• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Hak Ulayat dan Hukum Adat mengenai tanah setelah berlakunya UUPA

N/A
N/A
Agung Gilang Pratama

Academic year: 2023

Membagikan "Eksistensi Hak Ulayat dan Hukum Adat mengenai tanah setelah berlakunya UUPA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Eksistensi Hak Ulayat dan Hukum Adat mengenai tanah setelah berlakunya UUPA LATAR BELAKANG

Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada hukum adat. Maka segala tanah yang berada di dalam lingkungan masyarakat adat merupakan objek dari hak ulayat masyarakat tersebut. Hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3 Undang- Undang Pokok Agraria, yang menyatakan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang dan peraturang-peraturan lain yang lebih tinggi.

Pasal 3 UUPA mengandung pernyataan pengakuan mengenai eksistensi hak ulayat masyarakat Hukum Adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, artinya apabila dalam kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat itu tidak akan dihidupkan lagi, dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak ulayat dibiarkan tetap diatur oleh masyarakat Hukum Adat masing-masing.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh negara. Keterkaitan hukum antara negara dan tanah sangat terkait dengan kemampuan negara untuk mengontrol hubungan antar masyarakat, terutama antara kelompok yang mengamalkan hukum adat dan tanah. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang dengan tanah, masyarakat dengan hukum adat, dan tanah adatnya, serta pengakuan dan perlindungan hak yang timbul dari hubungan tersebut, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh hubungan hukum tersebut antara negara dan tanah. hukum. Untuk memberikan kejelasan hukum kepada masyarakat.

(2)

1. Hukum Adat

Pada awalnya Nusantara dihuni oleh kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA), yang kemudian melahirkan Hukum Adat. Namun, akhirnya Indonesia melahirkan Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA yang berlandaskan pada nilai-nilai kepribadian dan persatuan bangsa Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hukum tersebut, Hukum Adat dijadikan sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria Nasional. Pernyataan mengenai Hukum Adat dalam UUPA terdapat dalam: Penjelasan Umum angka III (1), Pasal 5, Pasal 16, Pasal 56, dan Secara tidak langsung terdapat dalam Pasal 58.

Dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa, “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal”.

Penjelasan mengenai Pasal 5 dinyatakan, bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (maksudnya: UUPA) dan dengan segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. Dalam penjelasan Pasal 5 dinyatakan, bahwa : “Penegasan bahwa hukum adat dapat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru. Selanjutnya dapat dilihat pada Penjelasan Umum III angka 1.

Penjelasan Pasal 16 dinyatakan, bahwa : Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam Pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam Pasal 5, bahwa

(3)

Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula asas sistematik dari Hukum Adat. Dalam pada itu Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa Hak Guna Usaha bukan hak erfpacht dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Hak Guna Bangunan bukan hak opstal. Sejak berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan Undang-Undang ini (Pasal 7 dan 10) tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo Pasal 5).

Dalam Pasal 56 UUPA dinyatakan, bahwa : ”Selama UndangUndang mengenai Hak Milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat…, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (maksudnya : UUPA). Pasal 58 tidak menyebut Hukum Adat secara langsung. Tetapi apa yang disebut peraturan yang tidak tertulis mencakup juga Hukum Adat.

Atas dasar beberapa penyebutan dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka Hukum adat mempunyai dua kedudukan, yaitu:

1) Hukum Adat sebagai hukum dasar utama

Penunjang Hukum Adat sebagai dasar utama dalam pembangunan Hukum Agraria Nasional dapat disimpulkan dari konsideran di bawah perkataan

“berpendapat” huruf a, yaitu: “Bahwa berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berlandaskan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama”. Di samping itu juga dapat dilihat dari Penjelasan Umum Angka III (1).

(4)

Hukum Adat sebagai dasar memang menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu, seperti masing-masing masyarakat hukum adat mempunyai hukum adatnya sendiri-sendiri yang tentunya terdapat perbedaan. Untuk itu perlu dicari persamaan-persamaannya, yaitu dengan merumuskan asas-asas/konsepsinya, lembaga-lembaga hukumnya, dan sistem hukumnya. Hal-hal inilah yang diambil dari Hukum Adat untuk dijadikan dasar utama dalam pembangunan Hukum Agraria Nasional.

2) Hukum Adat sebagai hukum pelengkap

Pembangunan Hukum Agraria Nasional menuju kepada tersedianya suatu perangkat hukum yangt tertulis, yang memakan waktu yang cukup lama dalam proses pembentukannya. Selama proses tersebut belum selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, memerlukan pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dalam hubungannya dengan Hukum Agraria Nasional tertulis belum lengkap itulah norma-norma Hukum Adat berfungsi sebagai pelengkap (Pasal 56 dan Pasal 58 UUPA).

