• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Kepada Bank Tabungan Negara disarankan untuk mengasuransikan semua uang tunai yang dimilikinya sehingga tingkat keamanan uang tunai yang dimiliki benar-benar optimal. Hal ini dikarenakan pada masa sekarang sering terjadi perampokan, pencurian, dan peristiwa-peristiwa tidak diinginkan lainnya yang menimpa uang tunai.

2. Kepada nasabah disarankan untuk meningkatkan kehati-hatian setelah mengambil uang tunai di bank atau di ATM karena peristiwa tidak diinginkan sering menimpa nasabah yang baru saja mengambil uang tunai di bank atau di ATM. 3. Kepada perusahaan asuransi PT Binagriya Upakara disarankan untuk menambah

jenis asuransi yang ditawarkan kepada klien, yaitu dengan asuransi tunai untuk uang yang telah diambil nasabah dari bank atau dari ATM. Jadi asuransi yang dibuat ini kliennya adalah orang per orang, bukan bank. Jenis asuransi ini akan meningkatkan keamanan nasabah dari hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan.

BAB II

TINJAUAN YURIDIS HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian hukum jaminan 1. Hukum jaminan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of Law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang (kredit) yang diterima debitur (pemberi jaminan) terhadap kreditornya (penerima pinjaman).11

Dalam perspektif hukum perbankan, istilah” jaminan” (benda atau orang tertentu) dibedakan dengan istilah ”agunan” dibawah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbankan, tidak dikenal istilah ”agunan”, yang ada istilah ”jaminan”. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah ”jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah ”agunan” atau ”tanggungan”, sedangkan ”jaminan” menurut Undang-Undang Nomor

11

7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu ”keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan”.

Sehubungan dengan itu, penjelasan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, menyatakan sebagai berikut :

Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan

tersebut, sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur.12

Adapun istilah ”agunan”, ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diartikan sebagai berikut :

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam dunia perbankan, masyarakat umum mengartikan jaminan sebagai alternatif terakhir dari sumber pelunasan kredit tidak dapat dilunasi oleh nasabah debitur dari kegiatan usahanya karena kegiatan usahanya mengalami kesulitan untuk menghasilkan uang.

12

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal. 67.

Dalam era Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, industri perbankan Indonesia sangat collateral oriented (penilaian agunan). Hal ini disebabkan oleh ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 secara tandas menentukan bahwa Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapa pun juga. Ketentuan Pasal ini telah menciptakan orientasi bank yang bukan lebih mengutamakan feasibility (kelayakan) dari proyek atau usaha nasabah tetapi lebih mengutamakan kecukupan agunan. Sering kali proyek atau usaha-usaha yang feasibility (kelayakan) ditolak permohonan kredit hanya karena calon nasabah debitur tidak menyediakan agunan yang cukup.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ingin mengubah orientasi bank ini. Bahkan memberikan kelonggaran kepada nasabah dalam hubungannya dengan kesulitan nasabah untuk dapat menyerahkan agunan. Sekali pun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak lagi colateral oriented (penilaian agunan) namun perbankan tampaknya masih belum mengubah orientasinya.

Bagaimana pun penting unsur-unsur lainnya selain colateral, hal itu belum menjamin pelunasan atau pengembalian hutang debitur. Lebih baik jika pemberian hutang atau pinjaman itu seyogyanya diamankan melalui pengikatan agunan dan kalau perlu diamankan lagi melalui personal guarantee (jaminan perseorangan) dan corporate guarantee (jaminan perusahaan berbadan hukum).

Secara yuridis, agunan merupakan sesuatu yang sudah pasti dan meyakinkan, karena agunan berupa harta kekayaan milik pribadi debitur, terkecuali kredit yang diberikan diperuntukkan bagi pembelian barang atau benda-benda tertentu. Dengan diserahkan, dijaminkan atau ditahannya harta pribadi tertentu milik debitur, dari semula nasabah debitur akan menyadari bila usahanya mengalami kegagalan, agunan itulah yang menjadi gantinya, namun sebaliknya jika usaha nasabah debitur berhasil keuntungan yang akan didapat boleh jadi jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh bank.

