/?J
L.\
k
KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP
BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT
(KKL
)BERAU
AND1 RUSANDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
ANDl RUSANDI. Study on the suitability of woter areas within Berau Marine Conservation Area for sustainable capture fnheries.
Supervised by DANIEL R MONLVTJA ond MULYONO S BASKORO
The objectives of this research are : 1)to reveal the suitability of marine conservation area in Berau for sustainable capture fisheries, 2) to formulate a policy on the use of environmentalfrend&fishing gear as a part of sustainable
marine management strategv.
This research used the Geographical Information System for analyzing the suitability offishing ground and Analytical Hierarchy Process for determining environmentalfriendlyfishing gear.
Sea surfme temperature, chlorophyll, salinity and analysis on bathymetry indicated that the suitable fishing ground of pelagic fishes located at the of estuary of Berau river and around Karang Besar.
The waters between Kakaban and Maratua island and around Karang Gosongan are suitable for pelagic fishing ground. The suitable for demersal fishing ground are in the estuary of Berm river, in the south part of coral reef area between K m g Besar and Manimbora island, and in the waters around Bilangan-bilangan island. The area around Payang island is also suitable one for fishing ground targeting grouper (kerapu) and red snapper (koknp merah). However rhe existence of shark and dugong in rhe waters, indicated thai this area should not be allocated the fishing ground for such fishes. The research also revealed the existence of 14 fuhing gears in Berau Marine Conservation Area (MCA). The most environmental friendly fishing gear for pelagic f i h are the handline (pancing ladung), trolling (pancing tonda), and Longline (rawai), while for demersal fish are the handline @ancing ladung),trolling (jmncing rondo), spearfishing @annh ikmt), gillnet oaring insang), lobster trap (jerot udang), and trap (bubu).
AND1 RUSANDL Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanau Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konsewasi Laut @UU) Berau. Dibimbing oleh DANIEL R MONINTJA dan MULYONO S. BASKORO.
Kawasan Konsemasi laut (KKL) Berau adalah salah satu kawasan konservasi laut yang terbesar yang telah diinisiasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Berau melalui Peraturan Bupati No 31 tahun 2005 tanggal 27
Desember 2005.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan kdnservasi laut terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan tangkap hiigga saat ini masih mempunyai peran penting terutama dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan oleh masyarakat pesisir.
Di dalam pengelolaan kawasan konservasi laut Berau diperlukan informasi wilayah-wilayah tangkapan ikan yang berkelanjutan dan tidak mengganggu wilayah migrasi biota perairan langka dan dilindungi, oleh kaenanya penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui kesesuaian wilayah perairan di Kawasan Konse~asi Laut Berau untuk wilayah perikanan tangkap, 2) menyusun kebijakan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagai bagian dari shategi pengelolaan wilayah perikanan tangkap secara berkelanjutan.
Untuk mencapai tujuan tersehut, pada penelitian ini digunakan metoda Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk menganalisis kesesuaian wilayah penangkapan ikan dan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) untuk penentuan alat tangkap ramah lingkungan.
Dari hasil overlay parameter suhu, khlorofil, salinitas, dan kedalaman perairan diketahui bahwa daerah yang sesuai untuk penangkapan ikan pelagis terutama untuk ikan-ikan kernbung, tongkol dan teri berada di luar muara Sungai Berau dan di sekitar Karang Besar. Perairan di antara P. Kakaban dan P. Maratua,
serta perairan di sekitar Karang Gosongan juga m e ~ p a k a n perairan yang sangat sesuai untuk ikan-ikan pelagis.
Wilayah perairan yang sangat sesuai untuk penangkapan ikan demersal
tangkap yang ramah lingkungan untuk ikan demersal adalah jenis pancing ladung, pancing tonda, panah ikan, jaring insang, jerat udang, dan bubu.
Beberapa jenis dari alat tangkap yang digunakan di KKL Berau, temyata bersifat tidak ramah lingkungan, seperti jaring gondronglrengge, bagan apung, pukat cinch, hampandsero, alat laidpotas, mini trawl, trawl.
Dari hasil tumpangsusun sebaran alat tangkap dengan peta hasil analisis kesesuaian untuk wilayah tangkapan ikan demersal maupun wilayah tangkapan ikan pelagis, banyak ditemukan alat tangkap pelagis yang digunakan di wilayah yang sangat sesuai untuk ikan demersal. Hal ini mungkin terjadi karena kapal- kapal nelayan yang ada di KKL Berau adalah kapal-kapal bertonase kecil, yang tidak mampu menjangkau daerah yang jauh/pemim yang dalam. Beberapa alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga masih ditemukan di wilayah yang seharusnya menjadi zona inti, oleh karenanya untuk mengelola perikanan tangkap berkelanjutan di kawasan KKL Berau perlu didukung dengan legalitas hukum dari
pemerintah daerah Kabupaten Berau, terutama yang terkait dengan ijin penggunaan alat tangkap.
O Hak cipta milik Institut Pertaniaa Bogor, tahun 2009 Hak cipta diiindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbemya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tidak me~gikan kepentingan yang wajar IF'B
KESESUAIAN WILAYAH PERAIRAN UNTUK PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT (
KKL
)BERAU
AND1 RUSANDI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pa&
Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR
PENGESAHAN
Judul Tesis : Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau. Nama Mahasiswa : AndlRusandi
Nomor
M
u
k
Mahasiswa : C 551040174 Program Studi : Teknologi KelautanDisetujui,
7 Prof. Dr. Ir.Danie1 R Monintia Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc
Ketua AW33Jta
Program Studi Telcnologi Kelautan
PRAKATA
Puji Syukur disampaikan kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan ksuunia-Nya sehigga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini merupakan hasil penelitian di Kawasan Konservasi Laut
(KKL)
Berau di Kabupaten Berau Kalimantan T i . Judul Tesis ini adalah "Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap Berkelanjutandi Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau", yang disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister %is pada Sub Program Studi Perencanam Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besamya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku Ketua Komisi dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Mulyono S. Baskoro, MSc selaku Anggota Komisi.
2. Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc, yang telah banyak memberikan arahan, masukan dan partner diskusi yang pada akhimya berkenan pula menjadi dosen penguji luar komisi pada sidang pasca sarjana penulis.
