DAFTAR PUSTAKA A. Buku
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia “Sejarah Pembentukan Undang -undang pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya”,Djambatan, Jakarta, 2008. Hazairin dan Muhammad Koesnoe dalam Rikardo Simarmata , Pengakuan
Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, Jakarta: UNDP, 2006.
Khan, Azis. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Ruang Kompromi dan Harmonisasi Kepentingan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan: dalam Harijadi Kartidihardjo. dkk., Dibawah satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta: Suara Bebas, cet.I edisi revisi, 2005.
Kartohadiprojo dalam Abdurrahman, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1994.
Parlindungan,AP. Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju,Bandung, 2002. Soejono dan Abdurrahman. Prosedur Pendaftaran Tanah Tentang Hak Milik
Sewa Guna dan Hak Guna Bangunan,Rineka Cipta, Jakarta,1998.
Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010.
Winoto, Joyo. Pembaruan agraria nasional dan Keadilan Sosial, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 2007.
Wiradi, Gunawan. Reformasi Agraria: Perjalanan yang belum berakhir, Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, cet.I, 2001
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara RI Tahun 1958 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negra RI Nomor 1517).
(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4725).
Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;
Keputusan MPR-RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.
C. Jurnal/Artikel
Artikel “Profil Kabupaten Simalungun 2012.pdf” yang dirilis oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun melalui situs resmi diakses pada tanggal 25 Maret 2016 pukul 21.17 WIB
Winoto, Joyo “Pembaruan agraria nasional” Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat, Makalah Seminar Nasional, Penguatan Hak Kepada Rakyat Dalam Pembaruan agraria nasional Melalui Persamaan Hak Memperoleh Hak Atas Tanah, (Magister Kenotariatan Undip,Kanwil BPN Propinsi Jateng, KAPTI & IMMK, Semarang, 15 Mei 2008).
Soni Harsono, Pokok-Pokok Kebijaksanaan Bidang Pertanahan Dalam Pembangunan Nasional. Analisis CSIS: XX (2) Maret-April 1991, hal 80-104. Artikel ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5), dan (6) jo Pasal 2 ayat (1) UUPA dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Agraria mengandung makna yang luas, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Maria S.W Sumardjono, Transitional Justice atas Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta: Komnas HAM, 2001.
________________, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Surat Kabar harian Kompas, Jakarta, 24 September 2001.
________________, Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan lokakarya nasional Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, (Bandung: ITB-UNPAD, 2001), 14-16 September, hal.9.
H.S. Dillon, Pembaruan Agraria sebagai alat demokrasi HAM, keadilan di Indonesia, makalah pada semiloka Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, (Bandung, 2001). 14-16 September, 2001.
Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara: Kajian Kritis Atas Kebijakan Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Umum, Yogyakarta, 2001.
D. Website
Joyowinoto. https://.wordpress.com/2013/08/21/
12/April/2016
BAB III
PELAKSANAAN PROGRAM PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL
(PPAN) DI KABUPATEN SIMALUNGUN
A. Gambaran Umum Kabupaten Simalungun
1. Geografis Wilayah
Kabupaten Simalungun yang secara Adminstratif Pemerintahan terdiri dari
31 Kecamatan dengan 345 Desa, 22 Kelurahan dengan perincian sebagai berikut:
4.386,60 km2 (6,12%) dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara. Kecamatan
yang paling luas adalah kecamatan Tanah jawa dengan luas 49.175 ha, sedangkan
yang paling kecil luasnya adalah kecamatan Dolok Pardamean dengan luas 9.045
ha. Keseluruhan kecamatan terdiri dari 306 desa dan 17 kelurahan. Di Kabupaten
ini juga terdapat sebuah Universitas, yaitu Universitas Simalungun, tepatnya di
jalan Sisingamangaraja. Batas wilayah Simalungun :
1. Disebelah utara Kabupaten Deli Serdang
2. Disebelah timur Kabupaten Asahan
3. Disebelah selatan Kabupaten Tapanuli Utara termasuk Pulau Samosir.
4. Disebelah barat Kabupaten Karo
Tinggi tanah Simalungun dari permukaan laut berkisar antara 40-1.400 m
dan gunung yang tertinggi 2245 m. Suhu udara termasuk sedang, hujan banyak
turun, angin berhembus dari dua jurusan dinamakan angin bahorok,dan angin
Sektor pertanian dan hasil perkebunan menjadi komoditi utama yang
dihasilkan di Kabupaten Simalungun. Penggunaan lahan secara keseluruhan
didominasi untuk sektor pertanian dan perkebunan. Hal ini sesuai dengan data
yang dirilis dalam artikel “Profil Kabupaten Simalungun Tahun 2012” yang
diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun mengenai luas keseluruhan
lahan yang dimanfaatkan untuk sektor pertanian dan perkebunan yaitu sebesar
346.195 Ha atau 78,92 % dari total wilayah Kabupaten Simalungun21
Kecamatan Raya merupakan daerah yang menjadi Kota pendidikan di
Kabupaten Simalungun. Selain kota pendidikan daerah-daerah yang menjadi desa
di kecamtan ini merupakan penghasil hasil pertanian yang cukup produktif yakni
jahe dan kopi sebagai komoditi andalan. Secara statistik lebih dari 60 persen lahan
di kecamtan Raya merupakan lahan pertanian non sawah. Kecamatan ini memiliki
luas 328,50 Km2, Ibukota Kabupaten Simalungun teletak di kecamatan ini dengan
letak geografis sebagai berikut :
Selama
tahun 2012, Kabupaten Simalungun menghasilkan antara lain 440.992 ton padi,
383.813 ton jagung, dan 336.555 ton ubi kayu 25 Artikel “Profil Kabupaten
Simalungun 2012.pdf” yang dirilis oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun
melalui situs resmi yang menjadikan Kabupaten Simalungun sebagai penghasil
padi, jagung, dan ubi kayu terbesar di Sumatera Utara. Produksi tanaman pangan
lainnya yang cukup besar dari kabupaten ini adalah kedelai, kacang tanah, dan ubi
jalar.
22
21
Artikel “Profil Kabupaten Simalungun 2012.pdf” yang dirilis oleh Pemerintah
Kabupaten Simalungun melalui situs resmi
Maret 2016 pukul 21.17 WIB.
22
a. Utara berbatasan dengan Kecamatan Raya Kahean dan Kecamatan Silou
Kahean,
b. Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dolok Pardamean,
c. Barat berbatasan dengan Kecamatan Purba dan Kecamatan Dolok Silou, -
Timur berbatasan dengan Kecamatan Panombeian Panei.
Desa-desa Kecamatan Raya berada pada ketinggian 251-1400 meter di
atas permukaan laut. Berdasarkan topografinya daerah ini berada di wilayah
perbukitan, dimana sekitar 53,80 % dari keseluruhan wilayah berada pada
ketinggian 751-1000 m di atas permukaan laut. Menurut kemiringan/ kelerengan
tanah, wilayah kecamatan Raya terletak pada lahan yang terjal, dengan sekitar
57,72 % lahan berada pada kemiringan di atas 15%.
Kecamatan Raya mencakup 17 nagori/desa yaitu: Nagori Dolog Huluan,
Raya Usang, Raya Bayu, Dalig Raya, Merek Raya, Bahapal Raya, Sondi Raya,
Bah Bolon, Raya Huluan, Siporkas, Silou Huluan, Silou Buttu, Bonguron
Kariahan, Sihubu Raya, Raya Bosi, Simbou Baru, Bintang Mariah dan 1
kelurahan, yaitu Kelurahan Pematang Raya.
2. Etnik dan penduduk
Suku Simalungun adalah salah satu suku asli dari Sumatera utara.
Simalungun berarti ‘sunyi’. Nama itu diberikan oleh orang luar karena pada saat
itu penduduknya sangat jarang dan tempatnya sangat berjauhan antara yang satu
dengan yang lain.
