• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk Hukum Konservatif dan Produk Huku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Produk Hukum Konservatif dan Produk Huku"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Produk Hukum Konservatif dan Produk Hukum Responsif

1.1 Pengertian Produk Hukum Konservatif

1Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang dilahirkan oleh konfigurasi politik otoriter. Produk hukum konservatif ialah pembuatan suatu keputusan bersifat sentralistik-dominatif yaitu hanya kaum penguasa yang membentuk produk hukum tersebut tanpa ada partisipasi rakyat, muatannya positivist-instrumentalistik, dan rincian isinya open interpretative yaitu memberikan kebebasan pada penegak hukum (Hakim) untuk menginterpretasi ketentuan hukum tersebut.

Hukum konservatif lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat lebih kecil.

1.2 Pengertian Produk Hukum Responsif

Produk hukum responsive/populistik adalah produk hukum yang dalam pembuatannya bersifat partisipatif yaitu adanya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan-kebijakan. Muatannya bersifat aspiratif yaitu karena rakyat ikut serta dalam pembuatan kebijakan, maka keputusan yang dibuat adalah memuat keinginan-keinginan rakyat. Rinciannya limitative yaitu terbatas, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir atau ambigu.

Hukum responsive ini lebih mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompk-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsive terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.

1.3 Perbedaan Produk Hukum Konservatif dan produk Hukum Responsif

Untuk mengkualifikasi apakah suatu produk hukum responsive atau konserfatif, indicator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.

Produk hukum yang berkarakter Responsive, proses pembuatannya bersifat parisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui

(2)

kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat. Sedangkan proses pembuaan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif.

2Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat aspiratif. Arinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dngan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.

1.4 Contoh Produk Hukum Konservatif

Hukum konservatif salah satu contohnya adalah Undang-Undang Pemilihan Umum. Dilihat dari arah kebijakannya, Pemilihan Umum merupakan insterumen penting dalam Negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi “politikus-politikus” yang akan mewakili dan membawa suara rakyat di dalam lembaga perwakilan.

3Kemampuan berbicara maupun memperjuangkan aspirasi rakyat haruslah terwadahi dalam suatu Partai Politik. Oleh sebab itu, adanya partai politik marupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokrasi. Hal ini agar mengaktifkan dan memobiliasasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai.

4Sedangkan bila dipandang dari segi latar belakang pembentukan hukumnya dan penegakan hukumnya, diselengarakannya Pemilu 1955:

a) Revolusi fisik/perang kemerdekaan, menuntut semua potensi bangsa untuk memfokuskan diri pada usaha mempertahankan kemerdekaan.

b) Pertikaian Internal, baik dalam lembaga politik maupun pemerintah cukup menguras energi dan perhatian.

c) Belum adanya UU pemilu yang mengatur tentang pelaksanaan pemilu ( UU pemilu baru disahkan pada tanggal 4 april 1953 yang dirancang dan disahkan oleh kabinet wilopo).

2 http://ratri2009.blogspot.co.id/2011/04/soal-jawab-politik-hukum.html?m=1 3 Politik Hukum di Indonesia, Mahfud MD

(3)

Pelaksanaan Pemilu dibagi menjadi :

a. Periode 1945-1959

Pada tanggal 17 Oktober 1952 telah mendorong percepatan upaya penyelenggaraan Pemilu untuk segera diberi landasan hukum dalam bentuk UU No 7 Tahun 1953. UU No 7 Tahun 1953 dapat dikatakan sebagai UU yang sangat responsive karena mengantur secara rinci sistem Pemilu dan pokok-pokok proses pemilunya, sehingga tidak member ruang yang terlalu luas kepada eksekutif untuk menafsirkan sendiri dengan peraturan perundang-undangan delegatif.

Sistem Pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan stesel daftar dan sisa suara terbanyak, seperti yang dapat disimpulkan dari ketentuan cara penetapan jumlah konstituante dan DPR untuk setiap daerah pemilihan.

Asas yang digunakan adalah asas umum, periodic, jujur, berkerjasama, bebas rahasia dan langsung yang dalam pelaksanaannya benar-benar diwujudkan.

UU No 7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian dengan sangat adil. Keterlibatan birokrasi hanyaah ex-officio untuk fasilitas administrasi dalam wujud terlibatnya bupati, camat, kepala desa sebagai ketua panitia.

Dapat dilihat pula lahirnya UU tersebut semula didorong oleh arus kehendak masyarakat, maka dapat dilihat bahwa partisipasi rakyat sangatlah besar.

b. Periode 1959-1966

Pada periode ini tidak pernah diadakan pemilihan umum. Konfigurasi politiknya sangat otoriter. Maka dalam periode ini tidak terdapat satupun UU Pemilu yang dapat dianalisis karakternya.

c. Periode 1966-1998

Pada periode ini muncul UU No 15 Tahun 1969 dan UU No 16 Tahun 1969 masing-masing tentang Pemilu dan tentang susduk MPR/DPR/DPRD. UU ini kemudian dijadikan landasan dalam periode ini dalam pelaskanaan pemilu dan pengisian anggota-anggota lembaga permusyawaratan.

UU Pemilu dapat dkatakan sebagai produk hukum konservatif/ortodoks. UU No 15 Tahun 1969 mengatakan bahwa diselenggarakannya Pemilu untuk memilih DPR, DPRD, dan mengisi MPR.

UU No 15 Tahun 1969 memberikan space yang terlalu luas kepada eksekutif untuk membuat pengaturan berdasarkan kewenangan delegasi. Materi muatan UU ini bersifat sangat umum, maka dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar asas kejujuran dan keadilan.

(4)

Hukum responsif salah satu contohnya adalah Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA menupakan UU yang sejak pasca reformasi sampai sekarang belum dilakukan revisi. 5Dilihat dari Arah Kebijakannya UUPA ini lebih menitik beratkan keberpihakannya kapada rakyat kecil. Dan juga UUPA memberikan tempat yang proporsional bagi hukum adat, seperti yang tersebut dalam pasal 5 yang isinya “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan nasional, yang berdasarkan atas kesatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.“

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan luar angkasa adalah hukum adat yang tidak bertendensi menentang asas unifikasi. Ini menandakan UUPA berkarakter responsif, sebab hukum yang memiliki hukum adat dapat dilihat sebagai hukum yang responsif. 6

Menurut Latar Belakang dinamika politik yang terjadi ketika dibuatnya suatu aturan hukum yaitu kebijakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dipusatkan pada pelayanan bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, yang merupakan bagian terbesar rakyat Indonesia dan yang keadaan ekonominya lemah. Pada masa itu, mulai dilaksanakan ketentuan-ketentuan landreform mengenai pembatasan penguasaan tanah pertanian, larangan pemilikan tanah secara guntai (absentee), redistribusi tanah yang terkena ketentuan landreform dan absentee, pengaturan bagi-hasil dan gadai tanah pertanian. Selain itu, dilaksanakan juga penghapusan hak-hak kolonial dan ketentuan konversi hak-hak tanah yang semula diatur dalam perangkat hukum yang lama, menjadi hak-hak baru menurut UUPA.

Ada empat alasan yang dapat menjelaskan fenomena UUPA yang responsif tersebut, yaitu:

1. Materi UUPA sebenarnya merupakan warisan periode sebelumnya yang bahan-bahannya telah dihimpun dan disusun oleh beberapa panitia yang dibentuk tahun 1948.

5 http://fietraarya.blogspot.co.id/2014/12/pembaharuan-hukum-agraria-di-indonesia.html

(5)

2. Materi-materi UUPA merupakan perlawanan terhadap peninggalan kolonialisme Belanda, sehingga pemberlakuannya lebih didasarkan pada semangat nasionalisme dan bukan pada rezim politik di Negara Indonesia Merdeka

3. Materi hukum agraria (UUPA) tidak menyangkut hubungan kekuasaan, sehingga rezim otoriter tidak akan merasa terganggu oleh materi-materi UUPA.

