• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Konservasi Sumberdaya. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktikum Konservasi Sumberdaya. doc"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

Hariara Pangumpolan T. 125080600111080 Resti Ariani Y. 135080600111001 Novar KurniaWardana 135080600111003 Rahmad Saleh 135080600111006 Yuliant iWidiyastuti 135080600111007 Ayu Puji Larasati 135080600111009 Supriyadi 135080600111011

TomiAris 135080600111012

Zahriza Purnadayanti 135080600111013 Anas Nurhidayah 135080600111019 Muhammad ZuhalFikri 135080600111020

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM KONSERVASI SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN

Dengan Ini Menyatakan Bahwa Telah Disetujui Laporan Akhir Praktikum KonservasiSumberdayaPerikanan Dan KelautanKelompok 2

Malang, November 2015 Menyetujui,

Koordinator Asisten

Anthon Andrimida 125080600111019

Asisten Pendamping

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan pratikum Konservasi Sumberdaya Kelautan Perikanan.

Penulisan laporan merupakan salah satu tugas pratikum yang diberikan dalam mata kuliah Konservasi Sumberdaya Kelautan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Dalam penulisan laporan pratikum ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang penulis miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, Akhirnya penulis berharap semoga laporan pratikum ini dapat bermanfaat bagi kita.

Malang, 9 Oktober 2015

(4)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR GAMBAR...v

DAFTAR TABEL...vi

Species Vulnerability...vii

1. PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Waktu dan Tempat...1

1.3 Maksud dan Tujuan...2

2. METODOLOGI...3

3. HASIL DAN PEMBAHASAN...4

3.1 Analisa Prosedur...4

3.2 Analisa Hasil...4

4. PENUTUP...7

4.1 Kesimpulan...7

4.2 Saran...7

(5)

DAFTAR GAMBAR

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

Species Vulnerability

DISUSUN OLEH : KELOMPOK : 2

PRODI :IlmuKelautan ASISTEN :DindaPuspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(8)

1. PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Sebagai Negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity) yang tinggi, Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki ekosistem lengkap yang berperan sebagai habitat bagi ikan dan organisme lainnya mencari makan (feeding ground), bertelur (nesting ground) dan berpijah (Spawning ground).Lebih dari 2000 jenis ikan dan 500 jenis terumbu karang menjadikan Negara Indonesia terkenal sebagai kawasan pusat segitiga terumbu karang (The Coral Triangle Center ). Ekosistem terumbu karang selain memiliki fungsi bagi biota laut, juga memiliki fungsi sebagai penyerap karbon, pemecah gelombang laut, penghasil ikan yang sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil secara khusus dan bagi seluruh rakyat Indonesia secara umum (KKP, 2015)

Menurut Selig and Bruno (2010) bahwa segala kegiatan manusia akhirnya akan mempengaruhi struktur bangunan terumbu karang. Secara ekologis, sosial dan nilai ekonomi terumbu karang mendasari betapa pentingnya konservasi terumbu karang secara internasional. Keberhasilan kawasan konservasi laut dalam mengembalikan populasi ikan juga merupakan dampak secara tidak langsung keberadaan terumbu karang dalam upaya mengurangi ancaman overfishing, yang selama ini disebabkan oleh rusaknya terumbu karang. Meskipun demikian, secara umum tingkat efektivitas keberadaan kawasan konservasi laut dalam meningkatkan penutupan terumbu karang juga harus masih dikaji lebih lanjut pada tiap daerah.

Pola pemanfaatan potensi alam yang kurang bijaksana dan lemahnya daya dukung kebijakan pemerintah serta rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian ekosistem pesisir menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan pesisir. Permasalahan dan ancaman dalam pengelolaan kawasan konservasi laut yang terjadi akan berdampak secara signifikan dan mampu menyebabkan degradasi sumberdaya alam, yang harus ditangani dengan baik secara lintas sektor melalui kebijakan pengelolaan yang mampu memberikan dampak keberlanjutan pembangunan kelautan dan perikanan. Peran pemerintah daerah pada era otonomi daerah ini sangat strategis dalam pengelolaan kawasan konservasi laut daerah yang mampu menjadikan perairan laut sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat yang berkelanjutan.

1.2 WaktudanTempat

Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi

(9)

1.3 Maksud danTujuan

Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa mengetahui sebab dan akibat dari overfishing, mengetahui spesies apa saja yang terancam (speciesvulnerability), dan mampu memprioritaskan spesies secara sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih berdasarkan pengembangan atribut.

Tujuan dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan ini adalah : Mahasiswa mampu mengembangkan atribut dan menentukan urutan spesies secara sekuensial dari ancaman (vulnerability) penangkapan berlebih karena penggunaan jenis-jenis alat tangkap yang menimbulkan kerusakan (terumbu karang) dan juga mampu menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari operasi alat tangkap.

(10)

2.

METODOLOGI

2.1 SkemaKerjaPraktikum

Datang 15 menitsebelumpraktikumdimulai

Belajaruntuk Pre-Test

Praktikumdimulaidengan Pre-Test

Asistenmenyampaikanmateri

Diadakandiskusikelompok 2 kali, masing-masing 10 menit

Praktikanmengisi form yang berisispesiesdana tribute selama 20 menit

Perwakilan 3 praktikan mempresentasikan hasil pengisian

(11)

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 AnalisaProsedur

Menentukan atribut/faktor pemicu status sumberdaya mengalami kepunahan. Faktor yang dapat memicu status sumberdaya mengalami kepunahan ditentukan berdasarkan fakta bahwa faktor-faktor tersebut memang dapat menyebabkan punahnya suatu spesies atau ekosistem. Setelah faktor pemicu dituliskan dan di masukan dalam bentuk tabel, tentukan pula spesies yang berpotensi mengalami kepunahan akibat penangkapan berlebih. Faktor dan spesies tersebut di masukan pada kolom dan baris untuk dilakukan penilaian. Fakto-faktor pemicu/atribut pada baris dan spesies-spesies pada kolom seperti contoh di bawah ini :

Tabel 1. Spesies Terancam Mengalami Kepunahan Karena Ancaman Dari Penangkapan Berlebih SPESIES/

(12)

3.2 AnalisaHasil

Dari hail praktukum yangdidapatkan, spesies yang memiliki tingkat kepunahan paling tinggi adalah mulai dari ikan hiu, lumba-lumba dan ikan napoleon. Dan atribut tertinggi yang mendukung akan cepatnya tingkat kepunahan suatu spesies adalah harga yang mahal, sulit di budidaya dan ditangkap pada semua ukuran. Yang pertama adalah ikan hiu, ikan hiu merupakan salah satu hewan yang mempunyai tingkat kepunahan yang tertinggi saat ini karena ikan hiu mempunyai harga yang mahal. Harga mahal yag dimiliki dari ikan hiu adalah bagian dari sirip ikan hiu tersebut. Dan karrna harga dari ikan hiu sangat mahal, makan semua ukuran ikanhiu pun ditangkap oleh nelayan. Pada sebagian masyarakat Indonesia, sirip ikan hiu dipercaya dapat meningkatkan vitalitas bagi para pria dan didaerah bagian timur, sirip ikan hiu merupakan makan prestise bagi daerah tersebut, sehingga banyak nelayan yang menangkap ikan hiu. Selain ikan hiu memiliki harga yang mahal, ikan hiu pun sulit sekali untuk dibudidaya dikarenakan selain ukuran tubuh yang besar, ikan hiu ini sangat sulit untuk dijinakkan dan perkembangan atau reproduksi ikan hiu pun terjitung sangat lambat. Yang kedua adalah ikan lumba-lumba. Menurut haisil praktikum kami, lumba-lumba memiliki tingkat kepunahan tertinggi kedua stelah ika hiu. Karena dimulai dengan adanya kesenjangan social, ikan hiu pun terhitung mempunyai harga yang sangat tinggi sehingga banyak orang yang memburunya. Lalu selain memiliki harga yang mahal, lumba-lumba pun ditangkap pada semua ukuran. Dan ikan lumba-lumba pun tergoling sulit spesies yang sulit dibudidayakan, dikarenakan ukuran yang sangat besar dan bvelum ada teknologi yang dapat membudidayakan ikan lumba-lumba tersebut. Dan juga lumba-lumba ini tergolong spesies yang memiliki tingkat reproduksi yang lama. Dan urutan yang ketiga yang memiliki tingkat kepunahan ke tiga menurut praktikum kami adalah ikan napoleon. Ikan napoleon sangat mahal dijual dipasaran, sehingga banyak nelayan yang mencari ikan tersebut untuk diperjualbelikan. Dan ikan napoleon ini juga sulit untuk dibudidaya, karena teknologi yang belum memumpuni. Karena ikan napoleon banyak untuk sebagai ikan hias, ikan napoleon ini ditangkap oleh nelayan pada semua ukuran.