Penduduk asli kabupaten Simalungun adalah suku simalungun. Jumlah
tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistic orang
Simalungun adalah penduduk peringkat mayoritas ke-tiga di kabupaten
Simalungun, setelah orang jawa dan orang yang berasal dari Toba. Orang
Simalungun justru diperkirakan lebih banyak tingggal di luar wilayah
Simalungun. Sedangkan suku pendatang di simalungun adalah suku jawa dan
suku batak toba.
Orang batak toba menyebutnya ‘Balungun’ dan orang Karo menyebutnya
batak timur karena bertempat disebelah timur daerah Karo. Terdapat empat marga
asli Simalungun yang populer dengan singkatan SISADAPUR,yaitu:
1. Sinaga
2. Saragih
3. Damanik
4. Purba
Dari keempat marga tersebut, tiap–tiap marga memiliki pembagian jenis
lagi. Orang Simalungun tidak mementingkan soal ‘silsilah’ dalam adat, Karena
penentu tutur Simalungun adalah tempat asal nenek moyang dan kedudukan atau
peran dalam acara adat.
Sebelum masuknya missionaris agama Kristen pada tahun 1903, penduduk
Simalungun bagian timur pada umumnya sudah banyak menganut agama Islam,
sedangkan Simalungun barat menganut animisme (Kepercayaan yang
berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari ‘datu’(dukun) disertai
persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului
dewa ditengah (dilambangkan dengan warna merah)dan dewa dibawah
(Dilambangkan dengan warna hitam).
Tiga warna yang mewakili warna buat dewa tersebut (putih, merah, hitam)
mendominasi berbagai ornamen suku suku Simalungun dari pakaian sampai
hiasan rumah. Ajaran Hindu dan Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di
Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang
ditemukan di berbagai tempat di Simalungun yang menggambarkan makna
Trimurti (Hindu) dan sang Budha yang menunggangi gajah (Budha).
Sistem pemerintahan pada zaman dahulu dipimpin oleh seorang raja.
Sebelum pemberitaan injil masuk, tuan rajalah yang sangat berpengaruh. Orang
Simalungun menganggap bahwa anak raja itu Tuhan dan raja adalah Allah yang
kelihatan.
Sesuai dengan keadaan tanahnya yang subur serta curah hujan yang cukup
banyak, maka pada umumnya mata pencaharian pokok penduduk simalungun
adalah bertani. Masyarakat simalungun bercocok tanam diladang atau disawah.
Pada umumya mereka menanam padi. Kemudian mereka merawat dan
membersihkan rumputnya dengan cara bergotong royong. Selain itu mereka juga
menanam sayur – sayuran dan buah – buahan.23
B. Objek dan Subjek Program Pembaharuan Agraria Nasional
1. Objek Pembaharuan Agraria Nasional
Tanah merupakan komponen dasar dalam Pembaharuan agrarian nasional,
nasional adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek Pembaharuan agraria
nasional. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi
keberhasilan Pembaharuan agraria nasional. Salah satu contoh sumber tanah objek
Pembaharuan agraria nasional adalah yang terletak di Kabupaten Simalungun.
Menurut Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi
tanah negara akan menjadi salah satu objek Pembaharuan agraria nasional.
Untuk menunjang keberhasilan PPAN, maka tanah atau objek PPAN harus
tersedia dalam jumlah yang memadai dan dengan kualitas yang baik. Demikian
pula jangka waktu penyediaan tanahnya tidak boleh terlalu lama, dengan cara
yang sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan sejalan dengan tahapan
perencanaan yang telah ditentukan.
Tanah-tanah objek PPAN pada dasarnya adalah tanah negara yang
menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek
Pembaharuan agraria nasional. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas,
tanah-tanah yang dapat dijadikan sebagai objek Pembaharuan agraria nasional
adalah :
1. Tanah yang haknya tidak diperpanjang atau tidak mungkin diperpanjang;
2. Tanah bekas hak Barat yang terkena ketentuan konversi;
3. Tanah yang berasal dari pelepasan hak;
23
4. Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan dan atau yang tidak
sejalan dengan keputusan pemberian haknya;
5. Tanah objek landreform; 6. Tanah bekas objek landreform; 7. Tanah timbul;
8. Tanah bekas kawasan pertambangan
9. Tanah yang dihibahkan oleh Pemerintah untuk Pembaharuan agraria
nasional;
10.Tanah tukar menukar dari dan oleh Pemerintah;
11.Tanah yang diadakan oleh Pemerintah untuk Pembaharuan agraria
nasional;
12.Tanah pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi;
13.Tanah yang sudah dilepaskan dari kawasan kehutanan menjadi tanah
negara yang pemanfaatan tanahnya tidak sesuai dengan peruntukannya.
Banyak terjadi sengketa atas tanah bekas milik partikelir seperti di
Kabupaten Simalungun. Sengketa-sengketa yang terjadi itu adalah akibat
terjadinya mutasi (pergantian) penguasa tanahnya yang tidak diikuti dengan
penyelesaian administratif, bahkan sering terjadi pemegang hak semula sudah
tidak diketahui lagi. Dari segi administrasi pajak dapat terjadi terhadap sebidang
tanah yang sudah berkali-kali mengalami perubahan objek pajak, tetapi dari segi
hukum belum terjadi pergantian pemegang haknya sebagaimana diatur dalam PP
tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Masalah ini mengakibatkan tidak adanya
suatu kepastian dari segi hukum.
Hal yang sama juga sering terjadi terhadap tanah-tanah yang melebihi
batas luas maksimum dan tanah-tanah “absentee” yang didistribusikan tahun 1960, yang ternyata baru dilakukan pembayaran ganti-ruginya sejak tahun 1980.
Berdasarkan UU No.1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir
dan diikuti dengan pembayaran ganti-rugi kepada pemiliknya terlalu lama sejak
dikelurkannya UU tsb, yaitu baru sekitar tahun 1980 (sampai saat ini). Jangka
waktu tersebut terlalu lama mengendapkan masalah ganti-rugi yang akibatnya
belakangan ini juga masih dirasakan dan erat kaitannya dengan perubahan harga
tanah yang dalam waktu yang begitu lama itu.
Akibat dari kondisi yang disebutkan di muka adalah terjadinya komplikasi
yang akhirnya menimbulkan sering terjadinya manipulasi dalam bidang
pertanahan antara lain munculnya sertifikat palsu, sertifikat aspal (asli tapi palsu),
dan sertifikat ganda. Ketiga jenis manipulasi tersebut telah banyak terjadi di
masyarakat, padahal sertifikat tanah adalah bukti hak atau alat pembuktian
pemilikannya, sehingga merupakan dokumen yang sangat bernilai.
Pemalsuan-pemalsuan semacam itu sebenarnya sudah masuk ke wilayah perbuatan kriminal
seperti halnya juga terhadap pemalsuan uang, paspor atau ijazah24
2. Subjek Pembaharuan Agraria Nasional
.
Pada dasarnya subjek Pembaharuan Agraria Nasional adalah penduduk
miskin di perdesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk
24
miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang
terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin
dari daerah lain (perdesaan dan perkotaan).
Berbagai upaya perbaikan dan peningkatan dalam bidang agraria, yaitu
tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama petani,
masih jauh dari angan-angan kesejahteraan. Dari tahun ke tahun penguasaan tanah
oleh petani semakin menurun. Di sisi lain penguasaan sumber-sumber agraria
meningkat oleh beberapa orang saja atau pihak dan para pemilik modal, karena
didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada bidang perkebunan,
kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Dan di sisi lain, konflik
agraria terus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Saat ini PPAN kurang berhasil mengatasi kemiskinan, terutama untuk
petani. Seperti konflik yang terjadi di Mesuji dan pertambangan di Bima, itu pun
dua dari 163 kasus agraria yang terjadi selama tahun 2011 lalu. Hal itu terjadi
karena masyarakat yang ada di daerah tersebut merasa khawatir eksplorasi
tambang emas di atas tanah masyarakat itu akan mengganggu mata pencaharian
mereka.
Selama ini pemerintah belum menjalankan PPAN dengan sebagaimana
semestinya yang telah menjadi mandat TAP MPR No. 9 Tahun 2001. UUPA yang
sebagai hukum agraria nasional masih hanya sebatas kebijakan di atas kertas.
Belum ada usaha secara konsisten dan signifikan untuk mengimplementasikan isi
dari undang-undang tersebut. Sehingga masih banyak persoalan agraria yang
kaum tani di pedesaan atas pemilikan dan penguasaan tanah yang adil dan
mensejahterakan kehidupan mereka.
Secara rasional PPAN akan memberikan pengaruh terhadap laju tingkat
kesejahteraan masyarakat yang mendapatkannya. Pembaharuan agraria nasional
merupakan agenda bangsa yang diharapkan dapat memberikan titik terang untuk
terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat serta
diharapkan dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar petani) beranjak
dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak dan lebih sejahtera.
C. Mekanisme Program Pembaharuan Agraria Nasional di Kabupaten
Simalungun
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria sebagai
peraturan dasar yang mengatur pokok-pokok keagrariaan dan merupakan landasan
Hukum Tanah Nasional tidak memberikan pengertian yang tegas baik mengenai
istilah “tanah” maupun istilah “agraria”.25
25
Ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5), dan (6) jo Pasal 2 ayat (1) UUPA dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian Agraria mengandung makna yang luas, yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Untuk mengoperasionalkan konsep
Pembaharuan agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan
arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogianya bersifat
holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi
tujuan Pembaharuan agraria. Untuk mengoperasionalkan konsep pembaharuan
agraria, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang
Prinsip-prinsip dasar Pembaharuan agrarian, antara lain:26
1. Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-sumber
agraria merupakan hak ekonomi setiap orang
2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum
setempat (pluralisme);
3. Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
(keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antargenerasi, serta
pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria
yang menjadi ruang hidupnya);
4. Fungsi sosial dan ekologi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya;
bahwa hak yang dipunyai seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi
yang bersangkutan karena haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak
masyarakat yang lebih luas;
5. Penyelesaian sengketa pertanahan;
6. Pembagian tanggung jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan
manajemen sumber-sumber agraria;
7. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan;
8. Landreform/restrukturisasi dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan sumber
9. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria;
10.Pembiayaan program-program Pembaharuan agraria
26
Ketentuan Pasal 4 Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang
Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menetapkan duabelas
prinsip Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, sebagai berikut:
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasikan
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pernanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap
memperhatikan daya tampung dan, daya dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan
kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan
antardaerah dalam pelaksanaan Pembaharuan agraria dan pengelolaan
j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
(pusat, daerah provinsi, Kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat),
masyarakat dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, Kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber
daya alam.
Dimuatnya keduabelas prinsip Pembaharuan agraria tersebut dalam
Ketetapan MPR mengharuskan prinsip-prinsip itu dijadikan acuan dalam
penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perlunya upaya
pengkajian ulang dan harmonisasi terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral, yaitu melakukan upaya pencabutan, penggantian, atau
penyempurnaan undang-undang sektoral di bidang keagrariaan.27
Dalam kaitannya dengan perundang-undangan di bidang agraria,
khususnya dalam hal penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, maka seyogianya
undangundang itu mengacu pada prinsip-prinsip28:
27
Maria S.W Sumardjono, Penyempurnaan UUPA dan Sinkronisasi Kebijakan, Surat Kabar harian Kompas, Jakarta, 24 September 2001, hal. 2.
28
a. Prinsip kebangsaan;
b. Hubungan hukum antara negara, pemerintah, masyarakat, dan individu
dalam kaitannya dengan sumber daya agraria;
c. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
hukum adat, baik dalam dimensi global, dimensi nasional, maupun
dimensi regional;
d. Prinsip landreform;
e. Prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah;
f. Akomodasi hukum adat (pluralisme dalam unifikasi hukum);
g. Fungsi sosial dan fungsi ekologis atas sumber daya agraria;
h. Prinsip keadilan, baik keadilan antargenerasi maupun keadilan gender
dalam perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria;
i. Pemberlakuan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumber
daya agraria.
Dimuatnya keduabelas prinsip Pembaharuan agraria tersebut dalam
Ketetapan MPR mengharuskan prinsip-prinsip itu dijadikan acuan dalam
penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam. Hal ini membawa konsekuensi terhadap perlunya upaya
pengkajian ulang dan harmonisasi terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral, yaitu melakukan upaya pencabutan, penggantian, atau
Dalam kaitannya dengan perundang-undangan di bidang agraria,
khususnya dalam hal penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA, maka seyogianya
undang-undang itu mengacu pada prinsip-prinsip29
a. Prinsip kebangsaan;
:
b. Hubungan hukum antara negara, pemerintah, masyarakat, dan individu
dalam kaitannya dengan sumber daya agraria;
c. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat
hukum adat, baik dalam dimensi global, dimensi nasional, maupun
dimensi regional;
d. Prinsip landreform;
e. Prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah;
f. Akomodasi hukum adat (pluralisme dalam unifikasi hukum);
g. Fungsi sosial dan fungsi ekologis atas sumber daya agraria;
h. Prinsip keadilan, baik keadilan antargenerasi maupun keadilan gender
dalam perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria;
i. Pemberlakuan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan sumber
daya agraria.
Prinsip-prinsip di atas merupakan reorientasi atas prinsip-prinsip yang
terdapat dalam UUPA selama ini, dan diselaraskan dengan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam Tap MPR tentang Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber
daya alam. Dengan mengacu pada falsafah bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar
29
kemakmuran rakyat, maka sinergi yang baik antara prinsip-prinsip UUPA yang
ada selama ini dengan prinsip-prinsip Pembaharuan agraria, diharapkan dapat
mencapai tujuan penyempurnaan UUPA, yaitu keadilan, efisiensi, serta
pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan.
Atas dasar prinsip-prinsip Pembaharuan agraria di atas, maka Pasal 5 Tap
MPR No. IX/MPR/2001 menetapkan arah kebijakan Pembaharuan agraria sebagai
berikut.
a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
b. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi
konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan
hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip Pembaharuan agraria dan
pengelolaan sumber daya alam;
c. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat;
d. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelaksanaan Pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik
sumber daya agraria yang terjadi;
f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan program Pembaharuan agraria dan penyelesaian
konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.
Selanjutnya, menurut Maria S.W. Sumardjono30 apabila arah kebijakan
pembangunan dipandang sebagai "raga," maka prinsip-prinsip Pembaharuan
agraria perlu diakomodasi sebagai landasan yang akan berfungsi sebagai "jiwa"
yang akan menjadi dasar untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Pembangunan
yang berlandaskan pada konsep Pembaharuan agraria harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut31
a. Cara pandang dan tindakan berkenaan dengan tanah. Tanah tidak boleh
diperlakukan secara eksklusif, tetapi harus dilihat sebagai satu subsistem
dari keseluruhan sistem berkenaan dengan penguasaan/pemanfaatan
sumber daya agraria/sumber daya alam dan dikelola sesuai dengan
prinsip-prinsip Pembaharuan agraria tersebut di atas. Dengan demikian, dapat
dihindarkan tumpang tindih dan inkonsistensi antar peraturan
perundang-undangan sektoral. Pembaharuan agraria memerlukan reformasi di bidang
hukum yang terkait dengan sumber daya agraria/sumber daya alam. : .
30
Maria S.W Sumardjono, Arti Strategis Pembaruan Agraria, sebagai landasan pembangunan, makalah pada seminar dan lokakarya nasional Pengelolaan SDA berkelanjutan yang ramah lingkungan dan Pembaruan Agraria untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, (Bandung: ITB-UNPAD, 2001), 14-16 September, hal.9.