3. Bapak Prof. Ir. Widi A. Pratikto, MSc.,PhD., Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan
dan Perikanan yang pada tahun 2004 sebagai D i k t u r Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (P3K) DKP yang telah berkenan memberikan ijin belajar
4. Ibu Ir. Ida Kusuma W., Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K yang pada tahun 2004 sebagai Kepala Bagian Program Ditjen KP3K DKP yang telah memberikan dukungan
untuk sekolah pasca sarjana di IPB
5 . Bapak Ir. Agus Dennawan, MSi., Diiktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen KP3K yang telah memberikan dukungan terns menerus untuk menyelesaikan p e n d i d i
di pasca sajana di JPB
6. Mohamad Jen, A.Pi., Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan D i Kelautan dan Perikanan Kabupaten B e r n dan Sonny TasidjawqSIK., Bio-Monitoring Ofiicer Sekretariat Bersama Bemu yang senantiasa
7. Rekan-rekan di Sekretariat Bersama (Joint Program) Berau dan rekan-rekan Dinas Kelautan dan Perilcanan Berau yang telah berkenan berbagi data dan informasi mengenai
KKL Berau
8. Nirmalasari Idha Wijaya, SPi, MSi yang selalu menjadi teman diskusi dalam
penyelesaian tesis hi, juga teman-teman laimya Yessi Gardenia, SPi.,MSi. dan Ika Wahyuningrum, SPi,.MSi.
9. Program COREMAP I1 yang telah memberikan bantuan penelitian melalui program beasiswa
10. Khususnya istriku Ria Kodariah, yang senantiam setia menemani, memberikan doa, semangat dan dorongan, serta anak-anakku yang telah memberikan motivasi dalam
penyelesaian studi hi, juga kakak, adik-adikku yang telah memberikan doa serta dukungan yang tak pemah surut.
11. Rekan-rekan Mahasiswa Program TKL Sub Program Studi PPKP angkatan 200412005 dan angkatan 200512006, dan semua pihak yang tak tersebutkan satu persatu.
Penulis menyadari kesempumaan masih belum dapat tempi dalarn tesis h i sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempumaannya. Semoga tesis ini dapat
bermanfaat berbagai pihak khususnya bagi masyarakat pesisu Kabupaten Berau.
Bogor, April 2009
RIWAYAT EIIDI.JP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 Juli 1962 sebagai anak kedua
dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Rubardi Martasasmita (Alm) dan Ibu Hj. Domirah (Alm). P e n d i d i i S-1 diselesaikan tahun 1987 di Institut Pertanian Bogor Fakuitas
Perikanan, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan.
Penulis mulai bekerja di Sub Balai Konsewasi Sumberdaya Alam Pangandaran
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam pada tahun 1990. Selanjutnya
berturut-turut bekerja di Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(Ditjen PHKA) Departemen Kehutanan. Pada tahun 2003, penulis mendapat kesempatan
bekerja di Diktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen P3K) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai Kepala Sub bagian Program Ditjen P3K dan
selanjutnya sebagai Kepala Seksi Konsewasi Kawasan pada Direktorat Konservasi dan
Taman Nasional Laut (Dit. KTNL) D i k t o r a t Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (Ditjen KP3K) dan sejak awal Januari 2009 penulis mendapat tugas menjadi Kepala
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Pontianak yang wilayah kerjanya meliputi
seluruh provinsi dan kabupatenlkota Kalimantan.
Pada tahun 2004 penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program
...
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL
...
xivDAFTAR GAMBAR
...
xvDAFTAR LAMPIRAN
...
xvi1 PENDAHULUAN
...
11
.
1 Latar Belakang...
1...
1.2 Perurnusan Masalah.
.
61.3 Tujuan Penel~tlan
. .
...
71.4 Manfaat Penel~t~an
...
71.5 Kerangka Pemikiran
...
72 TINJAUAN PUSTAKA
...
92.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL)
...
9...
2.2 Kawasan Konsewasi Laut Berau 13...
2.3 Usaha Perikanan Tangkap 16 2.4 Perikanan Tangkap Berkelanjutan...
17...
2.5 Pemanfaatan Teknologi Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis 24...
2.5.1 Peneindraan iauh (INDRAJA) satelit. .
242.5.2 Sistem informasi geogratis (SIG)
...
252.6 Proses H i i AnalitikIPHA (Analytical Hiermchy Process/AHP)
...
273
.
METODOLOGI...
. .
30...
3.1 Lokasi dan Waktu Penel~t~an 30...
3.2 Bahan dan Alat 31...
3.3 Metode Pengumpulan Data 32 3.3.1 Pengumpulan citra satelit...
343.3.2 Pengumpulan data posisi dan hasil tangkapan
...
343.4 Metode Pengolahan Data
...
343.4.1 Pengolahan citra satelit
...
343.4.2 Pengolahan spasial
...
343.5 Analisis Data.
...
35...
3.5.1 Analisis spasial 35...
3.5.2 Analisis kesesuaian lahan daerah penangkapan ikan 38 3.5.3 Stnttegi pengelolaan wilayah perikanan tangkap...
433.5.4 Hierarki penentuan kebijakan penggunaan alat tangkap
...
444 HASIL PENELITIAN
...
51...
4.1.2.1 Suhu air laut 55
4.122 Salinitas air laut
...
55...
4.1.2.3 Khlorofil- a 56...
4.1.2.4 Kondisi arus laut 56...
4.1.2.5. .
Kedalaman perairan 58...
4.1.3 Kondis~ ekosistem 61...
4.1.3.1 Ekosistem mangrove 61...
4.1.3.2 Ekosistem tenunbu karang 62...
4.1.3.3 Ekosistem padang lamun 63 4.1.4 Kondisi sosial budaya masyarakat...
664.2 Kegiatan P e r i i a n Tangkap
...
684.2.1 Jenis alat penangkapan ikan
...
694.2.2 Nelayan
...
76...
42.3 Metode penangkapan ikan 81...
4.2.4 Hasil tangkapan ikan 81...
4.2.5 Sebaran spasial daerah penangkapan ikan 84 5 PEMBAHASAN...
885.1 Zonasi Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Perikanan Tangkap
...
88...
5.1.1 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis 89...
5.1.2 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal 89...
5.2 Hierarki Pemilihan ~ l a i ~ & g k a ~ &ah Lingkungan 92...
5.2.1 Selektivitas alat tangkap 95 5.2.2 Pemanfaatan berkelanjutan...
965.2.3 Tidak berdampak pada ekosistem
...
965.2.4 Kemudahan pengoperasian
...
96...
5.2.5 Aman bagi nelayan 97 5.2.6 Tidak menimbulkan pencemaran...
975.2.7 Produksi yang berkualitas tinggi
...
98...
5.2.8 Aman bagi konsumen 98...
5.2.9 Menguntungkan bagi nelayan 98 5.2.10 Penenmaan masyarakat nelayan...
98...
5.2.1 1 Legalitas kegiatan penangkapan 99 5.3 Penggunaan Alat Tangkap untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah...
Perikanan Berkelanjutan 99 5.4 Rekomendasi Pengelolaaan Wilayah Penangkapan Berkelanjutan...
1006 KESIMPULAN
...
103...
6.1 Kesimpulan 103 6.2 Saran...
104DAFTm PUSTAKA
...
1051 Jenis dan sumber data yang dibutuhkan &lam analisis kesesuaian wilayah perairan untuk perikanan tangkap di Kawasan Konservasi Laut . . (KKL) Berau Kalimantan
Timur
...
322 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang mengindikasikan keberadaan ikan pelagis terutama jenis ikan kembung, tongkol dan teri
...
413 Kriteria kesesuaian wilayah perairan yang m e n g i n d i i i keberadaan ikan
...
demersal terutama jenis ikan kerapu, kuwe dan kakap 43 4 Matrik berbanding berpasangan...
48...
5 Skor penetapan prioritas &lam PHA 49 6 Nama dan luas pulau-pulau kecil dalam KKL Berau...
537 Komposisi penutupan karang di perairan utara
KKL
Berau...
638 Komposisi penutupan karang di perairan selatan
KKL
Berau...
639 Nama kecamatan. kampung dan jumlah penduduk di
KKL
Berau...
6610 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Februari
.
Juni 2005...
691 1 Jenis dan jumlah alat tangkap bulan Juli 2005
.
Februari 2006...
70...
12 Hasil tangkapan ikan pelagis di peraim KKL Berau 82 13 Hasil tangkapan ikan demersal di perairanKKL
Berau...
83DAFrAR
GAMBAR
Halaman
...
1 Kerangka pemikiran 8
...
2 Peta lokasi penelitian 31
...
4 Hasil dari analisis diagram Voronoi 36
...
5 Tampilan hasil analisis jalur pada sekumpulan titik 36
. .
6 Hasil buffer pada unsur ttt~k dan garis
...
37...
7 Tampilan analisis tumpang susun (overloy) 38
8 Diagram h i i i analisis penentuan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan sesuai untuk digunakan di zona perikanan belkelanjutan perairan
KKL
Berau
...
50...
9 Rata-rata sebaran suhu permukaan laut KKL Berau 55
10 Rata-rata sebaran khlorofil- a
KKL
Berau...
57...
11 Kedalaman laut di perairan KKL Berau 58
12 Citra NOAA-AVHRR penyebaran suhu bulan Januari-Desember 2006
...
5913 Citra TERRA-MODIS penyebaran klorofil bulan Januari-Desember 2006
...
60...
14 Sebaran pancing -.--
...
77.
.
...
15 Sebaran pukat dan pukat clncln 78
.
.
16 Sebaran trawl dan mlnl trawl
...
7917 Sebaran rengge dan jerat udang
...
80...
18 Grafik hasil tangkapan ikan pelagis di perairan KKL Berau 83
...
19 Grafik hasii tangkapan ikan demersal di perairan
KKL
Berau 84...
20 Sebaran keberadaan ikan lumba-lumba dan hiu 85
-~ ~ ~ ~- ~ ~~ ~ ~ ~~ ~~~~ ~ ~ ~ ~~-
...
21 Sebaran daerah penangkapan biota yang dilindungi 86
...
23 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan pelagis di KKL Berau
...
9024 Kesesuaian wilayah penangkapan ikan demersal di KKL Berau
...
9125 Tampilan kriteria dan sub-kriteria dalam penentuan jenis alat tangkap nunah
...
Lingkungan pada sofiware expert choice 2000 :
...
95Halaman
...
1 Data hasil tangkapan ikan 5 tahun 112
...
2 Data tokoh kunci sebagai responden expert judgement 114...
3 Grafik sensitivitas penentuan alat tangkap ramah lingkungan 115
...
4 Kuesioner proses hierarki analisis (F'H.4) 116
...
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki luas laut lebih besar dibanding luas daratan. Jumlah pulau di negam ini sebanyak 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km. Total luas wilayah perairan laut 5,8 juta km2 yang terdiri dari 3,l juta km2 perairan teritorial dan 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif. Luas perairan laut ini mencapai 75 % dari luas teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia (DKP 2005).
Wilayah laut Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa terkenal memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam. Hasil beberapa pakar menunjukan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia antara lain 15 spesies lamun (Hoeksema 2007), 550 spesies reef building corals (Roberts et al. 2002), 45 spesies mangrove (Burke et al. 2002), lebih dari 40 spesies Mwrrom coral (Hoeksema 2007), 30 spesies marine mammals (Jefferson 1993) dan 2.122 spesies reef$shes (Allen 2007).
Daerah penangkapan ikan Cfishing ground) adalah suatu wilayah dimana ikan-ikan biasa berkumpul dan merupakan target para nelayan untuk menangkap ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan.
Kondisifishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, sariitas, upwelling dan adanya pertemuan arus panas dengan arus dingin. Selain itu jenis substrat dari dasar perairan akan mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan. Faktor biologi antara lain berkorelasi dengan kelimpahan plankton pada suatu wilayah tertentu. Ikan- ikan target yang akan ditangkap jumlahnya masih menguntungkan usaha penangkapan ikan.
Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihldiperbaharui (renewable resources), karena sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh, kegiatan penangkapan ikan akan mengarah kepada eksploitasi yang tidak terkontrol dan akan mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan. Salah satu upaya yang hams dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan secara seimbang dengan usaha konsewasi sehingga kelestarian dapat terus terjaga (sustainable). Hal ini sejalan dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa
'States and users of aquatic ecosystems should minimize waste, catch of non-
target spesies, both fsh and non-fsh spesies, and impacts on associated or
dependent spesies "
Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada Code of Conduct for responsible Fisheries dimana pengelolaan hams melalui kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah dimaksud, adalah :
(1) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya (2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab (3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil
punah
(5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang
(6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia
(7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besamya hasil tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, efisien dan ramah lingkungan.
Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki peran clan arti penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan instrinsik yang tidak terhingga, seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Kawasan konservasi laut sebagai perwakilan tipe ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut, keutuhan sumber plasma nutfah, keseimbangan ekosistem telah memberikan kontribusi yang jelas bagi kehidupan manusia dalam bentuk kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan, penelitian, biologi dan mainan masa depan permawan 2007).
Kabupaten Berau merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi dan beragam di Indonesia, sehingga masuk dalam Sulrr Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang dikelola 3 negara yakni Indonesia, Malaysia dan Philipine. Bahkan saat ini, Kabupaten Berau menjadi salah satu lokasi Coral Triangle lnisiafive (CTI) yang akan dikerjasamakan oleh 6 negara yakni, Indonesia, Malaysia, Philipina, Papua New Guinea, Solomon Islands dan Timor Leste.
Dengan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang besar beserta permasalahannya, wilayah pesisir dan laut Kabupaten Berau perlu dikelola dengan baik clan tepat. Hal ini guna menjaga kelestarian dan bejalannya fungsi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan agar mendukung kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Sesuai dengan program pemerintah (Departemen Kelautan dan Perikanan) yang tengah menggalakkan pembentukan KKL di berbagai daerah dengan target 10 juta ha pada tahun 2010, termasuk pembentukan kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau).
KKL Berau ditetapkan melalui Peratumn Bupati Berau No 31 tahun 2005 tanggal 27 Desember 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang diukur dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar &lam wilayah Kabupaten Berau, ditambah kawasan lindung mangrove yang telah tertuang di Peraturan Daerah No. 3 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Berau, sehingga luas KKL Berau hingga ke kawasan mangrove sebesar 1.222.988 ha.
Secara umum tujuan pembentukan
KKL
Berau adalah melindungi keanekaragaman pesisir dan laut, serta menjamin pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut baik untuk kepentingan perikanan maupun pariwisata bahari dapat berkelanjutan di Kabupaten Berau. Dalam rangka optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi laut Berau, penerapan zonasi merupakan solusi yang tepat, namun perlu direncanakan secara matang.tehnik pengolahan citra dapat memberikan kontribusi sangat besar dalam kegiatan pendugaan zona penangkapan ikan di perairan lapisan atas.
Satelit NOAA menyediakan informasi pembahan suhu permukaan laut (SPL) dan citra MODIS-AQUA untuk informasi perubahan konsentrasi klorofil-a pada permukaan yang kemudiaan dapat di analisis dalam bentuk informasi atau peta dugaan posisi dan zona yang menjadi potensial bagi penangkapan sumberdaya ikan (Kushardono 2003).
Menurut Hendriarti er al. (1985), Purba (1991) dan Hasyim (1996), SPL dapat memberikan informasi mengenai fenomena upwelling,
POW,
peergerakan massa air dan kesesuaian suhu permukaan yang merupakan indikator penting keberadaan ikan-ikan tertentu. Sementara nilai konsentarasi klomfil-a diatas 0,2 mg& menunjukkan kehadiran dari kehidupan plankton yang memadai untuk menopang atau mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan komersial (Bond 1979).Pemanfaatan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dalam bidang pesisir dan lautan sampai saat ini sudah banyak membantu para analis &lam mengkaji dan mengembangkan informasi bagi kegiatan sektor pesisir dan lautan. Sebagai contoh, analisis kesesuaian dalam penentuan lokasi yang tepat untuk budidaya udang, daerah penangkapan ikan, pelabuhan perikanan, kegiatan
monitoring berbagai sumberdaya hayati pesisir (mangrove, lamun, rumput laut, temmbu karang dan stok ikan karang) dan penataan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
1.2 Perurnusan Masalah
Pada satu sisi, kawasan konsewasi laut Berau memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang tinggi, pada sisi lain di kawasan pesisir dan laut ini juga mempunyai berbagai permasalahan seperti degradasi lingkungan akibat beberapa aktivitas manusia seperti perusakan terumbu karang, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (iflegal jishing), eksploitasi ikan berlebihan (melebihi daya dukung), deplesi beberapa biota laut dilindungi seperti penyu, dan lain sebagainya. Kenyataan ini berdampak pada penurunan populasi ikan dan biota laut lainnya. Salah satu program terobosan &lam meminimalkan penurunan sumberdaya ini adalah pengelolaan Kawasan konsewasi laut Berau dengan sistem zonasi yang ditaati seluruh stakeholders termasuk masyarakat.
Penunjukan kawasan konservasi laut Berau yang berdasarkan Peraturan Bupati Berau No 31 tahun 2005, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan management plan yang didalamnya terdapat arahan zonasi sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 2007 tentang Konsewasi Sumberdaya Ikan (KSDI) bahwa suatu kawasan konsewasi laut terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, dan Zona lainnya yang masih dianggap perlu. Zona perikanan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah suatu zona yang diharapkan dapat mengakomodir kepentingan perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:
(1) Mengetahui kesesuaian wilayah perairan di kawasan konsewasi laut Berau untuk daemh penangkapan ikan
(2) Menyusun rekomendasi pengaturan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan sebagai bagian dari strategi pengelolaan daerah penangkapan ikan secara berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini adalah salah satu bahan untuk penyusunan rencana zonasi di kawasan konsewasi taut Berau yang diwajibkan Peraturan Pemerintah tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan maupun Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan di kawasan konsewasi tersebut dapat lebih tejamin kelestarianya.
15 Kerangka Pemikiran
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang (WCED 1987), sehingga pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang hams mernperhitungkan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosial (Munasinghe 2002).
Dengan diketahuinya komponen-komponen tersebut di atas, diharapkan daerah penangkapan ikan dapat terpetakan dengan baik dan dapat menjadi bahan rujukan penentuan zonasi secara lengkap dalam rangka Perencanaan Pengelolaan KKL Berau.
[image:24.567.57.533.52.728.2]I. N a i h ~ p ~ ~ a l i ~ i i d a k ~ ~
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Konservasi Laut (KKL)
Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap lingkungan khususnya
lingkungan perairan laut, diindikasikan dengan terbitnya berbagai aturan dan
kebijakan, seperti Peraturan Pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya tkan khususnya mandate pasat 1 ayat 1 bahwa konservasi sumberdaya ikan mempakan upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan
sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin
keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memeliara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Sehingga
pernerintah sudah mewajibkan bagi seluruh stakeholders untuk melakukan upaya- upaya pemanfaatan yang berkelanjutan baik untuk pemanfaatan ekosistem seperti
pengelolaan kawasan konservasi maupun pemanfaatan jenislgenetik seperti
penangkaran dan lain sebagainya.
Dalam PP No 60 Tahun 2007 juga dinyatakan bahwa sumberdaya ikan
adalah potensi semua jenis ikan, sedangkan potensi jenis ikan yang dimaksud PP
tersebut adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian hidupnya
berada di dalam lingkungan perairan.
Menurut Sembiring dan Husbani (1999) kawasan konservasi laut memiliki
peran sangat penting dalam kehidupan, karena memiliki nilai-nilai nyata dan
instrinsik yang tidak terhingga seperti nilai ekologi, ekonomi, sosial, yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia saat kini maupun saat mendatang. Sementara
Dermawan (2007) menyatakan bahwa kawasan konservasi laut m e ~ p a k a n
wilayah yang terpilih sebagai penvakilan berbagai tipe ekosistem dan
keanekaragaman jenis biota laut, sebagai sumber plasma nutfah, serta sebagai penyeimbang ekosistem dengan kata lain terjaminnya proses-proses ekologis
sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kehidupan manusia.
Kontribusi dan manfaat keberadaan kawasan k o n s e ~ a s i laut antara lain
dapat menunjang kepentingan ekonomi, ekologis, estetika, pendidikan dan
Defrnisi kawasan konsewasi laut (Marine Pmtected Area-MF'A) yang dihasilkan kongres dunia tentang kawasan lindung ke-4 (World Wilderness Congress) dan diadopsi oleh IUCN pada tahun 1988, adalah : daerah intertidal atau subtidal termasuk flora dan fauna, sejarah dan keragaman budaya yang dilindungi sebagian atau seluruhnya melalui peraturan perundangan (Gubbay 1995 yang diacu dalam PT Norma Widya Karsa 2003). Definisi MPA menurut fiecutive Order 13158 dalam laporan-PT Norma Widya Karsa tahun 2003, bahwa MPA adalah "any area of the marine environment that has been reserved by federal, state, territorial, tribal or local laws or regulations to provide lasting
protection for part or all of the natural and cultural resources therein"
Berbagai bentuk, ukuran dan kamkteristik serta pengelolaan sebuah kawasan k o n s e ~ a s i laut (MPA), ha1 ini sangat tergantung dari tujuannya, seperti halnya di Amerika telah dikembangkan berbagai jenis MPA, seperti : national marine sanctuaries, fishery management zones, national seashores, national park national moments, critical habitats, national wildlge refuges, national estuarine research reserves, state conservation areas, state reserves, ha1 ini untuk kepentingan tujuan konsewasi seperti konsewasi kawasan (Marine Managed Area-MMA), konsewasi jenis antara lain konsewasi migratory species.
MPA seluas 18.850 ha wilayah laut dan 35 ha wilayah pesisir pertama kali diperkenalkan pa& tahun 1935 ketika didirikannya The Fort Jefferson National Monument di Florida, dan menjadi perhatian khusus pada The World Congress on National Park tahun 1962 karena konsep konsewasi yang memadukan wilayah laut, pesisir dan perairan tawar didaratan.
Dukungan Internasional semakin berkembang dalam mempromosikan MF'A, ha1 ini munculnya dukungan berbagai LSM seperti WWF Internasional menyatakan bahwa pengelolaan konsewasi laut menjadi sarana penting karena mampu menjamin pemulihan kesehatan ekosistem laut yang berimplikasi terhadap kesuburan wilayah perikanan.
(global climate change), terutama sebagai kontrol pemanfaatan sumberdaya
perikanan.
Empat program pengembangan MPA (Dermawan 2007), yaitu :
(1) Conservution of biodiversify
-
MPAs dapat melindungi dan memperbaiki keanekaragaman hayati lalut melalui implementasi perencanaan pengelolaanberbasis ekologi, yakni melalui prioritas daerah untuk konservasi laut, k o n s e ~ a s i
habitat dan konsewasi jenis serta penyusunan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan
(2) Sustainable Fisheries - MPAs menunjukan cara yang efektif &lam upaya perlindungan terhadap collaps-nya perikanan, salah satunya dengan
peningkatan rekruihnenl restocking ikan di wilayah kritis. Penerapan ini
sangat sesuai di Asia Tenggara k a n a kondisi perikanannya yang multi-
species dan multi-gem
( 3 ) Sustainable Tourism - MPAs dapat memajukan tourism melalui pelibatan seluruh stakeholders dalam pengelolaan MPA untuk melindungi, memelihara
dm memperbaiki ekosistem laut karena fenomenanya menjadi asset andalan
pariwisata bahari.