Menurut KP3K (2013), ada beberapa biota laut yang hamper terancam punah yaitu mulai dari ikan hiu. Upaya penangkapan ikan hiu sudah berlangsung sejak tahun 1980an. Spesies ikan ini merupakan salah satu hasil tangkapan sampingan (bycatch) dari perikanan rawai tuna dan jaring insang tuna. Umumnya ukuran ikan yang tertangkap dan didaratkan nelayan adalah ikan-ikan yang belum dewasa sehingga merupakan ancaman terhadap populasi spesies ikan ini di masa mendatang karena peluang dalam proses berkembangbiakannya menjadi lebih kecil. Di lain pihak, adanya kemungkinan praktek

(13)

restoran-restoran sea food, perlu dilindungi keberadaan di alam yang semakin dicari baik untuk eksport maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat setempat dan untuk pelestarian spesiesnya.

Menurut KSDA (2011), Kimajugatermasukspesies yang sangattinggitingkatkepunahannya.

(14)

4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum pertama Konservasi Sumberdaya Kelautan dan perikanan dengan materi Species Vulnerability adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang punahnya spesies tertentu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu; Overfishing, Meluasnya wilayah penangkapan di wilayah laut, Penambahan alat tangkap dan juga Regulasi yang kurang tegas.

2. Terjadinya overfishing ini disebabkan karena adanya; Open acces fishing, Illegal fishing, Kurangnya kawasan perlindungan, poor fisheries Mangement, dan adanya subsidi. Subsidi yang dimaksud adalah keringanan yang diberikan oleh Mafia atau pihak-pihak lainya yang menyediakan semua keperluan yang dibutuhkan nelayan dengan syarat nelayan harus memenuhi permintaan mereka. 3. Beberapa faktor penyebab punahnya spesies tertentu dibandingkan dengan

spesies lainya adalah Jumlah anakan/telur yang sedikit, Komersil dengan harga mahal, Waktu reproduksi yang lama, terbatasnya penyebaran spesies, mudah untuk ditangkap, memerlukan habitat yang spesifik, ditangkap disemua ukuran. Pertumbuhan yang lambat, sulit dibudidayakan, serta adanya Prestasi/Gengsi/Tradisi.

4. Contoh spesies yang mudah punah karena faktor-faktor yang telah disebutkan meliputi; ikan Hiu, Lumba-lumba, penyu hijau, ikan napoleon, lobster, gurita, kuda laut, ikan lemuru, ikan tuna dan lainya.

4.2 Saran

(15)

DAFTAR PUSTAKA

http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/informasi-konservasi. Diakses pada 5 Oktober 2015. KSDA SULSEL. http://www.ksdasulsel.org. Diakses pada 5 Oktober 2015.

(16)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community

DISUSUN OLEH : KELOMPOK : 2

PRODI : Ilmu Kelautan ASISTEN : Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki potensi besar di Sektor Perikanan dan Kelautan bagi Masyarakatnya. Tidak hanya memberikan pendapatan di bidang ekonomi bagi Negara saja, akan teytapi sebagian besar hidup Nelayan bergantung pada sektor perikanan dan kelautan. Pendapatan yng didapatkan nelayan hanya saja sekarang tidak lagi banyak, hampir setiap tahun jumlah tangkapan ikan nelayan mengalami penurunan. Salah satu faktor penting yang menyebabkan penurunan jumlah tangkapan ini adalah penggunaan alat tangkap yang merusak, yang memicu rusaknya ekosistem, kematian ikan yang tinggi, ataupun punahnya spesies tertentu. Hal ini yang dilakukan nelayan yang tidak bertanggung jawab, namun dampaknya dirasakan semua nelayan bahkan semua orang, kondisi ini mengharuskan kita belajar tentang penangkapan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Menurut Ditjen KP3K (2006) secara umum Penangkapan ikan dengan cara yang merusak dipicu oleh tingginya permintaan konsumen untuk pasar perdagangan ikan, terutama ikan yang ditangkap hidup-hidup. Selain itu juga kondisi masyarakat nelayan yang miskin dan kurang sejahtera, mendorong mereka untuk mencari cara untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat dan mudah. Serta Kurangnya pemahaman mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang mendukungnya dan kurangnya penegakan hukum bagi penangkapan. Alat tangkp yang tidak ramah lingkungan atau yang merusak Berdasarkan Dirjen KP3K meliputi; Cara penangkapan ikan yang merusak, Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, Menggunakan Racun Sianida, Bubu, Pukat Harimau , dan Pukat Dasar.

Berkaitan antara alat tangkap dan hasil tangkapannya heduanya sangat berpengaruh. Seperti hasil tangkapan ikan yang menggunakan Jaring insang, jaring dasar, rawai, pancing dan bubu, alat tangkap yang dapat menangkap hasil tangkapan lebih banyak adalah Bubu dan Jaring dasar.

Gambar 1 Grafik jumlah penggunaan alat tangkap

(18)

konsumen , By-catch rendah (hasil tangkap sampingan rendah) , Dampak ke biodiversity, Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, dan dapat diterima secara social, maka alat-alat yang dapat menangkap lebih banyak tangkapan dari kelima alat tangkap tersebut adalah alat tangkap yang merusak (Sima, 2014).

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh operasi alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. Dimana dampak dari operasi alat tangkap tersebut dapat dibedakan didasarkan scope ( luasnya dampak kerusakan ), severity ( keparahan dari dampak yang diberikan) dan irreversibility ( ketidakberbalikan dari suatu dampak ).

Tujuan praktikum dengan materi “Dampak Alat Tangkap Bagi Lingkungan Laut” adalah mahasiswa dapat mengenal jenis jenis alat tangkap yang mnimbulkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan mampu menganalisis prakiraan dampak atau kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari operasi alat tangkap.

1.3 Waktu dan Tempat

(19)

2. METODOLOGI

2.1 Skema Kerja Praktikum

Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Praktikan belajar untuk pre-test

Praktikum dimulai dengan pre-test

Asisten memberikan materi praktikum ke-2

Diadakan diskusi kelompok selama 5 menit

Praktikan mempresentasikan hasil diskusi

Praktikan mengisi form “pengukuran dampak kerusakan lingkungan oleh operasi alat tangkap ikan”

Perwakilan praktikan menjelaskan hasil pengisian form

Praktikan belajar untuk post-test

(20)

3. HASIL PEMBAHASAN

3.1 Analisa Prosedur

Dampak dari alat tangkap dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dengan cara mengukur dampak kerusakan yang terjadi akibat dari penggunaan alat tangkap ikan sebagai upaya konservasi yang akan dilaksanakan. Pengukuran dapat diawali dengan menentukan alat tangkap apa saja yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan misalnya bubu, gill net dasar, gill net permukaan, rawai, dogol, dan sebagainya. Lalu, cantumkan pula mekanisme kerusakan alatnya yaitu : kerusakan kolateral, by-catch/hasil samping, rakitan spesies, dan alat non spesies. Macam-macam alat tangkap beserta mekanisme tersebut di masukan dalam format tabel 3.1. Setelah itu, lakukan analisa dengan pemberian nilai pada setiap alat tangkap yang dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem terumbu seperti contoh nilai berwarna merah pada tabel 3.1.

Tabel 2 Skor Kerusakan Alat

1. Kerusakan kolateral 2 2 2 2,00

By-catch/hasil

samping 2 1 1 1,33

Rakitan spesies 1 2 1 1,33

Alat non-selektif 1 2 1 1,33

Prakiraan DA alat bubu dan perangkap terhadap terumbu karang 1,58

Aturannya pemberiannya adalah :

1. Beri nilai 4 (empat), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sangat parah terhadap mekanisme kerusakan.

2. Beri nilai 3 (tiga), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan parah terhadap mekanisme kerusakan.

3. Beri nilai 2 (dua), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sedang terhadap mekanisme kerusakan.

4. Beri nilai 1 (satu), jika alat tangkap ikan tersebut dapat mengakibatkan kerusakan rendah terhadap mekanisme kerusakan.

Setelah itu, dilakukan penjumlahan besaran dampak kemudian dirata-ratakan pada kolom “IMPACT RATING”. Kolom Prakiraan DA merupakan rata-rata pada impact rating 4 mekanisme kerusakan pada satu alat tangkap. Setelah semua kolom terisi nilai, lalu interpretasikan hasil dan bandingkan bersama data faktual.

3.2 Analisa Hasil 3.2.1 Alat Tangkap

(21)

langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem perairan. Indikator mekanisme kerusakan alat yaitu kerusakan kolateral, by catch/hasil samping, rakitan spesies dan alat non selektif . Sedangkan, besaraan dari dampak penggunaan alat tangkap yaitu scope, severity dan irreversibility. Berdasarkan hasil perhitungan dampak kumulatif, alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan tertinggi yaitu dogol, bom dan kompresor sianida serta pukat pantai.