4. Hukum agraria nasional yang diatur di dalam UUPA itu memiliki dua aspek atau bidang hukum, yaitu bidang hukum publik (hukum administrasi negara) dan bidang hukum privat (hukum perdata).

Namun demikian nuasa dari lahirnya UUPA itu sesuai dengankehendak rakyat yang telah lama tertindas oleh colonial Belanda, dengan keluarnya ketentuan itu setidak-tidaknya telah memberikan ruang gerak yang luas bagi masyarakat dalam memanfaatkan pertanahannya. Sehingga ketentuan hukum agrarian ini terlihat memenuhi unsur-unsur dari Negara Hukum.

Di Indonesia, kendati telah lebih dari 50 Tahun UUPA lahir, namun sampai saat ini belum banyak memberikan arti. Bahkan maraknya kasus-kasus konflik pertanahan seperti kasus sengketa Mesuji dan kasus pertambangan di Bima, merupakan kasus konflik agraria yang terjadi. Bahkan banyak pihak berpendapat bahwa terjadinya kasus-kasus seperti di atas adalah akibat inkonsistensi berbagai pihak, terutama pemerintah dalam pelaksanaan UUPA. Terbukti reformasi agraria malah menjauhkan rakyat dari sektor agraris.

Pembaharuan agraria, atau sering juga digunakan istilah“Reforma Agraria” sebagai pengganti istilah“Agrarian Reform”, merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Seluruh pihak hampir pasti menyetujui dilakukannya pembaruan agraria di Indonesia, sebagaimana telah termaktub dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001. Lahirnya ketetapan ini yang inisiatornya berasal dari kalangan non pemerintah menunjukkan bahwa ada kesepakatan tentang perlunya pembaruan agraria dijadikan perhatian bersama.

(6)

Terkait dengan pembentukan rancangan undang-undang dalam rangka pembaruan hukum di bidang agraria, sejumlah prinsip dan dasar kebijakan yang digariskan dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR 2001 harus diperhatikan dan menjadi landasan dalam penyusunan berbagai undang-undang dimaksud. Selain itu, agar adanya undang-undang yang hendak dibentuk menjadi suatu solusi bagi persoalan keagrariaan yang ada dan mampu mencapai unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang berimbang sebagaimana dicita-citakan, dan mampu menjadi suatu hukum yang responsif, maka dalam proses tersebut perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pijakan yang merupakan hasil pemikiran yang berakar langsung dari kebutuhan masyarakat. Pembangunan hukum yang dilandasi dengan sikap proaktif didasarkan pada penelitian dan kebutuhan hukum akan menghasilkan produk hukum yang efektif.

Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia diperlukan untuk mengantisipasi kemajuan dan perkembangan zaman, khususnya di bidang pertanahan sesuai dengan arus globalisasi dengan melakukan penyempurnaan UUPA dalam suatu RUU Penyempurnaan UUPA. Penyempurnaan UUPA hanya pada hal-hal yang bersifat praktikal dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan globalisasi yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa.

7Sedangkan menurut Penegakan Hukumnya dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut :

Konsep Negara Kesejahteraan Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia

Di awal pembentukan negara Indonesia, telah ada kesadaran kebangsaan bahwa kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud lewat campur tangan Pemerintah. Pembukaan dan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 menunjukkan bahwa cara mewujudkan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan peran negara melalui penyelenggaranya sebagai pemberi arahan, pembuat kebijakan dan aturan berdasarkan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.

(7)

Hukum pertanahan Indonesia yang merupakan bagian dari hukum yang ada, pada prinsipnya berlandaskan pada konsep Negara kesejahteraan. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 33 Ayat (1-4) UUD 1945 hasil amandemen keempat. Masyarakat dikatakan sejahtera jika masyarakat tersebut telah mengalami peningkatan kualitas hidup yang layak dan bermartabat, dengan penekanan utama pada terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. UUPA mengejawantahkan tujuan/misi yang terkandung di dalam kedua peraturan perundang-undangan di atasnya tersebut dengan menetapkan sejumlah aturan mengenai prinsip dasar penguasaan tanah beserta struktur hak-haknya.

Sebagai contoh, Pasal 7 UUPA yang memuat larangan penguasaan tanah yang melampaui batas, Pasal 10 UUPA yang mewajibkan pemilik tanah pertanian untuk mengerjakan sendiri tanah garapannya secara aktif guna mencegah terjadinya pemerasan, Pasal 17 UUPA yang mengatur luas minimum dan maksimum kepemilikan tanah oleh satu keluarga atau badan hukum guna menciptakan pemerataan penguasaan tanah, dan sebagainya.

Konsep Sociological Jurisprudence Sebagai Pedoman Penyelesaian Sengketa Pemerintah Di Indonesia

Konsep ini mengacu kepada pemikiran bahwa law is a tool of social engineering, dimana yang dimaksud dengan hukum sebagai alat rekayasa sosial adalah putusan pengadilan. Pemikiran Max Weber mengenai peran hukum dalam melakukan perubahan terhadap masyarakat dikaji lebih dalam oleh aliran sosiologis (sociological jurisprudence), terutama yang dilakukan Roscoe Pound pada tahun 1912.

Roscoe Pound berpendapat bahwa para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial yang ada dalam pekerjaannya, apakah itu merupakan pembuatan hukum, penafsiran atau penerapan aturan-aturan hukum itu sendiri. Para ahli hukum harus mampu secara lebih cerdas memperhitungkan fakta-fakta sosial yang harus diserap dalam hukum dan yang kemudian menjadi sasaran penerapannya. Untuk itu, Roscoe Pound menyarankan supaya perhatian lebih terarah pada efek-efek nyata dari institusi dan doktrin hukum, karena kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya.

(8)

terakhir dari fakta-fakta social dalam arti kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat, fungsi hukum sebagai social engineering akan lebih transformatif.

Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Dan Pembangunan Masyarakat

Konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat didasarkan pada konsep law as a tool of social engineering yang tumbuh pada mazhab sociological jurisprudence, yang kelahirannya dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Dalam konsep hukum sebagai sarana pembaharuan ini, penekanan kata hukum lebih condong kepada peraturan perundang-undangan, di mana hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Artinya, hukum yang dikehendaki adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat setempat. Ini berarti bahwa living law-lah yang menjadi pusat perhatian.

Apabila konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dikaitkan dengan praktik pengadilan yang menangani sengketa tanah di Indonesia dewasa ini, dapat dikatakan bahwa badan peradilan, melalui keputusannya seharusnya merupakan media untuk menciptakan ketertiban dibidang pertanahan. Oleh karena itu, penegakan prinsip keadilan dan demokrasi ekonomi perlu disertai kepedulian terhadap kaum lemah, penggalian potensi bangsa, baik sebagai konsumen, pengusaha maupun sebagai tenaga kerja tanpa membedakan suku, agama dan gender untuk memperoleh kesempatan, perlindungan dan hak untuk meningkatkan taraf hidupnya maupun untuk turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, termasuk dalam memanfaatkan serta memelihara tanah sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia.

(9)

sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.

Daftar Isi

(10)

http://ratri2009.blogspot.co.id/2011/04/soal-jawab-politik-hukum.html?m=1

http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html

http://fietraarya.blogspot.co.id/2014/12/pembaharuan-hukum-agraria-di-indonesia.html

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 5 UUPA: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang

Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasrkan atas persatuan

Dari landasan asas-asas tersebut diatas dalam Undang-Undang Pokok-pokok Agraria (UUPA) agar dapat mengatur peruntukan pengunaan tanah ulayat masyarakat hukum adat

Hal ini tercermin dari rumusan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menyatakan bahwa: hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas

Dalam Pasal 5 UUPA, ditegaskan bahwa dasar dari Hukum Agraria Nasional adalah hukum adat di mana pasal ini berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan

Di dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa, berlaku hukum adat sepanjang tidak bertentangan

Penjelasan mengenai Pasal 5 dinyatakan, bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional