• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

a. Perlu dilakukan pengkajian tentang kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan oleh Apotek Kimia Farma No.50 misalnya dengan pembagian questioner kepada pelanggan.

b. Pasien dengan penyakit kronis (TBC, Diabetes, Hipertensi) perlu diberikan konseling atas persetujuan pasien sehingga pasien merasa diperhatikan dan dapat menyebabkan pasien menjadi loyal. Konseling dapat menjadi salah satu aspek untuk peningkatan pelayanan.

c. Jika obat harus dikeluarkan dari kemasan sekunder, sebaiknya kemasan dihancurkan/dirusak terlebih dahulu sebelum dibuang untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh pihak−pihak yang tidak bertanggung jawab. d. Brosur obat sebaiknya tidak dibuang, tetapi disimpan dalam kotak obat

sehingga memudahkan petugas bila perlu mendapatkan informasi tentang obat. e. Dibuat poster atau brosur tentang kesehatan seperti cara mencuci tangan yang

benar, cara penggunaan suppositoria, inhaler, obat tetes, dll.

Universitas Indonesia DAFTAR REFERENSI

Daris, Azwar. (2008). Undang – undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Suplemen Himpunan Peraturan dan Perundang−undangan Kefarmasian. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.

Daris, Azwar. (2008). Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dalam Himpunan Peraturan dan Perundang−undangan Kefarmasian. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.

Daris, Azwar. (2008). Undang – undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Suplemen Himpunan Peraturan dan Perundang−undangan Kefarmasian. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Depkes RI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Review Penerapan Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem Pelaporan Dinamika Obat PBF Regional I, II dan III Tahun 2010. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. www.depkes.go.id

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri No. 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta. Kimia Farma. (2012). Materi Praktek Kerja Profesi Apoteker. Jakarta: PT. Kimia

Lampiran 2. Denah Ruangan Apotek Kimia Farma No.50

Keterangan:

1. Display 11. Lemari Narkotik 2. Ruang Tunggu 12. Lemari Pendingin 3. Swalayan Farmasi 13. Meja Peracikan 4. Lemari pendingin 14. Ruang Administrasi 5. Obat ethical 15. Optik 6. Kasir 16. Lab Klinik 7. Meja penyerahan obat 17. Ruang Praktek Dokter 8. Meja APA 18.WC Lemari 44

Lampiran 3. Struktur Organisasi Apotek Kimia Farma No.50 Bogor

Layanan Farmasi Swalayan Farmasi

AA Adm Kasir Juru

Resep

Pekarya

Manajer Apotek Pelayanan/ Apoteker Pengelola Apotek

Kasir Petugas swalayan farmasi

ANALISA RESEP PENGOBATAN ULKUS PEPTIKUM DI

APOTEK KIMIA FARMA NO. 50 BOGOR

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DIAN RENI AGUSTINA, S.Farm.

1106046830

ANGKATAN LXXIV

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PROFESI APOTEKER – DEPARTEMEN FARMASI

DEPOK

JUNI 2012

ii

Halaman HALAMAN JUDUL ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR GAMBAR ... iii DAFTAR LAMPIRAN ... iv BAB 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan ... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. Definisi Ulkus Peptik ... 3 2.2. Etiologi dan Faktor Pencetus ... 3 2.2.1. Helicobacter pylori ... 3 2.2.2. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) ... 6 2.2.3. Merokok ... 6 2.2.4. Makanan ... 7 2.2.5. Stress... 7 2.2.6. Penyakit ... 8 2.3. Patogenesis ... 8 2.4. Manifestasi Klinis ... 9 2.5. Terapi ... 9 2.5.1 Tujuan Terapi. ... 9 2.5.2. Terapi Non Farmakologi ... 9 2.5.3. Terapi Farmakologi ... 10

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 16 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16 3.2. Sampel Penelitian ... 16 3.3. Metode Penelitian ... 16 BAB 4. PEMBAHASAN ... 17 4.1. Resep 1 ... 17 4.2. Resep 2 ... 19 4.3. Resep 3 ... 20 4.4. Resep 4 ... 22 4.5. Resep 5 ... 23

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25 5.1. Kesimpulan ... 25 5.2. Saran ... 25

