Oleh :
Aal Lukmanul Hakim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai
kalangan, baik dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam
seminar-seminar serta simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian
tersebut tidak begitu fokus mengkaji tentang sejarah hukum agraria, bagaimana
lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai terbentuknya Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal
dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana untuk
mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam
makalah ini disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan
peraturan-peraturan di bidang ke-agraria-an yang sudah dianggap tidak mengakomodir
perkembangan masyarakat. Ini membuktikan bahwa hukum – khususnya hukum
agararia – terus berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang bagaimana
rangkaian sejarah hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap perkembangan
yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu dapat
diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan
(hukum) terhadap hukum agraria.
Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada
sejarah hukum agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum
Indonesia yang memiliki peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat
guna mewujudkan cita-cita dan tujuan negara. Dalam kajian terhadap hukum
agraria ini, penulis melakukan kajian dengan pendekatan sejarah. Hal ini penulis
anggap penting karena perkembangan hukum agraria kedepan tidak akan terlepas
Lebih lanjut kenapa pendekatan sejarah hukum ini diperlukan, disebabkan
beberapa alasan sebagai berikut :1
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam
lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil,
yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi
norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui
sejarah hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite
Elementaire de Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950,
mengemukakan bahwa semakin ia memperdalam studi hukum perdata,
semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih dahulu daripada logika
dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana
lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya
sekarang ini.
3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada
hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk
mengenal budaya dan pranata umum.
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi
manusia terhadap perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam
perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala
historis.
Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka
penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum
agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang
hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses
masa lalu.
Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini
dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah
dan Perkembangannya”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan
terbentuknya UUPA 1960 ?
2. Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui proses sejarah dalam lintasan waktu dan kala dalam bidang
sejarah hukum Indonesia, khususnya hukum agraria samapi terbentuknnya
UUPA.
b. Mengetahui dan memahami perkembangan yang dialami hukum agraria
Indonesia sampai dengan saat sekarang ini.
2. Kegunaan Penelitian.
a. Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya
litertur kasanah kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu
pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;
b. Secara Praktis; makalah ini dapat berguna sebagai sumber kajian
berikutnya dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.
D. Kerangka Teoritis
Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di
manapun di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan
hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama
masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang dari refleksi
kebutuhan-kebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum
itu hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan
Friedrich Karl von Savigny2 mengatakan bahwa masyarakat manusia di
dunia ini terbagi ke dalam banyak masyarakat bangsa. Tiap masyarakat bangsa itu
mempunyai Volksgeist (jiwa bangsa)-nya sendiri yang berbeda menurut tempat
dan zaman. Volksgeist itu dinyatakan dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi
sosial rakyat yang tentunya berbeda-beda menurut tempat dan zaman pula. Yang
dimaksudkan dengan Volksgeist adalah filasafat hidup suatu bangsa atau pola
kebudayaan atau kepribadian yang tumbuh akibat pengalaman dan tradisi di masa
lampau.
Selanjutnya Savigny melihat hukum itu sebagai hasil perkembangan
historis masyarakat tempat hukum itu berlaku. Isi hukum ditentukan oleh
perkembangan adat istiadat rakyat di sepanjang sejarah; isi hukum ditentukan oleh
sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku.
W. Friedman menyimpulkan esensi dari teori Savigny sebagai berikut :
“Pada permulaan sejarah, hukum sudah mempunyai ciri yang tetap, khas untuk rakyat seperti bahasanya, adat istiadatnya, dan konstitusinya. Gejala ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan kemampuan-kemampuan dan kecenderungan-kecenderungan dari masyarakat tertentu, disatukan secara tak terpisah dalam tabiat dan menurut pandangan kita mempunyai atribut-atribut yang jelas. Yang mengikat semua itu dalam suatu keseluruhan adalah kesamaan pendirian dari rakyat. Kesadaran batiniah yang sama perlu untuk membuang semua pikiran tentang asal mula yang kebetulan dan tidak pasti ....hukum berkembang dengan berkembangnya rakyat dan menjadi kuat dengan kuatnya rakyat dan akhirnya lenyap kalau rakyat kehilangan kebangsaannnya ...maka inti teori ini adalah bahwa semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara, seperti yang dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa, tetapi tidak terlalu tepat, dibentuk, yakni bahwa hukum itu mula-mula dikembangkan oleh adat kebiasaan dan kepercayaan yang umum, kemudian oleh yurisprudensi, jadi di mana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam-diam, tidak oleh kehendak sewenang- wenang dari pembuat undang-undang”.3
Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati
keberadaannya di masyarakat merupakan hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita,
rasa, karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang
memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup
bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil.