31
b. Di masa yang akan datang kesempatan untuk menggantungkan hidup dari
sumber-sumber pertanian akan semakin berkurang, maka untuk
mendukung Pembaharuan agraria, pelaksanaan program Pembaharuan
agraria perlu dilengkapi dengan penciptaan sumber pendapatan dan
peluang kerja, di samping program pendukung lainnya.
c. Berbagai konflik untuk memperebutkan sumber daya alam antarberbagai
kelompok kepentingan akan semakin meningkat, baik dalam skala lokal
maupun regional. Perlu diupayakan cara-cara penanggulangannya.
d. Dengan semangat otonomi, perlu meningkatkan tanggung jawab daerah
dalam merancang bersama alokasi dan penatagunaan tanah.
e. Untuk mendorong pelaksanaan Pembaharuan agraria, diperlukan
keberadaan suatu lembaga yang berkomitmen dan bertanggung jawab
penuh terhadap pelaksanaannya, dengan dukungan pembiayaan yang
memadai.
f. Pendekatan, sikap, dan perlakukan terhadap hukum adat dan masyarakat
hukum adat. Perlu pendekatan baru dalam menyikapi hukum adat pada
saat kini dengan memperhatikan kecenderungan global, nasional, dan lokal
dalam upaya mengakomodasi prinsip-prinsip hukum adat ke dalam tatanan
hukum positif. Hak masyarakat hukum adat atas tanah milik bersama, hak
cipta serta hak-hak lain yang terkait dengan pengetahuan tradisional
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, harus dihormati dan
Pada intinya, keduabelas prinsip Pembaharuan agraria yang terdapat dalam
Tap MPR No. IX/MPR/2001 itu, jika diringkas akan berpangkal pada tiga prinsip
utama32
a. Prinsip demokratis, dalam dimensi kesetaraan antara pemerintah dengan
rakyat, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan pemerintahan yang
bersih (good governance) dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria;
:
b. Prinsip keadilan, dalam dimensi filosofis baik keadilan intergenerasi
maupun keadilan antargenerasi dalam upaya mengakses sumber daya
agraria;
c. Prinsip keberlanjutan, dalam dimensi kelestarian fungsi dan manfaat yang
berdaya guna dan berhasil guna.
Ketiga prinsip utama sebagai rangkuman dari dua belas prinsip
Pembaharuan agraria di atas, saling terkait, tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lainnya. Manakala berbicara prinsip demokrasi, maka terkandung di
dalamnya makna prinsip keadilan. Manakala berbicara prinsip keadilan,
terkandung di dalamnya makna prinsip keberlanjutan.
Pemahaman normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal
hendak dilakukan oleh suatu negara. Sementara itu, dalam pemahaman empiris
(procedural democracy), merupakan demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan politik praktis. Keadilan adalah ukuran yang dipakai dalam
memperlakukan objek (manusia) di luar diri seseorang. Ukuran tersebut tidak
32
dapat dilepaskan dari arti yang diberikan pada manusia.33 Sementara itu,
memahami keberlanjutan dalam kaitannya dengan lingkungan alam akan selalu
berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Dalam hal ini ada syarat keharusan
(necessary condition) bagi keberlanjutan ekonomi yang harus dipenuhi, yaitu bahwa lingkungan alam tempat perekonomian itu berkembang harus dijaga agar
terus menerus memberikan manfaatnya.34
Berbicara mengenai demokrasi berarti berbicara mengenai kemerdekaan
dan kesetaraan, karena kemerdekaan dan kesetaraan adalah prinsip dasar
demokrasi. Kemerdekaan berarti bebas dari hegemoni politik dan
(ketergantungan) ekonomi. Kesetaraan berarti bebas dari diskriminasi atas
kesetaraan hak dan peluang, artinya demokrasi bertujuan untuk menegakkan
keadilan, yang bermakna diakhirinya segala bentuk diskriminasi terhadap manusia
dan alam semesta.
Menurut H.S. Dillon dengan kegiatan
perekonomian yang berkelanjutan dan dilakukan dengan mengacu pada
norma-norma yang demokratis, maka keadilan dalam kegiatan ekonomi pun dapat
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
35
33
Satjipto Rahardjo, Op Cit, hal.165.
34
Azis Khan, Pengelolaan Sumber Daya Alam: Ruang Kompromi dan Harmonisasi Kepentingan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan: dalam Harijadi Kartidihardjo. dkk., Dibawah satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, (Jakarta: Suara Bebas, cet.I edisi revisi, 2005), hal. 83.
35
H.S. Dillon, Pembaruan Agraria sebagai alat demokrasi HAM, keadilan di Indonesia, makalah pada semiloka Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, (Bandung, 2001), hal. 4. 14-16 September, 2001
Dalam hal ini pengertian demokrasi bukan lagi sekadar
berbicara mengenai format demokrasi politik formal, mencakup format demokrasi
ekonomi untuk peningkatan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Jika
membebaskan rakyat dari keterbelengguan, dan menuju penguatan otonomi rakyat
di segala bidang (ekonomi, politik, sosial-budaya, dan sebagainya).36
Atas dasar kedua ketentuan dalam kedua buah konvenan di atas, maka
dalam kaitannya dengan aspek hak-hak penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, pelaksanaan pengakuan, Dalam konteks permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini, maka
demokrasi harus dapat mengakhiri dan/atau mengoreksi ketidakadilan struktural
dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber
daya agraria lainnya yang terjadi sebagai warisan pemerintahan orde baru dan
hingga kini masih kerap terjadi.
Dari sisi hak asasi manusia, hal di atas merupakan bentuk pelanggaran
massal atas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya terbesar bagi rakyat
Indonesia yang termarjinalkan oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan
negara di bidang tanah dan sumber daya agraria/alam. Baik dalam article 25 dari
international Convenant on Economic, Social and Cultural Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, maupun dalam article
47 dari International Convenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, sama-sama
menegaskan bahwa:
Nothing in the present convenant shall be interpreted as impairing the inherent rights of all peoples to enjoy and utilize fully and freely their natural wealth and resources.
36
penghormatan, dan perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak-hak yang melekat
pada seluruh masyarakat untuk menikmati secara penuh dan bebas atas kekayaan
dan sumber daya alam mereka atas dasar kondisi di atas, tidak mungkin
membangun demokrasi dan keadilan tanpa upaya Pembaharuan agraria sehingga
Pembaharuan agraria merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang sedang
membangun seperti Indonesia, bahkan bagi negara yang meskipun pemerintahnya
mempraktikkan paradigma modernisasi.37
Dalam hal prinsip demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya, hal tersebut ditentukan oleh
sejauh mana peran serta masyarakat dapat tumbuh dan berkembang secara adil.
Dalam hal ini peran serta masyarakat harus ditafsirkan sebagai hak dasar dari
rakyat untuk terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses
perumusan kebijakan. Keterlibatan itu dapat dimulai sejak tahap perencanaan,
pelaksanaan, sampai dengan tahap pengawasan. Pemahaman demokrasi tidak
dapat disederhanakan hanya sebagai mekanisme pengambilan kebijakan saja,
lebih dari itu
Jika dipahami bahwa Pembaharuan agraria merupakan suatu upaya
merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan
sumber daya agraria lainnya, maka ketiga prinsip utama di atas harus menjadi
landasan segala upaya restrukturisasi.
38
37
Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria: Perjalanan yang belum berakhir, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal.4.
38
Tim Lapera, Otonomi Pemberian Negara: Kajian Kritis Atas Kebijakan Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Umum, Yogyakarta, 2001, hal.47.
a. Demokrasi itu berkaitan dengan input atau sumber-sumber aspirasi,
gagasan, dan potensi. Dari mana aspirasi digali, siapa yang mengontrol
sumber daya yang ada yang akan menjadi input proses pembangunan.
b. Demokrasi itu berkaitan dengan proses, yakni tentang bagaimana
pengambilan keputusan dilakukan, siapa yang terlibat dan bagaimana
proses tersebut dijalankan.
c. Demokrasi juga berkaitan dengan output, artinya bagaimana output dari
suatu proses didistribusikan. Siapa yang paling mempunyai akses untuk
mengontrol distribusi.
Ketiga pemahaman demokrasi di atas merupakan segi-segi dasar dari
proses demokrasi itu sendiri, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan
ketiga pemahaman demokrasi tersebut, dapat dilihat misalnya, apakah pemerintah
dalam menjalankan kekuasaannya sudah mencerminkan keadilan, atau bagaimana
pola hubungan antara penguasa dengan rakyat dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria.
Demokratisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, serta pemanfaatan
tanah dan sumber daya agraria tidak mungkin dilaksanakan jika hak-hak
masyarakat terutama masyarakat hukum adat dan lokal yang selama ini tertindas,
tidak diupayakan untuk dipulihkan. Akses masyarakat terhadap sumber daya
agraria harus dibuka lebar untuk mewujudkan keadilan agraria sebagai kata kunci
Pelaksanaan pensertipikatan tanah melalui PPAN dengan syarat-syarat
permohonan sebagai berikut :39
1. Permohonan konversi / pengakuan hak
2. Kutipan / fotokopi C desa yang bersangkutan
3. Bukti pemilikan / perolehan hak atas tanah yang bersangkutan
4. Keterangan Lurah tentang riwayat kepemilikan tanah dan tidak sengketa
5. Pernyataan diri dari pemohon
6. Identitas pemohon / KTP atau KK
7. Bukti pelunasan pembayaran SPPT
8. Keterangan ahli waris apabila pemohon adalah ahli waris
Tahapan pelaksanaan PPAN yang harus dilalui di Kabupaten Simalungun
dapat diuraikan sebagai berikut :40
1. Penetapan lokasi
Lokasi yang ditetapkan sebagai pelaksanaan PPAN di Kabupaten Simalungun
diarahkan pada kelurahan/desa yang memenuhi kriteria, antara lain:
a. Kondisi wilayah :
1) desa miskin/tertinggal;
2) daerah pertanian subur atau berkembang;
3) daerah penyangga kota, pinggiran kota atau daerah miskin kota;
4) daerah pengembangan ekonomi rakyat;
39
Hasil wawancara dengan Partomuan Tambunan, selaku Kepala Seksi Pengaturan, Penguasaan Tanah, Koordinator Program Pembaharuan Agraria Nasional Kabupaten Simalungun, tanggal 1 September 2016.
40
5) daerah permukiman padat penduduk serta mempunyai potensi cukup
besar untuk dikembangkan;
6) daerah diluar sekeliling transmigrasi;
7) daerah penyangga daerah Taman Nasional;
8) daerah permukiman baru yang terkena pengembangan prasarana umum
atau relokasi akibat bencana alam.
b. Sarana dan prasarana yang ada
Berdasarkan kondisi daerah dan ketersediaan sarana dan prasarana, lokasi
kegiatan PPAN di Kabupaten Simalungun ditetapkan atas seluruh atau
sebagian bidang tanah di dalam lokasi kelurahan/desa, baik yang
merupakan tanah non pertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2, dan
tanah pertanian dengan luas sampai 5 Ha, yang dimiliki oleh masyarakat
golongan ekonomi lemah sampai menengah, meliputi : tanah bekas milik
ulayat yang dimiliki/dikuasai oleh perorangan yang lokasi tanahnya berada
dalam lokasi yang telah ditetapkan.
Mekanisme penetapan lokasi PPAN di Kabupaten Simalungun
dilaksanakan pada tanggal 1 Juni sampai dengan 19 Juni tahun 2014, yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan Kecamatan calon lokasi PPAN
kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi
b. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi menerbitkan Surat Keputusan
Kecamatan Lokasi PPAN, dan menyampaikan surat keputusan tersebut
BPN-RI c.q. Sekretaris Utama dan Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran
Tanah.
c. Kepala Kantor Pertanahan menetapkan lokasi kelurahan/desa di dalam
wilayah kecamatan lokasi PPAN sebagaimana dimaksud dalam Surat
Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dengan menerbitkan
Surat Keputusan.
Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Simalungun tahun anggaran 2015
dilaksanakan sebanyak 875 bidang dari 2.800 target sertipikat yang
tersebar di 10 Kecamatan yaitu : Kecamatan Silimakuta, Kecamatan Purba,
Kecamatan Dolok Pardamean, Kecamatan Pematang Sidamanik,
Kecamatan Tanah Jawa, Kecamatan Dolok Panribuan, Kecamatan Panei,
Kecamatan Jorlang Hataran, Kecamatan Raya dan Kecamatan Dolok Silau.
Mekanisme penetapan calon peserta/subjek PPAN dilaksanakan pada
bulan Mei adalah sebagai berikut :
a. Kepala Desa/Lurah yang diketahui Camat mengusulkan calon Peserta
PPAN sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan, kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota memeriksa dan mengkaji
usulan tersebut.
c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota menerbitkan Surat Keputusan
tentang calon peserta PPAN dengan memperhatikan usulan Kepala Desa /
2. Penyuluhan
Sebelum pelaksanaan kegiatan pengumpulan data yuridis dan fisik,
diadakan penyuluhan untuk memberikan penjelasan program, tujuan serta
manfaat, persyaratan permohonan hak, objek dan subjek kegiatan PPAN, hak dan
kewajiban peserta PPAN sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang
berlaku. Penyuluhan bertujuan untuk memberitahukan kepada pemilik tanah atau
kuasanya atau pihak lain yang berkepentingan bahwa di kelurahan/desa tersebut
akan diselenggarakan kegiatan PPAN. Diharapkan dengan adanya penyuluhan
tersebut dapat meningkatkan partisipasi, antusiasme dan kepedulian masyarakat
khususnya pemilik tanah untuk ikut serta sebagai peserta PPAN, dan membantu
kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pelaksana penyuluhan adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota
bertanggungjawab atas terselenggaranya penyuluhan sedangkan pelaksanaan
dapat dibantu oleh suatu Tim Penyuluh / Tim Customer Relation Services yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten /
Kota lokasi PPAN.
Kegiatan penyuluhan dapat dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat
aparat pemerintah desa / kelurahan sampai masyarakat pemilik tanah. Maksud
penyuluhan kepada aparat tersebut untuk memberikan informasi dan pengetahuan
mengenai kegiatan PPAN dan manfaatnya. Setelah itu dilakukan penyuluhan
kepada masyarakat dengan bantuan aparat kelurahan/desa. Tahap awal melakukan
penyuluhan kepada pemuka masyarakat, lurah / kepala desa, ketua LKMD/K,
informal (tokoh masyarakat, pemuka agama, dan ketua organisasi sosial lainnya)
dan calon peserta PPAN yang dilaksanakan di Pendopo kecamatan
masing-masing. Tahap Kedua melakukan penyuluhan kepada kelompok masyarakat
pemilik tanah atau peserta PPAN yang dilaksanakan di balai desa masing-masing.
Kegiatan penyuluhan dilakukan secara langsung melalui ceramah dan dilanjutkan
dengan diskusi dan tanya jawab.
3. Pengukuran dan Pemetaan
Kegiatan pengukuran dan pemetaan dalam pelaksanaan PPAN meliputi :
a. Pemasangan KDKN Orde 3
Kerangka Dasar Kadastral Nasional yaitu titik pengikat dalam sistem
pengukuran sebagai dasar pembuatan kerangka pemasangan patok. Dalam
bidang Pendaftaran Tanah, titik dasar teknik yang didefinisikan sebagai titik
tetap yang memiliki koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan
perhitungan dalam suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem
tertentu.
b. Pengukuran bidang
1) Penetapan batas bidang tanah
Sebelum dilaksanakan pengukuran atas suatu bidang tanah, pemegang
hak atas tanah harus memasang tanda batas pada titik-titik sudut batas
serta harus ada penetapan batasnya terlebih dahulu. Satuan tugas fisik
adalah petugas ukur yang bekerja atas nama Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Penetapan batas tanah dibedakan atas Tanah Hak dan
2) Penetapan batas tanah hak
a. Prinsip dasar penunjukan batas-batas bidang tanah dan pemasangan
tanda batasnya dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atau
kuasanya, dan berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak atas
tanah atau kuasanya, dan berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang hak atas tanah atau kuasanya dari bidang tanah yang
berbatasan.
b. Berdasarkan penunjukan batas sebagaimana dijelaskan di atas,
Satuan Tugas Fisik menetapkan batas tersebut yang dituangkan
dalam DI.201.
3) Dalam hal pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir dalam
waktu yang ditentukan, Satuan Tugas Fisik berdasarkan penunjukan
pemegang hak atas tanah menetapkan batas sementara dan dicatat
dalam DI. 201 ruang I.3. (ruang sketsa bidang tanah) dan pada Gambar
Ukurnya.
4) Dalam hal pemegang hak atas tanah dan pemegang hak atas tanah yang
berbatasan tidak bersedia menunjukkan batas atau tidak hadir pada
waktu yang telah ditentukan, penetapan batas sementara dilakukan
oleh Satuan Tugas Fisik berdasarkan batas fisik yang kelihatan,
misalnya pagar, pematang dan lain-lain serta penetapan batas
sementara tersebut dicatat pada DI. 201 ruang I.3. (ruang sketsa bidang
c. Tanda batas
Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah dan apabila
dianggap perlu oleh petugas yang melaksanakan pengukuran juga pada
titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah tersebut.
Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena ditandai oleh
benda-benda yang terpasang secara tetap seperti pagar beton, pagar tembok
atau tugu patok penguat pagar kawat, tidak harus dipasang tanda batas.
d. Pelaksanaan pengukuran dan pemetaan bidang tanah
Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dilaksanakan untuk menentukan
letak geografis, bentuk geometris, luas, situasi bidang tanah untuk lampiran
sertipikat, pembuatan peta pendaftaran dan terutama untuk mendapatkan
data ukuran bidang tanah sebagai unsur pengembalian batas-batas apabila
karena sesuatu hal batas-batas bidang tanah tersebut hilang.
1) Pengukuran bidang tanah
Pengukuran bidang tanah hanya dilakukan pada bidang tanah yang
telah dilakukan pemasangan tanda batas yang dipasang oleh pemilik
tanah. Bidang tanah yang belum dipasang tanda batasnya belum boleh
dilakukan pengukuran.
Penunjukan batas bidang tanah dan pemasangan tanda batasnya
dilakukan oleh pemilik tanah atau kuasanya berdasarkan kesepakatan
para pihak yang berbatasan. Pemilik tanah wajib bertanggung jawab
atas kebenaran penunjukkan batas bidang tanah dan pemasangan tanda
Tanda-tanda batas dipasang pada setiap sudut batas tanah. Apabila
dianggap perlu petugas yang melaksanakan pengukuran juga dapat
memasang titik-titik tertentu sepanjang garis batas bidang tanah
tersebut. Untuk sudut-sudut batas yang sudah jelas letaknya karena
ditandai oleh benda-benda yang terpasang secara tetap seperti pagar
beton, pagar tembok atau tugu patok penguat pagar kawat, tidak harus
dipasang tanda batas.
2) Pembuatan Gambar Ukur (DI. 107)
a. Gambar Ukur (DI. 107) pada prinsipnya adalah dokumen yang
memuat data hasil pengukuran bidang tanah yang berupa jarak,
sudut, azimuth, nilai koordinat maupun gambar bidang tanah dan
situasi sekitarnya. Selain data-data tersebut di atas juga
dicantumkan keterangan-keterangan lain yang mendukung untuk
memudahkan dalam penatausahaan gambar ukur. Catatan-catatan
pada gambar ukur harus dapat digunakan sebagai data rekonstruksi
batas bidang tanah apabila karena sesuatu hal titik-titik batas yang
ada di lapangan hilang. Penggunaan gambar ukur tidak terbatas
pada satu bidang tanah saja, tetapi dapat sekaligus beberapa bidang
tanah dalam satu formulir gambar ukur.
b. Batas-batas bidang tanah harus dipetakan / digambarkan pada
3) Pemetaan bidang-bidang tanah
Pemetaan bidang tanah merupakan proses ploting hasil pengukuran.
Proses pemetaan bidang tanah dilakukan secara digital menggunakan
Software Pengukuran dan Pemetaan yang telah ditetapkan.
4) Pembuatan peta pendaftaran
Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau
bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah. Pembuatan
Peta Pendaftaran dilakukan secara digital dengan menggunakan
software pengukuran dan pemetaan yang telah ditetapkan.
5) Pembuatan Surat Ukur (DI. 207)
Surat ukur yang dimaksud menyajikan informasi tekstual tentang lokasi
bidang tanah dan informasi grafis tentang bidang tanah tersebut. Surat
Ukur dibuat 2 (dua) ekslempar.
6) Pembuatan Daftar Tanah (DI. 203)
a) Semua bidang tanah , baik yang dikuasai oleh perorangan, badan
hukum maupun pemerintah dengan sesuatu hak, yang terletak di
desa / kelurahan yang bersangkutan harus dibukukan dalam Daftar
Tanah.
b) Daftar Tanah dibuat per desa / kelurahan
c) Daftar Tanah dibuat dengan menggunakan Daftar Isian 203.
g) Pembuatan Daftar Surat Ukur (DI. 311 B)
(1)Setiap Surat Ukur yang telah diterbitkan dicatat dalam Daftar Surat
(2)Daftar Surat Ukur memuat data mengenai nomor Surat Ukur, tanggal
penerbitan, luas bidang, NIB, nomor Peta Pendaftaran dan nomor
kotaknya, letak tanah dan nomor gambar ukur serta keterangan.
3. Pengumpulan data yuridis
Pengumpulan data yuridis dilakukan oleh Satuan Tugas Yuridis yang telah
ditetapkan dalam Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Simalungun.
a. Mekanisme Pengumpulan Data
1) Persiapan perencanaan, koordinasi dengan Pemerintah Kelurahan/Desa
2) Petugas di Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun :
a) Menerima permohonan hak yang dilampiri atas hak berupa :
surat-surat tanah, bukti-bukti perolehan tanah, maupun ijin / rekomendasi
berkaitan dengan tanahnya.
b) Meneliti kelengkapan berkas permohonan.
c) Mencatat dalam register permohonan (apabila berkas permohonan
telah lengkap)
d) Membuat bukti penerimaan berkas dan diserahkan kepada
pemohon.
e) Meneruskan berkas permohonan untuk keperluan Pemeriksaan
Tanah oleh SATGAS yuridis.
3) Pemeriksaan tanah
Pemeriksaan tanah dilakukan oleh SATGAS yuridis, dengan
tanah di lapangan dan adanya hubungan hukum antara pemohon
dengan tanah yang dimohon. SATGAS yuridis melakukan verifikasi
data melalui konfirmasi dengan perangkat desa/kelurahan, investigasi
melalui tetangga batas atau orang lain yang dapat memberikan
keterangan dan atau verifikasi melalui bukti-bukti
pemilikan/penguasaan tanah. Hasil pemeriksaan tanah dituangkan
dalam bentuk risalah Pemeriksaan Tanah secara kolektif dalam satu
Desa/Kelurahan.
4. Pengumuman
Pengumuman dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan atau sanggahan
terhadap data fisik dan data yuridis dalam rangka penetapan hak atas nama
pemohon/peserta PPAN dan jangka waktu untuk mengajukan
keberatan/sanggahan adalah 60 (enam puluh) hari. Pengumuman meliputi peta
bidang tanah dengan daftar luas masing-masing bidang dan data kepemilikan
tanah. Pengumuman tersebut ditempel di Kantor Pertanahan Kabupaten
Simalungun, Kantor Kecamatan Dolok Pardamean. Kecamatan Dolok Silau
Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kecamatan Bandar, Kecamatan
Perdagangan.
5. Penetapan hak
Berkas permohonan yang telah dilengkapi dengan surat ukur dan daftar
permohonan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Kepala Kantor
surat-surat bukti lengkap dan memenuhi persyaratan dan atau menerbitkan Surat
Keputusan Pengakuan Hak bagi tanah milik adat yang surat-surat buktinya
tidak ada, tidak lengkap atau meragukan.
6. Pembukuan hak
Permohonan pendaftaran hak dicatat dalam daftar permohonan
pendaftaran tanah. Sebelum dilakukan pendaftaran hak, pemohon diwajibkan
menyerahkan bukti pelunasan BPHTB dan PPh bagi yang terkena, kemudian
hak-hak yang sudah didaftarkan selanjutnya dibukukan dalam Buku Tanah.