Gambar 2.1. Mekanisme Ulkus Peptik Akibat Helocobacter pylori ... 5 Gambar 2.2. Metabolisme asam arakidonat setelah dilepaskan dari membran

fosfolipid. ASA:aspirin; HPETE: hydroperoxyeicosatetraenoic acid; NSAIDs: nonsteroidal antiinflammatory drugs; PG: prostaglandin ... 6 Gambar 4.1. Resep 1 ... 17 Gambar 4.2. Resep 2 ... 19 Gambar 4.3. Resep 3 ... 20 Gambar 4.4. Resep 4 ... 22 Gambar 4.5. Resep 5 ... 23

iv

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ulkus peptik adalah erosi lapisan mukosa saluran gastrointestinal, namun biasanya terjadi di mukosa lambung atau mukosa usus halus. Ulkus peptik merupakan suatu penyakit yang terjadi pada saat lapisan mukosa sebagai pelindung saluran cerna mengalami pengikisan. Ulkus peptik juga dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan kelainan ulkus pada saluran cerna bagian atas yang disebabkan oleh asam klorida dan pepsin yang mengerosi lapisan mukosa pada daerah tersebut. Ulkus dimulai dari pengikisan permukaan atas mukosa yang kemudian berlanjut ke lapisan yang lebih dalam yaitu ke mukosa muskularis (Corwin, 2008).

Diperkirakan 5-10% populasi manusia akan mengalami ulkus peptik sepanjang hidup mereka. Di Amerika Serikat sekitar 10% penduduknya terserang ulkus peptik. Ulkus peptik adalah penyakit kambuhan dan hasil studi klinik menunjukkan bahwa lebih dari 50% penderita akan mengalami kekambuhan dalam setahun setelah diagnosa pertama. Meskipun terjadi penurunan angka mortalitas, kejadian hospitaliasasi/rawat inap, ulkus peptik menjadi penyakit gastrointestinal yang paling umum, dapat mempengaruhi kualitas hidup, aktivitas dan produktivitas serta memerlukan biaya tinggi untuk perawatan medis (Dipiro, 2008).

Pengobatan ulkus peptik bertujuan untuk menghilangkan nyeri ulkus, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan, dan mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan ulkus. Pengobatan ulkus peptik ini akan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa peran apoteker dalam meningkatkan kualitas hidup pasien ulkus peptik adalah dengan melakukan Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian) dimulai dalam bentuk skrining resep, pemberian informasi obat, konseling pada pasien ulkus peptik yang kronis dan lain sebagainya.

Skrining resep yang dilakukan oleh apoteker meliputi skrining persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Dengan

Universitas Indonesia dilakukannya skrining resep, apoteker dapat mencegah resep palsu, terjadinya Drug Related Problem dalam bentuk interaksi obat dan efek samping obat.

1.2 Tujuan

Analisis resep pengobatan ulkus peptik ini bertujuan:

a. Mengkaji kerasionalan resep untuk pengobatan ulkus peptik berdasarkan keabsahan resep

b. Menganalisis peran apoteker dalam pemberian informasi kepada pasien yang

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ulkus Peptik

Ulkus peptik adalah erosi lapisan mukosa saluran gastrointestinal, biasanya terjadi di mukosa lambung atau mukosa usus halus. Ulkus peptik berupa luka berbentuk bulat atau oval berwarna kemerahan yang terjadi pada saluran pencernaan. Penyebab dari kondisi ulkus peptik adalah hipersekresi asam lambung, penurunan daya tahan atau proteksi mukosa lambung, dan infeksi oleh mikroba Helicobacter pylori sehingga terjadi kontak antara asam lambung dengan dinding saluran cerna yang dapat melukai dinding saluran cerna (Corwin, 2008).

Ulkus yang paling sering diderita oleh sebagian besar populasi di dunia adalah ulkus duodenal dan ulkus lambung (ulkus gastrik), sedangkan jenis ulkus lain yang kadang terjadi adalah ulkus pada bagian bawah esofgus, ulkus jejunum dan ulkus ileum. Timbulnya penyakit ulkus peptik sering berkaitan erat dengan infeksi Helicobacter pylori, penggunaan obat anti inflamasi non steroid (AINS), dan stress. Sedangkan faktor lain yang berkaitan dengan ulkus peptik adalah Sindroma Zollinger-Ellison (ZES), radiasi, dan kemoterapi. Namun secara garis besar ulkus peptik akan terjadi apabila faktor agresif dari asam klorida dan pepsin tidak dapat diimbangi oleh faktor defensif dari lapisan mukosa, sehingga akan timbul luka-luka mikro pada permukaan saluran cerna yang akan mengakibatkan peradangan dan menjadi ulkus (Corwin, 2008).

2.2 Etiologi dan Faktor Pencetus

Ulkus peptik terjadi karena Helicobacter pilory, AINS, merokok, makanan, dan stess mengganggu pertahanan mukosa (Dipiro, 2008).

2.2.1 Helicobacter pylori

Infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80−95% pasien dengan penyakit ulkus peptik. Infeksi Helicobacter pylori mengganggu mekanisme protektif saluran gastrointestinal terhadap pH rendah dan enzim pencernaan sehingga menyebabkan terjadinya ulkus pada mukosa gastrointestinal (Danovic, 2002).

Universitas Indonesia Helocobacter pylori (HP) merupakan bakteri gram negatif, bentuknya spiral dan berkolonisasi dalam gastrointestinal. Helicobacter pylori sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Infeksi oleh HP menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan inflamasi pada mukosa. Pada sebagian besar orang, infeksi HP bersifat asimptomatis. Sekitar 10−15 % individu mengalami ulkus peptik. Ulkus lebih sering terjadi pada duodenum. Infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi yang parah seperti pendarahan dan perforasi. Inflamasi kronis yang disebabkan HP pada bagian distal lambung dapat menyebabkan produksi asam lambung meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya ulkus duodenum pada bagian mukosa duodenum yang rentan (Marshall, B.J. dan Warren, J.R. 2005).

HP ditularkan dari satu orang ke orang yang lain dengan tiga jalur yang berbeda, yaitu fekal-oral, oral-oral, dan iatrogenik. Transmisi organisme ini melalui rute fekal-oral secara langsung berasal dari manusia yang terinfeksi atau secara tidak langsung melalui makanan atau air yang terkontaminasi kotoran yang mengandung HP. Anggota yang tinggal dalam satu rumah dapat terinfeksi ketika salah satu orang terinfeksi. Transmisi lewat rute oral-oral telah dipostulasikan bahwa HP telah diisolasi di dalam mulut. Sedangkan rute iatrogenik terjadi ketika suatu instrument digunakan, misalnya endoskop (Dipiro, 2008).

[Sumber: Marshall, B.J. dan Warren, J.R. 2005]

Universitas Indonesia 2.2.2 Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

AINS menyebabkan kerusakan mukosa lambung lewat dua mekanisme penting :

a. Bereaksi langsung pada mukosa sehingga menurunkan resistensi mukosa lambung dan terjadi iritasi langsung atau topikal pada epitel lambung.

b. Penghambatan sistemik pada sistem mukosal prostaglandin endogen sehingga terjadi penghambatan sintesa prostaglandin endogen. Obat-obat AINS menghambat kerja enzim siklooksigenase dengan tidak hanya menurunkan sintesis prostaglandin tetapi juga menghasilkan radikal bebas. Selain itu dari metabolisme asam arakidonat melalui jalur lipooksigenase dihasilkan leukotrin. Leukotrin sebagai produk dari metabolisme lipooksigenase merupakan substansi inflamatori yang berperan dalam perusakan mukosa lambung.

[Sumber: Dipiro, 2008]

Gambar 2.2 Metabolisme asam arakidonat setelah dilepaskan dari membran fosfolipid. ASA: aspirin; HPETE: hydroperoxyeicosatetraenoic acid; NSAIDs: nonsteroidal antiinflammatory drugs; PG: prostaglandin.

2.2.3 Merokok

Merokok dapat meningkatkan risiko ulkus dan berdasarkan juga pada jumlah konsumsinya per hari. Mekanisme patofisiologi yang mungkin yaitu pengaruh pengosongan lambung dari makanan (padat) dan cairan, penghambatan

sekresi bikarbonat pankreatik, peningkatan refluks duodenogastrik (lambung-duodenum) dan penurunan produksi prostaglandin mukosa lambung. (Dipiro et al, 2008).

