan Misteri Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Sulistyo-Basuki. (2006). Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Sutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Hessel Nogi. (2005). Manajemen Publik. Jakarta: PT. Grasindo.

Tarigan, J. (2007). Religiositas, Agama & Gereja Katolik. Jakarta: Grasindo. Tondowidjojo, J. (1990). Arah dan Dasar Kerasulan Awam. Yogyakarta: Kanisius.

[1] Responden 0 (Observasi)

Nama : Stefanus Agus Sumantri Hari/Tanggal : Kamis, 5 Mei 2016 Status : Tokoh Umat

Q : Kapan Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng didirikan?

R : Gedung gereja Stasi Sta. Maria Assmpta Ngrendeng sudah ada gedung tetapi belum menjadi stasi, hanya warga Katolik Ngrendeng. Karena warganya hanya beberapa saja. Sebelum th 1965, zaman pemerintahan Bung Karno, Mbah Siswohandoyo mempunyai anak bernama Suwondo. Ia disekolahkan di Madiun mendapat pengaruh pendidikan Katolik (SMP) kemudian setelah lulus melanjutkan pendidikan di SMA Seminari Surabaya (Sekarang Seminari Garum, Blitar). Setelah Ia masuk seminari, sesungguhnya ia dilarang oleh Bapaknya. Ia melanjutkan pendidikan di Seminari secara diam-diam. Ia tetap pada pendiriannya karena pendidikannya di SMP Katolik di Madiun dulu. Suwondo menjadi satu-satunya pastor dari Desa Ngrendeng. Setelah Romo Wondo masuk seminari adiknya yang putri menjadi seorang biarawati. Kemudian ditugaskan di NTT dan meninggal di Flores karena sakit. Saat Romo Wondo menjadi seorang pastor akhirnya membawa pengaruh bagi lingkungan di tempat tinggalnya. Sehingga, semua keluarga Romo Wondo menjadi Katolik. Setelah meletus peristiwa tahun 1965, bukan hanya adik-adik dan keluarga Romo Wondo yang menjadi Katolik, melainkan semua masyarakat yang belum beragama tertarik mengikuti ajaran Kristus dan masuk menjadi Katolik. Dari pihak Islam menekankan bahwa semua warga Indonesia harus beragama setelah geger PKI. Itu tidak ada kaitannya dengan UUD 45 maupun Pancasila. Padahal Indonesia merdeka bukan berdasarkan masyarakat harus beragama. Setelah ditekankan bahwa semua masyarakat harus beragama, semua warga menjadi bingung. Masyarakat awam, yang belum beragama Islam maupun Katolik menjadi bingung. Mereka yang berbau komunis biarpun hanya sedikit saja menjadi takut. Terlebih yang pernah menjadi anggota PKI, timbulah rasa takut dalam diri mereka karena ditekan

[2]

Islam ditekan harus beragama, bagaimana perasaan hati mereka? Karena perasaan hati mereka tidak cocok kalau masuk Islam, karena bertentangan sejak semula, akhirnya mereka cari perlindungan. Termasuk Bapak Wardoyo sekeluarga yang dulu sempat menjadi anggota PKI, ikut menjadi Katolik, karena cari perlindungan, cari payung biar slamet. Dengan begitu, saya cs artinya yang tamatan dari pendidikan Katolik, dan sudah tugas sebagai guru negeri di daerah ini. Utamanya dari SGB Katolik Surabaya, SGB Katolik Malang, SGA Malang dan SGAK Madiun. Dari antara mereka-mereka yang sudah jadi guru di daerah sekitar ini repot melayani permintaan-permintaan mereka yang ingin diajar agama Katolik antara lain yang sudah masuk ke daerah kecamatan Sine ini pertama kali saya dengan Pak Sarwoko, itu teman sekelas sejak di SGB Surabaya dan tempatnya pun berjauhan antara saya dengan Pak Sarwoko. Pak Sarwoko daerah Utara saya daerah selatan. Masih untung ada tenaga yang lain pindahan dari Banyuwangi, yaitu termasuk Pak Priyono, Pak Santo, Pak A.P Suratno, Pak Sunardi. Semuanya dari SGB Katolik terlibat di daerah sini untuk pembagian tugas. Antara lain yang masuk ke Ngrendeng putra dari Eyang Hadisuwignyo yang namanya Pak Joko dari SGA Katolik Madiun, ia tugas di Hargosari dan Ngrendeng dengan hari bergilir. Dan sebelum itu ia juga ditugaskan, karena waktu itu sebelum ada penugasan dari dinas ia mengajar di SMK, bersama-sama Eyang Hadisuwignyo selaku Kepala Sekolah. Paginya mengajar kemudian malamnya keliling ke desa-desa itu melayani permintaan umat yang minta perlindungan untuk dididik agama Katolik.

Membludaknya agama Katolik di sini tahun 1966-1968. Semuanya ingin masuk Katolik. Lama–kelamaan penekanan-penekanan dari pihak yang menentukan harus beragama makin kendor. Mereka yang sudah mencari perlindungan di Katolik sepertinya sudah aman dari Islam dan tidak mengejar-ngejar. Akhirnya yang sudah baptis terus mengikuti masuk Gereja, tetapi yang belum baptis makin lama main menghilang karena sudah aman. Sehingga yang sadar menerima kabar gembira, sudah menyadari untuk terus mewartakan kabar gembira juga ada. Tetapi yang lain nanti dulu, masih

pikir-[3]

itupun tidak semuanya tetap sebagai warga Kristiani. Istilahnya dalam lingkup kehidupannya di dalam masyarakat sebagai gandum dihimpit ilalang. Sehingga tumbuhnya ya senin kamis, kadang ada keinginan ke Gereja kadang tidak. Kalau sudah seperti ini nanti ada suara dari orang-orang Gereja yang suaranya itu seakan-akan menyinggung. E gampangane sampeyan ora tindak nang Greja? Itu saja sudah jadi suatu pertanyaan yang ora ngenakke atine wong sing ditakoni akhirnya dia lari dari gereja. Keluar dengan sendirinya itu beberapa keluarga. Dulu saya juga mendampingi kursus persiapan perkawinan Pak Carik. Waktu itu pastornya Romo Rose CM. Setelah anaknya beranjak dewasa, anaknya di sukai oleh orang Madura yang beragama Islam. Jodohnya beragama Islam sekaligus dia juga ikut masuk menjadi Islam dengan begitu akhirnya semua orang tua dan keluarganya mengikuti anaknya yang mempunyai istri madura yang bekerja di pabrik korek Japanan Sidoarjo. Itu antara lain keluarga yang meninggalkan ajaran Katolik, memang karena imannya tipis jadi ya istilahnya orang yang menyebar benih di batu di tanah yang tandus tidak disirami ya kering dengan sendirinya, setelah kering terus dia meninggalkan Gereja. Terus cari enaknya mengejar dunia. Jadi hidupnya terus tertutup oleh dunia sing diuber kadonyan sampai sekarang sebenarnya dia masuk Islam tetapi kenyataannya di ke masjid juga tidak pergi, ya tidak mengikuti kelompok-kelompok yang lain. jadi hanya istilah orang banyak Islam KTP. Dulu waktu Katolik juga Katolik KTP, karena jarang ke Gereja. Pada umumnya yang seperti itu banyak. Akhirnya terus hilang dengan sendirinya. Maka tinggal beberapa gelintir saja yang masih taat mengikuti ajaran Kristus. setelah itu masih ada keuntungan berhubung Romo Yansen CM mendirikan sekolah calon guru agama di Madiun. Beliau dari kongregasi CM dari Belanda. Saat ini AKI (Akademi Kateketik Indonesia) Widya Yuwana. Sampai sekarang cakisnya (calon katekis) selalu bergilir masuk ke lingkungan-lingkungan memberi bimbingan kepada anak-anak. Dengan adanya cakis itu, untuk saya dan kawan-kawan ada kelonggaran. Tidak lari ke sana ke sini, kalau malam pergi.

[4]

dan setiap malam Jumat memberi pembinaan. Yang daerah utara, tadinya bukan hanya daerah Sine yang membutuhkan bimbingan. Sine ada, Jetak juga ada, Bayem ada, Tretes ada. Kebetulan pada waktu itu. Pak Sarwoko mengajar di Tretes Kebun Karet sana. Dia membina pekerja-pekerja di kebun karet yang simpatisan dengan Katolik. Akhirnya diajar. Antara lain keluarga Ibu Pur. Pak Sarwoko setelah membina daerah utara kebetulan waktu itu juga saya punya kawan guru yang pindah ke sini belum baptis. Saya mendapat mandat dari Eyang guru, Eyang Hadisuwignyo supaya mencari anak muridnya yang bernama Santo, arahkan supaya bisa baptis. Ia sudah menjadi katekumen sejak dari Kediri dan sudah menjadi guru di sana. Pamannya bernama Pak Sidik, itu menjadi tokoh Katolik di kediri. Ia karena keadaan orang tua seperti orangtua saya janda, dan banyak saudaranya. Setelah itu saya bertanya langsung kepadanya “pie, aku krungu sampeyan wis melu katekumen ning Kediri” Di rumah pak Wir setiap selapanan menjadi tempat untuk beribadah atau misa. Berhubung keinginannya menjadi Katolik sangat kuat maka ia juga mau Baptis. Kemudiaan saat ada misa di kediaman Pak Wir saya berbicara dengan pastor bahwa saya mempunyai teman dari Kediri dan sudah katekumen di sana tetapi belum dibaptis. Seandainya saya meminta supaya di baptis di sini apakah bisa? Kemudian kata romo bisa. Romo Kiswono. Kemudian lain kesempatan romo mengatakan bahwa misa selanjutnya akan dibaptis. Pada waktu itu bapak Santo sudah menjadi ketua buruh (KBM Keluarga Buruh Marhen) di perkebunan karet. Sebenarnya guru SD tetapi juga menjadi ketua buruh. Setelah tahun 80an saya sudah lepas dari Pandansari dan menetap di Ngrendeng. Mbah Siswa sudah meninggal dan Ketua Lingkungan diganti Pak Hadisumarto, tidak lama juga meninggal. Kemudian secara otomatis saya dijadikan ketua lingkungan sampai terlaksana mendirikan gereja itu. Berhubung saya sudah tua diganti oleh Pak Sumantri. Beliau sakit, stroke tidak bisa menjalankan tugasnya. Beliau saja minta untuk pensiun muda dan diganti Pak Juri, Pak Santo, Bu Tati.

[5]

ibu Rahayu cariknya juga Pak Sadiman, jadi keluarga Katolik masih banyak. Makanya saya mendapat dukungan dari pemerintah desa sekaligus saya ajukan ke Kecamatan. Yang sulit ditingkat kecamatan terus tidak ada kata sepakat supaya mendirikan gereja, padahal masyarakat setempat sudah saya minta tanda tangannya yang saya gunakan sebagai lampiran untuk mengajukan permohonan. Ternyata dari Kecamatan Sine ditolak tidak berani memberikan izin. Saya sampai bosan untuk menemui pemerintah di kecamatan. Waktu kantoran saya ingin menemui camatnya, ternyata pergi. Kemudian saya berinisiatif untuk menemuinya di rumah waktu sore hari sembari menunggu beliau pulang dari kantor. Akhirnya juga tidak ada kata sepakat untuk menyetujui, maksud saya untuk meminta tanda tangan sebagai tanda persetujuan selanjutnya saya yang akan mengurus sendiri karena saya mempunyai rekan di Pemerintahan Ngawi yang bisa membantu saya. Dimana beliau juga orang Katolik, ia meminta saya untuk menyiapkan perlengkapannya (syarat-syaratnya). Setelah berkas-berkas saya siapkan dan beliau mengatakan sudah cukup. Kemudian saya diarahkan untuk menuju bagian Muspika untuk menindaklanjuti. Tetapi saya dipersulit lagi. Dan setiap kali saya datang kembali beserta dengan perangkat desa (Lurah, Carik, Bayan) tetap tidak dapat persetujuan. Saya jengkel, hingga akhirnya saya menghubungi Bapak Kodam Surabaya dengan jabatan Kolonel. Beliau berkata kepada Bapak Yono atau pemerintah Kabupaten Ngawi, “mengapa ada yang minta izin mendirikan bangunan gereja dipersulit, padahal sebagai orang beragama memerlukan tempat untuk beribadah sama halnya dengan agama yang lain. Kalau tidak diberi izin lantas mereka akan beribadah dimana?” Setelah itu langsung diberikan izin. Lha iya di UUD 45 ada, Pancasila juga ada “Ketuhanan yang mahaesa” yang beragama juga melaksakan ajaran Allah. Kalau tidak punya tempat ibadah lalu bagaimana melaksanakan ajaran Tuhan? Untuk memperlancar pendirian gereja, laksanakan saja pendirian gereja sambil menanti surat izin keluar, mengingat material sudah siap. Terus gereja dibangun, izinnya ada. Siapa yang menyimpan saya tidak tahu. Setelah saya limpahkan ke Bapak Sumantri. Arsip

[6]

Karena saya berfikir bahwa Lurah dan Cariknya kan orang Katolik, toh gereja juga sudah berdiri. Di sekitar gereja, hampir seluruh penduduknya adalah orang Katolik, mulai dari rumah Bu Tarjo ke selatan itu semua warga Katolik. Tahun 1996 gereja berdiri. Selanjutnya saya masih tetap membina umat menurut kemampuan saya. Satu-satunya tenaga inti. Bermula dari lingkungan Ngrendeng yang tergabung dengan Sine sebagai stasi induknya. Sekarang menjadi stasi. Namun karena hubungan dari Sine ke Ngrendeng sulit (jarak dan transportasi). Kegiatan anak-anak (BIAK REKAT OMK) ikut ke stasi Ngrambe. Namun untuk yang lain-lain ada binaan BIAK Cakis dari Madiun yang selama ada cakis dari madiun posnya di tempat saya ini. antara lain yang sudah menjadi dosen pak Hardi (Widya Yuwana). Sampai Ibu Tati mempercayakan anaknya untuk kos di rumah Pak Hadi Madiun. Secara administratif sudah menjadi stasi mandiri. Namun semakin hari umatnya berkurang, yang muda bekerja di kota, tinggal yang tua-tua saja.

Q : Apakah ada perkembangan iman umat dulu dan saat ini. Apakah ada perbedaan yang cukup signifikan?

R : Terdapat perbedaan yang sangat signifikan jumlah umat Ngrendeng dahulu dan sekarang. Anak muda di desa tidak punya kerjaan, kalau memprioritaskan kegiatan Gereja dia tidak punya penghasilan terpaksa trus cari kerjaan di kota, pada umumnya banyak yang ke surabaya. Mereka mengalami sendiri apa yang mereka imani; mereka beriman karena mereka benar-benar percaya; dan mereka bertindak karena mereka tahu konsekuensi dari tindakan kasih yang dilakukan.

Q : Siapakah nama Romo Paroki yang bertugas di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng?

R : Kongregasi yang pertama kali merintis di stasi ini adalah CM, misinya CM antara lain Romo Yansen, kemudian romo dari Italia. Buah-buah didikan romo Yansen ini banyak di Malang dan Surabaya. Di sana beliau banyak mendirikan yayasan. Perjuangannya luar biasa, bahasa Jawanya juga bagus padahal beliau orang Belanda. Romo-romo dari Italia juga datang ke sini secara bergiliran.

[7]

di sini dari Madiun, dulu parokinya masih Madiun. Romo Yansen CM sebagai kepala paroki, kemudian bawahannya atau pastor pembantu dari pribumi salah satunya Romo Naryo, dahulu beliau yang membaptis saya dan meninggal di usia yang masih muda. Waktu saya baptis, banyak sekali umat yang dibaptis. Q : Siapa Romo Paroki pertama?

R : Paroki Ngawi berdiri sendiri pada tahun 1970, Romo paroki pertama? kemudian diganti romo Rose. Romo Rose yang ikut andil megembangkan ajaran Katolik di Ngawi tepatnya di Sine karena banyak sekali yang kemudian di baptis berkat ajaran Romo Rose. Setelah itu beliau pindah dan ditugaskan di Kediri dan diganti oleh Romo Katini. Romo Katini berasal dari Italia tarekat CM. Romo Rose rajin melakukan kunjungan umat, apalagi jika ada yang sedang sakit maka akan diberikan obat oleh beliau. Beliau sangat perhatian sekali dengan umat.

[8] Hari/Tanggal : Kamis, 5 Mei 2016

Status : Mantan Ketua Stasi

Q : Apa yang anda ketahui tentang pelayanan?

R : Sederhana saja – pelayanan itu berarti menolong siapa saja yang pantas mendapat pertolongan. Dalam konteks ajaran Katolik, yang saya pahami sejak kecil, melayani berarti memberi bantuan kepada orang yang berkekurangan – entah kurang perhatian; kurang kasih sayang; dan kurang pendampingan iman. Saya alami sendiri ketika bertugas sebagai fungsionaris stasi, ketika banyak umat datang dan meminta bantuan dari saya. Mulai dari kelompok umat – yang sekadar menyaringkan pengalaman hidupnya sampai pada mereka yang memang betul-betul memerlukan pertolongan material dan batiniah. Saya ladeni semuanya itu dengan sabar dan menjalaninya dengan tulus. Karena saya sadar bahwa ketika saya menerima tanggung jawab sebagai pelayan umat maka saya mesti jalani baik-baik.

Q : Ada berapa jenis kegiatan pelayanan di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng?

R : Biasanya kalau ada tetangga yang meninggal - dan itu sesama Katolik, maka langsung ada doa bersama di rumah duka sampai menghantar ke pemakaman. Lalu ada kunjungan ke rumah sesama yang sakit, dan termasuk memberi penghiburan kepada sesama yang sudah janda. Saya juga lihat peran aktif ibu-ibu dalam membersihkan dan menghias gereja pada saat hari minggu atau hari raya. Ada juga kelompok legio maria yang pernah aktif di sini tapi akhir-akhir ini sedikit menurun kegiatan mereka. Saya tidak tahu kenapa. Ketika saya bertugas sebagai ketua stasi, ada satu tugas pelayanan yang saya buat yakni mendoakan sesama yang sakit. Awalnya memang saya tidak berani karena merasa tidak pantas untuk mendoakan orang tapi lama kelamaan saya terbiasa dan ternyata itu sangat memengaruhi hidup saya.

Q : Apa yang Anda ketahui mengenai tujuan pelayanan kasih yang pernah dilaksanakan?

[9]

sesama yang berkekurangan. Kalau saya lihatnya sih seperti itu. Tapi setiap pelayanan tentu punya tujuan yang berbeda-beda. Misalnya, melayani sesama yang sakit - tujuannya biar dia sembuh; menghibur sesama yang menderita - tujuannya biar dia tidak cepat putus asa dan punya semangat untuk berjuang; serta menolong sesama yang galau dengan imannya tentu akan sangat membantu mereka untuk lebih setia dan tetap percaya pada Yesus.

Q : Siapa saja yang menjadi sasaran dalam kegiatan pelayanan kasih ini?

R : Pelayanan ini ditujukan kepada orang sakit, para janda, dan umat Katolik seluruhnya di stasi Ngrendeng. Sasaran utamanya adalah kelompok orang yang berkekurangan, dan yang mengalami penderitaan. Tapi menurut saya, secara keseluruhan sasaran pelayanan adalah semua orang yang percaya pada Krsitus.

Q : Siapa saja yang terlibat dalam pelayanan kasih ini?

R : Kondisi stasi – terus terang, pada hari minggu hanya ada ibu-ibu dan anak-anak. Sulit bagi kita untuk menjumpai orang muda pada hari minggu di stasi, apalagi pada saat doa atau ibadat di lingkungan. Nggak tahu mereka ke mana. Biasanya mereka hadir di stasi hanya di waktu-waktu tertentu, misalnya Natal dan Paskah. Dan kalau pun mereka hadir, itu pun hanya formalitas. Sebab intensi utama mereka nampaknya bukan berdoa melainkan show fashion atau bertemu dengan teman-temannya. Tidak heran kalau mereka gampang beralih agama karena memang fondasi iman mereka tidak kuat. Tidak dipupuk sejak dini. Sejauh yang saya tahu, menjadi seorang fungsionaris stasi, salah satu prinsip yang perlu dikedepankan adalah “melayani dengan sepenuh hati.” Konsekuensi dari prinsip ini tentu menuntut seorang pelayan untuk mengabdikan dirinya kepada Gereja tanpa mengharapkan pamrih. Jasa atau imbalan dari sebuah pengorbanan selalu diyakini akan diterima pada kehidupan akhirat nanti. Namun yang saya amati sekarang, prinsip ini perlahan-lahan mulai memudar dalam diri fungsionaris stasi. Meski mereka melayani namun selalu saja ada kecenderungan untuk mengharapkan sesuatu dari pelayanan tersebut. Atau kerap membuat perbandingan dengan tugas lain

[10] sukarela dan tanpa pamrih.

[11] Hari/Tanggal : Kamis, 25 Agustus 2016 Status : Prodiakon

Q : Apa yang Anda ketahui tentang pelayanan?

R : Jujur, sebenarnya saya tahu tindakan melayani jauh sebelum saya mengenal ajaran Gereja Katolik tentang cinta kasih. Karena saya dididik dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Namun ketika saya mulai dibaptis dan mengenal lebih dekat ajaran-ajaran Katolik, saya makin sadar bahwa ternyata kultur yang dihidupi oleh keluarga selama

Dokumen terkait