Faham tersebut di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum
dengan faham/mazhab sejarah (historis). Faham inilah yang melandasi pijakan
2 Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 30.
berfikir dalam makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam
sistem hukum nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa
Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut
berdasarkan hukum adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan-peraturan-peraturan yang tercantum dalam perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian Agraria
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif,
yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian
agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.4 Pertama dalam perspektif
umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang
tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,5 Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian,
juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris
agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian.
Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada
perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan
dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi
pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di
bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada
departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan
Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria,
kementerian agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria,
departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal
agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian
demikian.
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
Dalam tahun 1988 Badan Pertanahan Nasional dengan Keputusan
Presiden Nomor : 26 Tahun 1988, yang sebagai Lembaga Pemerintahan Non
Departemen bertugas membantu Presiden dalam mengelola dan mengembangkan
administrasi pertanahan. Pemakaian sebutan pertanahan sebagai nama badan
tersebut tidak mengubah ataupun mengurangi lingkup tugas dan kewenangan yang
sebelumnya ada pada departemen dan direktorat jenderal agraria. Sebaliknya
justru memberikan kejelasan dan penegasan mengenai lingkup pengertian agraria
yang dipakai di lingkungan administrasi pemerintahan. Adapun administrasi
pertanahan meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air,
baik air daratan maupun air laut.
Adanya jabatan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional dalam Kabinet Pembagnuan VI, juga tidak mengubah lingkup pengertian
agraria. Sebutan jabatan tersebut tampaknya untuk menunjukkan, bahwa tugas
kewenangan Menteri Negara Agraria adalah lebih luas dari dan tidak terbatas pada
lingkup tugasnya sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional, yang disebut dalam
KEPRES Nomor : 26 Tahun 1988.
Dalam Kepres Nomor : 44 Tahun 1993 ditentukan, bahwa Menteri
Negara Agraria bertugas pokok mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
keagrariaan dan menyelenggarakan antar lain fungsi : mengkoordinasi kegiatan
seluruh Instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka
pelaksanaan program pemerintah secara menyeluruh. Dengan adanya fungsi
koordinasi Menteri Agraria dulu yang memimpin Departemen Agraria, yang
dalam tata susunan Kabinet Pembanguan VI ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Walaupun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi dari apa yang tercantum
dalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan, bahwa
pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat
luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal
48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang
mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha
memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam
Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4
ayat(1)). Dengan demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di
daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
Sehubungan dengan itu bumi meliputi juga apa yang dikenal dengan
sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). LKI ini merupakan dasar laut dan
tubuh bumi di bawahnya di luar perairan wilayah Republik Indonesia yang
ditetapkan dengan Undang-undang Nomor : 4 Prp. Tahun 1960, sampai
kedalaman 200 meter atau lebih, di mana masih meungkin diselenggarakan
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak ekslusif
atas kekayaan alam di LKI tersebut serta pemilikannya ada pada Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Undang-undang Nomor :1 Tahun 1973, LN. 1973-1, TLN
2994).
Pengertian air meliputi, baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Indonesia (Pasal 1 ayat (5)). Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974
tentang : Pengairan (LN 1974-65) pengertian air tidak dipakai dalam arti yang
seluas itu. pengertiannya meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari
sumber-sumber air, baik yang meliputi air yang terdapat di laut (Pasal 1 angka 3).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi sidebut bahan-bahan
galian, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam
batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam.
Undang-undang Nomor :11 Tahun 1967 tentang : Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (LN 1967-227, TLN 2831).
Kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan lain-lain
kekayaan alam yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah
Indonesia. (Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1985 tentang : Perikanan, LN.
1985-46).
Dalam hubungan dengan kekayaan alam di dalam tubuh bumi dan air
tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), yaitu meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut
diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini hak berdaulat
untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi dan lain-lainnya atas segala sumber daya
bawahnya dan air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia.
(Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A. P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria
mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas
tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah
mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di
atas mirip dengan pengertian ruang dalam Undang-undang Nomor : 24 Tahun
1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan
pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi
bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti
fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.
B. Pengertian Hukum Agraria
Beberapa pakar hukum memberikan pengertian tentang apa yang
dimaksud dengan hukum agraria, antara lain beberapa disebutkan di bawah ini.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan
yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan
antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan
mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.6
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi
bagian dari hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum
antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas
mengurus masalah agraria.7
Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum
Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam (SDA).
Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian
hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum
yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang
meliputi :
1. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti
permukaan bumi;
2. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan
galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;
4. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam
yang terkandung di dalam air;
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan
hasil hutan;
6. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan
space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup
Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah.
Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1)
UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4
ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan
tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang
lebih tinggi.
C. Hukum Tanah
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling
luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan
atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa
permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut
fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu,
melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta
perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak
penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA,
kepada pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :
1). Hak milik atas;
2). Hak guna usaha;
3). Hak guna bangunan;
4). Hak pakai;
5). Hak sewa;
6). Hak membuka tanah;
7). Hak memungut hasil hutan;
8). Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 (UUPA).
b. Wakaf tanah hak milik;
c. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan);
d. Hak milik atas satuan rumah susun.
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang
sama yaitu hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan
sebagai hubungan hukum konkrit, beraspek publik dan privat, yang dapat disusun
dan dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan
yang merupakan suatu sistem.8
Objek hukum tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum;
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan dengan tanah dan orang
atau badan hukum tertentu sebagai subjek atau pemegang hak.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkrit;
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan dengan hak tertentu sebagai
obyeknya dan atau orang atau badan hukum tertentu sebagai subjek pemegang
haknya.
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan
hak atas tanahnya, ada 2 (dua) macam asas dalam dalam hukum tanah, yaitu : asas
pemisahan horisontal dan asas pelekatan vertikal.
Asas pemisahan horisontal yaitu suatu asas yang mendasarkan pemilikan
tanah dengan memisahakan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah
tersebut. Sedangkan asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan
pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan
yang tertancap menjadi satu.
Asas pemisahan horisontal merupakan alas atau dasar yang merupakan
latar belakang peraturan yang konkrit yang berlaku dalam bidang hukum
pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini juga dianut oleh UUPA.
Sedangkan asas pelekatan vertikal merupakan alas atau dasar pemikiran yang
melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata.
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan9 mengemukakan bahwa sejak
berlakunya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai
dengan tata hukum yang berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum
adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak
berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai
bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik.
Dengan demikian, pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan
satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja
yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat
Pasal 5 UUPA).
D. Sumber Hukum Agraria 1. Sumber Hukum Tertulis
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Dalam
Pasal 33 ayat (3) ditentukan :
9
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
b. Undang-undang Pokok Agraria.
Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960
tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24 September
1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140,
dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor
2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan pelaksanaan UUPA
2). Pertauran yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi
diperlukan dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal
Peralihan, masih berlaku.
c. Sumber Hukum Tidak Tertulis
a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya
BAB III
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
A. Hukum Agraria Kolonial
Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2
(dua), yaitu :
1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan
berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960;
dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui
beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi
olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam
menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum
adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan
sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870
a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).
VOC didirikan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan
sebagai upaya guna menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala
itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas
rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :10
1). Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa
kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil
pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2). Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para
raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan
pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak.
Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat
apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3). Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811). Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah
dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir.
Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat
Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri.
Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir
adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang
membedakan dengan tanah eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada
pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten
atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :11
a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta
memberhentikan kepal-kepala kampung/desa;
b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti
kerja paksa dari penduduk;
10
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005, hlm. 16.
c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang
maupun hasil pertanian dari penduduk;
d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;
e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput
untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga
rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan
government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini
setiap tanah dikenakan pajak bumi.
Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah
swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang
rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan
telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat
hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya
beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik
Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah
kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja
mereka sendiri.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat
dijelaskan sebagai berikut :12
a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah,
tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi
kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh
tiap petani.
b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan
pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna
memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat dikurangi luasnya atau
dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan tidak mau
atau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya,
tanah yang bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang
sanggup memenuhinya.
c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang
pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa.
Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya pajak
yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak tanah itu
justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup
dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan
kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau
Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu
jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung
dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil pertanian tersebut
diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun,
sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib
menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya
atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam
lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan
pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak
mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna
dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama.
Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah
menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah
tanah-tanah negara nyang masih kosong.
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda). a. Agrarische Wet (AW).
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok
dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat.
Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon
terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam
bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat
atas tanahnya harus dijamin.
AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang
diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55.
dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang
pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut
sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8.
pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.
Pasal 51 IS ini memuat :
Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah
yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota
dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan
ketentuan yang ditetpakan dengan ordonansi. Ada
pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai
tempat pengembalaan umum atau atas dasar lainnya
tidak boleh dipersewakan.
Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi diberikan tanah dengan Hak Erfacht
selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada
penberian Hak yang melanggar Hak penduduk asli.
Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil
tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang Indonesia
asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah
kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum
Ayat (7)
Ayat (8) :
:
berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan
pengusahaan tanaman yang diselenggarakan atas
perintah atasan dengan pemberian ganti rugi atas
tanah.
Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli
dengan Hak Milik (hak pakai perseorangan yang
turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang
syah diberikan kepadanya dengan hak eigendom
dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang
ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam
surat eigendomnya, yakni mengenai
kewajiban-kewajiban terhadap negara dan desa serta wewenang
untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia
asli.
Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah
untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli,
kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan
pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru
untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di
jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan
semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten
monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan cultuur stelse,
dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas, berdasarkan
konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa
dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan
pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang
sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur
stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka
kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha
swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.
Selain itu AW juga bertujuan untuk :
a. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :
1). Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka
waktu lama, sampai 75 tahun.
2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat.
b. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :
1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.
2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru
(Agrarische eigendom).
Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam
berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.
b. Agrarische Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan
dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting
adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian
dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;
1). Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;
2). Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;
3). Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang
sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah
administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang
menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang
Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :13
“Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde
wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen
reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3
Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak
lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein
negara (milik) negara”.
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang
dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein
Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan
Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan
juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura,
dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.
Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk
memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa
satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada
pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka
tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1). Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya
tidak ada hak penduduk bumi putera.
2). Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di
atasnya ada hak penduduk maupun desa.
Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi,
yakni :
1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat
memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam
KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.
2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara
berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya
atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.
Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah
berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak
ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus
semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein
negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia
Belanda, adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :
1). Tanh-tanah daerah swapraja;
2). Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;
3). Tanah-tanah partikulir;
4). Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).
c. Erfacht Ordonantie.
Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut,
menurut AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam
pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu
:14
a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali
mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali
dan diundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula
ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian
hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,
1). S.1874f untuk Sumatera.
2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah
pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367
Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie
Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali
Pasal 1-nya masing-masing.
c. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa :
Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan erfachtordonantie
Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di
masing-masing swapraja menurut petunjuk Gubernur Jenderal.
Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa
tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan
kebun besar.
Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar diatur pula
dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan
menjadi :
1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan
Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta;
2). Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di
daerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
d. Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16
April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak
yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische
eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom
sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur
lebih lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB
tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38.
berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom
1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak
milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka
pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut :
uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin
apabila tanahnya di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan
pihak lain.
2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang
bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang
merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap
permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut,
maka agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh
bupati yang bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian
gubernur jenderal.
4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan
sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan
mendapat surat tanda bukti hak.
5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus
didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk
memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang
kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan
hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak
miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak
3. Hukum Tanah Perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan politik hukum
Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan
beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi15 diberlakukan di
Indonesia.
Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di Hindia Belanda
harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang
terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu,
yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan
penduduk menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal
163 I.S. (Indische Staatsregeling) yakni :
1). Golongan Eropa dan dipersamakan dengannya;
2). Golongan Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa
dan bukan Tionghoa seperti Arab, India, dan lain-lain;
3). Golongan Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri
atas semua suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam
(pluralistis). Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan
warga negara seperti yang sudah diuraikan di atas :
1). Untuk bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang
sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai
segala soal dalam kehidupan masyarakat.
2). Untuk warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa
berlaku Kitab udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (WvK), dengan pengertian, bahwa bagi
golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan
yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang
mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak
berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand
15
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan
anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya
hukum perdata, hukum tanah pun berstruktur ganda atau dulaistik, dengan
berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang
bersumber pada hukum adat yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang
pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam buku II KUHPerdata yang
merupakan hukum tertulis.
Ini berarti, bahwa hubungan-hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa
hukum di kalangan orang-orang dari golongan bumi putera diselesaikan
menurut ketentuan-ketentuan hukum adatnya masing-masing. Demikian pula
dengan kalangan orang-orang dari golongan yang lain. Hukum yang ditetpkan
adalah hukum yang berlaku untuk golongan masing-masing.
Adapun hubungan-hubungan hukum antara orang-orang pribumi dan
orang-orang non pribumi diselesaikan apa yang disebut Hukum Antar
Golongan atau hukum intergentiel. Dalam peristiwa hubungan hukum
semacam itu timbul pertanyaan hukum mana yang berlaku. Pertanyaan itu
timbul karena pemerintah Hindia Belanda menganut apayang disebut asas
persamaan derajat atau persamaan penghargaan bagi stelse-stelsel hukum yang
berlaku, baik hukum barat, hukum adat golongan pribumi maupun hukum adat
golongan timur asing bukan Cina. Tidak ada salah satu di antaranya yang
superior atau dihargai lebih tinggi dari yang lain. Maka dalam menyelesaikan
peristiwa hukum antar golongan tidak musti salah satu stelsel hukum tertentu
yang harus diberlakukan.
Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam
KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi,
air dan ruang angkasa.
Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas
tanah barat yang dikenal yaitu :
1) Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai
kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
2) Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
lain yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya
di samping hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap
benda-benda tersebut kepada pemegang haknya juga diberikan
wewenang-wewenang yaitu :
a). Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat dijadikan jaminan utang;
c). Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut
perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah
orang lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah
tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan
kewewnangan hak opstal.
4) Tanah hak gebruik, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah
dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah
hak adat. Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda
seperti agararische eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak
ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan
hak-hak adat dan hak-hak-hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja
tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas
dari tanah-tanah hak adat.
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada
Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S.
1834-27 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan
kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal
mengenai tanah yang dihaki, sert aperolehannya, pembebanannya diatur
menuurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.16
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah
itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang
teridiri atas apa yang disebut tanh ulayat msyarakat-masayrakat hukum adat
dan tanah perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar
ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah
swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah
swapraja. Di daerah Kesultanan Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang
dipunyai dengan apa yang disebut :17
1) Grant Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja,
khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja;
2) Grant Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaula
swapraja, didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda);
3) Grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli
Maatschappaij adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan
besar tembakau dan bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah,
memperoleh tanah yang luas dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant.
Tanah tersebut dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh
Deli Maatschappaij kepada juga dengan grant yang merupakan “sub-grant”
dikenal dengan sebutan “grant D”, singkatatan dari grant Deli
Maatschappaij.
4) Hak konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh
pemerintah swapraja dan didaftar di kantor residen.
4. Sesudah Tahun 1942
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung
pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah
melampaui batas kemampuannya.
Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria
Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat
antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai
dan bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal
peristilahan yang lain ;
a. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yayasan;
2) Hak wenang pilih, hak mendahulu;
3) Hak menikmati hasil;
4) Hak pakai;
5) Hak imbal jabatan;
6) Hak wenang beli.
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun
ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh
pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
5. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.
Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa
Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu
pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek
karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan
dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia,
barulah pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat
dengan melakukan hal-hal berikut :18
a. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang
mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah
Malang luasnya tanah perkebunan ± 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari
luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki
rakyat seluas ± 80.000 Ha.
b. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua
perkebunan lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali
suatu cabang produksi yang penting bagi negara serta memperlambat
pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat
diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di daerah
pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
c. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan
tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
d. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan
ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban
umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun
1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.
Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :
a. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala
sesuatu dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar
pemilik perkebunan dengan rakyat/penggarap;
b. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1
(satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah
perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan
memperhatikan :
1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan
2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian
negara.
Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :
a. Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan
milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika mereka
dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;
b. Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;
c. Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik
perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah tuntutan ini
diberlakukan;
d. Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.
Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat,
maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah
tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.
Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum
pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap
Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.
3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah
dan Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga
negara Belanda yang kembali ke negerinya.
