• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

Berdasarkan kondisi daerah dan ketersediaan sarana dan prasarana, lokasi kegiatan PPAN di Kabupaten Simalungun ditetapkan atas seluruh atau sebagian bidang tanah di dalam lokasi kelurahan/desa, baik yang merupakan tanah non pertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2, dan tanah pertanian dengan luas sampai 5 Ha, yang dimiliki oleh masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah, meliputi : tanah bekas milik ulayat yang dimiliki/dikuasai oleh perorangan yang lokasi tanahnya berada dalam lokasi yang telah ditetapkan.

Mekanisme penetapan lokasi PPAN di Kabupaten Simalungun dilaksanakan pada tanggal 1 Juni sampai dengan 19 Juni tahun 2014, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan Kecamatan calon lokasi PPAN kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi

b. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi menerbitkan Surat Keputusan Kecamatan Lokasi PPAN, dan menyampaikan surat keputusan tersebut kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan kepada Kepala

BPN-RI c.q. Sekretaris Utama dan Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.

c. Kepala Kantor Pertanahan menetapkan lokasi kelurahan/desa di dalam wilayah kecamatan lokasi PPAN sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dengan menerbitkan Surat Keputusan.

Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Simalungun tahun anggaran 2015 dilaksanakan sebanyak 875 bidang dari 2.800 target sertipikat yang tersebar di 10 Kecamatan yaitu : Kecamatan Silimakuta, Kecamatan Purba, Kecamatan Dolok Pardamean, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kecamatan Tanah Jawa, Kecamatan Dolok Panribuan, Kecamatan Panei, Kecamatan Jorlang Hataran, Kecamatan Raya dan Kecamatan Dolok Silau.

Mekanisme penetapan calon peserta/subjek PPAN dilaksanakan pada bulan Mei adalah sebagai berikut :

a. Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat mengusulkan calon Peserta PPAN sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, kepada Kepala Kantor Pertanahan.

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota memeriksa dan mengkaji usulan tersebut.

c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota menerbitkan Surat Keputusan tentang calon peserta PPAN dengan memperhatikan usulan Kepala Desa / Lurah yang diketahui Camat.

2. Penyuluhan

Sebelum pelaksanaan kegiatan pengumpulan data yuridis dan fisik, diadakan penyuluhan untuk memberikan penjelasan program, tujuan serta manfaat, persyaratan permohonan hak, objek dan subjek kegiatan PPAN, hak dan kewajiban peserta PPAN sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Penyuluhan bertujuan untuk memberitahukan kepada pemilik tanah atau kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan bahwa di kelurahan/desa tersebut akan diselenggarakan kegiatan PPAN. Diharapkan dengan adanya penyuluhan tersebut dapat meningkatkan partisipasi, antusiasme dan kepedulian masyarakat khususnya pemilik tanah untuk ikut serta sebagai peserta PPAN, dan membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut.

Pelaksana penyuluhan adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota bertanggungjawab atas terselenggaranya penyuluhan sedangkan pelaksanaan dapat dibantu oleh suatu Tim Penyuluh / Tim Customer Relation Services yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota lokasi PPAN.

Kegiatan penyuluhan dapat dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat aparat pemerintah desa / kelurahan sampai masyarakat pemilik tanah. Maksud penyuluhan kepada aparat tersebut untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai kegiatan PPAN dan manfaatnya. Setelah itu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dengan bantuan aparat kelurahan/desa. Tahap awal melakukan penyuluhan kepada pemuka masyarakat, lurah / kepala desa, ketua LKMD/K, ketua LMD/K, ketua lingkungan, ketua RW dan ketua RT atau pemimpin

informal (tokoh masyarakat, pemuka agama, dan ketua organisasi sosial lainnya) dan calon peserta PPAN yang dilaksanakan di Pendopo kecamatan masing-masing. Tahap Kedua melakukan penyuluhan kepada kelompok masyarakat pemilik tanah atau peserta PPAN yang dilaksanakan di balai desa masing-masing. Kegiatan penyuluhan dilakukan secara langsung melalui ceramah dan dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab.

3. Pengukuran dan Pemetaan

Kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam pelaksanaan PPAN meliputi : a. Pemasangan KDKN Orde 3

Kerangka Dasar Kadastral Nasional yaitu titik pengikat dalam sistem pengukuran sebagai dasar pembuatan kerangka pemasangan patok. Dalam bidang Pendaftaran Tanah, titik dasar teknik yang didefinisikan sebagai titik tetap yang memiliki koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu.

b. Pengukuran bidang

1) Penetapan batas bidang tanah

Sebelum dilaksanakan pengukuran atas suatu bidang tanah, pemegang hak atas tanah harus memasang tanda batas pada titik-titik sudut batas serta harus ada penetapan batasnya terlebih dahulu. Satuan tugas fisik adalah petugas ukur yang bekerja atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Penetapan batas tanah dibedakan atas Tanah Hak dan Tanah Negara.

2) Penetapan batas tanah hak

a. Prinsip dasar penunjukan batas-batas bidang tanah dan pemasangan tanda batasnya dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atau kuasanya, dan berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah atau kuasanya, dan berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah atau kuasanya dari bidang tanah yang berbatasan.

b. Berdasarkan penunjukan batas sebagaimana dijelaskan di atas, Satuan Tugas Fisik menetapkan batas tersebut yang dituangkan dalam DI.201.

3) Dalam hal pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir dalam waktu yang ditentukan, Satuan Tugas Fisik berdasarkan penunjukan pemegang hak atas tanah menetapkan batas sementara dan dicatat dalam DI. 201 ruang I.3. (ruang sketsa bidang tanah) dan pada Gambar Ukurnya.

4) Dalam hal pemegang hak atas tanah dan pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak bersedia menunjukkan batas atau tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan, penetapan batas sementara dilakukan oleh Satuan Tugas Fisik berdasarkan batas fisik yang kelihatan, misalnya pagar, pematang dan lain-lain serta penetapan batas sementara tersebut dicatat pada DI. 201 ruang I.3. (ruang sketsa bidang tanah) serta Gambar Ukurnya.

c. Tanda batas

Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan apabila dianggap perlu oleh petugas yang melaksanakan pengukuran juga pada titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah tersebut.

Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh benda-benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau tugu patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas. d. Pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang tanah

Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dilaksanakan untuk menentukan letak geografis, bentuk geometris, luas, situasi bidang tanah untuk lampiran sertipikat, pembuatan peta pendaftaran dan terutama untuk mendapatkan data ukuran bidang tanah sebagai unsur pengembalian batas-batas apabila karena sesuatu hal batas-batas bidang tanah tersebut hilang.

1) Pengukuran bidang tanah

Pengukuran bidang tanah hanya dilakukan pada bidang tanah yang telah dilakukan pemasangan tanda batas yang dipasang oleh pemilik tanah. Bidang tanah yang belum dipasang tanda batasnya belum boleh dilakukan pengukuran.

Penunjukan batas bidang tanah dan pemasangan tanda batasnya dilakukan oleh pemilik tanah atau kuasanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang berbatasan. Pemilik tanah wajib bertanggung jawab atas kebenaran penunjukkan batas bidang tanah dan pemasangan tanda batasnya.

Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah. Apabila dianggap perlu petugas yang melaksanakan pengukuran juga dapat memasang titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah tersebut. Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh benda-benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok atau tugu patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas.

2) Pembuatan Gambar Ukur (DI. 107)

a. Gambar Ukur (DI. 107) pada prinsipnya adalah dokumen yang memuat data hasil pengukuran bidang tanah yang berupa jarak, sudut, azimuth, nilai koordinat maupun gambar bidang tanah dan situasi sekitarnya. Selain data-data tersebut di atas juga dicantumkan keterangan-keterangan lain yang mendukung untuk memudahkan dalam penatausahaan gambar ukur. Catatan-catatan pada gambar ukur harus dapat digunakan sebagai data rekonstruksi batas bidang tanah apabila karena sesuatu hal titik-titik batas yang ada di lapangan hilang. Penggunaan gambar ukur tidak terbatas pada satu bidang tanah saja, tetapi dapat sekaligus beberapa bidang tanah dalam satu formulir gambar ukur.

b. Batas-batas bidang tanah harus dipetakan / digambarkan pada gambar ukur.

3) Pemetaan bidang-bidang tanah

Pemetaan bidang tanah merupakan proses ploting hasil pengukuran. Proses pemetaan bidang tanah dilakukan secara digital menggunakan Software Pengukuran dan Pemetaan yang telah ditetapkan.