Selain kedua pasal tersebut, penunjukan Hukum Adat sebagai hukum pelengkap dari pembangunan Hukum Agraria Nasional disimpulkan dari ketentuan Pasal 5 UUPA. Berdasarkan Pasal 5 UUPA, maka hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat dengan syarat-syarat tertentu. Adanya syarat-syarat inilah yang menunjukkan bahwa hukum adat berkedudukan sebagai hukum pelengkap.

Oleh karena hukum adat yang berlaku di Indonesia adalah beraneka ragam dan memiliki kekurangan masing-masing, maka hukum adat yang dijadikan dari Hukum Agraria Nasional ialah hukum adat yang telah “disaneer”; yang berarti bahwa hukum adat yang telah dibersihkan dari cela-celanya serta ditambah kekurangan-kekurangannya agar supaya dapat berlaku umum untuk seluruh wilayah Indonesia (Departemen Penerangan dan Dirjen Agraria Depdagri, 1982:

29).

2. Hak Ulayat

Hak ulayat masyarakat hukum adat sendiri diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam

(5)

Pasal 1 dan Pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat- masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang dan peraturang-peraturan lain yang lebih tinggi.

Boedi Harsono menyebutkan bahwa hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum secara konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah di dalam wilayahnya dengan rumusan, bahwa hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengantur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut. Selain itu hak ulayat juga diartikan sebagai tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok atau masyarakat hukum adat.

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam hak ulayat, masyarakat yang diatur oleh hukum adat memiliki hak atas tanah, kayu, pengairan, dan sumber daya alam yang dikandungnya. Ulayat memiliki kewenangan untuk mengelola, memanfaatkan, dan menggunakan segala sesuatu serta lingkungan setempat untuk memenuhi kehidupan masyarakat hukum adat yang diwariskan secara turun-temurun di bawah pimpinan ulayat. Ulayat juga termasuk tumbuhan, hewan, ikan, dan sumber daya lain yang ada di dalam wilayah mereka. Selanjutnya Muchsin menyebutkan hak ulayat sebagai hak yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat bagi sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya

Hak ulayat pada masyarakat Hukum Adat mempunyai kekuatan hukum ke dalam dan ke luar:

a. Kekuatan hukum hak ulayat yang berlaku ke dalam yaitu dimana masyarakat Hukum Adat setempat terikat dari aturan-aturan dari penguasa adat. Tanah dalam masyarakat ulayat dipergunakan untuk kesejahteraan bersama anggota masyarakat Hukum Adat yangbersangkutan. Masyarakat dapat menggunakan

(6)

tanah untuk kepentingan pribadi atas izin penguasa dan mereka diwajibkan untuk memberikan suatu pembayaran dalam jumlah tertentu. Dengan demikian dalam hak ulayat di samping terdapat hak bersama, terdapat pula hak perorangan. Hubungan antara hak ulayat dengan hak perorangan dalam konsep Hukum Adat adalah sebagai berikut:

I. Semakin banyak usaha seseorang atas tanah, makin erat hubungannya dengan tanah dan makin kuat haknya. Jika tanah tidak diusahakan maka haknya akan hilang.

II. Semakin kuat hak perorangan, hak ulayat melemah, sebaliknya semakin melemah hak perorangan, semakin kuat hak ulayat. Yang demikian ini menurut Imam Sudiyat dikenal dengan istilah “mulut mungret”.

b. Kekuatan hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

Masyarakat dari luar Hukum Adat dilarang masuk wilayah Hukum Adat tersebut tanpa izin penguasa adat. Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut “pengisi adat”. Jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan tindak pidana yang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Hukum Adat yang berlaku pada wilayah adat tersebut.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh negara. Keterkaitan hukum antara negara dan tanah sangat terkait dengan kemampuan negara untuk mengontrol hubungan antar masyarakat, terutama antara kelompok yang mengamalkan hukum adat dan tanah. Hal ini karena peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hubungan hukum antara orang dengan tanah, masyarakat dengan hukum. adat, dan tanah adatnya, serta pengakuan dan perlindungan hak yang timbul dari hubungan tersebut, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh hubungan hukum tersebut. antara negara dan tanah. hukum. Untuk memberikan kejelasan hukum kepada masyarakat dan memastikan bahwa tidak ada yang melanggar hak atas tanah mereka, diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan.

(7)

PEMBAHASAN

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 5 UUPA: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang

UUPA juga mengakui keberadaan masyrakat adat dalam Pasal 5 UUPA, yang berbunyi : “ Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang

Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasrkan atas persatuan

Penelitian Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Di Kalimantan DITERBITKAN OLEH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN

Itu berarti, hak-hak keulayatan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat baru dapat dilakukan “sepanjang menurut kenyataan masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan

Pemanafaaat tanah ulayat oleh pihak invertor, sebaiknya memberikan manfaat terhadap masyarakat hukum adat tersebut, Manfaat secara langsung tidak ada, akan tetapi secara

• Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

Posisi Hukum Adat & Hak Ulayat Menurut UUPA Pasal 5 Menurut hukum agraria yang berlaku ataş bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan