BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
1.Mahasiswa kepaniteraan klinik harus lebih memahami kepentingan penggunaan informed consent dalam bidang kedokteran gigi.
2.Mahasiswa kepaniteraan klinik harus memberikan jenis informed consent yang sesuai dengan perawatan yang akan dilakukan.
3.Sebagaimana temuan dalam penelitian ini, segala hal yang bersifat keterbatasan penelitian agar dapat diperbaiki dalam penelitian selanjutnya.
4.Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut, baik yang terkait dengan informed consent dan pencabutan gigi posterior mandibula.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Informed consent
2.1.1 Definisi Informed consent
Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada dasarnya Informed consent merupakan suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien.1,2,7,8
Penandatanganan formulir Informed consent secara tertulis merupakan bukti tertulis atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan pasien sendiri (informed decision).1,2,4,6,8 Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan.2 Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya.8,12
2.1.2 Formulir Informed consent
Formulir Informed consent ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi persetujuan medis antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya persetujuan tindakan medis dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien.5,7,13
Bentuk persetujuan tindakan medis pada umumnya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak dokter dan Rumah Sakit dapat mengisi lembar informed consent
yang disediakan setelah menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien. Sebelum ditandatangani, sebaiknya surat tersebut dibaca sendiri atau dibacakan oleh yang hadir terlebih dahulu. Pasien sebaiknya diberikan waktu yang cukup untuk menandatangani persetujuan tindakan medis.5,6,8,9,13
Oleh karena itu, dengan ditandatanganinya Informed consent secara tertulis tersebut, maka dapat diartikan bahwa pemberi tanda tangan bertanggung jawab dalam menyerahkan sebagian tanggung jawab pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, beserta resiko yang mungkin akan dihadapinya. Untuk itu, tindakan medis yang ditentukan oleh dokter harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan standar profesinya. 11
2.1.3 Informasi Informed consent
Dalam Permenkes No.585/MENKES/PER/IX/1989 menyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta oleh pasien. Informasi harus diberikan sebelum dilakukannya suatu tindakan operasi atau yang bersifat invasif, baik berupa prosedur diagnostik maupun terapeutik.2,9
Menurut Guwandi (2004), informasi yang harus diberikan sebelum dilakukan tindakan operasi oleh dokter kepada pasien atau keluarga mencakup:
a) Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan dilakukan dalam tindakan medis
b) Gambaran manfaat tindakan medis yang akan dilakukan
c) Penjelasan tentang resiko yang dapat terjadi pada tindakan medis tersebut d) Tindakan medis lain apa yang dapat dilakukan
e) Akibatnya jika tindakan medis tersebut tidak dilakukan 2,4,11,14,15
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup:
a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c) Alternatif tindakan lain dan risikonya; d) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e) Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan. 16
2.1.4 Bentuk Informed consent
Informed consent terdiri dari dua bentuk yaitu implied consent dan expressed consent.
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat mengerti persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan atau dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency dimana dokter memerlukan tindakan medis segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dapat dilakukan tindakan medis terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Informed consent ini merupakan pernyataan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif dan memiliki resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi. 2,4,11 Expressed consent meliput i :
a. Verbal consent adalah persetujuan secara lisan yaitu pasien setuju menggunakan kata – kata dan tidak melibatkan fomulir informed consent. Biasanya digunakan terhadap tindakan medis yang tidak invasif dan tidak memiliki resiko besar maka persetujuan dari pasien dapat disampaikan secara lisan kepada dokter.
b. Written consent adalah persetujuan secara tertulis yaitu pasien atau orang lain yang berhak menandatangani sebuah fomulir informed consent
(Gambar 1). Biasanya digunakan untuk tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pembedahan atau tindakan invasif.2,4
Walaupun persetujuan lisan itu diperbolehkan untuk tindakan medis, dokter harus membiasakan diri untuk menulis/mencatat persetujuan lisan pasien itu pada rekam medis/rekam kesehatan, karena semua tindakan yang dilakukan oleh dokter yang tercatat dalam rekam medis merupakan persetujuan pasien secara lisan.2
SURAT PERSETUJUAN / PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir : Alamat :
Telp :
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orangtua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Dengan ini menyatakan SETUJU / MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa………. Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinan pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Medan,……….20……
Dokter / Pelaksana, Yang membuat pernyataan,
(………..) (………..)
2.2 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah hilangnya semua bentuk sensasi termasuk sakit, sentuhan, persepsi temperatur dan tekanan pada sebagian tubuh.33 Beberapa kalangan medis yang membatasi istilah anestesi lokal hanya untuk pembiusan di bagian kecil tubuh seperti gigi atau area kulit. Mereka menggunakan istilah anestesi regional untuk pembiusan bagian yang lebih besar dari tubuh seperti kaki atau lengan.18
Dalam bidang kedokteran gigi, anestesi lokal merupakan suatu tindakan yang dapat menghilangkan nyeri atau sensasi pada area – area spesifik di dalam rongga mulut untuk waktu yang singkat. Tindakan ini digunakan oleh dokter gigi dalam prosedur pembedahan untuk memastikan kenyamanan dan keamanan pasien selama prosedur.17,18
2.2.1 Jenis Bahan Anestesi Lokal
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amida. Yang termasuk bahan ester adalah prokain, kokain dan tetrakain sedangkan untuk golongan amida adalah lignokain, prilokain dan mervakain.19 Perbedaan kimia bahan ini berdasarkan metabolisme, dimana golongan ester dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amida melalui degradasi enzimatis di hati.20
2.2.2 Mekanisme Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui pintu ion natrium selektif pada membrane saraf. Pintu natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi lokal. Penyumbatan pada pintu ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium.
Kegagalan permeabilitas pintu ion natrium untuk memperlambat kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial.20
2.2.3 Metode Anestesi Lokal pada Mandibula
Anestesi lokal blok mandibula dapat dilakukan melalui beberapa metode seperti metode Gow-Gates, metode Akinosi dan metode Fischer.21,22,23,24 Pada dasarnya tujuan ketiga-tiga metode ini sama yaitu menganestesi setengah mandibula pada sisi yang dianestesi. Perbedaanya adalah pada langkah - langkah metode dan daerah saraf yang teranestesi.23
Inferior alveolar nerve block (IANB) atau juga dikenali sebagai blok mandibula metode Fischer merupakan teknik anestesi lokal yang sering digunakan dan juga merupakan teknik yang paling penting dalam bidang kedokteran gigi.21 Anestesi lokal blok mandibula biasanya dilakukan apabila dokter memerlukan daerah yang teranestesi luas misalnya pada waktu pencabutan gigi posterior mandibula atau pencabutan beberapa gigi pada satu kuadran.21,23
2.2.3.1 Anestesi Lokal Blok Mandibula Metode Fischer
Anestesi blok mandibula metode Fischer merupakan metode yang digunakan oleh mahasiswa kepaniteraan di RSGMP FKG USU. Metode ini melumpuhkan beberapa saraf antara lain :
a) Nervus alveolaris inferior b) Nervus mentalis
c) Nervus lingualis d) Nervus insisivus
Sedangkan daerah yang teranestesi dari metode Fischer adalah : a) Gigi geligi mandibula setengah kuadran
c) Mukoperiosteum bukal dan membran mukosa didepan foramen mentalis d) Dasar mulut
e) Dua pertiga anterior lidah
f) Jaringan lunak dan periosteum bagian lingual mandibula
Gambar 2: Daerah yang teranestesi pada metode Fischer 21 2.2.3.2 Komplikasi Anestesi Blok Mandibula Metode Fischer
Komplikasi anestesi lokal blok mandibula dapat terjadi karena beberapa faktor tertentu. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah karena kesalahan teknik penyuntikan yang digunakan dan kurang menguasai anatomi rahang.24,25 Antara komplikasi yang dapat terjadi antara lain :
a. Sakit selama dan setelah penyuntikan
Dokter gigi berkewajiban untuk memastikan bahwa metode anestesi yang digunakannya benar-benar tidak menimbulkan rasa sakit dan metode tersebut dapat digunakan senyaman mungkin. Tajamnya jarum dan teknik penyuntikan merupakan faktor penting dalam melakukan penyuntikan.21,22,24,25,31
b. Trismus
Pada hasil penelitian Mishra S. et al. (2012) India, trimus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi setelah anestesi lokal blok mandibula. Trismus merupakan salah satu komplikasi yang biasa terjadi pada pasien, dimana pasien merasa sulit untuk membuka mulutnya setelah pemberian anestesi blok mandibula.
Trismus biasanya disebabkan oleh trauma tusukan jarum pada serabut otot pterigoideus medial.21,22,31
c. Parestesi
Parestesi didefinisikan sebagai suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa terbakar dari kulit tanpa adanya stimulus yang jelas. Parestesi dapat disebabkan oleh trauma, tumor, penyakit jaringan kolagen, infeksi dan penyakit-penyakit idiopatik. 21,22,27,29,31
d. Efek toksik
Efek toksik terjadi apabila jumlah anestetikum yang berlebihan diberikan oleh dokter kepada pasiennya. Dosis toksik bagi kebanyakan anestetikum yang digunakan dalam bedah mulut yaitu berkisar 300 – 500mg. 21,22,26,27,30,31
e. Hematoma
Biasanya hematoma disebabkan oleh penyuntikan yang mengenai pembuluh arteri dan vena pada saat injeksi blok saraf alveolar inferior atau saraf posterior superior. Gambaran klinisnya terlihat pembengkakkan atau bruise yang berwarna ungu pada intra atau ekstra oral.21,22,31
f. Jarum suntik patah
Komplikasi ini terjadi disebabkan oleh jarum yang digunakan tidak diganti, jarum yang digunakan tidak fleksibel, kesalahan teknik penyuntikan dan pergerakan tak terduga pasien waktu penyuntikan. Pada tahun 1960, jumlah kasus jarum suntik patah menurun setelah jarum suntik disposable diperkenalkan dalam bidang kedokteran gigi. 21,22,26,28,31
2.3.1 Kerangka Konsep
Mahasiswa kepaniteraan klinik di bagian Bedah Mulut
RSGMP FKG USU
Tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik di bagian
Bedah Mulut RSGMP FKG USU A. Pengetahuan • Baik • Sedang • Buruk B. Tindakan • Baik • Sedang • Buruk
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Informed consent adalah persetujuan antara dokter dan pasien secara tertulis maupun lisan yang diberikan setelah pasien menerima informasi yang cukup mengenai prosedur diagnostik dan perawatan yang direncanakan. Informasi mengenai prosedur perawatan yang akan diberikan harus jelas sehingga pasien dapat memahami penyakitnya dan perawatan yang akan diterima.1,2
Pada tahun 1950, bidang kedokteran gigi telah mempertimbangkan peran
informed consent dalam klinik setelah terjadinya beberapa kasus malpraktek.3 Dokter gigi mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk memastikan bahwa pasien telah menerima informasi perawatan yang akan diberikan dan memahami segala prosedur serta komplikasinya.1,2 Pada tahun 1980-an, informed consent telah dibahas dalam ajaran akademik di bidang kedokteran gigi.4,5
Menurut hasil penelitian Shaila Tahir et al. di Lahore, Pakistan (2009) 5.3% mahasiswa kepaniteraan klinik yang berpendapat harus melakukan informed consent, 16% biasa melakukan, 56.8% kadang – kadang melakukan dan 21.9% tidak melakukan informed consent. Pada hasil penelitian tersebut, informed consent yang dilakukan untuk perawatan bedah memiliki hasil yang paling tinggi yaitu 43.6% kemudian perawatan konservatif sebesar 35.2%. Perawatan lain dianggap tidak penting untuk dilakukan informed consent.4
Penelitian Nadia Avramova dkk di Sofia, Bulgaria (2011) menyatakan 97.5% dokter gigi menganggap perlu dilakukan informed consent. Kemudian, 2.5% menganggap tidak perlu melakukan informed consent pada pasien. Dari hasil penelitian ini, dokter gigi yang menganggap perlu dilakukan pada semua jenis perawatan adalah 87.5%, untuk perawatan bedah sebesar 12.5%, perawatan pada endodontik sebanyak 6.25% , perawatan prostetik 8.75% dan 10% pada perawatan ortodontik . 1
Informed consent untuk perawatan bedah pada bidang kedokteran gigi bermacam-macam, salah satunya adalah informed consent pada tindakan anestesi
lokal blok mandibula metode Fischer. Hal ini perlu dilakukan karena komplikasi dari tindakan ini salah satunya adalah dapat menyebabkan trismus, yaitu suatu kondisi dimana pasien merasa sulit untuk membuka mulutnya. Mengingat pentingnya
informed consent, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.
1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.?
2. Bagaimana tingkat tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.
2. Untuk mengetahui tingkat tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU mengenai informed consent
anestesi lokal blok mandibula metode Fischer bulan September 2013.
2. Untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat pelaksanaan informed consent oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU bulan September 2013.
3. Penulis mendapatkan pengalaman dalam hal meneliti dan menambah wawasan mengenai tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP FKG USU mengenai informed consent anestesi lokal blok mandibula metode Fischer.
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2014
Nik Ahmad Syakir
Tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.
xii + 33 halaman
Informed consent adalah persetujuan antara dokter dan pasien secara tertulis maupun lisan yang diberikan setelah pasien menerima informasi yang cukup mengenai prosedur diagnostik dan perawatan yang direncanakan. Pada tahun 1950, bidang kedokteran gigi telah mempertimbangkan peran informed consent dalam klinik setelah terjadinya beberapa kasus malpraktek. Informed consent terdiri dari dua bentuk yaitu implied consent dan expressed consent. Expressed consent meliputi dua yaitu verbal consent dan written consent. Verbal consent adalah persetujuan secara lisan yaitu pasien setuju menggunakan kata – kata dan tidak melibatkan fomulir informed consent. Written consent adalah persetujuan secara tertulis yaitu pasien atau orang lain yang berhak menandatangani sebuah fomulir informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP USU tentang informed consent
untuk pencabutan gigi posterior mandibula. Penelitian ini dilakukan melalui survei deskriptif. Data didapatkan melalui kuesioner yang diisi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP USU. Data yang didapat dari hasil
pengisian formulir kuesioner diolah secara sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sederhana disertai dengan perhitungan berupa persentase. Persentase tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebesar 85,71% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik manakala 14,29% mempunyai tingkat pengetahuan sedang. Tingkat tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula adalah sebanyak 82% menggunakan informed consent manakala 18% tidak menggunakan. Mahasiswa kepaniteraan klinik harus memberikan jenis informed consent yang sesuai dengan perawatan yang akan dilakukan.
TINGKAT PENGETAHUAN DAN TINDAKAN
MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK BEDAH MULUT
RSGMP USU TENTANG INFORMED CONSENT UNTUK
PENCABUTAN GIGI POSTERIOR MANDIBULA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
NIK AHMAD SYAKIR
NIM: 100600207
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2014
Nik Ahmad Syakir
Tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut RSGMP USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula.
xii + 33 halaman
Informed consent adalah persetujuan antara dokter dan pasien secara tertulis maupun lisan yang diberikan setelah pasien menerima informasi yang cukup mengenai prosedur diagnostik dan perawatan yang direncanakan. Pada tahun 1950, bidang kedokteran gigi telah mempertimbangkan peran informed consent dalam klinik setelah terjadinya beberapa kasus malpraktek. Informed consent terdiri dari dua bentuk yaitu implied consent dan expressed consent. Expressed consent meliputi dua yaitu verbal consent dan written consent. Verbal consent adalah persetujuan secara lisan yaitu pasien setuju menggunakan kata – kata dan tidak melibatkan fomulir informed consent. Written consent adalah persetujuan secara tertulis yaitu pasien atau orang lain yang berhak menandatangani sebuah fomulir informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP USU tentang informed consent
untuk pencabutan gigi posterior mandibula. Penelitian ini dilakukan melalui survei deskriptif. Data didapatkan melalui kuesioner yang diisi oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP USU. Data yang didapat dari hasil
pengisian formulir kuesioner diolah secara sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi sederhana disertai dengan perhitungan berupa persentase. Persentase tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebesar 85,71% mempunyai tingkat pengetahuan yang baik manakala 14,29% mempunyai tingkat pengetahuan sedang. Tingkat tindakan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut RSGMP FKG USU tentang informed consent untuk pencabutan gigi posterior mandibula adalah sebanyak 82% menggunakan informed consent manakala 18% tidak menggunakan. Mahasiswa kepaniteraan klinik harus memberikan jenis informed consent yang sesuai dengan perawatan yang akan dilakukan.
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 24 Januari 2014
Pembimbing: Tanda tangan
1. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM 1.………. NIP. 19840724 200801 2 006
2. Rika Mayasari, drg., M.Kes 2………..
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 24 Januari 2014
TIM PENGUJI
KETUA : Abdullah, drg.
ANGGOTA : 1. Rahmi Syaflida, drg., Sp. BM
2. Hendry Rusdy, drg., Sp. BM., M.Kes 3. Rika Mayasari A, drg., M.Kes
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya skripsi ini telah selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Nik Kamaluddin bin Nik Sulaiman dan Ibunda Nik Munirah binti Nik Sulaiman atas segala doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis hingga saat ini.
2. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D, Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Eddy A. Ketaren, drg., Sp.BM selaku Ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, atas segala saran, dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM dan Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan, bimbingan, penjelasan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi sampai dengan selesai.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara khususnya di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial.
6. Keluarga yang senantiasa mendukung dan memberikan kasih sayang kepada penulis, Nik Nurina, Nik Muhammad Nasri, Nik Ahmad Aiman dan Nik Ahmad Farhan.
7. Sahabat-sahabat terbaik, Afiq Nawawi, Ikhwan Syazwan, Ahmad Ilham, Nazim Abd Malek, Muhibuddin Isa, Zunnadhir Zainal Abidin, Afiqi Fikri, Abdul Rahim, Yusof, Mohd Faisal dan Faiz Hashim atas segala hal yang diberikan kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan hingga saat ini.
8. Teman-teman semasa perkuliahan, Afiqah Anuar, Hidayah Anuar, Izza Aleena, Jack Loo, Jun Yang, Prasad Nair, Khairunnisa Latiff, Siti Filzah, Shafarah Ramli, Way Yee Yin dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
9. Nor Syafiqah binti Mahmod, yang telah menemani dan memberikan dukungan tiada henti kepada penulis sehari-hari selama masa perkuliahan, pembuatan skripsi, dan hingga saat ini.