B. Politik Hukum Agraria Kolonial
Politik agraria dimaksudkan adalah kebijaksanaan dalam bidang
ke-agraria-an. Prof. Dr. Mahfud M.D. dalam bukunya “Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi”, memberikan pengertian politik hukum. Dalam bukunya
akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya
dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.19
Dengan demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan
hukum dalam bidang agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan,
memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi
tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu
dapat dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas,
dasar, dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar.
Sementara itu, politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni
untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah
mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak
lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial
yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh
pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia
menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan
penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini
ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan
memerintah penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan
tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas
tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian
oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka
sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap
sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah
dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan
masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin
tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim pengetahuan, dan
keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.20
19
Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta , LP3ES, 2006. hlm.. 13 dst.
Politik hukum agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet (AW)
S.1870-55 dengan isi dan maksud serta tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan primer :
Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang
tanah yang luas dari pemerintah unutk waktu yang cukup lama dengan uang
sewa (canon) yang murah. Di samping itu untuk memungkinkan orang asing
(bukan bumi putera) menyewa atu mendapat hak pakai atas tanah langsung
dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan
ordonansi. Meaksudnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan
pertanian swasta asing.
2. Tujuan sekunder.
Melindungi hak penduduk Bumi Putera atas tanahnya, yaitu :
a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak Bumi
Putera;
b. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah Bumi Putera apabila diperlukan
untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan
dari atasan dengan pemberian gantik kerugian;
c. Bumi Putera diberikan kesempatan mendapatkan hak atas tanah yang kuat
yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom);
d. Diadakan peraturan sewa menyewa antara Bumi Putera dengan bukan
Bumi Putera.
Dlam perjalanan berlakunya AW terjadi penyimpangan terhadap tujuan
skundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah mili pribumi langsung kepada
orang-orang Belanda atau Eropa lainnya. Untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap tanah-tanah milik Bumi Putera dari pembelian orang-orang Belanda dan
Eropa lainnya, maka pemerintah Hindi Belanda mengeluarkan kebijaksanaan
berupa Vervreemdingsverbod S.1875-179.
Yang dimaksud dengan Vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas
tanah tidak dapat dipindahtangankan oleh orang-orang Indonesia asli kepada
bukan orang Indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan
untuk memindahkan hak tersbut, baik secara langsung maupun tidak langsung
Selain AW, maka pemerintah Hindia Belanda juga telah mengeluarkan
kebijakan agraria dalam Agrarische Besluit (AB) sebagai pelaksanaan dari
ketentuan AW. AB ini diundangkan dalam S.1870-118. yang terpenting dalam AB
ini adalah adanya pernyataan domein negara atau lebih dikenal dengan Domein
Verklaring.
Berkaitan dengan struktur agraria warisan penjajah, menurut Imam
Soetiknjo, bahwa struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria
kolonial apabila :21
1. Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum.
a. Ada dua macam (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan
diberlakukan di Hindia Belanda oleh pihak penjajah Belanda dan hukum
adat penduduk Bumi Putera;
b. Hukum adat di Indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di pelbagai
daerah (plurisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak
bertentangan dengan politik agraria penjajah;
c. Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi yang bukan hukum
barat, yaitu hak agraris eigendom.
2. dilihat dari sudut objeknya, tidak ada kesamaan status subjek.
a. Ada pemegang hak yang orang orang Bumi Putera, ada yang bukan orang
Bumi Putera yang sistem hukumnya berbeda;
b. Yang bukan Bumi Putera ada :
1) Orang asing bangsa Eropa/Barat;
2) Orang keturunan asiang;
3) Orang Timur Asing.
3. dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam
hubungan antara mausia dengan tanah.
a. Ada besar golongan manusia (petanai) yang tidak mempunyai tanah atau
yang mempunyai tanah yang sangat sempit;
b. Di lain pihak ada golongan kecil manusia (penguasa, pengusaha asing,
tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/menguasai tanah;
21
4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam
penggunaan tanah.
a. Tanah di Jawa dan Madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan;
b. Di luar Jawa, Madura dan Bali masih ada tanah luas yang bukan
dibuka/diusahakan.
5. Dilihat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum.
a. Penjajah Jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing
yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada di
atasnya;
b. Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, pekarangan bahkan