Djuhendah Hasan mengemukakan bahwa pertimbangan dan penilaian terhadap unsur character, capital, capacity, condition of economy debitur tanpa memberikan tekanan kepada colateral memang dapat membantu para pengusaha yang menjalankan usaha dengan prospek usaha yang baik dan dalam kondisi perusahaan yang sehat dan berjalan dengan baik tetapi akan menjadi masalah bagi pihak bank apabila dalam perusahaan debitur tersebut tidak berjalan mulus sebagaimana yang telah dinilai oleh semua pihak bank. Ini merupakan satu dilema, disisi yang satu bank harus membantu golongan ekonomi lemah, namun pada sisi lain juga melindungi pihak bank sebagai kreditor. Begitu tingginya resiko yang harus dihadapi pihak bank sebagai kreditor oleh karena itu perlu pernyataan kembali ketentuan peraturan tentang jaminan dalam perjanjian kredit yang lebih menjadi kepastian kembalinya kredit yang disalurkan. Sebagai salah satu tindakan prefentif akan lebih baik apabila dalam penilaian bagi perjanjian kredit tertentu, bank sebagai kreditor selain melakukan tindakan pengawasan terhadap jalannya proyek dan

penggunaan kredit yang diterima debitur dalam kaitan jaminannya pihak bank selalu meminta jaminan pokok, juga dapat meminta jaminan tambahan kepada calon debiturnya.13

Dalam perspektif hukum perbankan agunan dibedakan atas dua macam yaitu agunan pokok dan agunan tambahan. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Agunan pokok adanya barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, maupun tagihan debitur, sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan yang ditambahkan sebagai agunan.

Istilah jaminan telah lazim digunakan dalam bidang ilmu hukum dan telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan daripada istilah agunan. Oleh karena itu istilah yang digunakan bukan hukum agunan, lembaga agunan, agunan kebendaan, agunan perorangan atau hak agunan, melainkan hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan. Istilah jaminan melingkupi jaminan kebendaan dan jaminan kebendaan.

KUH Perdata maupun peraturan perundang-undangan lain menjadi sumber hukum jaminan tidak memberikan perumusan pengertian istilah jaminan. Dalam

13

keputusan seminar hukum jaminan, yang diselenggarakan oleh badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dari tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di Yogyakarta, mengartikan jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

Mariam Darus Badrulzaman mengartikan jaminan sebagai suatu tanggugan yang diberikan oleh seorang debitur dan pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.14

Hartono Hadisaputro menyatakan jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.15

Dari perumusan pengertian jaminan diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan itu suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang yaitu berupa kebendaan tertentu yang diserahkan debitur kepada kreditor sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain. Kebendaan tertentu diserahkan debitur kepada kreditor dimaksudkan sebagai tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberiakan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi pinjamannya tersebut. Apabila debitur wanprestasi kebendaan tertentu tersebut akan dinilai dengan uang, selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari

14

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, 2000, hal.12.

15

Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1984.

pinjaman atau utang debitur kepada kreditornya. Dengan kata lain jaminan disini berfungsi sebagai sarana atau menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur seandainya wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman utangnya berakhir.

2. Fungsi dari Jaminan

Dalam praktek perbankan khususnya dalam pemberian kredit jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum pada pihak bank bahwa kreditnya tetap akan kembali apabila debitur wanprestasi atau cidera janji yakni dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut. Adapun fungsi jaminan adalah untuk : 16

a. Memberikan hak dan kepuasan terhadap bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu membayar kembali utangnya pada waktu yang dijanjikan.

b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan mengikatkan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau seku-rang - kuseku-rangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil. c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya

mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetu-jui agar debitur atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan oleh bank.

16

Untuk itu bank senantiasa berusaha agar debitur memberikan hak dan kekuasaan pada bank untuk mendapatkan pelunasan utang dari jaminan – jaminan tersebut apabila debitur wanprestasi dengan cara pengikatan secara yuridis melalui suatu perjanjian kredit baik dibawah tangan maupun secara notaril.