2.2.4 Makanan

Peran makanan dan nutrisi pada penyakit tukak peptik masih belum jelas. Teh, kopi, cola, bir, susu dan rempah-rempah dapat menyebabkan dispepsia, tetapi tidak meningkatkan risiko penyakit tukak peptik. Kopi, teh, coklat, banyak mengandung kafein yang dapat merangsang sekresi asam lambung berlebih dan akhirnya mengakibatkan asam lambung berbalik ke kerongkongan (refluks). Selain itu, makanan ini juga mengandung teobromin yang dapat melenturkan klep kerongkongan bawah, mengendurnya klep alami ini juga dapat mengiritasi dinding lambung. Walaupun kafein merupakan stimulan asam lambung, tetapi kopi dan teh non kafein, minuman soda bebas kafein, bir dan minuman anggur juga berpengaruh dalam meningkatkan asam lambung. Alkohol dalam konsentrasi yang tinggi berhubungan dengan kerusakan mukosa lambung akut dan pendarahan gastrointestinal bagian atas, tapi belum ada bukti yang jelas yang menerangkan bahwa alkohol dapat menyebabkan tukak (Dipiro, 2008).

2.2.5 Stress

Bila terjadi stress, kecemasan, kegelisahan, maka tubuh akan bereaksi secara otomatis berupa perangsangan hormon dan neurotransmiter untuk menahan stresor, sehingga penting untuk mempertahankan kondisi mental dan fisik makhluk hidup. Dalam hal ini stress akan merangsang pusat hormonal di otak yang bernama hipotalamus. Fungsi hipotalamus di sini adalah mengatur keseimbangan air, suhu tubuh, pertumbuhan tubuh, rasa lapar, mengontrol marah, nafsu, rasa takut, integrasi respons saraf simpatis, mempertahankan homeostasis.

Kortisol yang dikeluarkan oleh korteks adrenal karena perangsangan hipotalamus. Kortisol merangsang sekresi asam lambung yang dapat merusak mukosa lambung. Selain itu, kortisol merupakan senyawa glukokortikoid yang memiliki efek antiinflamasi yang berarti menghambat biosintesis prostaglandin. Sementara prostaglandin diketahui merupakan faktor proteksi terhadap mukosa lambung. Tidak adanya prostaglandin dapat menurunkan pertahanan mukosa lambung. (Liza, n.d).

Universitas Indonesia 2.2.6 Penyakit

Beberapa penyakit dapat terkait dengan hipersekresi asam lambung, di antaranya adalah gastrinoma, sindrom Zollinger-Ellison (SZE), dan sindrom Cushing. Gastrinoma atau Zollinger Elisson menyebabkan produksi asam lambung meningkat (Donovic, 2002). Hal ini terjadi melalui mekanisme peningkatan produksi hormon gastrin. Gastrin bekerja di sel parietal lambung untuk sekresi ion hidrogen di lumen lambung. Bila hormon gastrin terus meningkat dapat menyebabkan hiperplasia sel parietal. Ion hidrogen akan berikatan secara bebas dengan ion klorida membentuk asam klorida (Silbenargl and Lang, 2000).

Sindrom Cushing merupakan suatu kumpulan gejala dimana penyebabnya adalah meningkatnya kadar kortisol dalam plasma secara abnormal (hiperkortisolime). Penyebabnya adalah adenoma pada kelenjar pituitary (85%) sehingga menyebabkan hiperplasia pada kelenjar adrenal yang mensekresikan kortisol (Dipiro, 2008). Kortisol endogen berperan pada stimulasi asam hidrokorida dan pepsin serta menghambat sekresi mukus dan ion bikarbonat di lambung sehingga dapat menyebabkan ulserasi pada dudodenum dan lambung (Silbenargl and Lang, 2000).

2.3 Patogenesis

Mukosa lambung, pilorus dan kardia mengeluarkan mukus sehingga mukosanya tahan asam lambung. Sel parietal di fundus dan korpus mengeluarkan HCl dan pepsinogen. Pepsinogen dikatalisis oleh HCl menjadi pepsin, suatu enzim proteolitik. Bila produksi asam lambung dan pepsin yang bersifat korosif tidak berimbang dengan sistem pertahanan gastrointestinal maka akan terjadi ulkus peptik. Pada ulkus lambung, produksi asam lambung normal atau menurun, ini menimbulkan dugaan bahwa faktor primer ialah menurunnya resistensi mukosa. Pada tukak duodenum, produksi asam memegang peranan penting (Estuningtyas dan Arif, 2007).