4) Pembuatan peta pendaftaran

Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Pembuatan Peta Pendaftaran dilakukan secara digital dengan menggunakan software pengukuran dan pemetaan yang telah ditetapkan.

5) Pembuatan Surat Ukur (DI. 207)

Surat ukur yang dimaksud menyajikan informasi tekstual tentang lokasi bidang tanah dan informasi grafis tentang bidang tanah tersebut. Surat Ukur dibuat 2 (dua) ekslempar.

6) Pembuatan Daftar Tanah (DI. 203)

a) Semua bidang tanah , baik yang dikuasai oleh perorangan, badan hukum maupun pemerintah dengan sesuatu hak, yang terletak di desa / kelurahan yang bersangkutan harus dibukukan dalam Daftar Tanah.

b) Daftar Tanah dibuat per desa / kelurahan

c) Daftar Tanah dibuat dengan menggunakan Daftar Isian 203. g) Pembuatan Daftar Surat Ukur (DI. 311 B)

(1)Setiap Surat Ukur yang telah diterbitkan dicatat dalam Daftar Surat Ukur / DI. 311 B dan dijilid dalam bentuk buku.

(2)Daftar Surat Ukur memuat data mengenai nomor Surat Ukur, tanggal penerbitan, luas bidang, NIB, nomor Peta Pendaftaran dan nomor kotaknya, letak tanah dan nomor gambar ukur serta keterangan.

3. Pengumpulan data yuridis

Pengumpulan data yuridis dilakukan oleh Satuan Tugas Yuridis yang telah ditetapkan dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun.

a. Mekanisme Pengumpulan Data

1) Persiapan perencanaan, koordinasi dengan Pemerintah Kelurahan/Desa 2) Petugas di Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun :

a) Menerima permohonan hak yang dilampiri atas hak berupa : surat-surat tanah, bukti-bukti perolehan tanah, maupun ijin / rekomendasi berkaitan dengan tanahnya.

b) Meneliti kelengkapan berkas permohonan.

c) Mencatat dalam register permohonan (apabila berkas permohonan telah lengkap)

d) Membuat bukti penerimaan berkas dan diserahkan kepada pemohon.

e) Meneruskan berkas permohonan untuk keperluan Pemeriksaan Tanah oleh SATGAS yuridis.

3) Pemeriksaan tanah

Pemeriksaan tanah dilakukan oleh SATGAS yuridis, dengan mempelajari data administrasi untuk dicocokkan dengan keadaan fisik

tanah di lapangan dan adanya hubungan hukum antara pemohon dengan tanah yang dimohon. SATGAS yuridis melakukan verifikasi data melalui konfirmasi dengan perangkat desa/kelurahan, investigasi melalui tetangga batas atau orang lain yang dapat memberikan keterangan dan atau verifikasi melalui bukti-bukti pemilikan/penguasaan tanah. Hasil pemeriksaan tanah dituangkan dalam bentuk risalah Pemeriksaan Tanah secara kolektif dalam satu Desa/Kelurahan.

4. Pengumuman

Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan atau sanggahan terhadap data fisik dan data yuridis dalam rangka penetapan hak atas nama pemohon/peserta PPAN dan jangka waktu untuk mengajukan keberatan/sanggahan adalah 60 (enam puluh) hari. Pengumuman meliputi peta bidang tanah dengan daftar luas masing-masing bidang dan data kepemilikan tanah. Pengumuman tersebut ditempel di Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun, Kantor Kecamatan Dolok Pardamean. Kecamatan Dolok Silau Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kecamatan Bandar, Kecamatan Perdagangan.

5. Penetapan hak

Berkas permohonan yang telah dilengkapi dengan surat ukur dan daftar permohonan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Kepala Kantor Pertanahan melakukan konversi langsung bagi tanah milik adat yang

surat-surat bukti lengkap dan memenuhi persyaratan dan atau menerbitkan Surat Keputusan Pengakuan Hak bagi tanah milik adat yang surat-surat buktinya tidak ada, tidak lengkap atau meragukan.

6. Pembukuan hak

Permohonan pendaftaran hak dicatat dalam daftar permohonan pendaftaran tanah. Sebelum dilakukan pendaftaran hak, pemohon diwajibkan menyerahkan bukti pelunasan BPHTB dan PPh bagi yang terkena, kemudian hak-hak yang sudah didaftarkan selanjutnya dibukukan dalam Buku Tanah. Kegiatan pembukuan hak ini diperiksa oleh Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak.

7. Penerbitan sertipikat

Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka pembuatan sertipikat membuatkan salinan surat ukur dan menandatangani sertipikat yang bersangkutan. Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan berhalangan, kewenangan penandatanganan sertipikat dilimpahkan kepada Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dengan surat pelimpahan kewenangan. Penerbitan sertipikat diperiksa oleh Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah. Sertipikat PPAN ini ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun.

8. Penyerahan Sertipikat

Penyerahan sertipikat PPAN, untuk seluruh kecamatan yang melaksanakan PPAN dilaksanakan di pendopo Kecamatan Randudongkal pada tanggal 24 September 2007 oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan berkoordinasi dengan

pemerintah desa/kelurahan. Sertipikat diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya. Penyerahan sertipikat PPAN disaksikan oleh pemerintah desa/kelurahan dituangkan dalam berita acara serah terima sertipikat.

BAB IV

KENDALA PELAKSANAAN PROGRAM PROYEK PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL DI

KABUPATEN SIMALUNGUN

A. Kendala dalam Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional di Kabupaten Simalungun

Pada tahun 2007 adalah tahun yang dijanjikan sebagai tahun pelaksanaan program redistribusi lahan melalui PPAN yang sudah disebut-sebut sejak Oktober 2006. Bahkan, diawal tahun 2007, pemerintah mengumumkan kembali jumlah penambahan luas lahan yang akan dibagikan yang tadinya seluas 8.15 juta hektar saja ditambah lagi sejumlah 1.1 juta hektar menjadi total 9.25 juta hektar. Kondisi ini dinilai sebagai suatu kebijakan yang tangap terhadap peningkatan jumlah petani gurem yang selama dua puluh tahun terakhir mengalami peningkatan mencapai 2.2 persen tiap tahunnya.

Namun dalam implementasinya, PPAN tak kunjung terealisasi. Bahkan PPAN ditunda hingga dua kali dan hingga saat ini masih belum ada kejelasan kapan akan mulai dilaksanakan. Selain cacat dari sisi keinginan politik pemerintah, PPAN juga dinilai sebagai fasilitas ekslusif untuk investor mengingat sejumlah 40 persen dari total 9.25 juta hektar lahan tersebut adalah jatah mereka.

Prediksi ke depan mengenai sengketa pertanahan jika tidak ditangani dengan baik, akan melahirkan “revolusi agraria”. Oleh karena itu akar konflik dan sengketa pertanahan bersifat multi-dimensional sehingga tidak bisa dilihat hanya sebagai persoalan agraria atau aspek hukum semata tetapi juga terkait variabel-variabel non hukum. Aspek hukum meliputi antara lain kelemahan regulasi,

sertifikasi tanah secara nasional yang baru mencapai 30 persen, pengaturan tata ruang yang tak kunjung tuntas, serta lemahnya penegakan hukum dan HAM. Variabel-variabel non hukum antara lain politik pertanahan, ledakan jumlah penduduk, kemiskinan (ekonomi), tuntutan pembangunan, perkembangan kesadaran hukum dan HAM masyarakat, faktor budaya, adat istiadat (hukum adat), kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, khususnya teknologi informasi.

Sulit dipungkiri bahwa kondisi agraria Indonesia yang mencuat selama ini adalah konflik agraria yang semakin mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) datang silih berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat adat, dan kaum tani, tak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulanan penggusuran.

Kasus-kasus sengketa agraria ini mencakup sektor-sektor agraria penting seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehutanan, fasilitas umum, konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi, serta kelautan dan pesisir. Melihat kompleksitas sengketa agraria, menyadarkan kita bahwa kondisi agraria di era reformasi belumlah berubah signifikan. Ketimpangan penguasaan tanah serta kekayaan alam lainnya, yang dibumbui konflik agraria dengan dimensi pelanggaran hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya, masih menjadi menu sehari-hari yang belum mampu dituntaskan penyelenggara negara.

Sengketa agraria yang diwarnai kekerasan ini seolah menegaskan kembali perlunya pelaksanaan Pembaharuan agraria nasional sebagai jawaban kunci atas problem agraria. Gagasan mengenai pembentukan mekanisme dan kelembagaan

alternatif yang khusus untuk menyelesaikan konflik agraria terasa semakin relevan.

Akar dari sengketa agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masih kuat diterapkan dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Puncak dari otoritarianisme adalah penggunaan senjata dan alat kekerasan negara (bahkan premanisme) dalam mengusir rakyat dari tanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan.

Mengerasnya sengketa agraria menjadikan problem pokok agraria di Indonesia makin mendesak untuk diselesaikan. Dalam konteks ini, kita perlu Pembaharuan agraria nasional untuk memastikan tanah dan kekayaan alam sungguh dikuasai, dikelola, dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kehendak pemerintah untuk menjalankan Pembaharuan agraria nasional, revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan hendaknya diterjemahkan, salah satunya dalam bentuk mengupayakan secara serius pembentukan dan pembenahan mekanisme serta kelembagaan khusus untuk penyelesaian konflik agraria.

Sebenarnya lahirnya UUPA, diharapkan hanya ada satu hukum tanah (unifikasi) yang berlaku di seluruh Indonesia dan menghapus dualisme hukum bahkan pluralisme hukum yang berlaku sebelumnya, akibat penerapan Pasal 131 dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Disamping itu juga diharapkan UUPA untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sebelum lahirnya UUPA, ketentuan Hukum Agraria Pemerintahan Belanda diatur dalam Agrarische Wet 1870 yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap hak masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat. Padahal keberadaan hak ulayat ini diakui didalam Batang Tubuhnya, dapat dilihat pada Pasal 5 UUPA41

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, bumi, air dan ruang angkasa tersebut,

.

Pengakuan hak ulayat tersebut mengakibatkan adanya pembatasan terhadap hak menguasai dari negara. Hal ini juga dapat dilihat dari Penjelasan Umum UUPA bagian II yang menyatakan bahwa: “ ….kekuasaan negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan hukum, sepanjang kenyataannya masih ada…”.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai ketentuan yang mengatur masalah tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menyatakan negara sebagai penguasa atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak menguasai dari negara ini memberikan wewenang kepadanya Pasal 2 ayat (2) untuk :

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

41

Pasal 5 UUPA: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan kepada persatuan bangsa, sosialisme Indonesia serta dengan peratutan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan peratutan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama”.

Dengan adanya kewenangan dari negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa maka diakui adanya macammacam hak atas tanah Pasal 16 UUPA, dan hak atas tanah ulayat Pasal 3 UUPA, yang mempunyai konsep berbeda dengan pembatasan fungsi sosial Pasal 6 UUPA. Meskipun UUPA mengakui adanya hak ulayat Pasal 3, namun dalam prakteknya sering menimbulkan konflik42

Perdebatan mengenai kedudukan hukum adat dalam hukum agraria nasional menimbulkan polemik seperti : bahwa hukum agraria nasional tidak bisa dipertemukan dengan hukum adat karena keduanya saling bertentangan

.

43

; bahwa hukum agraria nasional, utamanya UUPA didasarkan pada asas-asas hukum adat44 ; bahwa hukum adat sebagai pelengkap bagi hukum agraria nasional45

Pelaksanaan pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pasal 19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk

.

42

Konsep penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan masyarakat adat. Berbagai UU (UUPA,UU No.5 Tahun 1967, UU No.11 Tahun 1967), mendasarkan diri pada konsep hak menguasai negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya, Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, makalah, Kongres AMAN ke-4, 19 April 2012, Tobelo, Halmahera Utara

43

Kartohadiprojo dalam Abdurrahman, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1994), hal.11.

44

Hazairin dan Muhammad Koesnoe dalam Rikardo Simarmata , Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP, 2006), hal.1.

45

Sudargo Gautama dan Boedi Harsono dalam Rikardo Simarmata, ibid dan “bagi mereka hukum adat yang dimaksud oleh UUPA adalah hukum adat yang telah disaring dan dibersihkan dari unsur feodalisme dan kolonialisme.”

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PPAN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1981.

Pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu kegiatan pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pasal 19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PPAN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PPAN bertugas memproses pensertipikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur

Dokumen terkait