• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk memformulasi ekstrak etanol dalam bentuk sediaan dengan mempertimbangkan pengujian toksisitas terlebih dahulu.

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi tumbuhan

Tumbuhan Leea aequata L.merupakan tumbuhan perdu, tahunan, tingginya 1½-3 m. Batang tumbuhan ini berkayu, bercabang, bentuk bulat, masih muda berambut, dan hijau. Daun tumbuhan majemuk, anak daun lanset, bertangkai pendek, tepi daun begerigi, ujung daun runcing, pangkal membulat, panjangnya 6-25 cm, lebarnya 3-8 cm, berambut dan bewarna hijau. Bunga tumbuhan majemuk, bentuk malai, kelopak bulat telur, panjang 2-5 cm, kuning keputih-putihan. Buahnya berbentuk bulat, diameter ±12 mm, masih muda hijau dan setelah tua ungu kehitaman dengan biji kecil, bentuk segitiga, dan bewarna putih kekuningan. Tumbuhan ini termasuk tumbuhan berakar tunggal dengan warna cokelat muda (Depkes RI, 2001).

2.1.2 Habitat

Tumbuhan ini tumbuh tersebar di seluruh pulau Jawa pada ketinggian kurang dari 1000 m di atas permukaan laut, sebagai semak yang tidak berduri yang tumbuh di tepi sungai-sungai dan dibawah belukar lain di lembah-lembah (Heyne, 1950).

2.1.3 Nama asing

Leea aequata L. memiliki nama lain seperti : ginggiyang (Sunda), girang (Jawa Tengah), Jirang (Madura), Kayu ajer perempuan (Melayu), mali-mali (Makasar), uka (Maluku) (Depkes RI, 2001).

6 2.1.4 Sistematika tumbuhan

Klasifikasi tumbuhan titanus adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2001;LIPI, 2015) : Kindom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rhamnales Suku : Leeacea Marga : Leea

Jenis : Leea aequata L. 2.1.5 Manfaat tumbuhan

Daun Leea aequata L. berkhasiat sebagai obat luka baru dan pegal linu. Untuk obat luka baru dipakai ±30 gram daun segar Leea aequata L., dicuci, ditumbuk sampai lumat, ditempelkan pada luka dan dibalut dengan kain bersih (Depkes RI, 2001).

2.1.6 Kandungan kimia

Biji Leea aequata L. mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Depkes RI, 2001). Daun Leea indica yang mempunyai famili sama dengan Leea aequata L.,mengandung metabolit sekunduer yaitu alkaloid, glikosida, steroid/terpenoid, flavonoid dan tannin (Rahman,et al., 2012).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan

7

diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 1995).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1979).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan beberapa cara yaitu :

a. Cara dingin

1. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan cara merendam serbuk simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

2. Perkolasi ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (Ditjen POM, 2000).

b. Cara panas

1. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan karena adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

8

2. Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50O C (Ditjen POM, 2000).

3. Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

4. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 1979).

5. Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari implisia dengan air bersuhu kamar atau dengan air bersuhu (≥ 90 menit) sambil diaduk berulang-ulang dengan pemanas air selama 30 menit (Voigt, 1984).

2.3 Samsu putih (minuman beralkohol)

Samsu putih adalah minuman berlakohol yang mengandung etil alkohol atau etanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi. Etanol dapat dikonsumsi karena diperoleh atau diproses dari bahan hasil pertanian melalui fermentasi gula menjadi etanol yang merupakan salah satu reaksi organik. Samsu putih merupakan hasil fermentasi dari beras, ketan gula merah, dan air (BPOM RI, 2014)

Menurut BPOM RI (2014) minuman beralkohol dikelompokkan sebagai berikut : a. Minuman beralkohol golongan A adalah minuman yang mengandung

9

b. Minuman beralkohol golongan B adalah minuman yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 5% sampai dengan kadar 20%.

c. Minuman beralkohol golongan C adalah minuman yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 20% sampai dengan kadar 55%.