Kegiatan pembukuan hak ini diperiksa oleh Kepala Sub Seksi Pendaftaran
Hak.
7. Penerbitan sertipikat
Kepala Kantor Pertanahan dalam rangka pembuatan sertipikat
membuatkan salinan surat ukur dan menandatangani sertipikat yang
bersangkutan. Dalam hal Kepala Kantor Pertanahan berhalangan, kewenangan
penandatanganan sertipikat dilimpahkan kepada Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah dengan surat pelimpahan kewenangan. Penerbitan
sertipikat diperiksa oleh Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah.
Sertipikat PPAN ini ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Simalungun.
8. Penyerahan Sertipikat
Penyerahan sertipikat PPAN, untuk seluruh kecamatan yang melaksanakan
PPAN dilaksanakan di pendopo Kecamatan Randudongkal pada tanggal 24
pemerintah desa/kelurahan. Sertipikat diserahkan kepada pemegang hak atau
kuasanya. Penyerahan sertipikat PPAN disaksikan oleh pemerintah
BAB IV
KENDALA PELAKSANAAN PROGRAM PROYEK PEMBAHARUAN AGRARIA NASIONAL DI
KABUPATEN SIMALUNGUN
A. Kendala dalam Pelaksanaan Program Pembaharuan Agraria Nasional di
Kabupaten Simalungun
Pada tahun 2007 adalah tahun yang dijanjikan sebagai tahun pelaksanaan
program redistribusi lahan melalui PPAN yang sudah disebut-sebut sejak Oktober
2006. Bahkan, diawal tahun 2007, pemerintah mengumumkan kembali jumlah
penambahan luas lahan yang akan dibagikan yang tadinya seluas 8.15 juta hektar
saja ditambah lagi sejumlah 1.1 juta hektar menjadi total 9.25 juta hektar. Kondisi
ini dinilai sebagai suatu kebijakan yang tangap terhadap peningkatan jumlah
petani gurem yang selama dua puluh tahun terakhir mengalami peningkatan
mencapai 2.2 persen tiap tahunnya.
Namun dalam implementasinya, PPAN tak kunjung terealisasi. Bahkan
PPAN ditunda hingga dua kali dan hingga saat ini masih belum ada kejelasan
kapan akan mulai dilaksanakan. Selain cacat dari sisi keinginan politik
pemerintah, PPAN juga dinilai sebagai fasilitas ekslusif untuk investor mengingat
sejumlah 40 persen dari total 9.25 juta hektar lahan tersebut adalah jatah mereka.
Prediksi ke depan mengenai sengketa pertanahan jika tidak ditangani
dengan baik, akan melahirkan “revolusi agraria”. Oleh karena itu akar konflik dan
sengketa pertanahan bersifat multi-dimensional sehingga tidak bisa dilihat hanya
sebagai persoalan agraria atau aspek hukum semata tetapi juga terkait
sertifikasi tanah secara nasional yang baru mencapai 30 persen, pengaturan tata
ruang yang tak kunjung tuntas, serta lemahnya penegakan hukum dan HAM.
Variabel-variabel non hukum antara lain politik pertanahan, ledakan jumlah
penduduk, kemiskinan (ekonomi), tuntutan pembangunan, perkembangan
kesadaran hukum dan HAM masyarakat, faktor budaya, adat istiadat (hukum
adat), kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, khususnya teknologi informasi.
Sulit dipungkiri bahwa kondisi agraria Indonesia yang mencuat selama ini
adalah konflik agraria yang semakin mengeras. Tragedi berdarah akibat konflik
agraria yang berdimensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) datang silih
berganti. Sebagian yang menjadi korban adalah komunitas masyarakat adat, dan
kaum tani, tak sedikit pula kaum miskin di perkotaan jadi bulan-bulanan
penggusuran.
Kasus-kasus sengketa agraria ini mencakup sektor-sektor agraria penting
seperti pertambangan dan perkebunan besar, kehutanan, fasilitas umum,
konservasi, pertanian, perkotaan, transmigrasi, serta kelautan dan pesisir. Melihat
kompleksitas sengketa agraria, menyadarkan kita bahwa kondisi agraria di era
reformasi belumlah berubah signifikan. Ketimpangan penguasaan tanah serta
kekayaan alam lainnya, yang dibumbui konflik agraria dengan dimensi
pelanggaran hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya, masih
menjadi menu sehari-hari yang belum mampu dituntaskan penyelenggara negara.
Sengketa agraria yang diwarnai kekerasan ini seolah menegaskan kembali
perlunya pelaksanaan Pembaharuan agraria nasional sebagai jawaban kunci atas
alternatif yang khusus untuk menyelesaikan konflik agraria terasa semakin
relevan.
Akar dari sengketa agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan
merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik
agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya Orba ini masih kuat diterapkan
dalam rangka mengamankan “pembangunan”. Puncak dari otoritarianisme adalah
penggunaan senjata dan alat kekerasan negara (bahkan premanisme) dalam
mengusir rakyat dari tanahnya sehingga korban di pihak rakyat berjatuhan.
Mengerasnya sengketa agraria menjadikan problem pokok agraria di
Indonesia makin mendesak untuk diselesaikan. Dalam konteks ini, kita perlu
Pembaharuan agraria nasional untuk memastikan tanah dan kekayaan alam
sungguh dikuasai, dikelola, dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Kehendak pemerintah untuk menjalankan Pembaharuan agraria nasional,
revitalisasi pertanian dan pembangunan pedesaan hendaknya diterjemahkan, salah
satunya dalam bentuk mengupayakan secara serius pembentukan dan pembenahan
mekanisme serta kelembagaan khusus untuk penyelesaian konflik agraria.
Sebenarnya lahirnya UUPA, diharapkan hanya ada satu hukum tanah
(unifikasi) yang berlaku di seluruh Indonesia dan menghapus dualisme hukum
bahkan pluralisme hukum yang berlaku sebelumnya, akibat penerapan Pasal 131
dan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling). Disamping itu juga diharapkan UUPA untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi seluruh masyarakat
Sebelum lahirnya UUPA, ketentuan Hukum Agraria Pemerintahan
Belanda diatur dalam Agrarische Wet 1870 yang tidak memberikan kepastian hukum terhadap hak masyarakat hukum adat yang disebut dengan hak ulayat.
Padahal keberadaan hak ulayat ini diakui didalam Batang Tubuhnya, dapat dilihat
pada Pasal 5 UUPA41
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan, bumi, air dan ruang angkasa tersebut, .
Pengakuan hak ulayat tersebut mengakibatkan adanya pembatasan
terhadap hak menguasai dari negara. Hal ini juga dapat dilihat dari Penjelasan
Umum UUPA bagian II yang menyatakan bahwa: “ ….kekuasaan negara atas
tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari
kesatuan-kesatuan hukum, sepanjang kenyataannya masih ada…”.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai ketentuan yang mengatur
masalah tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menyatakan negara sebagai
penguasa atas seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak menguasai dari negara ini
memberikan wewenang kepadanya Pasal 2 ayat (2) untuk :
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatanperbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
41
Dengan adanya kewenangan dari negara untuk mengatur hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa maka diakui adanya
macammacam hak atas tanah Pasal 16 UUPA, dan hak atas tanah ulayat Pasal 3
UUPA, yang mempunyai konsep berbeda dengan pembatasan fungsi sosial Pasal
6 UUPA. Meskipun UUPA mengakui adanya hak ulayat Pasal 3, namun dalam
prakteknya sering menimbulkan konflik42
Perdebatan mengenai kedudukan hukum adat dalam hukum agraria
nasional menimbulkan polemik seperti : bahwa hukum agraria nasional tidak bisa
dipertemukan dengan hukum adat karena keduanya saling bertentangan .
43
; bahwa
hukum agraria nasional, utamanya UUPA didasarkan pada asas-asas hukum
adat44 ; bahwa hukum adat sebagai pelengkap bagi hukum agraria nasional45
Pelaksanaan pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu
kegiatan pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari
masyarakat. Pasal 19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk .
42
Konsep penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan masyarakat adat. Berbagai UU (UUPA,UU No.5 Tahun 1967, UU No.11 Tahun 1967), mendasarkan diri pada konsep hak menguasai negara yang merupakan wujud kekuasaan Negara mengambil alih kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alamnya, Noer Fauzi Rachman, Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah Airnya, makalah, Kongres AMAN ke-4, 19 April 2012, Tobelo, Halmahera Utara
43
Kartohadiprojo dalam Abdurrahman, Kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan Agraria di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1994), hal.11.
44
Hazairin dan Muhammad Koesnoe dalam Rikardo Simarmata , Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, (Jakarta: UNDP, 2006), hal.1.
45
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan
penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19
tersebut, terutama bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui
kegiatan PPAN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1981.
Pensertipikatan tanah melalui PPAN merupakan salah satu kegiatan
pembangunan pertanahan yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pasal
19 UUPA menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sehubungan dengan hal
tersebut BPN-RI yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional, ditugaskan untuk melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan, antara lain melanjutkan penyelenggaraan
percepatan pendaftaran tanah sesuai dengan amanat Pasal 19 tersebut, terutama
bagi golongan ekonomi lemah sampai menengah melalui kegiatan PPAN yang
sudah dilaksanakan sejak tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria.
Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara PPAN bertugas memproses
pensertipikatan tanah secara masal sebagai perwujudan daripada program Catur
Tertib di Bidang Pertanahan.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dalam pelaksanaan PPAN di
Kabupaten Simalungun sudah sesuai dengan aturan yang ada, dalam pelaksanaan
PPAN lebih mengedepankan masyarakat kecil yang tidak mampu
mensertipikatkan tanahnya dengan cara individu. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh Kusno35, beliau mengatakan bahwa pelaksanaan PPAN sangat
masyarakat dapat mensertipikatkan tanahnya dengan harga yang relatif murah,
sehingga terjangkau oleh masyarakat banyak.
Dalam rangka mencapai tujuan Catur Tertib di Bidang Pertanahan, yang
meliputi tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib
penggunaan tanah, dan tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup yang
diusahakan dengan cara pensertipikatan massal bagi masyarakat terutama
masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah yaitu PPAN dengan
alokasi dana oleh pemerintah.
Pelaksanaan PPAN dengan program sertipikasi tanah melalui PPAN pada
Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun yang dilaksanakan pada Tahun
Anggaran 2015 ini, dimaksudkan untuk memperoleh jaminan kepastian hukum
Hak Atas Tanah berupa sertipikat tanah bagi masyarakat terutama masyarakat
golongan ekonomi lemah sampai menengah.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun Ismed Syah Alam
ST MT mengungkapkan hingga September 2015, realisasi pengurusan sertifikat
PPAN yang telah diselesaikan mencapai 875 bidang dari 2.800 target
pensertifikatan program PPAN untuk tahun 2015. Namun pihaknya optimis, di
akhir tahun 2015, seluruhnya akan selesai.
Pihaknya berupaya dan bekerja dengan optimal untuk menyelesaikan
seluruh sertifikat khususnya yang termasuk dalam program PPAN. Ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan seperti pengukuran, pengumpulan data yuridis,
Namun ada beberapa kendala yang masih dihadapi seperti kelengkapan
surat menyurat, alas hak, KTP Pemohon, PBB objek tanah dan lainnya.
Permasalahan tanah masih cukup komplek, terutama menyangkut waris cukup
tinggi . Juga pergesekan antara masyarakat dengan perkebunan. Untuk itulah
dimintakannya bagi masyarakat yang sudah punya sertifikat senantiasa menjaga
dan memasang tanda-tanda/batas-batas.46
Minat masyarakat dalam hal pengurusan sertifikat tanah saat ini cukup
tinggi. Untuk Kabupaten Simalungun sudah mencapai 40 persen hingga 50
persen, hal inilah yang sangat direspon dan didukung pihaknya. Masyarakat sudah
mengetahui pentingnya pensertifikatan tanah yang dimilikinya. Namun yang
menjadi masalah bagi pihaknya, masih banyaknya dokumen maupun persyaratan
yang telah ditentukan belum lengkap, sehingga menjadi kendala bagi BPN
Kabupaten Simalungun.47
Faktor penghambat dari pemerintah dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di
Kabupaten Simalungun:48
a. Jumlah tenaga pelaksana yang terbatas.
Kurangnya jumlah tenaga baik tenaga pelaksana maupun tenaga
administrasi di Kantor BPN Simalungun, terutama tenaga ukur, bila dibandingkan
dengan luas daerah Kabupaten Simalungun 4.386,60 km2 (6,12%) Terdiri dari 31
kecamatan, 22 Kelurahan dan 345 Nagori, maka tenaga dimaksud dirasakan
sangat kurang. Demikian juga halnya dengan tenaga administrasi yang kurang
46
Hasil wawancara dengan Partomuan Tambunan, selaku Kepala Seksi Pengaturan, Penguasaan Tanah, Koordinator Program Pembaharuan Agraria Nasional Kabupaten Simalungun, tanggal 1 September 2016.
47
bisa melayani kebutuhan masyarakat dengan baik. Hal ini dapat kita lihat dengan
seringnya atau banyaknya kejadian-kejadian yang dapat menghambat pendaftaran
tanah, seperti dengan alasan karena banyaknya kesibukan di kantor, maka akta
jual beli yang syaratnya kurang atau tidak lengkap, tidak dengan sesegera
mungkin dikembalikan kepada si pembuat akta atau kepada yang bersangkutan.
Dari hal-hal tersebut di atas, jelas dapat menghambat pelaksanaan
pendaftaran tanah, sedangkan pemerintah sendiri belum dapat menyediakan
tenaga sebagaimana idealnya yang dibutuhkan.
b. Sarana dan prasarana yang belum memadai.
Fasilitas yang masih sangat terbatas pada seksi pendaftaran tanah maka
petugas dalam melakukan tugasnya banyak mengalami hambatan terutama dalam
hal pemetaan dan pengukuran. Dalam hal pemetaan dan pengukuran disamping
memerlukan tenaga ahli juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tenaga ahli
atau juru ukur demikian pula dengan alat ukur dirasakan masih sangat kurang.
Akibat alat yang kurang maka untuk melakukan pengukuran akan
memerlukan waktu yang relatif lama. Dengan lamanya waktu pengukuran,
mengakibatkan biaya yang dikeluarkanpun juga akan semakin bertambah besar.
Hal itu juga disebabkan jauhnya lokasi bdang tanah yang akan diukur.
Pengukuran untuk daerah Kabupaten Simalungun hanya terbatas pada tanah-tanah
yang akan didaftarkan saja, baik pendaftaran secara rutin, PPAN dan yang
lainnya.
48
c. Kurangnya penerangan yang diberikan kepada masyarakat.
Penerangan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat lebih
mendorong terhadap masyarakat khususnya pemilik hak atas tanah untuk
mendaftarkan tanahnya. Dengan adanya penerangan dari pemerintah, masyarakat
akan menjadi mengerti akan arti pentingnya sertifikat hak atas tanah. Kurangnya
penerangan dari pemerintah ini, tidak terlepas dari kurangnya dana dan tenaga
dari Kantor BPN itu sendiri, dan walaupun ada penerangan dilakukan secara
bersama-sama dengan instansi lain.
B. Solusi dalam Mengatasi Kendala Pelaksanaan Program Pembaharuan
Agraria Nasional di Kabupaten Simalungun
Badan Pertanahan Nasional dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1988. Dalam rangka penguatan
kelembagaan Badan Pertanahan Nasional telah ditetapkan Peraturan Persiden
No.10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Kebijakan ini memandatkan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional,
dan sektoral. BPN-RI harus mampu memberikan pelayanan di bidang pertanahan
kepada masyarakat secara berkualitas, bebas KKN, efektif dan efisien, terjangkau,
akuntabel, adil, serta tidak diskriminatif. Untuk itu BPN-RI