2.4 Manifestasi Klinis

Gejala ulkus peptik secara umum adalah : (Dipiro, 2008)

a. Rasa nyeri abdominal seperti terbakar (heartburn), tidak nyaman, kram. Rasa nyeri terjadi akibat meningkatnya kandungan asam pada lambung dan usus. Sehingga merangsang mekanisme refleks lokal yang memulai kostraksi otot halus sekitarnya, sehingga untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri diperlukan penetralisir asam, yaitu dapat berupa makanan atau antasida. b. Nyeri pada malam hari terutama jam 12 malam dan jam 3 pagi

c. Kehebatan nyeri kadang-kadang berfluktuasi d. Mual, muntah, perut kembung, bersendawa

Muntah dapat dengan atau tanpa didahului oleh rasa mual, biasanya terjadi setelah nyeri berat. Muntah kadang dihubungkan dengan obstruksi jalan keluar lambung oleh spasme mukosal pylorus atau oleh obstruksi mekanis yang dapat dihubungkan dengan jaringan parut yang selanjutnya dapat menghalangi jalan masuk makanan.

2.5 Terapi

2.5.1 Tujuan Terapi

Sasaran terapi ulkus peptik adalah menghilangkan nyeri ulkus, mengobati ulkus, mencegah kekambuhan, dan mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan ulkus. Pada penderita dengan H.pylori positif, tujuan terapi adalah mengatasi mikroba dan menyembuhkan penyakit dengan obat yang efektif secara ekonomi (Sukandar, 2010).

2.5.2 Terapi Nonfarmakologi

Terapi nonfarmakologi untuk pasien yang menderita ulkus peptik adalah sebagai berikut (Barbara, 2006; Sukandar, 2010) :

a. Pasien dengan ulkus peptik harus mengurangi stress, merokok dan penggunaan AINS (termasuk aspirin). Jika AINS tidak dapat dihentikan penggunaannya maka harus dipertimbangkan pemberian dosis yang rendah atau diganti dengan asetaminofen, inhibitor COX2. Pemberian bersama makanan, antagonis reseptor H2, atau proton pump inhibitor (PPI) dapat menurunkan gejala dan kerusakan mukosa.

Universitas Indonesia b. Walaupun tidak ada kebutuhan untuk diet khusus, pasien harus menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan dispepsia atau yang dapat menyebabkan penyakit ulkus peptik seperti makanan pedas, kafein dan alkohol.

2.5.3 Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi ulkus peptik meliputi terapi eradikasi H.pylori, terapi dengan antasida, antagonis reseptor H2, pompa proton inhibitor (PPI), pelindung mukosa lambung (sukralfat), dan analog prostaglandin (misoprostol) (Dipiro, 2008; Sukandar, 2010).

2.5.3.1 Eradikasi H.pylori

Pengobatan optimal pasien dengan penyakit ulkus peptikum (ulkus lambung dan duodenum) yang diinfeksi oleh H.pylori memerlukan pengobatan antimikroba. Tujuan terapi obat untuk H.pylori adalah eradikasi organisme. Eradikasi H.pylori menyebabkan penyembuh yang cepat dari ulkus peptikum dan frekuensi kambuhan yang rendah. Regimen obat untuk HP harus mempunyai kemampuan eradikasi mencapai 80% dan mempunyai potensial resistensi mikroba yang minimal (Dipiro, 2008).

Regimen pengobatan yang merupakan lini pertama adalah regimen 3 obat−PPI, amoksisilin dan klaritromisin (Linn et al, 2009). Obat ini lebih efektif, memiliki toleransi yang lebih baik, lebih sederhana dan akan membuat pasien lebih patuh dalam menjalani pengobatan. Pengobatan berlangsung selama 14 hari. Regimen 3 obat ini meliputi (Barbara, 2006):

a. Klaritromisin + Amoksisilin + PPI (proton pump inhibitors)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 10 – 14 hari, dengan tingkat efikasi yang sangat tinggi dan memiliki efek sampig yang cukup rendah sampai sedang. Sehingga, kombinasi ini cukup banyak diberikan pada penderita ulkus peptik.

b. Klaritromisin + Metronidazol + PPI (proton pump inhibitors)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 10 – 14 hari, dengan tingkat efikasi yang sangat tinggi dan memiliki efek samping yang sedang. Sehingga, kombinasi ini juga cukup banyak diberikan pada penderita ulkus peptik.