Samsu putih termasuk minuman beralkohol golongan B karena mengandung etanol 19%.

2.4 Sterilisasi

Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis mikroorganisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada atau di dalam suatu benda Metode sterilisasi dibagi menjadi dua, yaitu metode fisik dan metode kimia. Metode sterilisasi kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, sedangkan metode sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan cara panas baik panas basah dan panas kering (Pratiwi, 2008).

2.4.1 Sterilisasi panas kering

Prinsip kerja sterilisasi panas kering adalah mematikan organisme dengan cara mengoksidasi komponen sel ataupun mendenaturasi enzim. Menurut Waluyo (2010) ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu :

1. Pembakaran langsung

Pembakaran merupakan cara sterilisasi yang 100% efektif tetapi cara ini terbatas penggunaannya. Cara ini bisa dipergunakan untuk mensterilkan alat penanam kuman (jarum ose). Yakni dengan membakarnya sampai pijar. Cara ini semua bentuk hidup akan dimatikan.

10

2. Pemanasan dengan oven atau sterilisasi dengan udara panas

Sterilisasi ini dengan menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan dalam oven dimana suhunya dapat mencapai 160-1800C. Caranya dengan memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik, oleh karena daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni selama 1-2 jam.

2.4.2 Sterilisasi panas basah

Menurut Pratiwi (2008) sterilisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Perebusan menggunakan air

Teknik sterilisasi perebusan menggunakan air mendidih 100ºC selama 10 menit.

2. Autoklaf

Teknik sterilisasi ini menggunakan temperatur di atas 100ºC dilakukan dengan uap, alat serupa pressure cooker dengan pengatur tekanan dan klep pengaman. Prinsip autoklaf adalah membunuh mikroorganisme dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme.

2.5 Bakteri

2.5.1 Uraian umum

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” dari bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang, sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri serta

11

demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1978).

Menurut Waluyo (2010) morfologi bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu :

a. Cocci/coccus

Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil. Kelompok ini ada yang bergerombol dan bergandeng-gandengan membentuk koloni. Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu :

- monokokus (monococcus), bila kokus hidup menyendiri.

- diplokokus (diplococcus), bila kokus membentuk koloni terdiri dari dua kokus.

- Streptococcus (streptococcus), bila koloni berbentuk rantai.

- Stafilokokus (staphylococcus), bila koloni bakteri kokus membentuk untaian seperti buah anggur.

- Sarsina (Sarcina), bila koloni bakteri mengelompok serupa kubus. - Tetrakokus (tetrakokus), bila koloni bakteri terdiri dari empat kokus. b. Bacilli

Basil dari bacillus, merupakan bakteri yang mempunyai bentuk tongkat pendek/ batang kecil dan silindris. Sebagian bakteri berbentuk basil. Basil dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandeng-gandengan dua-dua atau terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni, basil dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

12

- monobasil (monobacillus), yakni basil yang hidup menyendiri atau tidak bergerombol.

- Diplobasil (diplobacillus), bila koloni terdiri dari dua basil. - Streptobasil (streptobacillus), bila koloni bakteri berbentuk rantai. c. Spiral

Spiral merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau berbengkok-bengkok seperti spiral. Bakteri yang berbentuk spiral sangat sedikit jumlahnya. Golongan ini merupakan golongan paling kecil jika dibandingkan dengan golongan basil dan golongan kokus.

2.5.2 Bakteri yang memasuki tubuh melalui kulit

Kulit utuh adalah penghalang yang efektif yang mencegah banyak agen penginfeksi memperoleh jalan masuk ke tubuh. Akan tetapi, sepanjang kehidupan normal kulit tidak selalu utuh. Sobekan kulit yang begitu kecil sehingga tidak terlihat bisa memungkinkan bakteri masuk dan berlipat ganda. Beberapa organisme memasuki tubuh melalui kontak dengan kulit. Bakteri yang masuk melalui lecet kulit diantaranya Stapylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa (Volk dan Wheeler, 1984).

1. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah jenis kuman yang terutama menimbulkan penyakit pada manusia. Setiap jaringan ataupun alat tubuh dapat diinfeksi olehnya yang menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas yaitu, peradangan, nekrosis dan pembentukan abses (Staf Pengajar FK UI, 1994).

Staphylococcus aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bulat atau coccus dengan diameter 0,4-1,2 µm. Hasil pewarnaan yang berasal dari

13

perbenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti buah anggur. Kuman ini tidak dapat bergerak. Suhu optimal pertumbuhannya adalah 370C. Staphylococcus aureus akan membentuk pigmen kuning emas. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm, permukaannya mengkilat dan konsistensinya lunak (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). 2. Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif, aerob atau aerob fakultatif, berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8-1,0 µm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna putih porselen sehingga Staphylococcus epidermidis disebut juga Staphylococcus alba (Brooks, et al., 2001). Kuman ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka (Dwijoseputro, 1978).

3. Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, ukurannya 0,6 x 2 µm. Merupakan bakteri gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek. Pseudomonas aeruginosa bersifat aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media dan tumbuh baik pada suhu 37 – 420C (Brooks, et al., 2001). Organisme ini tidak membentuk sporula dan ditemukan baik sebagai bagian flora normal saluran usus maupun kulit manusia (Volk dan Wheeler, 1984).

14

2.5.3 Pertumbuhan dan perkembangan bakteri

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bakteri meliputi :

1. Temperatur

Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein yang tidak dapat balik, sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal (Pratiwi, 2008). Bentuk psikrofil tumbuh terbaik pada temperatur rendah (15-200C), bentuk mesofil tumbuh terbaik pada temperatur 30-370C dan bentuk termofil tumbuh terbaik pada 50-600C (Brooks, et al., 2001).

2. pH

kebanyakan organisme memiliki kisaran pH optimal yang sempit. Secara empirik pH optimal harus ditentukan untuk masing-masing (Brooks, et al., 2001). Mikroorganisme asidofil tumbuh pada kisaran pH optimal 1,0-5,5, mikroorganisme neutrofil tumbuh pada kisaran pH optimal 5,5-8,0, mikroorgansime alkalofil tumbuh pada pH optimal 8,5-11,5, sedangkan mikroorganisme alkalofil ekstrem tumbuh pada kisaran pH optimal ≥ 10 (Pratiwi, 2008).

3. Tekanan osmosis

Tekanan osmose sangat diperlukan untuk mempertahankan bakteri agar tetap hidup. Apabila bakteri berada dalam larutan konsentrasi lebih tinggi daripada konsentrasi yang ada dalam sel bakteri, maka akan terjadi keluarnya cairan

15

dari sel bakteri melalui membran sitoplasma yang disebut plasmolisis (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003).

4. Oksigen

Menurut Tim Mikrobiologi FK Brawijaya (2003) berdasarkan akan kebutuhan terhadap oksigen, bakteri digolongkan menjadi berikut :

a. Bakteri aerob obligat : bakteri yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya.

b. Bakteri anaerob fakultatif : bakteri yang dapat tumbuh baik ada oksigen maupun tanpa adanya oksigen.

c. Bakteri anaerob obligat : bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen d. Bakteri mikroaerofilik : bakteri yang kebutuhan oksigennya rendah. 5. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (C, O, H, N, S, P, Ca, Fe, Mg), dan mikroelemen (Mn, Zn, Co, Cu) (Pratiwi, 2008).

6. Media kultur

Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium. Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam yaitu media cair dan media padat (Pratiwi, 2008).

2.5.4 Fase pertumbuhan bakteri

Menurut Pratiwi (2008) fase pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu : 1. Fase lag

16

Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.

2. Fase eksponensial (fase log)

Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

3. Fase stasioner

Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati, karena pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.

4. Fase kematian

Pada fase ini jumlah sel yang mati meningkat, faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

2.5.5 Pengukuran aktivitas antibakteri

Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap agen antibakteri tertentu dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode pokok yaitu metode dilusi dan metode difusi.

1. Metode dilusi

Metode ini digunakan untuk mengukur kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan yaitu dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada media cair yang telah ditambahkan

17

dengan mikroba uji. Larutan uji agen antimkroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

2. Metode difusi agar

Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan disekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji (Brooks, et al., 2001).

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daun titanus (Leea aequata L.) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional. Batang dan akarnya digunakan sebagai astringen, antelmentik, gangguan pencernaan, sakit kuning, demam kronis dan malaria. Daun dan rantingnya digunakan sebagai antiseptik dan mengobati luka (Khare, 2007).

Hasil survei peneliti di Desa Suka Nalu, Kecamatan Barus Jahe Kabupaten Karo, salah satu tanaman obat yang telah lama dijadikan ramuan tradisional oleh masyarakat Karo adalah daun titanus atau dikenal dalam Bahasa Karo yaitu bulung titanus. Kegunaan ramuan daun ini sebagai obat antitetanus dan obat infeksi luka. Penggunaannya secara tradisional dengan mencampurkan serbuk bulung titanus ± 5 gram ke dalam 1 botol samsu putih 300 ml dan diminum sebanyak 1 sendok makan. Tanaman ini juga terdapat di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, sebagai obat infeksi luka yang dikenal dengan nama memaye. Penggunaan daunnya sebagai obat infeksi luka dengan cara menumbuk ±30 gram daun tersebut sampai lumat, ditempelkan pada luka dan dibalut dengan kain bersih (Depkes RI, 2001). Kandungan kimia dari daun titanus belum dipublikasikan sehingga pemanfaatan ramuannya hanya berdasarkan turun-menurun.

Rahman, et al., (2012) telah melakukan penelitian terhadap daun Leea indica yang mempunyai famili sama dengan Leea aequata yaitu Leeaceae.

2

Berdasarkan hasil skrining fitokimia, tanaman Leea indica mengandung metabolit sekunder yaitu alkaloid, glikosida, steroid/terpenoid, flavonoid dan tanin. Hasil uji mikrobiologi ekstrak etanol daun Leea indica menunjukkan bahwa ekstrak etanol tersebut menghambat bakteri Staphylococcus aures dan Pseudomonas aeruginosa.

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dapat disebabkan oleh bakteri ataupun jamur. Senyawa flavonoid, saponin dan steroid/triterpenoid merupakan senyawa kimia yang memiliki potensi sebagai antibakteri dan antivirus (Robinson, 1991). Tetanus adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Mikroba ini sangat berbahaya dan hidup secara obligat anaerob. Penyebab infeksi lain pada luka dapat juga disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus

epidermidis merupakan bakteri gram positif. Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif. Bakteri ini menimbulkan infeksi pada luka bakar, infeksi saluran kemih dan infeksi mata (Brooks, et al., 2001).

Penggunaan tanaman obat untuk bahan obat ataupun obat yang ditujukan untuk antiinfeksi harus mempunyai kriteria tertentu misalnya karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, dan uji aktivitas antimikroba (Wijayakusuma dan Dalimartha, 1999). Berdasarkan hal diatas, maka pada penelitian ini dilakukan skrining fitokimia, karakteristik simplisia dan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol dan ekstrak samsu putih daun titanus (Leea aequata L.). Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan bakteri

3

Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka perumusan masalah penelitian adalah:

1. bagaimana karakterisasi simplisia daun titanus?

2. golongan senyawa apa saja yang terdapat dalam simplisia daun titanus ? 3. dapatkah ditentukan konsentrasi yang efektif ekstrak etanol dan ekstrak

samsu putih daun titanus terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa ?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. dapat ditentukan karakteristik simplisia daun titanus.

2. dapat ditentukan golongan senyawa yang terkandung dalam simplisia daun titanus.

3. dapat ditentukan konsentrasi kedua ekstrak yang memiliki aktivitas efektif sebagai antibakteri.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

4

2. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalamdaun titanus.

3. Untuk mengetahui konsentrasi yang efektif dari kedua ekstrak sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang efek antibakteri dari ekstrak etanol dan samsu putih daun titanus terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa serta melengkapi data tentang daun titanus yang digunakan sebagai obat tradisional.

vi

SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL DAUN TITANUS (Leea aequata L.)

PENGOBATAN TRADISIONAL KARO

ABSTRAK

Daun titanus (Leea aequata L.) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional yaitu sebagai antiseptik dan mengobati luka. Di Desa Suka Nalu, Kabupaten Karo daun titanus digunakan sebagai ramuan tradisional yang dicampurkan dengan samsu putih sebagai obat antitetanus dan infeksi luka. Di Muara Enim (SumSel) daun titanus juga digunakan sebagai obat infeksi luka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia, golongan kandungan senyawa kimia, dan aktivitas antibakteri dari daun titanus terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidisdanpseudomonas aeruginosa.

Serbuk simplisia dikarakterisasi dan diskrining fitokimia, kemudian diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dan samsu putih, sehingga diperoleh ekstrak kental, selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol dan ekstrak samsu putih daun titanus terhadap Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidisdanpseudomonas aeruginosa yang dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan pencadang kertas.

Hasil karakterisasi simplisia diperoleh kadar air 4%, kadar sari larut air 8,11%, kadar sari larut etanol 9,61%, kadar abu total 7,58% dan kadar abu tidak larut dalam asam 0,65%. Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun titanus menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin, steroid/triterpenoid. Hasil uji aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa ekstrak etanol 96% memiliki aktivitas yang efektif sebagai antibakteri pada konsentrasi 100 mg/ml terhadapStaphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidisdanPseudomonas aeruginosa dengan diameter daerah hambat 14,83 mm, 15,5 mm, dan 14,23 mm. Ekstrak samsu putih memberikan aktivitas antibakteri yang efektif pada konsentrasi 500 mg/ml terhadapStaphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidisdanPseudomonas aeruginosa dengan diameter daerah hambat 14,6 mm, 14,96 mm dan 14,0 mm.

Kata kunci: Daun titanus, aktivitas antibakteri, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa.

vii

SCREENING OF PHYTOCHEMICAL AND ANTIBACTERIAL ACTIVITY TEST OF ETHANOL EXTRACT TITANUS LEAVES

(Leea aequata L.) IN KARO TRADITIONAL TREATMENT

ABSTRACT

Titanus leaf (Leea aequata L.) is a plant that used a as traditional medicine such as an antiseptic and to treat wounds. In Suka Nalu Village, Karo district, titanus leaves are used as a traditional that is mixed with samsu putih as antitetanus and wounds infection medicine. In Muara Enim (South Sumatera) leaves are also used as treatment for wound infection.The purpose of this study was to determine the characteristics of the simplex, class of chemical compounds and antibacterial of titanus leaves against Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis and pseudomonas aeruginosa.

Simplex powder characterized and screened phytochemicals, then extracted by maceration using ethanol 96% and samsu putih, viscous extract was obtained, then test for antibacterial activity of ethanol extract and samsu putih extract of titanus leaves against Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis and pseudomonas aeruginosa were conducted with agar diffusion method using paper disc.

Simplex characterization results were obtained water level 4%, water-soluble extract level 8.11%, ethanol-water-soluble extract level 9.61%, total ashes level 7.58% and acid-insoluble ashes 0.65%. Phytochemical screening of simplex powder and ethanol extract showed the presence of alkaloids, flavonoids, glycosides, saponins, tannins, steroids/triterpenoids. The test results of antibacterial activity showed that ethanol extract has effectiveness activity as antibacterial with 100 mg/ml concentration against Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aeruginosa and the inhibition

Baca selengkapnya

Dokumen terkait