3. Penggolongan Perjanjian Jaminan

Dalam praktek perbankan, perjanjian kredit selalu diikuti oleh perjanjian jaminan. Berdasarkan objeknya, perjanjian jaminan dapat dibedakan menjadi perjanjian perorangan dan perjanjian jaminan kebendaan.

a. Perjanjian jaminan perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur pada umumnya.17

Perjanjian jaminan perorangan adalah perjanjian jaminan antara kreditur dengan pihak ketiga, perjanjian ini dilakukan untuk kepentingan debitur. Dalam perjanjian jaminan perorangan pihak ketiga bertindak sebagai penjamin debitur dalam pelunasan hutang debitur. Ini berarti perjanjian jaminan perorangan merupakan

17

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal.280.

janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila debitur ingkar janji (wanprestasi) di kemudian hari.18

Di dalam perjanjian jaminan perorangan tidak ada benda tertentu milik debitur yang diikat, disini yang diikat adalah kesangguapan pihak ketiga untuk melunasi hutang debitur. Dalam perjanjian jaminan perorangan tidak jelas benda apa atau yang mana milik pihak ketiga yang akan menjadi jaminan, sehingga disini akan berlaku ketentuan seperti dalam jaminan umum yang lahir karena undang-undang dan hanya memberikan kedudukan yang sama di antara para debitur yaitu sebagai kreditur konkuren saja.19

Perjanjian jaminan perorangan tidak memberikan hak preferen kepada para krediturnya, dan karenanya kurang disukai oleh para kreditur. Meskipun perjanjian jaminan perorangan tidak memberikan preferensi kepada kreditur, namun banyak juga digunakan dalam praktek, yang kadang-kadang untuk amannya bagi kreditur dibarengi dengan jaminan kebendaan.20

b. Perjanjian Jaminan Kebendaan

Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan menyediakan guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitur.21

18

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.238. 19 Ibid, hal. 239 – 240. 20 Ibid, hal. 241 – 242. 21 Ibid, hal. 236 – 237.

Perjanjian jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu yang dijadikan obyek jaminan untuk suatu benda dapat diuangkan bagi pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji atau wanprestasi.22

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak dibedakan lagi atas benda bergerak berwujud atau bertubuh dan bergerak tidak berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai dan fidusia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account recievable. Pengikatan jaminan benda tidak bergerak adalah dengan hipotik dan hak tanggungan.23

Jaminan kebendaan mengandung asas-asas sebagai berikut :24

a. Mengandung asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah sebagai berikut :

(1) Absolut

Absolut artinya hak ini dapat dipertahankan kepada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

(2) Droit de suite

22

Rachmadi Usman, SH, MH, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta., hal. 289.

23

Mariam Darus Badrul Zaman, Aneka Hukum Bisnis, hal.78 – 80.

24

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.237.

Droit de suite artinya hak kebendaan mengikuti bendanya didalam tangan siapa pun dia berada. Di dalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari yang muda (droit de preference).

(3) Hak kebendaan memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijaminkan, dan disewakan.

b. Asas Asesor

Asas asesor adalah hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri, akan tetapi ada dan hapusnya bergantung pada perjanjian pokok, seperti perjanjian kredit.

c. Hak yang didahulukan

Hak jaminan kebendaan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang. Hak preferen yang dikandung dalam perjanjian jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa kepada para kreditur. Sebagai kreditur preferen, mereka memiliki hak untuk didahulukan daripada kreditur lain dalam pengambilan pelunasan piutang dari benda objek jaminan.25

B. Sumber Pengaturan Hukum Jaminan

Istilah sumber hukum dipergunakan dalam tiga pengertian yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun sebenarnya antara pengertian yang satu dengan yang lain

25

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.238.

mempunyai hubungan erat, bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni,

1. Sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkrit, yakni berupa keputusan dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. 2. Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan dan

ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu tempat pada waktu tertentu.dengan kata lain sumber hukum disini diartikan bentuk-bentuk hukum positif dimana merupakan tempat dapat diketemukan aturan dan ketentuan hukum positif dan wujudnya berupa peraturan atau ketetapan, baik tertulis maupun tidak tertulis.

3. Sumber hukum dalam artian ketiga yakni, hal-hal yang seharusnya dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang didalam nanti akan menentukan isi hukum positifnya juga harus memperhatikan faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya.26

Pengertian pengaturan sumber hukum disini, yakni tempat ditemukannya aturan dan ketentuan-ketentuan hukum serta perundang-undangan (tertulis) yang mengatur dan mengenai jaminan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan jaminan. Aturan dan ketentuan hukum dan perundang-undangan jaminan yang dimaksud adalah hukum positif yaitu ketentuan jaminan yang sedang berlaku pada saat ini.

26

1. Tempat pengaturan hukum jaminan

Ruang lingkup jaminan Indonesia mencakup berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang yang terdapat dalam hukum positif Indonesia.

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan hutang. Peraturan perundang-undangan tersebut mengatur secara khusus tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur tempat pengaturan hukum jaminan terdapat dalam KUH Perdata dan KUH Dagang. Sehubungan dengan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas lebih lanjut dapat dikemukakan beberapa ketentuan hukum jaminan sebagai berikut :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

KUH Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi. Ketentuan hukum jaminan ini dapat dijumpai dalam buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Dilihat dari sistematika KUH Perdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan. Dalam buku II KUH Perdata di atur mengenai pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.

Dalam pasal-pasal buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai dari titel ke sembilan belas sampai dengan titel ke

dua puluh satu Pasal 1131 sampai 1232. Dalam pasal tersebut diatur mengenai piutang-piutangnya, yang diistimewakan, gadai dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II KUH Perdata sebagai berikut:

a. Bab XIX Tentang piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138); Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa yang Mengenai Benda-Benda Tertentu (Pasal 1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian Ketiga tentang Hak-Hak Istimewa atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149); b. Bab XX Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161

dihapuskan);

c. Bab XXI Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232); Bagian Kesatu tentang Ketentuan-ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua tentang Pembukuan-pembukuan Hipotek serta bentuk caranya pembukuan (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197); Bagian Keempat tentang Akibat Hipotek Terhadap orang-orang Ketiga yang Menguasai Benda yang Dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208); Bagian Kelima tentang Hapusnya Hipotek (Pasal 12090 sampai dengan Pasal 1220); Bagian Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung Jawab Pegawai-pegawai yang Ditugaskan Menyimpan

Hipotek dan hal diketahuinya Register-register oleh masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232.)

Dalam buku III KUH Perdata, yaitu pada titel ke 17 dengan judul penanggungan utang yang dimulai dengan pasal 1820 sampai dengan pasal 1850, pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara debitur dan penjamin utang dan antara para penjamin utang serta hapusnya penanggungan utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam buku ke III KUH Perdata sebagai berikut :

Bab Ketujuh Belas tentang Penanggungan Utang

- Bagian Kesatu tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);

- Bagian Kedua tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal 1831 sampai dengan pasal 1838);

- Bagian Ketiga tentang Akibat – Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penangung Utang dan antara Para Penangung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal 1844);

- Bagian Keempat Tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850).

Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH Perdata tidak hanya bersumber pada Buku II, melainkan juga bersumber pada Buku ke III yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan hak jaminan kebendaan perseorangan.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang)

KUH Dagang merupakan terjemahan dari Wetboek van Koophandel. Sebagaimana termuat dalam Staatsblad 1847 Nomor 23, yang semua diperuntukkan bagi golongan penduduk Eropa yang kemudian seluruhnya juga diberlakukakan kepada golongan penduduk Tionghoa dan Timur asing lainnya dan berdasarkan azas konkordansi diberlakukan pada penduduk Pribumi. Pada dasarnya KUH Dagang mengatur mengenai ketentuan hukum Perdata khususnya yang terdiri atas 2 buku yaitu Buku I tentang dagang pada umumnya dan Buku II tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dari pelayaran, lazimnya mengatur mengenai hukum pengangkutan laut. Buku III mengatur tentang ketidakmampuan orang-orang pedagang, di atur dari Pasal 749 sampai dengan Pasal 910, yang telah dihapuskan oleh Pasal 2 Faillisements Verordening Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906 Nomor 348. Berbeda KUH Perdata yang jumlah Pasalnya 1993 Pasal, maka KUH Dagang hanya berjumlah 750 Pasal.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka berakhirlah dualisme pengaturan hukum Agraria dan secara khusus menciptakan unifikasi hukum pertanahan (Tanah) Nasional, termasuk didalamnya menciptakan unifikasi Hukum Jaminan Hak Atas Tanah. Salah satu diktum dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 memutuskan untuk mencabut

Dokumen terkait