c. Amoksisilin + Metronidazol + PPI (proton pump inhibitors)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 10 – 14 hari, dengan tingkat efikasi yang tinggi dan memiliki efek sampig yang sedang.

d. Klaritromisin + Amoksisilin + RBC (Ranitidin bismuth citrat)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang tinggi dan memiliki efek sampig yang sedang.

e. Klaritromisin + Metronidazol + RBC (Ranitidin bismuth citrat)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang sangat tinggi dan memiliki timbulnya efek sampig yang sedang.

f. Klaritromisin + Tetrasiklin + RBC (Ranitidin bismuth citrat)

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang tinggi dan memiliki efek sampig yang sedang

Regimen 2 obat kurang efektif dibandingkan dengan regimen 3 obat dan hanya termasuk satu antibiotik yang dapat menyebabkan resistensi mikroba. Regimen 2 obat terdiri dari klaritromisin + PPI, klaritromisin + RBC, atau amoksisilin + PPI (Barbara, 2006). Sedangkan regimen 4 obat dengan bismut, efektif untuk eradikasi terhadap H.pylori tetapi memiliki aturan dosis yang kompleks dan tingginya efek yang tidak diinginkan. Regimen 4 obat ini antara lain (Barbara, 2006; Sukandar, 2010):

a. BSS (Bismut subsalisilat) + metronidazol + tetrasiklin + H2RA atau PPI

Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang tinggi dan memiliki efek samping yang sedang sampai tinggi.

b. BSS (Bismut subsalisilat) + metronidazol + klaritromisin + H2RA atau PPI Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang tinggi dan memiliki efek samping yang sedang sampai tinggi.

Universitas Indonesia Pemberian kombinasi ini dapat diberikan selama 14 hari, dengan tingkat efikasi yang baik dan memiliki efek samping yang sedang sampai tinggi.

2.5.3.2 Antasida

Antasid adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan lambung, tetapi peninkatan pH akan menurunkan aktivitas pepsin. Kapasitas menetralkan asam dari berbagai antasid pada dosis terapi bervariasi, tetapi umumnya pH lambung tidak sampai di atas 4, yaitu keadaan yang jelas menurunkan aktivitas pepsin; kecuali bila pemberiannya sering dan terus menerus. Mula kerja antasid sangat bergantung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam; sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukkan masa kerjanya (Estuningtyas dan Arif, 2007).

Antasida merupakan basa lemah. Semua antasid meningkatkan produksi HCl berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin. Antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sitemik dan nonsistemik. Antasid sistemik diabsorpsi dalam usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien dengan kelainan ginjal dapat terjadi alkalosis metabolik. Antasid nonsistemik hampir tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik (Estuningtyas dan Arif, 2007; Tjay et al, 2002).

a. Antasida Sistemik

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi; reaksi kimianya ialah sebagai berikut:

NaHCO3 + HCl NaCl + H2O +CO2

CO2 yang terbentuk dalam lambung akan menimbulkan sendawa. Dapat menyebabkan alkalosis metabolik, retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasida (Estuningtyas dan Arif, 2007).

b. Antasida Nonsistemik

1) Alumunium hidroksida (Al(OH)3)

Reaksi yang terjadi di dalam lambung adalah :

Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya lebih panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya, Al(OH)3 dan sediaan lainnya bereaksi dengan fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsopsi di usus kecil, sehingga ekskresi fosfat melalui urin berkurang (pH urin meningkat) sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringent. Antasida ini mengabsopsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Alumunium juga bersifat demulsen dan adsorben (Estuningtyas dan Arif, 2007).

2) Kalsium karbonat (CaCO3)

Merupakan antasida yang efektif, karena mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya cukup tinggi.

Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna, dan disfungsi ginjal, hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, dan fenomena acid rebound. Fenomena acid rebound ini merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+) Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Pada penggunaan kronik kalsium karbonat bersama susu dan antacid lain menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali syndrome) (Estuningtyas dan Arif, 2007).

3) Magnesium hidroksida (Mg(OH)2)

Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasida. Obat ini praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum bereaksi dengan HCl membentuk MgCl2. Mg(OH)2 yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan

Dokumen terkait