( 4 ) Integrated Coastal Management
-
MPAs dapat memberikan percontohanpengelolaan pesisir terpadu yang melibatkan berbagai stakeholders secara partisiptic sehingga terhindar dari "building blocks"
Keseriusan Pemerintah Indonesia &lam penanganan konsewasi perairan,
terutama perairan laut, diindikasikan dengan keluamya aturan-aturan diantaranya
Undang-undang No 3 1 tahun 2004 tentang Perikanan, yang memandatkan bahwa
konservasi sumberdaya ikan perlu diterapkan sebagai upaya perlindungan,
pelestaria, dun pemanfmtan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dun
genetic untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, t,n kesinambungan dengan
tetap memeliharadan meningkatkan kunlitas nilai dun keanekaragaman
sumberwa ikan ( p a d 1 angka 8 UU No 31 Tahun 2004), dan petunjuk operasional yang lebih detail dengan telah diterbitkannya Peraturan Pemerintah
diielola dengan sitem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan
dan lingkungannya secara berkelanjutan
Pendelegasian kewenangan pengelolaan kawasan konservasi laut ke daerah
juga diperbesar peluangnya, yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, temtama pada pasal 18 dijelaskan salah satu kewenangan
daerah di wilayah laut Bdalah eksplorasi, eksploitasi dan k o n s e ~ a ~ i sumberdaya
alam di wilayahnya, sehingga sekarang dikenal dengan Kawasan k o n s e ~ a s i laut
Daerah yang mencirikan bahwa inisiasi pengelolaan diawali dari daerah, namun pengaturan pengelolaan tetap mengacu kepada peraturan perundangan yang ada.
Pengelolaan kawasan konservasi juga diatur di Undang-undang No 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dimana regim pengelolaannya meliputi pesisir pantai sampai kearah laut dan pulau-pulau
kecil, sementara pengaturan detail perencanaan pengelolaannya telah diatur di
PERMEN KP No PER. 16/MEN/2008.
Zona di kawasan konsewasi laut sebagaimana pasal 17 ayat 4 PP No 60
Tahun 2007, terdiri dari Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan serta Zona Lainnya
Zona di Kawasan konservasi laut mempakan suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui pendekatan fungsional sesuai dengan potensi sumber
daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu
kesatuan ekosistem.
Zona inti diperuntukkan bagi:
(1) Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan;
(2) Penelitian; dan
(3) Pendidikan.
Zona perikanan berkelanjutan dipemntukkan bagi :
(1) Perlindungan habitat dan populasi ikan;
(2) Penangkapan ikan dengan alat dan cam yang ramah lingkungan; (3) Budidaya ramah lingkungan;
(4) Pariwisata dan rekreasi;
(5) Penelitian dan pengembangan; dan
Zona Pemanfaatan dipemtukkan bagi: (1) Perlindungan habitat dan populasi ikm,
(2) Pariwisata dan rekreasi;
(3) Penelitian dan pengembangan; dan (4) Pendidikan.
Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan
zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona
tertentu seperti zona perlindungan, zona pemanfaatan tradisional,
dan
zonarehabilitasi.
Di zona perikanan berkelanjutan diutamakan peruntukannya untuk kegiatan
perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Penentuan wilayah perikanan
budidaya maupun daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan pendekatan
analisa citra dan survey secara terpadu.
2 3 Kawasan Konservasi Laut Berau
Kabupaten Berau yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur m e ~ p a k a n
salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup
tinggi dan beragam di Indonesia. Di wilayah pesisir dan laut Kabupaten ini
terdapat terumbu k g yang luas dengan kondisi cukup baik. Keragaman
terumbu karang Berau tertinggi kedua di Indonesia setelah Raja Ampat Papua dan
yang ketiga di dunia
Hutan mangrove di Kabupaten Berau banyak ditemukan di Delta Berau dan
di sepanjang daerah pesisir. Sejumlah pulau-pulau kecil dan ekosistem padang lamun juga terdapat di daerah ini. Beberapa spesies yang dilindungi dapat
ditemukan seperti p e n s paus, lumba-lumba, duyung dan beberapa spesies laimya. Keanekaragaman yang tinggi di Kabupaten Berau ini, menjadikan hampir
seluruh wilayah Berau dijadikan Kawasan Konservasi Laut Berau melalui
Peraturan Bupati berau No 3 1 tahun 2005.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa bahwa jenis-jenis biota
Reptilia
( 1 ) Penyu tempayan (Caretta caretta) (2) Penyu hijau (Chelonia mydas)
( 3 ) Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) (4) Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
(5) Penyu ridel (Lepidochelys olivaceae)
(6) Penyu pipih (Natator depresa)
Mamalia
( 1 ) Paus biru (Balaenoptera musculus) ( 2 ) Paus bersirip ( B a ~ a e m p t e r a p ~ s a l w ) ( 3 ) Paus bongkok (Megaptera novaeangliae)
(4) Paus lemak (Cetacea/semua jenis familia cetacea)
(5) Lumba-lumba air laut (Dolphinidae/semua jenis famila Dolphinidae) (6) Duyung (Dugong dugon)
(7) Lumba-lumba air laut (Ziphiidael semua jenis familia Ziphiidae)
Pisces
Coelacanth (Latimeria chalumnae)
Anthozoa
Akar bahar, koral hitam (Anthipares spp/genus Anfhipates)
Molusca
(1) Kima raksasa (Tridocna gigas) (2) Kima kecil (Tridacna mmima)
(3) Kima sisiWseruling (Tridacna squamosa) (4) Kima selatan (Tridacna derata)
(5) Kima kuniaubang (Tridocna crocea)
(6) Kima pasir (Hippopus hippopus)
(7) Kima cina (Hippopusporcellamus) (8) Kepala kambing (Cussis cornuta)
(9) Triton terompet (Charonia fritonis)
(10) Nautilus berongga (Nautilus pompillus)
( I 1) Troka, susu bundar (Trochus niloticus)
Crustacea
1. Ketam kelapa (Birgus lafro)
2. Ketam tapak kuda (Tachipleus gigas)
Peraimn Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau
terbesar di Indonesia, juga fenomena alam bawah aimya juga berpeluang
dijadikannya pariwisata bahari yang bertaraf intemasional.
Pennasalahan di kawasan pesisir dan laut merupakan ancaman bagi
kelangsungan
KKL
Berau. Pennasalahan-pennasalahan tersebut antara lain perusakan t e m b u karang, penurunan populasi penyu, praktek penangkapan ikanyang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya (Wiryawan el at. 2005).
Kabupaten Berau terdiri dari I3 Kecamatan, yaitu Tanjung Redeb, Gunung
Tabw, Teluk Bayur, Segah, Kelay, Sambaliung, Derawan, Maratua, Tabalar,
Biatan-Lempake, Talisayan, Batu Putih d m Biduk-Biduk. Dari 13 Kecamatan tersebut, delapan kecamatan merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan
Biduk-biduk, Batu Putih, Talisayan, Biatan-Lempake, Tabalar, Maratua, Derawan
dan Sambaliung. Kecamatan Batu Putih dan Kecamatan Biatan Lempake merupakan Kecamatan yang baru dibentuk pada tahun 2005.
Di satu sisi Berau mempunyai potensi keanekaragaman hayati pesisir dan
laut, namun di sisi lain permasalahan degradasi pesisir dan laut serta pulau-pulau
kecil di perairan Berau semakin mengkhawatirkan, oleh karenanya pengelolaan
kawasan konse~asi laut Berau perlu segera diprioritaskan untuk ditangani secara
serius sehingga sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat.
Sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah
benvenang untuk mengelola sumberdaya alamnya sendiri, Pemerintah Pusat
melalui Departemen Kelautan dan Perikanan mendorong Pemerintah Daerah untuk mengembangkan KKL di Berau. Keseriusan Pemerintah Kabupaten Berau
terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir d m laut diwujudkan dengan penunjukan
Kawasan konservasi laut Kabupaten Berau (KKL Berau) melalui Perahlran Bupati Berau tahun 2005. Batas KKL di wilayah laut ditetapkan sejauh 4 mil yang diukw dari garis pangkal yang menghubungkan pulau-pulau terluar dalam
wilayah Kabupaten Berau. Luas KKL Berau sebesar 1.222.988. ha. Secara umum
serta menjamin pemanfaatan sumberdaya perikanan dan pariwisata bahari berkelanjutan di Kabupaten Berau (Wiryawan et al. 2005).
Pembentukan KKL Berau diharapkan dapat menjadi model dalam mendesain pokok-pokok pengelolaan konsewasi laut yang berskala daerah, dan atau regional bahkan nasional karena lintas wilayah administrasi otonomi. Untuk menghindari berbagai pernasalahan yang berkembang dalam pengelolaan
KKL,
baik konflik vertikal (tumpang tindih pemndang-undangan) maupun horizontal (masalah pemanfaatan dan pengel~laan sumberdaya), maka dibutuhkan suatu kajian yang mendalam terhadap berbagai peraturan perundangan-undangan yang telah berjalan, perencanan dan desain pengelolan yang baik, kelembagaan yang &pat bejalan sesuai dengan kebutuhan, serta sistem pendanaan yang mandiri.
Menurut Wiryawan et al. (2005) untuk memudahkan pengelolaan,
KKL
Berau diusulkan menjadi 3 kawasan pengelolaan, yaitu bagian utara, tengah dan selatan. Kawasan pengelolaan bagian utara meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove di Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Kawasan pengelolaan bagian tengah meliputi wilayah laut dan hutan mangrove Kecamatan Tabalar, Biatan Lempake dan Talisayan. Kawasan pengelolaan bagian selatan meliputi wilayah laut, pulau-pulau kecil, temmbu karang, lamun dan hutan mangrove di Kecamatan Batu Putih dan Biduk- biduk.
2.3 Usaha Perikanan Taogkap
Usaha perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, dan mengawetkan (Alhidayat 2002).
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha pembahan dari suatu
yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang baik ataupun dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses
yang menuju pada suatu kemajuan.
Menurut Bahari (1989), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan
dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebii baik.
Pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia perlu diarahkan agar
dapat menunjang tujuan-tujuan pembangunan umum perikanan, seperti yang
tergambar dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Berikut syarat-syarat
pengembangan usaha perikanan tangkap:
(1) Meningkatkan kesejahteraan nelayan;
(2) Meningkatkan jumlah produksi dalam rangka penyediaan sumber protein
hewani;
(3) Mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa diekspor; (4) Menciptakan lapangan ke ja;
(5) Tidak merusak kelestarian sumber daya ikan.
Usaha pengelolaan dan pengembangan perikanan laut di masa datang
memang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tetapi dengan pemanfaatan iptek, akan mampu mengatasi
keterbatasan sumber daya melalui suatu langkah yang rasional untuk
mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan
pengembangan tersebut juga hams mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial budaya dan ekonomi (Barus et al. 1991).
2.4 Perikanan TangkPp Berkelanjutan
Pengelolaan berkelanjutan merupakan suatu proses mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yakni dengan cam
menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung
sumberdaya alam. Perairan laut bersifat milik bersama, sehingga siapa pun dapat
Perikanan tangkap mempakan kegiatan ekonomi yang mencakup penangkapan/pengumpulan hewan dan tanaman air yang hidup di laut secara bebas. Pengembangan usaha perikanan m e ~ p a k a n suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Hamdan 2007).
Menurut Charles (1994), terdapat tiga komponen kunci dalam
sistem
perikanan berkelanjutan yaitu (1) Sistem alami (ikan ekosistem, dan lingkungan biofisik); (2) Sistem manusia (nelayan, sektor pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosiaUekonomi/budaya); dan (3) Sistem manajemen perikanan (perencanaan dan kebijakan perikanan, manajemen perikanan, pembangunan perikanan, dan penelitian perikanan).
Laju eksploitasi sumberdaya ikan yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, mempercepat proses kemsakan sumberdaya ikan dan menurunnya permmbuhan ekonomi jangka panjang dengan cepat dan tidak dapat dihindari. Model pembangunan di masa mendatang tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan perikanan berkelanjutan.