A. Bubu

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap bubu ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan cara peletakan bubu atau perangkap yang diletakkan di dasar perairan atau pada karang-karang. Secara tidak langsung bubu yang diletakkan pada karang tersebut akan merusak dan mematikan karang. Bubu juga merupakan alat tangkap yang tidak selektif dalam memilih target tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya.

Gambar 2 Bubu

Bubu merupakan sebuah alat tangkap yang ditempatkan di atas atau sela-sela karang. Untuk mengelabuhi ikan, bubu ditindaih atau ditutup dengan karang. Melalui cara ini, si pemasang bubu secara tidak langsung telah merusak karang, baik dengan mematahkannya, mencongkel maupun menginjak-injak karang. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang menyebabkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang (Kordi, 2010).

B. Rawai Dasar

(22)

Gambar 3 Rawai Dasar

Rawai juga bisa dioperasikan pada dasar perairan, disebut Rawai Dasar atau Rawai Cucut. Tujuan utama penangkapan ialah ikan cucut, pari atau kakap merah yang berada di laut dalam. Konstruksi alat sama dengan Rawai Permukaan. Pada operasi, ujung tali utama ditambahkan pemberat sehingga semua pancing bisa mencapai dasar perairan. Rawai dasar banyak diperasikan oleh nelayan skala tradisional. Selain pancing, nelayan juga membawa alat lain seperti bubu. Ketika kedua alat ini dioperasikan secara bersama, jenis alat sering disebut Long-Line Pot (Rawai bersama Bubu) (Wiadnya, 2012).

C. Rawai Permukaan

Alat tangkap Rawai permukaan merupakan alat tangkap serupa pancingan yang bersifat pasif. Rawai permukaan dipasang pada perairan dimana dipasang pada dekat permukaan atau pada kolom air. Saat pemasangan alat ini biasanya ditinggal atau dibiarka selama beberapa jam untuk nantinya di angkat untuk melihat ikan yang berhasil ditangkap. Rawai permukaan yang memiliki sifat pasif inilah yang membuat alat tangkap ini tidak memiliki efek buruk bagi ekosistem dimana alat tangkap ketika digunakan. Ikan yang akan ditangkappun bisa diatur ikan apa yang ingin ditangkap, hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih ukuran kail yang akan digunakan sesuai dengan target ikan yang ingin didapatkan. Alat tangkap rawai permukaan biasanya digunakan untuk mendapatkan hasil ikan yang hidupnya di kolom perairan dan yang biasa untuk mencari ikan tuna.

Gambar 4. Rawai Permukaan

(23)

D. Pukat Pantai

Pukat pantai atau beach seine adalah salah satu jenis alat tangkap yang masih tergolong kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Dalam arti sempit pukat pantai yang dimaksudkan tidak lain adalah suatu alat tangkap yang bentuknya seperti payang, yaitu berkantong dan bersayap atau kaki yang dalam operasi penangkapanya yaitu setelah jaring dilingkarkan pada sasaran kemudian dengan tali panjang (tali hela) ditarik menelusuri dasar perairan dan pada akhir penangkapan hasilnya didaratkan ke pantai. Pukat pantai juga sering disebut dengan krakat. Pukat pantai ini sendiri jika dilihat dampak penggunaannya maka akan tergolong memiliki dampak yang rendah,karena alat tangkap ini memiliki tingkat scope yang rendah dan tingkat collateral damage juga rendah akan tetapi alat tangkap ini menghasilkan hasil sampingan atau by-catch yang berupa anakan ikan hal ini tentu lama kelamaan akan merubah tatanan rakitan spesies karena menghasilkan hasil sampingan maka alat tangkap jenis pukat pantai merupakan alat tangkap non selektif.

Gambar 5. Pukat Pantai

Metode pengoperasian alat tangkap pukat pantai jenis krakat adalah dengan melingkari area penangkapan dimana bagian saya alat tangkap ini di tinggalkan di pantai dengan tali selembar yang di pegang oleh salah seorang nelayan dan badan serta sayap jaring lainnya di bawa melingkari area penangkapan sampai membentuk 180o , atau sampai dipantai berikutnya. Setelah semua tali sayap berada di pantai kemudian dilakukan penarikan bersama-sama dengan kecepatan yang sama agar alat tangkap tersebut tetap dalam kondisi normal sampai seluruh badan jaring mendarat di pantai. Alat tangkap pukat pantai jenis krakat di operasikan wilayah atau daerah perairan pantai yang memiliki karkater berlumpur dan berpasir, dan dihindari dioperasikan di perairan yang berbatu-batu atau terumbu karang. Dengan aspek ini, maka dapat dikatakan bahwa pengoperasian alat tangkap ini tidak merusak lingkungan perairan. Dari hasil analisis secara dekriptif menunjukkan bahwa alat tangkap pukat pantai jenis krakat ramah terhadap lingkungan dengan target tangkapannya adalah jenis teri dan udang kecil (bahasa lokal lamale). Namun perlu di perhatikan bahwa setiap kali dioperasikan selalu tertangkap jenis-jenis ikan yang bukan target atau tangkapan sampingan (bycatch) (Mardjudo,2011).

E. Pukat Cincin

(24)

dibagian permukaan perairan sehingga tidak membahayakan ekosistem didasar perairan, akan tetapi penggunaan alat tangkap ini dikawatirkan akan merubah rakitan spesies di ekosistem. Pukat cincin masuk dalam kategori dampak yang dihasilkan sedang.

Gambar 6. Pukat Cincin

Purse Seine disebut juga “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi dengan cincin untuk mana “tali cincin” atau “tali kerut” di lalukan di dalamnya. Fungsi cincin dan tali kerut / tali kolor ini penting terutama pada waktu pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang tadinya tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan.Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang paling dominan dan memberikan sumbangsih paling besar bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat adalah pukat cincin, sekalipun demikian pukat cincin dapat menjadi ancaman bagi sumberdaya. Pukat cincin memberikan konstribusi produksi yang cukup besar terhadap produksi perikanan pelagis kecil. Daya tangkap kapal pukat cincin dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya juga cenderung meningkat (Hufiadi dan Nurdin,2013).

F. Pancing

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap pancing ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki tidak begitu memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan cara penangkapan ikan yang mata pancingya hanya mencakup kolom perairan saja, sehingga ekosistem dasar perairan tidak akan terganggu oleh adanya alat tangkap ini. Selain itu, alat tangkap ini tergolong dalam alat tangkap yang sangat selektif dan kemungkinan untuk terdapatnya by catch sangat kecil.

Gambar 7. Pancing

(25)

secara langsung tidak menjadi sebab kerusakan kolateral (collateral damage). Pancing juga tidak menimbulkan dampah hasil samping/by-catch. Kelebihan yang dimiliki oleh pancing ini secara langsung juga menjadi kelemahan dari pancing, sebab pancing bukan termasuk alat tangkap yang efektif karena pancing hanya dapat menangkap satu ikan saja setiap satu kali angkat (Wiadnya, 2012).

G. Gill Net Non Dasar

Gill net yang satu ini hampir sama dengan gill net dasar, hanya saja pengoperasiannya berada di kolom perairan dan lebih dekat dengan permukaan. Dari mekanisme kerusakan alat dengan besaran dampaknya, alat tangkap ini berada pada kategori rendah. Rendah disini berarti alat tangkap ini masih aman untuk digunakan.

Gambar 8. Gill Net Non Dasar

Seperti dijelaskan dalam Huzaeni (2012) gill net atau jaring insang bersifat selektif terhadap ikan-ikan berukuran besar (tidak menangkap ikan yang berukuran terlalu kecil atau terlalu besar). Gill net memiliki ukuran mata jaring yang sama atau seragam. Ada beberapa cara dimana ikan tertangkap oleh gill net. Misalnya ikan terjerat tepat di belakang mata, terjerat di belakang tutup insang, terjerat pada bagian di dekat sirip punggung serta terbelit atau terpuntal.

Menurut Zulbainarni (2014), prinsip utama dari alat tangkap ini adalah menjerat hasil tangkapan secara terpuntal. Sebab pada kenyataannya bahwa ikanikan yang tertangkap dengan dinding jaring satu lapis (gillnet), dua lapis maupun tiga lapis tidak saja terjerat akan tetapi juga mereka tertangkap karena terpuntal-puntal atau terbelit (entangled) terutama untuk jenis ikan yang berukuran besar, jenis kepiting dan udang.

H. Gill Net Dasar

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap gill net dasar ini dapat dikategorikan alat tangkap yang kemungkinan dampak buruk terhadap lingkungannya kecil. Karena gill net dasar termasuk jenis alat tangkap selektif. Sebab, gill net dasar telah memiliki mesh size yang sudah ditentukan untuk target tangkapannya.

(26)

Dalam Huzaeni (2012) menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa suatu mesh size mempunyai sifat untuk menjerat ikan hanya pada ikan-ikan yang besarnya tertentu batas-batasnya. Dengan perkataan lain, gill net akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari catch yang diperoleh. Oleh sebab itu untuk mendapatkan catch yang besar jumlahnya pada suatu fishing ground, hendaklah mesh size disesuaikan besarnya dengan besar badan ikan yang jumlahnya terbanyak pada fishing ground tersebut. Berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 607/KPB/UM/9/1976 butir 3, menyatakan bahwa mata jaring di bawah 25 mm dengan toleransi 5% dilarang untuk dioperasikan.

I. Dogol

Berdasarkan hasil praktikum materi kedua ini, jenis alat tangkap dogol ini dapat dikategorikan alat tangkap yang memiliki dampak buruk yang besar terhadap lingkungan. Karena berdasarkan dampak akumulatif yang telah diakibatkan oleh alat tangkap ini, dogol termasuk kategori sangat tinggi artinya dogol ini jelas membahayakan lingkungan. Karena dilihat dari indikator mekanisme kerusakan alat dan indikator dampak kerusakannya alat ini memiliki kapasitas yang besar namun tidak selektif dalam memilih target tangkapan. Sehingga akan banyak terdapat by-catch dari hasil tangkapannya.

Gambar 10. Dogol

Menurut Deviana et al. (2010) menyebutkan bahwa dogol sama dengan bottom trawl merupakan alat tangkap yang berupa jaring ikan berbentuk kerucut dengan jangkauan yang luas dan lebar. Bottom trawl dipasang di sepanjang dasar laut ( bottom ) sampai kedalaman tertentu dan dioperasikan dengan cara ditarik oleh kapal. Bottom trawl digunakan untuk menangkap ikan demersal yaitu ikan – ikan yang mencari makan di dasar perairan maupun ditengah perairan. Ikan yang ditangkap dengan cara bottom trawl bisa beraneka macam karena penggunaannya di dasar perairan yang merupakan jalur ikan mencari makan. Bottom trawl menangkap hampir semua jenis ikan di daerah dasar perairan seperti ikan cod, cumi, udang dan berbagai ikan yang hidup di karang – karang. Ikan besar dan kecil serta berbagai macam molusca biasanya ikut terbawa oleh jaring pukat ini. Tidak jarang juga anak-anak ikan ikut tertangkap oleh bottom trawl ini.

J. Bom dan Kompresor Sianida

(27)

tangkapannya dan akan terdapat by-catch dari setiap hasil tangkapannya karena bom mematikan seluruh biota yang berada disekitar area pengeboman.

Gambar 11. Bomdan Kompresor Sianida

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan merupakan suatu cara penangkapan yang sangat merusak dan termasuk illegal di seluruh Indonesia. Bom ini dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu kemudian dipasang sebuah sumbu untuk menyalakannya dan kemudian dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan yang dapat membunuh hamper semua biota laut yang ada di sekitarnya. Selain merusak terumbu karang yang berada di sekitar lokasi ledakan, bom juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Nelayan disini hanya mengumpulkan ikan konsumsi saja, tetapi banyak ikan dan biota laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Onthoni, 2010).

Hasil dari praktikum konservasi sumberdaya perikanan dan kelautan, bahw alat tangkap yang memiliki tingkat tertinggi yang dapat merusak ekosistem terumbu karang adalah yang pertama bom dan potassium, karena bom dan potasium dapat merusak seluruh ekosistem terumbu karang dan susah untuk dipulihkan. Tidak hanya terihat kerusakan dari ekosistem saja, penggunaan bom dan potassium juga dapat membunuh semua ikan-ikan yang ada di lautan mulai darik yang masih anakan hingga yang sudah dewasa. Dan pegunaan bom dan potassium juga cakupan wilayah yang rusak juga sangat luas. Yang ke dua adalah dogol, karena dari cara pengoperasian dogol sudah tidak baik. Dimana dogol dioperasikan dengan menyentuh substrat bawah laut dan di sana terdapat terumbu karan, rumput laut serta hewan-hewan laut yang berada disana. Kerika dogol dioperasikan, dogol dapat merusak ekosistem terumbu karang yang sangat parah dan keparahan tersebut sangat tinggi. Yang ketiga adalah pukat cinin, dimana pengoperasian pukat cincin adalah dengan membuat lingkaran besar dengan menggunakan jarring dimana djika menggunakan pukat cincin ini aka nada banyak ikan-ikan yang tertangkap dan tidak sesuai dengan sasaran yang di tuju. Dimana ikan-ikan yang masih anakan pun tertangkap serta ikan-ikan yang tidak seharusnya ditangkap. Pukat cinin juga dapat merusak ekosistem terumbu karang karena pemgoperasian yang menyntuh daerah terumbu karang.

(28)
(29)

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kedua Konservasi Sumberdaya Kelautan dan perikanan dengan materi Fishing Gear Damage Assessment in Coral Reef Community adalah sebagai berikut:

1. Parameter yang digunakan untuk mengindikasikan alat tangkap merusak yaitu, kerusakan kolateral, by catch (hasil sampingan), rakitan spesies, dan alat non selektif.

2. Tiga alat tangkap yang paling merusak lingkungan, yaitu dogol, bom atau potassium, dan pukat pantai.

3. Alat Tangkap paling merusak Pertama, Dogol merupakan alat tangkap berupa jaring yang ditarik oleh kapal dan beroperasi di dasar perairan. Alat tangkap ini dapat merusak apa saja yang dilewatinya. Kedua, Bom atau potassium, penggunaan bom atau potassium dalam penangkapan ikan sudah dilarang, namun masih saja ada oknum nelayan yang memakai bom atau potassium dalam menangkap ikan. Kerugian yang ditimbulkan dari penggunaan bom yaitu dapat merusak ekosistem terumbu karang dan membunuh semua ikan yang ada disana, sedangkan penggunaan potassium akan mengakibatkan ikan mati, baik itu ikan kecil maupun ikan non target. Ketiga, pukat pantai merupakan alat tangkap jaring panjang yang dioperasikan dari pantai membentang luas ke laut. Alat tangkap ini dapat merusak terumbu karang yang dilewatinya dan menangkap semua ikan atau organisme yang bukan targetnya. 4.2 Saran

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Deviana, M. Winda dkk. 2010. Pengenalan Alat Tangkap Bottom Trawl. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Google Image. 2015. Google Image. http://google.com. Diakses pada 10 Oktober 2015 pukul 21.00 WIB

Hufiadi dan Nurdin Erfind. 2013. Fishing Efficiency Of Purse Seine In Several Fishing Grounds At Watampone. Peneliti Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru Jakarta

Huzaeni, Arfiani. 2012. Metode Penangkapan Ikan “Gillnet”.

Kordi, M. Ghufran H. 2010. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Rineka Cipta

Dirjen KP3K. 2006. Panduan Jenis-jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan vol-1. Jakarta: Bina Marina Nusantara

Mardjudo Ahsan. 2011. Analisis Hasil Tangkapan Sampingan (By-Catch) Dalam Perikanan Pukat Pantai Jenis Krakat Di Teluk Kota Palu Sulawesi Tengah. Palu: Universitas Alkhairaat Nasir, Muhammad. 2008. Keramahan Gillnet Terhadap lingkungn dan Bahaya terhdap Alat Tangkp.

IPB : BOGOR

Onthoni, Juril Charly. 2010. Analisis Penggunaan Bom dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Sima, Aznia marlina,dkk.(2014). Identifikasi Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan Di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai. Medan: USU.

Sumardi, zainal. 214. Alat Penangkapan Yang Ramah Lingkungaan Berbasis Code of Conduct For fisheries di Kota Banda Aceh. Vol 1

Wiadnya, Dewa Gede Raka. 2012. Karakteristik Perikanan Laut Indonesia: Alat Tangkap. Malang: Universitas Brawijaya

(31)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

MPA Zoning and Design

DISUSUN OLEH : KELOMPOK : 2 PRODI:Ilmu Kelautan ASISTEN :Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(32)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang juga memiliki sumberdaya Laut yang melimpah, akan tetapi melimpahnya sumberdaya Laut di Indonesia ini tidak berbanding lurus dengan Kesejahteraan hidup penduduknya, Bahkan penduduk Indonesia, terutama para nelayan, sangat bergantung pada kekayaan perairan dan hanya mengandalkan pendapatan ekonomi dari hasil melaut. Sampai saat ini dapat dilihat kesejahteraan hidup mereka memang masih tergolong rendah. Ketergantungan masyarakat pada kekayaan perairan ini dapat berdampak buruk bagi sumber daya alam yang ada. Dikhawatirkan pengeksploitasian yang tidak dibarengi dengan perawatan atau konservasi akan merusak dan membuat sumber daya alam yang ada akan semakin menipis bahkan habis. Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan adanya penetapan kawasan konservasi laut. Yang diharapkan dapat mengimbangi pengeksploitasian besar-besaran yang telah dilakukan oleh masyarakat di wilayah pesisir dalam hal ini adalah nelayan, yang hidupnya memang bergantung pada kekayaan sumber daya alam perairan dan kelautan. Penetapan Daerah Perlindungan Laut / Marine Protected Area (MPA) ini tujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumber daya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi.

(33)

Menurut Sundjaya (2008) Salah satu alasan dibuatnya Kawasan Perlindungan Laut / Marine Protected Area (MPA) ini karena makin seringnya kegiatan mencari ikan dan hasil laut lainnya yang menggunakan cara yang merusak Lingkungan, seperti menggunakan bahan peledak (babom) dan racun sianida (babius). Selain keduanya, beberapa nelayan dyang tidak bertanggung jawab juga menggunakan bubuk potas untuk menangkap ikan dan masih banyak lagi alasan lainnya, Daerah Perlindungan Laut ini merupakan bentuk pengelolaan sumberdaya laut yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang ada di sekitaranya karena biasanya wilayah yang dijadikan DPL ini tidak terlalu luas dan letaknya berdekatan dengan pemukiman penduduk.

1.2. Waktu dan Tempat

Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi “MPA Zoning and Design” dilaksanakan di Gedung D.3.2, lantai 3 pada tanggal 18 Oktober 2015, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

1.3. Maksud danTujuan

Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa mampu mengenal dan menentukan wilayah mana saja yang menjadi prioritas konservasi. Selain itu juga mahasiswa mampu memberikan alasan alasan yang jelas mengapa suatu lokasi lbh diprioritaskan untuk konservasi jika dibandingkan yang lainnya.

(34)

2. METODOLOGI

2.1 Skema Kerja Praktikum

Datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Belajar untuk Pre-Test

Praktikum dimulai dengan Pre-Test

Asisten menyampaikan materi

Diadakan diskusi kelas untuk menentukan nilai feature

Masing-masing kelompok mengisi form MPA planning zone selama 30 menit

Diambil kesimpulan berdasarkan presentase masing-masing kelompok

(35)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisa Prosedur

Untuk membuat perencanaan MPA hal pertama yang harus ditentukan adalah lokasi daerah yang akan dijasikan taerget. Dari lokasi tersebut, dibuat peta tematik yang berbeda-beda tetapi masih dalam daerah yang sama, skala yang sama, dan proyeksi yang sama (peta dasar, peta dengan kedalaman laut sampai 200 m dari pantai, peta planning unit (grid)). peta tematik tersebut masing-masing dengan tema sebaran terumbu karang, sebaran bakau, sebaran padang lamun, lokasi penangkapan ikan, dan lokasi penyelaman wisata. Setelah itu, tentukan dan pahami mengenai fitur konservasi dan fitu cost. Seperti fitur konservasi mangrove, terumbu karang, lamun, tempat penyelaman, lokasi penangkapan ikan, yang dikaitkan pengaruhnya terhadap perikanan, biodiversitas, tourism, dan perlindungan pantai seperti pada tabel 3.1 berikut.

Tabel 3 Fitur Konservasi terhadap mangrove, lamun, terumbu karang, lokasi penangkapan ikan, dan sebagainya. Skor diberi mulai rentang -3 hingga 3. Semakin berpengaruh fitur semakin tinggi skor yang diberikan. Pemberian skor bersifat arbitrari, berdasarkan pentingnya suatu fitur terhadap fitur lainnya. Setelah skor akhir di dapatkan untuk setiap fitur, skor akhir tersebut untuk diberikan pada grid yang ada di peta tematik.

(36)

dengan warna pada planning unit yang dipilih sebagai wilayah prioritas konservasi (wilayah larang ambil).

3.2 Analisa Hasil 1. Mangrove

Dari hail diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk masing-masing objektif yaitu pengaruh mengrove bagi perikanan dalah menghasilkan nilai 3 yang berarti sangat ekali mempengaruhi ikan yhang berkembang biak di sekitar hutan mangrove. Lalu nilai objektif yang kedua adalah pengaruh mangrove pada biodiversity dari beberapa spesies. Pada objektif inin menddapat nilai 3, yang berarti sangat sekali berpengaruh antara hutan mangrove dengan tingkat biodiveritas suatu spesies. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah tourism. Dimana nilai objektif yang didapatkan pda tourism ini mendapatkan nilai 2. Dimana berarti mangrove slumayan pengaruh untuk pariwiata bagi manusia sebagai perkenalan bahwa hutan mangrove baik untuk dijaga. Lalu objektif yang terakhir adalah coastal protection. Pada objektif ini mendapat nilai 3, dimana nilai ytersebut termasuk nilai yang sangat baik dan sangat berpengaruh sekali antara mangrove dengan coastal protection dikarenakan mangrove sendiri merupakan garda paling depan jikadari laut terjadi tsunami atau badai yang besar sehingga daerah penduduktidak terkena dampaknya.

Dari hasil pengamatan mangrove di 4 stasiun diperoleh 6 jenis mangrove dominan yang terdiri dari bakau (Rhizophora spp.), lindur (Bruguiera gymnorrhiza), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tingi (ceriopstagal), dan nipah (Nypa fruticants). Sama halnya dengan stasiun 1, pada stasiun 3 terdapat 5 jenis mangrove, yaitu Rhizophora spp., Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Ceriops tagal. Kerapatan jenis yang paling besar pada stasiun ini adalah pada jenis Rhizophora spp.. Pada stasiun ini, kisaran kerapatan total semua jenis mangrovenya adalah 8 - 32 ind/ 100 m2 untuk tingkat pohon, 2 - 7 ind/ 25 m2 untuk tingkat anakan dan 16 - 77 ind/ 1 m2 untuk tingkat semai. Pada stasiun 4 hanya terdapat jenis Nypa Fruticants tingkat anakan dengan kisaran kerapatannya adalah ± 118 ind/ 25 m2. Keberadaan jenis Nypa fruticants pada stasiun 4 ini dikarenakan lokasi stasiun 4 ini terletak pada zona akhir (Muharein,2008).

2. Terumbu Karang (Coral Reef)

(37)

adalah tourism. Dimana nilai objektif yang didapatkan pda tourism ini mendapatkan nilai 3. Dimana berarti Terumbu karang lumayan pengaruh untuk pariwiata bagi manusia sebagai perkenalan bahwa Terumbu karang baik untuk dijaga. Lalu objektif yang terakhir adalah coastal protection. Pada objektif ini mendapat nilai 3, dimana nilai ytersebut termasuk nilai yang sangat baik dan sangat berpengaruh sekali antara Terumbu karang dengan coastal protection dikarenakan Terumbu karang sendiri merupakan garda paling depan jikadari laut terjadi tsunami atau badai yang besar sehingga daerah penduduktidak terkena dampaknya.

Kondisi terumbu karang di Pantai Sanur, bauj di bagian selatan maupun di bagian tengah-tengah, berada dalam kondisi sedang dengan prosentase penutupan masing-masing 48,2 – 57 % dn 35,52 – 43,08%. Kondisi terumbu karang terburuk terlihat di Sanur bagian utara, dengan kondisi sedang sampai buruk dan prosentase penutupanya hanya mencapai 19,33 – 25,21%. Hasil monitoring tahun 2006 menunjukkan bahwa nilai penutupan karang hidup di Sanur 30,12-67,34% pada kedalaman 3 meter dan 28,1-64,17% pada kedalaman 10 meter yang mana kondisi ini termasuk ke dalam kategori sedang sampai baik. Nilai penutupan karang hidup di Serangan 37,7-71,9 % pada kedalaman 3 m dan 26,5-56,2% pada kedalaman 10 m yang kondisinya masuk dalam kategori buruk sampai baik (Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar, 2008).

3. Lamun (Seagrass)

Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk maing-masing objektif yang dipengruhi oleh lamun. pagi perikanan atau ikan-ikan disekitar lamun, mendapatkan nilai 1, dimana berarti nilai 1 sedikit pengaruhnya terhadap perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk biodiversity yaitu memiliki nilai objektif 2, dimana nilai 2 ini lumayan berpengaruh terhadap biodiversity. Karena biasanya di daerah sekitar lamun hanya ada beberapa spesies yang berada disana. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah pengaruh lamun terhadap tourism yaitu memiliki nilai 1, dimana berarti tourism sedikit sekali berpengaruh terhadap lamun, kerena padang lamun sangat jarang dikunjungi orang-orang snorkeling. Dn yang terakhir nilai objektif coastal protection. Dimana coastal proktecytion mendapat nilai objektif hanya 1 yang berarti hanya sedikit pengaruhnya terhadap lamun.

(38)

pelabuhan Teluk Bali. Tingginya lalu lalang perahu dapat berdampak negatif terhadap keberadaan padang lamun, sedangkan dampak perubahan suhu di suatu perairan dapat berpengaruh terhadap produktifitas Thalassia testudium dan Syringodium filiforme. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman yang paling besar bagi keberadaan padang lamun yaitu faktor lingkungan seperti limbah berasal dari aktifitas manusia ( LIPI,2010)

4. Dive site

Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk maing-masing objektif yang dipengruhi oleh Dive site. pagi perikanan atau ikan-ikan disekitar Dive site, mendapatkan nilai -2, dimana berarti nilai -2sedikit pengaruhnya buruk terhadap perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk biodiversity yaitu memiliki nilai objektif -2, dimana nilai -2 ini lumayan berpengaruh terhadap biodiversity. Karena biasanya di daerah sekitar Dive site mempengaruhi. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah pengaruh Dive site terhadap tourism yaitu memiliki nilai 3, dimana berarti tourism banyak sekali berpengaruh terhadap Dive site, kerena Dive site sangat seru. Dan yang terakhir nilai objektif coastal protection. Dimana coastal proktecytion mendapat nilai objektif hanya 0 yang berarti tidak pengaruhnya terhadap Dive site.’

Bali bisa dikatakan surga menyelam bagi para penghobi selam. Di pulau itu, segala bentuk pemandangan dan kondisi bawah laut tersedia dan tersebar di berbagai lokasi. Saya menyebut Bali dengan istilah Disneyland Diving-nya Indonesia. Banyak tempat di luar Bali yang memiliki kekhasan ‘individu’ luar biasa. Namun, di Bali-lah semua ciri khas bawah laut Indonesia bisa disaksikan dan tersebar di berbagai area dan titik selam Pulau Dewata. Berikut beberapa area selam yang ada di Bali. Di setiap area bisa ditemui lagi beberapa bahkan puluhan titik menyelam dengan kekhasan masing-masing (Gunawan, 2014).

5. Exiting MPAs

(39)

dampak besar terhadap kelestarian coastal protection yang dapat berdampak baik terhadap spesies-spesies yang hidup didalamnya.

Agar keberlangsungan pariwisata bahari terjamin, pernah digagaskan perlindungan kawasan pantai (marine protected area) di Bali. Dengan begitu, bisa diketahui mana kawasan yang bisa dimanfaatkan untuk kawasan wisata bahari, mana yang tidak. Sehingga tidak ditemukan lagi adanya perusakan terhadap biota laut akibat kegiatan wisata. Namun, arah kebijakan pemerintah di Bali, baik di propinsi maupun kabupaten/kota terlalu berorientasi dan terkonsentrasi ke daratan. Produk hukum yang mengatur wilayah bahari atau laut nyaris nihil. Padahal, tiga perempat wilayah dengan kondisi Propinsi Bali yang luasnya hanya 5.632,86 km2, keberadaannya perlu dilindungi mulai dari laut. Di sinilah pentingnya marine protected area (kawasan perlindungan laut) (Balipost, 2008). Melalui Undang-Undang No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah di Indonesia mendapat mandat dan bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan (Pasal 18, Ayat 3). Kewenangan dan tanggung jawab ini memungkinkan untuk munculnya istilah baru dalam nomenklatur KKP. Istilah yang sering dipakai adalah kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Sampai saat ini, ada beberapa KKLD yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati setempat, sebagai contoh Kabupaten Klungkung (Propinsi Bali) ( Wiadnyadgr, 2012).

6. Fishing Ground

Dari hasil diskusi kelas pada saat praktikum, dihasilkan nilai objektif untuk maing-masing objektif yang dipengruhi oleh Fishing Ground bagi kegiatan perikanan mendapatkan nilai 2, dimana berarti nilai 1 cukup pengaruhnya terhadap perikanan. Yang kedua nilai objektif untuk biodiversity yaitu memiliki nilai objektif -2. Nilai -2 ini untuk fisging ground cukup merugikan terhadap biodiversity, karena penagkapan terus-menerus tanpa adanya jangka waktu dapat memotong regenerasi dan merusak ekosistem di sekitarnya bila penangkapan dilakukan dengan alat-alat yang berbahaya. Lalu nilai objektif yang ketiga adalah pengaruh Fishing Ground terhadap tourism yaitu memiliki nilai -2, karena daerah penagkapan ikan tidak diperuntukkan untuk tourism. Dn yang terakhir nilai objektif Fishing Ground terhadap coastal protection. Dimana coastal proktection mendapat nilai objektif 3 yang menunjukkan sangat berpengaruh baik terhadap coastal protection. Dengan adanya Fishing Ground maka daerah coastal protection dapat terjaga dengan baik, serta meminimalisir dampak-dampak buruk yang dapat merugikan ekosistem terumbu karang.

(40)

Tabel 4. Tabel Valuing Nature

Berdasarkan hasil hitungan dari Planning Unit Covering 200 m depth pada wilayah Pulau Bali didapatkan wilayah yang tepat digunakan daerah MPA (Marine Protected Area) adalah daerah Bali bagian barat, yaitu mencakup wilayah perairan Malaya, Gilimanuk, Permuteran, dan daerah perairan sekitar Pulau Menjangan. Karena berdasarkan informasi pada peta tematik daerah tersebut merupakan daerah yang terdapat ekosistem Mangrove, terumbu karang, lamun, juga terdapat lokasi penyelaman.

Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Jembrana dalam kondisi sangat baik terdapat di Cekik dan Gilimanuk. Faktor-faktor alam sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang di kawasan Cekik dan Gilimanuk adalah kondisi arus yang kuat sehingga proses pertukaran nutrien dan purifikasi sedimen pada permukaan terumbu dapat berlangsung secara baik. Kawasan Hutan Bali Barat. Hutan mangrove di kawasan ini bagian dari Taman Nasional Bali Barat. Luas hutan mangrove adalah 429,00 ha, terletak di Kabupaten Jembrana yaitu Gilimanuk seluas 217,00 ha dan Kabupaten Buleleng seluas 212,00 ha yang berlokasi di desa Sumberklampok dan Pejarakan (Pemprov Bali, 2010).

Untuk daerah rencana MPA selanjutnya berdasarkan hasil hitungan dari

Planning Unit Covering 200 m depth pada wilayah Pulau Bali ini yaitu di sekitar Sanur, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua. Pada daerah-daerah tersebut patut dijadikan kawasan perencanaan MPA (Marine Protected Area) karena terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, lamun, serta are penyelaman (dive site) Menurut Hutasoit (2015) dalam Mongabay (2015).

(41)

terumbu karang dan konservasi kima, diharapkan kawasan perairan Nusa Dua bisa dijadikan atraksi ekowisata bawah laut.Sebaran lamun yang cukup luas di wilayah pesisir Bali terdapat di Kota Denpasar (pantai Sanur dan Serangan), Kabupaten Badung (Nusa Dua, Tanjung Benoa, Sawangan, Kutuh, Ungasan, Teluk Benoa), Kabupaten Jembrana (Teluk Gilimanuk), Kabupaten Karangasem (Padangbai dan Candidasa), dan Kabupaten Klungkung (Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan). Sebaran terumbu karang di Kota Denpasar seluas 300,6 ha, terdapat di sepanjang pesisir yang membentengi Pantai Sanur dan Pulau Serangan. Secara spasial, sebaran terumbu karang di kawasan Sanur mulai berkembang dari pantai Matahari Terbit (ujung utara) sampai pantai Mertasari (ujung selatan) serta sisi timur dan tenggara Pulau Serangan (Pemprov Bali, 2010).

Pada daerah selanjutnya, berdasarkan hasil hitungan dari Planning Unit Covering 200 m depth dipilihlah kawasan Pulau Penida tepatnya di bagian selatan. Pada perairan Pulai Penida ini merupakan daerah yang banyak terdapat ekosistem terumbu karang. Selain itu di Pulau Penida bagian selatan ini merupakan daerah penunjang MPA (existing MPA), spot diving (Dive Site) yang merata di Pulau ini serta terdapat juga ekosistem lamun. Terumbu karang dalam kondisi sangat baik Bali bagian tenggara (Nusa Penida).

(42)

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ketiga Konservasi Sumberdaya Kelautandan perikanan dengan materi MPA Zoning and Designadalah sebagai berikut:

1. Marine Protected Area (MPA) dibentuk karena makin seringnya kegiatan mencari ikan dan hasil laut lainnya yang menggunakan cara yang merusak lingkungan, seperti menggunakan bahan peledak (babom) dan racun sianida (babius)

2. Penentuan MPA dibuat peta tematik yang berbeda-beda tetapi masih dalam daerah yang sama, skala yang sama, dan proyeksi yang sama (peta dasar, peta dengan kedalaman laut sampai 200 m dari pantai, peta planning unit (grid), pada praktikum menggunakan peta daerah Bali.

3. Fitur konservasi yang dipakai dalam penentuan zona MPA yaitu Mangrove, Coral reefs, Seagrass, Dive sites, Exiting MPA, dan Fishing ground. Penentuan fitur didasarkan pada pemberian nilai dari -3 (sangat buruk) sampai 3 (sangat baik). Dari keenam fitur konservasi yang dipakai mendapatkan nilai total Mangrove 11, Coral reefs 12, Seagrass 5 , Dive sites -1, Exiting MPA 9, dan Fishing ground -5. 4. Berdasarkan hasil hitungan dari Planning Unit Covering 200 m depth pada

wilayah Pulau Bali didapatkan wilayah yang tepat digunakan daerah MPA (Marine Protected Area) adalah daerah Bali bagian barat, yaitu mencakup wilayah perairan Malaya, Gilimanuk, Permuteran, dan daerah perairan sekitar Pulau Menjangan. Karena berdasarkan informasi pada peta tematik daerah tersebut merupakan daerah yang terdapat ekosistem Mangrove, terumbu karang, lamun, juga terdapat lokasi penyelaman.

5. Pulau Penida bagian selatan ini merupakan daerah penunjang MPA (existing MPA), spot diving (Dive Site) yang merata di Pulau ini serta terdapat juga ekosistem lamun dan terumbu karang dalam kondisi sangat baik di Bali bagian tenggara (Nusa Penida).

6. Selain itu, di sekitar Sanur, Tanjung Benoa, dan Nusa Dua. Pada daerah-daerah tersebut patut dijadikan kawasan perencanaan MPA (Marine Protected Area) karena terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, lamun, serta are penyelaman (dive site).

4.2 Saran

(43)
(44)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Lingkungan Hidup Kota Denpasar. 2008. Status Lingkungan Hidup Kota Denpasar Tahun 2008. Denpasar. Pemerintah Kota Denpasar Provinsi Bali

DirektoratJenderalKelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan.2015. Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/. Diakses hari Jumat, 23 Oktober 2015 Pukul 06.00 WIB

Ghazali, Iqbal dan Abdul Manan. 2011. Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Di Selat Bali Berdasarkan Data Citra Satelit. Madura : Univ. Trunojoyo

GRE, 2008. Kawasan Perlindungan Laut. http://www.balipost.co.id/balipostcetak//. Diakses Hari Selasa, 20 Oktober 2015 Pukul 06.00 WIB

Gunawan, Cipto Aji. 2014. Disneyland Bawah Laut indonesia. Destinasi Indonesia | No 6 Vol1-2014

Hutasoit , Pariama Magdalena Damayanti dalam Mongabay. 2015. 330 Anakan Kima

Disebar Untuk Restorasi Perairan Nusa Dua.

http://www.mongabay.co.id/tag/terumbu-karang/. Diakses pada hari Kamis, 22 Oktober 2015 pukul 19.00 WIB

Kementrian Lingkungan Hidup. 2007. Studi Valiasi Sumber Daya alam lingkungan di kawasan Lindung (Konservasi).Bernala Nirwana: Jakarta.

LIPI.2008.Pemetaan Padang Lamun Di Sekitar Pilau Bali. JAKARTA

Muharein,muri.2008.Kajian Sumberdaya Ekosistem Mangrove Untuk Pengelolaan Ekowisata di Estuarin Perancak, Jembrana, Bali. Bogor:IPB

Pemprov Bali. 2010. LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI BALI TAHUN 2010. http://datin.menlh.go.id/. Diakses hari Jumat, 23 Oktober 2015 Pukul 00.12 WIB

Sundjaya.2008. Menjadi Konservasionis. UI Press: Jakarta

(45)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

Stakeholder Involvement in MPA’s Management

DISUSUN OLEH : KELOMPOK : 2 PRODI :Ilmu Kelautan ASISTEN :Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

(46)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mengenai pembahasan Stakeholder Marine Protected Area (MPA) stakeholder, sebelumnya kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Stakeholder. Stakeholder merupakan individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholder jika memiliki karakteristik yaitu mempunyai kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan terhadap perusahaan. Stakeholder dalam pengertian singkat juga dapat diartikan sebagai orang yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh wilayah MPA.

Menurut Dahuri, Rais, Ginting, dan Sitepu (2001) dalam Abubakar et al. bahwa rancangan pengelolaan harus terpadu baik dari aspek keilmuan, sektoral dan keterkaitan ekologis. Untuk menjawab keterpaduan dan keberlanjutan tersebut, maka penelitian ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga pengelolaannya terpadu dan berkelanjutan. Rancangan itu harus dijawab berdasarkan atas analisis dampak ekonomi, sosial dan lingkungan. Segala keputusan yang diambil dalam pengelolaan kawasan ini harus melibatkan partisipasi stakeholders. Stakeholders juga yang memantau dan mengevaluasi pengelolaannya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka telah dilakukan penelitian dengan tujuan (1) untuk merancang skenario strategi pengembangan pengelolaan kawasan konservasi laut Gili Sulat yang berdimensi terpadu dan berkelanjutan (2) Memperkirakan dampak ekonomi, sosial dan ekologi pada pengelolaan kawasan konservasi laut Gili Sulat berkelanjutan. Pengelolaan kawasan konservasi laut baik dalam jangka menengah maupun dalam jangka panjang harus terpadu dan berkelanjutan.

(47)

1.2 Waktu dan Tempat

Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan dengan materi “Stakeholder Involvment in MPA’s management” dilaksanakan di Gedung D.3.6, lantai 3 pada tanggal 25 Oktober 2015, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

1.3 Maksud danTujuan

Maksud dari Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan adalah mahasiswa mampu mengategorikan stakeholder tersebut menjadi beberapa kategori berdasarkan atribut dan juga pengaruhnya dalam suatu pengambilan keputusan. Dimana secara atribut stakeholder dapat dibagi menjadi Disipatif, Expectant, dan latens kemudian menurut pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan dapat dibagi menjadi vocal minority group serta silent majority group.

(48)

2. METODOLOGI

2.1 Skema Kerja Praktikum

Praktikan datang 15 menit sebelum praktikum dimulai

Praktikan belajar untuk pre-test

Praktikum dimulai dengan pre-test

Asisten memberikan materi praktikum ke-4

Diadakan diskusi kelompok selama 5 menit

Praktikan mempresentasikan hasil diskusi

Praktikan mengisi form “stakeholder berdasarkan atribut”

Perwakilan praktikan menjelaskan hasil pengisian form

Praktikan belajar untuk post-test

Praktikum diakhiri dengan post-test

Praktikan mengisi form “stakeholder berdasarkan kemampuan”

(49)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisa Prosedur

Untuk melakukan suatu pendekatan manajemen yang ditujukan untuk manajemen MPA hal yang terpenting yang harus dipersiapkan adalah elemen stakeholder yang ada di kawasan MPA yang dibuat. Jadi, pertama kita siapkan elemen stakeholder yang ada di kawasan MPA yang kita amati. Contohnya, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, Kelompok Nelayan, Akademi, dan lain sebagainya. Setelah itu, lakukan pemberian skor stakeholder terhada[ aspek legitimasi, power, dan urgensi yang dimiliki satkeholder tersebut. Pemberian nilai dilakukan dalam skala 1-3. Stakeholder dan aspek penilaiannya disajikan seperti tabel 3.1. Setelah itu, skor dijumlahkan untuk di interpretasikan tipe manajemennya berdasarkan atribut.

Tabel 5 Tabel Penilaian Stakeholder 1

No. Stakeholder Legitimasi

Untuk penilaian tipe manajemen MPA berdasarkan kemampuan mempengaruhi, dari daftar stakeholder dan aspek penilaiannya dilakukan pemberian skor terhadap dua sudut pandang penilaian. Yang pertama sebesar apa dtakeholder mempengaruhi dan yang kedua sebesar apa stakehoder dipengaruhi. Format tabel dan pegisiannya nya disajikan seperti contoh pada tabel 3.2. Setelah itu skor dijumlahkan untuk diinterpretasikan tipe manajemen berdasarkan kemampuan stakeholder mempengaruhi.

Tabel 6 Tabel Penilaian Stakeholder 2

(50)

3.2 Analisa Hasil

2 Badan Lingkungan Hidup Denpasar 3 3 3 9

3 Birokrat 3 2 1 6

4 BKSDA 2 2 3 7

5 Bupati Denpasar 2 3 1 6

6 Coral Triangle Initiative 1 1 1 3

7 Dinas Kelautan Perikanan Denpasar 3 3 1 7

8 Dinas Pariwisata 1 2 1 5

9 Dinas Pekerjaan Umum Denpasar 2 1 2 5

10 Kelompok Nelayan 1 1 3 5

11 Media 1 1 2 4

12 Pedagang 1 1 1 3

13 Pemuka Adat 2 2 1 5

14 Pengelola Wisata 2 2 1 5

15 Polisi Air dan Udara 2 2 1 5

16 Resort Owner 2 2 2 6

17 TNI Angkatan Laut 2 2 1 5

18

Turtle Conservation and Education

Center 1 2 2 5

19 Wisatawan 1 1 1 3

20 World Wildlife Fund 1 1 2 4

SCORE =

(51)

Badan lingkungan hidup kota Denpasar dan BKSDA (Badan Konsevasi Sumber Daya Alam) memiliki rangking terbesar pada Stakeholder Ranking. Dalam Stakeholder Ranking yang memiliki nilai score 7-9 merupakan bagian dari Definitif yang merupakan individu atau kelompok yang menentukan suatu keptusan. Dalam pelaksanaan tugasnya. BKSDA bertanggungjawab terhadap kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di dalam dan di luar kawasan konservasi untuk mendukung mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Memiliki tujuan memantapkan efektifitas pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsinya, memantapkan perlindungan kawasan konservasi dan keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, meningkatkan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari sesuai dengan fungsinya dan meningkatkan kelembagaan, kemitraan dan partisipasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (BKSDAkaltim, 2015).

Badan lingkungan hidup kota Denpasar sebagai penjabaran yang bertugas untuk mendukung terwujudnya visi pembangunan kota Denpasar berwawasan lingkungan yamg berbudaya, mencakup mewujudkan pembangunan lingkungan kota Denpasar berkelanjutan yang berwawasan budaya. Menumbuh Kembangkan kemampuan masyarakat kota Denpasar, mengelola Lingkungan yang berwawasan lingkungan. Membangun pelayanan public dan informasi lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan konservasi dan MPAs manajemen pun sangat dipengaruhi oleh Badan Lingkungan Hidup (BLHDenpasar, 2014).

(52)

NO STAKEHOLDER LEGITIMACY

Dari hasil praktiku, kami mendapatkan stakeholder tertingi yang tergolong dalam Silent Majority group adalah Birokrat dan BKSDA. Dimana Birokrat sendiri adalah sebuah susunan tertinggi disuatu provinsi maupun didaerah tersebut, jadi birokrat dapat mempengaruhi atau dapat memerintah langsung dan membuat kebijakan tentang peraturan dalam konservasi sumberdaya kelautan. Dan yang kedua adalah BKSDA, dimana BKSDA ini adalah sebuah balai konservasi yang ada di daerah tersebut. Otomatis, balai tersebut mempunyai peraturan dan kebijakan tentang konservasi.

Dan stakeholder yang tertinggi yang tergolong pada vocal minority group adalah wisatawan dan pedagang. Yang pertama adalah wisatwan, karena wisatawan merupakan pengunjung suatu tempat wilayah konservasi, para wisatawan ini juga dapat memberi pendapat dan timbal balik apa yang mereka rasakan di wilayah konservasi tersebut. Yang ke dua adlah pedagang, sama halnya dengan wisatawan, peddagang juga dapat memberikan timbal balik dengan kepuasan pedagang tersebut yang berdagang di sekitar wilayah konservasi.

(53)

berpengaruh terhadap pemanfaatan tempat tersebut. Terjadi hubungan saling ketergantungan dan kepentingan dari golongan expectent

Hubungan potensial antara anggota lain dari sistem pemangku kepentingan dan pemangku kepentingan dengan dua dari tiga atribut pemangku kepentingan mengidentifikasi mewakili kualitatif berbeda (lebih terlibat) zona arti-penting. Dengan demikian, menganalisis situasi di mana dua dari tiga atribut: kekuatan, legitimasi dan urgensi, yang hadir, salah satu tidak bisa membantu tetapi melihat perubahan momentum yang mencirikan kondisi ini. Sedangkan "satu-atribut" lowsalience stakeholder diantisipasi untuk memiliki status laten di stakeholder sistem, "dua-atribut" stakeholder moderat-arti-penting terlihat menjadi "Mengharapkan sesuatu" karena kombinasi dari dua atribut memimpin pemangku untuk aktif versus sikap pasif, dengan sesuai peningkatan sistem pemangku kepentingan tanggap terhadap kepentingan stakeholder. Tiga kelas expectent (dominan, tergantung dan berbahaya). (Ronald, 2000)

Dan stakeholder yang tergolong latent adalah wisatawan dan pedagang. Untuk wisatawan hanya menikmati apa yang di berikan dan sedikit memberikan pengaruh dan lebih kepada penikmat kalau cuman sebatas wisatawan, wisatawan datang membayar tiket masuk kalau ada dan hanya mendapat sedikit hak dalam keputusan. Untuk pedagang, pedagang hanya akan mengikuti peraturan apa yang di berikan stakeholder yang lebih penting lainya. Pedagang hanya menjadi stakeholder latent juga karena terbatas dengan perturan dan perjanjian yang ada dan hanya berhubungan dengan wisatawan.

(54)

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautandan perikanan dengan materi Stakeholder Involvement in MPA’s Management

adalah sebagai berikut:

1. Penilaian tipe manajemen MPA berdasarkan kemampuan mempengaruhi dibedakan menjadi Vocal Minority Group dan Silent Majority Group. Berdasarkan penilaian tergolong dalam Silent Majority group adalah Birokrat dan BKSDA. Stakeholder dengan nilai tertinggi yang tergolong pada Vocal Minority Group adalah wisatawan dan pedagang.

2. Tipe stakeholder berdasarkan atributnya dibedakan menjadi tiga, yaitu Definitive, Expectent, dan Latent. Berdasarkan penilaian hasil praktikum yang tergolong Definitive yaitu Badan Linghungan Hidup Denpasar (nilai 9) dan BKSDA (nilai 7). Tipe Expectant yaitu Bupati (nilai 6) dan Resort Owner (nilai 6). Tipe Latent yaitu wisatawan (nilai 3) dan pedagang (nilai 3).

4.2 Saran

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar et al. Strategi Pengembangan Pengelolaan Berkelanjutan Kawasan Konservasi Laut Gili Sulat: Suatu Pendekatan Stakeholders. Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010 hlm. 256-262

Bksdakaltim. 2015. Bksdakaltim. http://bksdakaltim.dephut.go.id/. Diakses pada hari Selasa, 27 oktober 2015 pukul 16.00 WIB

BLHDenpasar. 2014. Visi Dan Misi BLH Kota Denpasar. http://lh.denpasarkota.go.id/. Dikases pada hari Selasa, 27 oktober 2015 pukul 18.00 WIB

Nessa, Natsir dkk.2014. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (Bunga Rampai).

(56)

LAPORAN PRAKTIKUM

KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN

PERIKANAN

MATERI

5S Framework for Succes MPA Management

DISUSUN OLEH : KELOMPOK : 2

PRODI :Ilmu Kelautan ASISTEN :Dinda Puspa M

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(57)

1. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kerangka kerja Mangemen Plan meliputi beberapa tahapan, tahap pertama

mengidentifikasi sistem ekologi dan keragaman komunitas di wilayah

perencanaan, mengidentifikasi integritas ekologi (biodiversity health), menguji

status kesehatan keanekaragaman hayati, dan menyusun tujuan konservasi pada

wilayah target. Setelah mengidentifikasi sistem yang akan dikonservasi, tahap

selanjutnya tahap kedua adalah mengidentifikasi ancaman atau stress dan sumber

ancaman atau stress yang potensial menganggu tujuan konservasi. Berdasarkan

jenis dan sumber ancaman atau stress tersebut maka disusun strategi untuk

pengelolaan dan restorasi dan penghilangan sumber ancaman. Evaluasi dilakukan

dengan merujuk kepada perencanaan wilayah konservasi. Strategi yang sudah

disusun kemudian dievaluasi dan dirangking berdasarkan tiga kriteria yaitu:

keuntungan, menghilangkan ancaman terhadap konservasi, meningkatkan

viabilitas target konservasi),kemungkinan keberhasilan, dan biaya implementasi.

Gambar

Tabel 1. Spesies Terancam Mengalami Kepunahan Karena Ancaman Dari Penangkapan Berlebih
Gambar 1 Grafik  jumlah penggunaan alat tangkap
Tabel 2 Skor Kerusakan Alat
Gambar 2 Bubu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perpindahan atau defleksi maksimum yang terjadi sebesar 0,357407 mm terdapat pada nodal 137, yaitu pada alur pasak roda gigi kerucut, karena pada bagian tersebut

Kondisi lingkungan secara umum menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika-kimia dan biologi antara ketiga habitat, namun kisaran parameter lingkungan pada tiga

Pelaksanaan strategi pemasaran suatu usaha untuk mencapai tujuan diperlukan strategi pemasaran yang mencakup aspek 7P ( Product, Price, Place, Promotion , Process ,

Yang kemudian kronologi peristiwanya yaitu Pemohon merupakan pemilik sebidang tanah dengan luas lebih kurang 395 m 2 (tiga ratus sembilan puluh lima) meter per segi,

Informasi-informasi intelijen dalam bentuk rekomendasi Kominda diperlukan bagi unsur- unsur pimpinan daerah dalam mengambil langkah dan kebijakan yang berkaitan dengan deteksi

Selain itu juga dukungan dari DP2M Dikti dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman. Universitas Negeri Yogyakarta khususnya Jurusan Pendidikan Teknik Boga

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Untuk mengetahui efektifitas penggunaan model pembelajaran Demonstrasi dan Presentasi dalam

Dengan adanya pembelajaran yang lebih bervariatif dengan pemanfaatan sumber belajar berbasis teknologi seperti buku digital berbasis RME diharapkan sebagai suatu