• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. PENUTUP

4.2 Saran

Dalam pelaksanaan praktikum mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan sebaiknya tidak seperti kelas pada umumnya, sehingga kesannya seperti kuliah bukan praktikum. Jadwal praktikum hendaknya dapat dipadatkan sehingga tidak terlalu banyak membutuhkan waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/informasi-konservasi. Diakses pada 5 Oktober 2015. KSDA SULSEL. http://www.ksdasulsel.org. Diakses pada 5 Oktober 2015.

Selig, Elizabeth R and Bruno, John F. 2010. A Global Analysis of the Effectiveness of Marine Protected Areas in Preventing Coral Loss, Jurnal Plos One, February 2010 Volume 5 Issue 2. www.plosone.org. Diakses 5 Oktober 2015.

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : 2

PRODI : Ilmu Kelautan ASISTEN : Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di Sektor Perikanan dan Kelautan bagi Masyarakatnya. Tidak hanya memberikan pendapatan di bidang ekonomi bagi Negara saja, akan teytapi sebagian besar hidup Nelayan bergantung pada sektor perikanan dan kelautan. Pendapatan yng didapatkan nelayan hanya saja sekarang tidak lagi banyak, hampir setiap tahun jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan penurunan jumlah tangkapan ini adalah penggunaan alat tangkap yang merusak, yang memicu rusaknya ekosistem, kematian ikan yang tinggi, ataupun punahnya spesies tertentu. Hal ini yang dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab, namun dampaknya dirasakan semua nelayan bahkan semua orang, kondisi ini mengharuskan kita belajar tentang penangkapan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Menurut Ditjen KP3K (2006) secara umum Penangkapan ikan dengan cara yang merusak dipicu oleh tingginya permintaan konsumen untuk pasar perdagangan ikan, terutama ikan yang ditangkap hidup-hidup. Selain itu juga kondisi masyarakat nelayan yang miskin dan kurang sejahtera, mendorong mereka untuk mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat dan mudah. Serta Kurangnya pemahaman mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang mendukungnya dan kurangnya penegakan hukum bagi penangkapan. Alat tangkp yang tidak ramah lingkungan atau yang merusak Berdasarkan Dirjen KP3K meliputi; Cara penangkapan ikan yang merusak, Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, Menggunakan Racun Sianida, Bubu, Pukat Harimau , dan Pukat Dasar.

Berkaitan antara alat tangkap dan hasil tangkapannya heduanya sangat berpengaruh. Seperti hasil tangkapan ikan yang menggunakan Jaring insang, jaring dasar, rawai, pancing dan bubu, alat tangkap yang dapat menangkap hasil tangkapan lebih banyak adalah Bubu dan Jaring dasar.

Gambar 1 Grafik jumlah penggunaan alat tangkap

Hal ini apabila mengacu pada Kriteria utama penilaian terhadap keramahan lingkungan, berdasarkan ketentuan FAO yakni: Mempunyai selektifitas yang tinggi, Tidak merusak habitat , Menghasilkan ikan berkualitas tinggi, Tidak membahayakan nelayan , Produksi tidak membahayakan

konsumen , By-catch rendah (hasil tangkap sampingan rendah) , Dampak ke biodiversity, Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, dan dapat diterima secara social, maka alat-alat yang dapat menangkap lebih banyak tangkapan dari kelima alat tangkap tersebut adalah alat tangkap yang merusak (Sima, 2014).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh operasi alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. Dimana dampak dari operasi alat tangkap tersebut dapat dibedakan didasarkan scope ( luasnya dampak kerusakan ), severity ( keparahan dari dampak yang diberikan) dan irreversibility ( ketidakberbalikan dari suatu dampak ).

Tujuan praktikum dengan materi “Dampak Alat Tangkap Bagi Lingkungan Laut” adalah mahasiswa dapat mengenal jenis jenis alat tangkap yang mnimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan mampu menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari operasi alat tangkap.

1.3 Waktu dan Tempat

Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi “Dampak Alat Tangkap Bagi Lingkungan Laut” dilaksanakan di Gedung D, lantai 2 pada tanggal 10 Oktober 2015, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

2. METODOLOGI

2.1 Skema Kerja Praktikum

Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Praktikan belajar untuk pre-test

Praktikum dimulai dengan pre-test

Asisten memberikan materi praktikum ke-2

Diadakan diskusi kelompok selama 5 menit

Praktikan mempresentasikan hasil diskusi

Praktikan mengisi form “pengukuran dampak kerusakan lingkungan oleh operasi alat tangkap ikan”

Perwakilan praktikan menjelaskan hasil pengisian form

Praktikan belajar untuk post-test

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Analisa Prosedur

Dampak dari alat tangkap dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan cara mengukur dampak kerusakan yang terjadi akibat dari penggunaan alat tangkap ikan sebagai upaya konservasi yang akan dilaksanakan. Pengukuran dapat diawali dengan menentukan alat tangkap apa saja yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan misalnya bubu, gill net dasar, gill net permukaan, rawai, dogol, dan sebagainya. Lalu, cantumkan pula mekanisme kerusakan alatnya yaitu : kerusakan kolateral, by-catch/hasil samping, rakitan spesies, dan alat non spesies. Macam-macam alat tangkap beserta mekanisme tersebut di masukan dalam format tabel 3.1. Setelah itu, lakukan analisa dengan pemberian nilai pada setiap alat tangkap yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem terumbu seperti contoh nilai berwarna merah pada tabel 3.1.

Tabel 2 Skor Kerusakan Alat NO. ALAT

TANGKAP

MEKANISME KERUSAKAN ALAT

BESARAN DAMPAK IMPACT RATING SCOPE SEVERITY IRREVERSIBLE

1. Kerusakan kolateral 2 2 2 2,00

By-catch/hasil

samping 2 1 1 1,33

Rakitan spesies 1 2 1 1,33

Alat non-selektif 1 2 1 1,33

Prakiraan DA alat bubu dan perangkap terhadap terumbu karang 1,58

Aturannya pemberiannya adalah :

1. Beri nilai 4 (empat), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sangat parah terhadap mekanisme kerusakan.

2. Beri nilai 3 (tiga), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan parah terhadap mekanisme kerusakan.

3. Beri nilai 2 (dua), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sedang terhadap mekanisme kerusakan.

4. Beri nilai 1 (satu), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan rendah terhadap mekanisme kerusakan.

Setelah itu, dilakukan penjumlahan besaran dampak kemudian dirata-ratakan pada kolom “IMPACT RATING”. Kolom Prakiraan DA merupakan rata-rata pada impact rating 4 mekanisme kerusakan pada satu alat tangkap. Setelah semua kolom terisi nilai, lalu interpretasikan hasil dan bandingkan bersama data faktual.

3.2 Analisa Hasil 3.2.1 Alat Tangkap

Dalam praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, dapat diketahui bahwa alat tangkap merupakan salah satu sarana pokok dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam penggunaannya alat tangkap memiliki dampak secara

langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem perairan. Indikator mekanisme kerusakan alat yaitu kerusakan kolateral, by catch/hasil samping, rakitan spesies dan alat non selektif . Sedangkan, besaraan dari dampak penggunaan alat tangkap yaitu scope, severity dan irreversibility. Berdasarkan hasil perhitungan dampak kumulatif, alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan tertinggi yaitu dogol, bom dan kompresor sianida serta pukat pantai.

A. Bubu

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bubu ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan cara peletakan bubu atau perangkap yang diletakkan di dasar perairan atau pada karang-karang. Secara tidak langsung bubu yang diletakkan pada karang tersebut akan merusak dan mematikan karang. Bubu juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya.

Gambar 2 Bubu

Bubu merupakan sebuah alat tangkap yang ditempatkan di atas atau sela-sela karang. Untuk mengelabuhi ikan, bubu ditindaih atau ditutup dengan karang. Melalui cara ini, si pemasang bubu secara tidak langsung telah merusak karang, baik dengan mematahkannya, mencongkel maupun menginjak-injak karang. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang (Kordi, 2010).

B. Rawai Dasar

Alat tangkap rawai dasar sebenarnya sama dengan rawai permukaan. Kesamaan tersebut baik dari bentuk dan cara pengoperasian. Yang membedakan disini antara keduanya yakni lokasi pemasangan dari kedua alat tersebut. Rawai dasar dipasang pada dasar perairan yang bertujuan untuk menangkap ikan demersal. Sama halnya dengan rawai permukaan, rawai dasar merupakan alat tangkap yang cukup ramah lingkungan karena juga bersifat pasif dan hanya menunggu ikan menyambar umpan.

Gambar 3 Rawai Dasar

Rawai juga bisa dioperasikan pada dasar perairan, disebut Rawai Dasar atau Rawai Cucut. Tujuan utama penangkapan ialah ikan cucut, pari atau kakap merah yang berada di laut dalam. Konstruksi alat sama dengan Rawai Permukaan. Pada operasi, ujung tali utama ditambahkan pemberat sehingga semua pancing bisa mencapai dasar perairan. Rawai dasar banyak diperasikan oleh nelayan skala tradisional. Selain pancing, nelayan juga membawa alat lain seperti bubu. Ketika kedua alat ini dioperasikan secara bersama, jenis alat sering disebut Long-Line Pot (Rawai bersama Bubu) (Wiadnya, 2012).

C. Rawai Permukaan

Alat tangkap Rawai permukaan merupakan alat tangkap serupa pancingan yang bersifat pasif. Rawai permukaan dipasang pada perairan dimana dipasang pada dekat permukaan atau pada kolom air. Saat pemasangan alat ini biasanya ditinggal atau dibiarka selama beberapa jam untuk nantinya di angkat untuk melihat ikan yang berhasil ditangkap. Rawai permukaan yang memiliki sifat pasif inilah yang membuat alat tangkap ini tidak memiliki efek buruk bagi ekosistem dimana alat tangkap ketika digunakan. Ikan yang akan ditangkappun bisa diatur ikan apa yang ingin ditangkap, hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih ukuran kail yang akan digunakan sesuai dengan target ikan yang ingin didapatkan. Alat tangkap rawai permukaan biasanya digunakan untuk mendapatkan hasil ikan yang hidupnya di kolom perairan dan yang biasa untuk mencari ikan tuna.

Gambar 4. Rawai Permukaan

Rawai ialah salah satu jenis alat pancing yang umum dikenal oleh nelayan di Indonesia. Rawai terdiri dari tali utama, pada jarak tertentu dari tali utama dipasang tali cabang, setiap tali cabang dipasang mata pancing dan mata pancing selalu dipasangi dengan umpan asli (ikan). Setiap ujung tali utama selalu dilengkapi dengan pelampung utama yang terapung di atas permukaan air. Rawai Tuna ialah salah satu jenis Rawai Hanyut, dioperasikan dekat permukaan dan ditujukan untuk menangkap ikan Tuna (Wiadnya,2012).

D. Pukat Pantai

Pukat pantai atau beach seine adalah salah satu jenis alat tangkap yang masih tergolong kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Dalam arti sempit pukat pantai yang dimaksudkan tidak lain adalah suatu alat tangkap yang bentuknya seperti payang, yaitu berkantong dan bersayap atau kaki yang dalam operasi penangkapanya yaitu setelah jaring dilingkarkan pada sasaran kemudian dengan tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir penangkapan hasilnya didaratkan ke pantai. Pukat pantai juga sering disebut dengan krakat. Pukat pantai ini sendiri jika dilihat dampak penggunaannya maka akan tergolong memiliki dampak yang rendah,karena alat tangkap ini memiliki tingkat scope yang rendah dan tingkat collateral damage juga rendah akan tetapi alat tangkap ini menghasilkan hasil sampingan atau by-catch yang berupa anakan ikan hal ini tentu lama kelamaan akan merubah tatanan rakitan spesies karena menghasilkan hasil sampingan maka alat tangkap jenis pukat pantai merupakan alat tangkap non selektif.

Gambar 5. Pukat Pantai

Metode pengoperasian alat tangkap pukat pantai jenis krakat adalah dengan melingkari area penangkapan dimana bagian saya alat tangkap ini di tinggalkan di pantai dengan tali selembar yang di pegang oleh salah seorang nelayan dan badan serta sayap jaring lainnya di bawa melingkari area penangkapan sampai membentuk 180o , atau sampai dipantai berikutnya. Setelah semua tali sayap berada di pantai kemudian dilakukan penarikan bersama-sama dengan kecepatan yang sama agar alat tangkap tersebut tetap dalam kondisi normal sampai seluruh badan jaring mendarat di pantai. Alat tangkap pukat pantai jenis krakat di operasikan wilayah atau daerah perairan pantai yang memiliki karkater berlumpur dan berpasir, dan dihindari dioperasikan di perairan yang berbatu-batu atau terumbu karang. Dengan aspek ini, maka dapat dikatakan bahwa pengoperasian alat tangkap ini tidak merusak lingkungan perairan. Dari hasil analisis secara dekriptif menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai jenis krakat ramah terhadap lingkungan dengan target tangkapannya adalah jenis teri dan udang kecil (bahasa lokal lamale). Namun perlu di perhatikan bahwa setiap kali dioperasikan selalu tertangkap jenis-jenis ikan yang bukan target atau tangkapan sampingan (bycatch) (Mardjudo,2011).

E. Pukat Cincin

Prinsip menangkap ikan dengan purse seine adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan-ikan terkumpul di bagian kantong. Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup gerak ikan. Ikan-ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding penghadang, dan bukan sebagai pengerat ikan. Dampak dari penggunaan pukat cincin ini adalah berkurangnya sumberdaya ikan secara signifikan jika digunakan secara terus menerus dan berlebihan. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap non selektif karena semua jenis dan ukuran ikan dapat tertangkap sehingga menghasilkan hasil sampingan atau by-catch. Alat tangkap ini dioperasikan

dibagian permukaan perairan sehingga tidak membahayakan ekosistem didasar perairan, akan tetapi penggunaan alat tangkap ini dikawatirkan akan merubah rakitan spesies di ekosistem. Pukat cincin masuk dalam kategori dampak yang dihasilkan sedang.

Gambar 6. Pukat Cincin

Purse Seine disebut juga “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin untuk mana “tali cincin” atau “tali kerut” di lalukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut / tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang paling dominan dan memberikan sumbangsih paling besar bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat adalah pukat cincin, sekalipun demikian pukat cincin dapat menjadi ancaman bagi sumberdaya. Pukat cincin memberikan konstribusi produksi yang cukup besar terhadap produksi perikanan pelagis kecil. Daya tangkap kapal pukat cincin dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya juga cenderung meningkat (Hufiadi dan Nurdin,2013).

F. Pancing

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap pancing ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki tidak begitu memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan cara penangkapan ikan yang mata pancingya hanya mencakup kolom perairan saja, sehingga ekosistem dasar perairan tidak akan terganggu oleh adanya alat tangkap ini. Selain itu, alat tangkap ini tergolong dalam alat tangkap yang sangat selektif dan kemungkinan untuk terdapatnya by catch sangat kecil.

Gambar 7. Pancing

Pancing termasuk ke dalam jenis alat tangkap yang tergolong selektif. Pada umumnya, pancing dapat memilih jenis dan ukuran ikan yang akan menjadi target penangkapan. Operasi pancing

secara langsung tidak menjadi sebab kerusakan kolateral (collateral damage). Pancing juga tidak menimbulkan dampah hasil samping/by-catch. Kelebihan yang dimiliki oleh pancing ini secara langsung juga menjadi kelemahan dari pancing, sebab pancing bukan termasuk alat tangkap yang efektif karena pancing hanya dapat menangkap satu ikan saja setiap satu kali angkat (Wiadnya, 2012).

G. Gill Net Non Dasar

Gill net yang satu ini hampir sama dengan gill net dasar, hanya saja pengoperasiannya berada di kolom perairan dan lebih dekat dengan permukaan. Dari mekanisme kerusakan alat dengan besaran dampaknya, alat tangkap ini berada pada kategori rendah. Rendah disini berarti alat tangkap ini masih aman untuk digunakan.

Gambar 8. Gill Net Non Dasar

Seperti dijelaskan dalam Huzaeni (2012) gill net atau jaring insang bersifat selektif terhadap ikan-ikan berukuran besar (tidak menangkap ikan yang berukuran terlalu kecil atau terlalu besar). Gill net memiliki ukuran mata jaring yang sama atau seragam. Ada beberapa cara dimana ikan tertangkap oleh gill net. Misalnya ikan terjerat tepat di belakang mata, terjerat di belakang tutup insang, terjerat pada bagian di dekat sirip punggung serta terbelit atau terpuntal.

Menurut Zulbainarni (2014), prinsip utama dari alat tangkap ini adalah menjerat hasil tangkapan secara terpuntal. Sebab pada kenyataannya bahwa ikanikan yang tertangkap dengan dinding jaring satu lapis (gillnet), dua lapis maupun tiga lapis tidak saja terjerat akan tetapi juga mereka tertangkap karena terpuntal-puntal atau terbelit (entangled) terutama untuk jenis ikan yang berukuran besar, jenis kepiting dan udang.

H. Gill Net Dasar

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap gill net dasar ini dapat dikategorikan alat tangkap yang kemungkinan dampak buruk terhadap lingkungannya kecil. Karena gill net dasar termasuk jenis alat tangkap selektif. Sebab, gill net dasar telah memiliki mesh size yang sudah ditentukan untuk target tangkapannya.

Dalam Huzaeni (2012) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa suatu mesh size mempunyai sifat untuk menjerat ikan hanya pada ikan-ikan yang besarnya tertentu batas-batasnya. Dengan perkataan lain, gill net akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari catch yang diperoleh. Oleh sebab itu untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing ground tersebut. Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 607/KPB/UM/9/1976 butir 3, menyatakan bahwa mata jaring di bawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan.

I. Dogol

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap dogol ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Karena berdasarkan dampak akumulatif yang telah diakibatkan oleh alat tangkap ini, dogol termasuk kategori sangat tinggi artinya dogol ini jelas membahayakan lingkungan. Karena dilihat dari indikator mekanisme kerusakan alat dan indikator dampak kerusakannya alat ini memiliki kapasitas yang besar namun tidak selektif dalam memilih target tangkapan. Sehingga akan banyak terdapat by-catch dari hasil tangkapannya.

Gambar 10. Dogol

Menurut Deviana et al. (2010) menyebutkan bahwa dogol sama dengan bottom trawl merupakan alat tangkap yang berupa jaring ikan berbentuk kerucut dengan jangkauan yang luas dan lebar. Bottom trawl dipasang di sepanjang dasar laut ( bottom ) sampai kedalaman tertentu dan dioperasikan dengan cara ditarik oleh kapal. Bottom trawl digunakan untuk menangkap ikan demersal yaitu ikan – ikan yang mencari makan di dasar perairan maupun ditengah perairan. Ikan yang ditangkap dengan cara bottom trawl bisa beraneka macam karena penggunaannya di dasar perairan yang merupakan jalur ikan mencari makan. Bottom trawl menangkap hampir semua jenis ikan di daerah dasar perairan seperti ikan cod, cumi, udang dan berbagai ikan yang hidup di karang – karang. Ikan besar dan kecil serta berbagai macam molusca biasanya ikut terbawa oleh jaring pukat ini. Tidak jarang juga anak-anak ikan ikut tertangkap oleh bottom trawl ini.

J. Bom dan Kompresor Sianida

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bom dan kompresor sianida ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan cara peledakan bom yang merusak ekosistem terumbu karang pada dasar perairan dan mematikan seluruh biota yang berada pada sekitar area pengeboman. Akibat dari pengeboman ini, ekosistem terumbu karang akan mengalami kerusakan yang sangat parah dan sulit untuk dipulihkan kembali dan jikalaupun dapat dipulihkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Bom dan kompresor sianida juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target

tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya karena bom mematikan seluruh biota yang berada disekitar area pengeboman.

Gambar 11. Bomdan Kompresor Sianida

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan merupakan suatu cara penangkapan yang sangat merusak dan termasuk illegal di seluruh Indonesia. Bom ini dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu kemudian dipasang sebuah sumbu untuk menyalakannya dan kemudian dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan yang dapat membunuh hamper semua biota laut yang ada di sekitarnya. Selain merusak terumbu karang yang berada di sekitar lokasi ledakan, bom juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Nelayan disini hanya mengumpulkan ikan konsumsi saja, tetapi banyak ikan dan biota laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Onthoni, 2010).

Hasil dari praktikum konservasi sumberdaya perikanan dan kelautan, bahw alat tangkap yang memiliki tingkat tertinggi yang dapat merusak ekosistem terumbu karang adalah yang pertama bom dan potassium, karena bom dan potasium dapat merusak seluruh ekosistem terumbu karang dan susah

Dokumen terkait