• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

2.2 Landasan Teori

Sikap manusia atau singkatnya kita sebut sikap, telah didefenisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berkowitz bahkan menemukan adanya lebih dari tigapuluh defenisi sikap. Secara historis, istilah “sikap” (attitude) digunakan pertama kali oleh Herbert Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Di masa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang (Azwar, 2005)

Menurut Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood dalam Azwar (2005), sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut. Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis.

Menurut Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2005), sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang mengkehendaki adanya respons.

Lapierre mendefenisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Secord dan Backman mendefenisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (Afeksi), Pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Petty dan Cacioppo mengatakan bahwa sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu. (Azwar, 2005)

Proses pengukuran merupakan suatu proses deduktif. Peneliti berangkat dari suatu konstruksi, konsep atau ide, kemudian menyusun perangkat ukur untuk mengamatinya secara empiris. Dalam kehidupan sehari-hari, pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap konsep yang konkret. Misalnya untuk mengukur suhu dalam ruangan, digunakan termometer (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Di dalam melakukan suatu prosesd pengukuran, seorang peneliti harus mengetahui cara pengukuran suatu konsep atau yang disebut tingkat pengukuran. Tingkat pengukuran ini bergantung pada konseptualisasi suatu konsep. Tingkat pegukuran mempengaruhi jenis indikator yang akan digunakan dan berkaitan dengan asumsi dasar dalam defenisi konsep tersebut dan berkaitan dengan pengukuran dan stasistik yang akan digunakan (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Menurut S. S. Stevens dalam Prasetyo dan Miftahul (2005), tingkat pengukuran dapat dibedakan menjadi nominal, ordinal, interval, dan rasio. Tingkat pengkuran nominal memiliki ciri hanya bahwa setiap kategori yang ada hanya berbeda satu

dengan yang lainnya. Perbedaan ini bisa dinyatakan dengan angka atau simbol lainnya, atau dengan kata atau istilah. Angka dalam hal ini hanya dipakai sebagai label untuk mepermudah proses pengkodean, jadi bukan menunjukkan urutan (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Tingkat pengukuran ordinal menunjukkan urutan selain perbedaan. Urutan ini biasanya dinyatakan dengan kata ‘lebih’, ‘kurang’ atau dalam pernyataan sikap, ‘ sangat setuju’, setuju’, ‘tidak setuju’, ‘sangat tidak setuju’. Selain perbedaan urutan, pada tingkat pengukuran interval terdapat jarak antara kategori yang dapat dihitung, jadi harus ada satuan/unit yang menunjukkan jarak tersebut. Misalnya, suhu dalam derajat Celsius. Jarak antara suhu 200C dengan 300C sama dengan jarak antara 900C dengan 1000C (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Sementara itu, pada tingkat pengukuran rasio, selain ketiga hal yang merupakan ciri-ciri tingkat pengukuran di atas, juga memiliki nol mutlak sehingga memungkinkan perkalian dan pembagian. Titik nol ini menunjukkan ketiadaan sama sekali variabel yang hendak diukur. Misalnya variabel penghasilan. Orang berpenghasilan satu juta rupiah memiliki penghasilan dua kali lipat dari yang berpenghasilan lima ratus ribu rupiah. Titik nol mutlak diperoleh pada saat tidak ada penghasilan sama sekali (nol rupiah) (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Skala Likert berisi pernyataan yang sistematis untuk menunjukkan sikap seorang responden terhadap pernyataan itu. Indeks ini mengasumsikan bahwa masing-masing kategori jawaban ini memiliki intensitas yang sama. Keunggulan indeks ini adalah kategorinya memiliki urutan yang jelas mulai dari “sangat setuju”, “setuju”, “ragu-ragu”, “tidak setuju”, “sangat tidak setuju”. Penentuan banyaknya

kategori dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Misalnya apakah perlu memberikan kategori netral (seperti ragu-ragu, tidak ada pendapat, dan sebagainya) (Prasetyo dan Miftahul, 2005).

Skala Likert disusun untuk mengungkapkan sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu objek sosial. Skala Likert berisi tentang pernyataan-pernyataan sikap (attitude statements), yaitu suatu pernyataan mengenai objek sikap sekelompok orang terhadap isu renovasi pasar, maka setiap kalimat pernyataan yang mengenai renovasi pasar merupakan pernyataan sikap, sedangkan renovasi pasa sendiri merupakan objek sikap. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam, yaitu pernyataan yang fevorable (mendukung atau memihak pada objek sikap) dan pernyataan yang non-fevorable (tidak mendukung objek sikap) (Azwar, 2004).

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Efektivitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang (view point) dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Arthur G. Gedeian dkk (1991) mendefinisikan efektivitas yaitu “That is, the greater the extent it which an organization’s goals

are met or surpassed, the greater its effectiveness” (Semakin besar pencapaian

tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas).

Ada beberapa hal yang menjadi ukuran dalam arti efektivitas yaitu efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,

kualitas dan waktu) yang dicapai, semakin besar target yang dicapai maka semakin tinggi efektivitasnya. Lebih lanjut menurut Agung Kurniawan (2005) mendefinisikan efektivitas sebagai kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya. Menurut pendapat Mahmudi (2005) definisikan efektivitas merupakan hubungan antara

output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap

pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan.

Untuk mengukur tingkat keefektivitasan suatu program atau kegiatan sering mengalami kesulitan. Kesulitan tersebut terjadi karena pencapaian hasil (outcome) seringkali tidak dapat diketahui dalam jangka pendek, akan tetapi dalam jangka panjang setelah program berhasil, sehingga ukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif (berdasarkan pada mutu) dalam bentuk pernyataan saja (judgement), artinya apabila mutu yang dihasilkan baik, maka efektivitasnya baik pula (Sedarmayanti, 1995).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pengukuran merupakan penilaian dalam arti tercapainya sasaran yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggunakan sasaran yang tersedia. Jelasnya bila sasaran atau tujuan telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya adalah efektif. Jadi, apabila suatu tujuan atau sasaran itu tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka tidak efektif. Efektivitas merupakan fungsi dari manejemen, dimana dalam sebuah efektivitas diperlukan adanya prosedur, strategi, kebijaksanaan, program dan pedoman. Tercapainya tujuan itu adalah efektif

sebab mempunyai efek atau pengaruh yang besar terhadap kepentingan bersama.

Di dalam program Raskin, efektivitas distribusi dapat diukur dengan menggunakan 6 indikator yang disebut dengan 6 Tepat. 6 Tepat tersebut meliputi: tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat administrasi dan tepat

kualitas. Tingkat efektivitas Raskin sangat tergantung 6 tepat tersebut (Bulog, 2012).

Kata efektif sering dicampuradukkan dengan kata efisien walaupun artinya tidak sama. Sesuatu yang dilakukan secara efisien belum tentu efektif. Menurut Markus Zahnd (2006), pengertian efektivitas dan efisiensi adalah sebagai berikut: “Efektivitas yaitu berfokus pada akibatnya, pengaruhnya atau efeknya, sedangkan efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya”.

Efisiensi berarti menjalankan pekerjaan dengan benar. Ada beberapa pengertian efesiensi menurut para ahli. Menurut Beirlein dan Michael dalam Rahim (2007), efisiensi adalah jumlah output dibagi dengan jumlah input yang dibutuhkan untuk menghasilkan output.

Downey dan Steven dalam Rahim (2007) dikatakan bahwa efisiensi pemasaran merupakan tolak ukur atas produktivitas proses pemasaran dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran. Efisiensi pemasaran menurut Downey dan Erickson dapat dilihat dari masing-masing elemen yaitu:

1. Efisiensi produk merupakan usaha untuk menghasilkan suatu produk melalui penghematan harga serta penyerderhanaan prosedur teknis produksi dalam usaha mencapai target produksi guna memperoleh keuntungan maksimum. 2. Efisiensi distribusi dinyatakan sebagai produk dari produsen menuju pasar

sasaran melalui saluran distribusi yang pendek atau berusaha menghilangkan satu atau lebih mata rantai pemasaran yang panjang di mana distribusi produk berlangsung dengan tindakan penghematan biaya dan waktu.

3. Efisiensi harga yang menguntungkan pihak produsen dan konsumen diikuti dengan keuntungan yang layak diambil oleh setiap mata rantai pemasaran sehingga harga yang terjadi di tingkat petani tidak berbeda jauh dengan harga yang terjadi di tingkat konsumen akhir.

4. Efisiensi promosi mencerminkan penghematan biaya dalam melaksanakan pemberitahuan di pasar sasaran mengenai produk yang tepat, meliputi penjualan perorangan atau massal dan promosi penjualan.

Mubyarto dalam Rahim (2007) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran untuk produk pertanian dalam suatu sistem pemasaran diangggap efisien apabila:

1. mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan

2. mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran.

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka secara singkat pengertian daripada efisiensi dan efektivitas adalah efisiensi berarti melakukan

atau mengerjakan sesuatu secara benar, “doing things right”, sedangkan efektivitas melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat pada sasaran “doing the

right things”. Tingkat efektivitas itu sendiri dapat ditentukan oleh terintegrasinya

sasaran dan kegiatan organisasi secara menyeluruh, kemampuan adaptasi dari organisasi terhadap perubahan lingkungannya (Mahmudi, 2005).

Menurut Rahim (2007), efisiensi pemasaran komoditas pertanian merupakan rasio yang mengukur keluaraan atau produksi komoditas pertanian suatu sistem atau proses untuk setiap unit masukan dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran (output) yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran komoditas pertanian dengan melalui efisiensi penetapan harga dan efisiensi operasional maupun efisiensi ekonomi. Efisiensi pemasaran produk pertanian dapat terjadi apabila:

1. biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi;

2. persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi;

3. tersedianya fasilitas fisik pemasaran; 4. adanya kompetisisi pasar yang sehat.

Menurut Soekartawi (2002), efisiensi pemasaran dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

�� = ��������������

�������������������������× 100%

Jika:

Ep < 1 berarti efisien

Sedangkan untuk efisiensi distribusi Raskin dapat di ukur dengan menggunakan rumus berikut:

��= ��������������������

��������� ������ × 100%

David A. Revzan dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus barang-barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai pada pemakai. Pengertian distribusi yang dikemukakan tersebut masih bersifat sempit karena istilah barang sering diartikan sebagai suatu bentuk fisik akibatnya lebih cenderung menggambarkan pemindahan jasa-jasa atau kombinasi antara barang dan jasa.

Menurut The American Marketing Association dalam Angipora (1999), saluran distribusi merupakan suatu sturktur unit organisasi dalam perusahaan yang terdiri atas Agen, Dealer, Pedagang Besar, dan Pengecer melalui mana sebuah komoditi, produk atau jasa dipasarkan. Definisi ini lebih luas dibandingkan dengan definisi yang pertama.

Sedangkan C. Glenn Walters dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan pasar tertentu. Dan terakhir Philip Kotler dalam Angipora (1999) menyatakan bahwa saluran distribusi dapat diartikan sebagai himpunan perusahaan dan

perorangan yang mengambil alih hak atas barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dikatakan bahwa saluran distribusi merupakan sekelompok lembaga yang ada di antara berbagai lembaga yang mengadakan kerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dari distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Dengan demikian pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran (Angipora, 1999).

Menurut Sugiarto, etl (2002), surplus konsumen menunjukkan keuntungan yang diperoleh konsumen karena mereka membeli suatu komoditas. Keuntungan tersebut diperoleh oleh konsumen karena harga yang berlaku pada kondisi keseimbangan lebih rendah daripada harga yang mereka mau bayarkan. Surplus konsumen ditunjukkan oleh daerah yang ditunjukkan dalam grafik 2.1.

Grafik 2.1. Surplus Konsumen

Surplus konsumen dapat dicari melalui persamaan berikut ini: P Q Pe Pt Permintaan Penawaran Surplus Konsumen Qe

��= (�� − ��) ×��

Dokumen terkait