Kegiatan perikanan tangkap di kawasan k o n s e ~ a s i dipengamhi beberapa aspek, yakni, (1) aspek biologi, yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya ikan, penyebarannya, komposisi ukuran hasil tangkapan dan jenis ikan, (2) aspek teknis, yang berhubungan dengan unit penangkapan, jumlah kapal, fasilitas penanganan di atas kapal, fasilitas pendaratan, fasilitas penanganan ikan di darat, (3) aspek sosial, yang berhubungan dengan kelembagaan, ketenagaan k e j a serta dampak usaha terhadap nelayan, (4) aspek ekonomi, yang berkaitan dengan hasil produksi clan pemasaran serta efisiensi biaya operasional yang berdampak kepada pendapatan bagi stakeholders (Charles 2001 yang diacu dalam
Hamdan 2007)
upaya yang harus dilakukan adalah pemanfaatan potensi sumberdaya ikan yang
berkelanjutan atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang seimbang dengan
konservasi sehingga kelestarian dapat terus tejaga (sustainable). Hal ini sejalan
dengan yang telah dicanangkan oleh F A 0 (1995) dalam Code of Conduct for
Responsible Fisheries yang menyatakan bahwa "states and users of aquatic
ecosystems should minimize waste, catch of non-target species, both fish and non- fish species, and impacts on associated or dependent species"
Pengelolaan daerah penangkapan ikan yang berkelanjutan mengacu kepada
Code of Conduct for Responsible Fisheries diiana pengelolaan harus melalui
kebijakan, hukum, dan kerangka kelembagaan yang tepat dengan mengadopsi
langkah-langkah untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, langkah-langkah
dimaksud, adalah :
( 1 ) Menghindari penangkapan ikan melebihi potensi lestarinya
(2) Mendukung industri perikanan yang bertanggungjawab
(3) Memperhatikan kepentingan nelayan kecil
(4) Melindungi dan mengkonservasi keanekaragaman hayati yang terancam punah
(5) Memfasilitasi pemulihan stok ikan yang sudah mulai kurang
(6) Mengkaji dan memperbaiki dampak negatif akibat aktivitas manusia
(7) Meminimalkan dampak negatif seperti pencemaran limbah, besarnya hasil
tangkapan sampingan (by catch) dengan menggunakan alat tangkap yang selektif, efisien dan ramah lingkungan.
Penangkapan ikan yang berlebihan di suatu daemh penangkapan ikan akan
mengakibatkan menurunnya sumberdaya ikan, menurut Azis et al. (1998) yang
diacu dalam Hamdan (2007), wilayah penangkapan ikan di laut Jawa
diindikasikan telah mengalami ove$shing pada berbagai jenis stok sumberdaya
ikan seperti udang, ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, Beberapa ha1 yang mempengamhi tejadinya overfishing, yaitu jumpah nelayan, jumlah armada
penangkapan, serta jumlah jumlah dan jenis alat tangkap yang dipakai dalam perikanan tangkap di suatu wilayah perairan. Penangkapan ikan dengan
menggunakan metode tidak ramah lingkungan akan mempercepat terjadinya
terjadinya kerusakan habitat sebagai akibat dari metoda penangkapan yang
merusak. Namun alat tangkap legal juga tetap akan menyebabkan ovetf7shingjika
penerapan effort dilakukan melebihi kapasitas yang mungkin bagi stok sumberdaya dalam melakukan pemulihan
(DKP
2003 yang diacu dalam Hamdan 2007).Menurut Gulland (1983), indiitor te jadinya overJshing ditunjukan dengan
menurunnya ukuran ikan yang ditangkap, dan makin menurunnya catch per unit e#oH (CPUE). Berkurang jumlah dan komposisi species ikan me~pikkan salah satu indikator penangkapan ikan yang berlebihan atau juga akibat tekanan
terhadap perairan sehubungan dengan pemanfaatan lahan di wilayah pesisir
terutama konversi kawasan mangrove menjadi tambak dan sebagainya.
Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya ikan yang terbatas kelimpahannya
sesuai daya dukung habitatnya milik bersama dan terkenal karena milik bersama
sehingga rawan terhadap over$shing (Monintja dan Yusfiandayani 2001 yang
diacu dalam Hamdan 2007). Menurut Boer dan Azis (1995) yang diacu dalam
Hamdan (2007), Salah satu tugas pengelola sumberdaya perikanan adalah
menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total AIlowable
Catch (TAC).
Menurut Hamdan (2007) bahwa pemerintah dalam mengelola sumberdaya
ikan dapat menerapkan kebijakan-kebijakan langsung seperti :
(1) Pembatasan alat tangkap (restriction on gears), kebijakan ini semata-mata
untuk melindungi sumbedaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak (desmtive)
(2) Penutupan musim (closed season), kebijakan ini m e ~ p a k a n pendekatan
pengelolaan sumberdaya ikan yang didasari pada sumberdaya ikan yang
tergantung kepada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu species
saja &lam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Menurut Nikijuluw (2002) yang diacu dalam Hamdan (2007), penutupan musim ada 2 macam,
yakni :
2) Penutupan kegiatan penangkapan ikan, karena sumberdaya ikan telah mengalami degradasi yang diindikasikan hasil tangkapan ikan yang semakin sedikit, sehingga dengan penutupan ini memberikan peluangpada ikan untuk memperbaiki populasinya.
(3) Penutupan area (closed area), Kebijakan ini memberikan pengertian penutupan kegiatan di daerah penangkapan ikan yang dapat bersifat permanen atau pada kurun waktu tertentu
(4) Kuota penangkapan, kebijakan ini dilakukan dalam rangka pemberian hak kepada industry atau pelusahan perikanan untuk menangkap atau mengambil sejumlah ikan tertentu dari perairan. Kuota adalah alokasi jumlah tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada
(5) Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, bentuk kebijakan ini ditujukan untuk mempertahankan strukhrr umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini dalam rangka member kesempatan pada ikan yang masih muda untuk tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum ikan tersebut tertangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi hasil tangkapan dan ukuran individu ikan yangtertangkap
Pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan menuntut pemanfaatan yang tidak melebihi ambang batas dari daya replika dan reproduksi sumberdaya ikan dalam periode tertentu. Oleh karena itu laju pemanfaatan sumberdaya ikan tidak boleh melebihi dari ambang pulih (potensi lestari). Tingkat pemanfaatanlpenangkapan ikan di suatu daerah penangkapan ikan tidak boleh melebihi 80 % dari nilai potensi hasil tangkapan maksimum yang lestari (nuurimum sustainable yield-MSY).
Menurut DKP (2003 b), konsep dasar program sistem intensif CCRF,
adalah:
(1) Pemeliharaan dan perlindungan ekosistem perairan (2) Pengembangan organisasi, manajemen dan kelembagaan
(3) Pengembangan teknologi alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan
(4) Peningkatan pemahaman terhadap penangkapan ikan yang berwawasan lingkungan
(6) Peningkatan keselamatan dan keamanan aktivitas penangkapan ikan
(7) Integrasi perikanan tangkap dengan pengelolaan kawasan pesisir
Menurut Arimoto (1999) yang diacu dalam Hamdan (2007) bahwa teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang sedikit
mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa
kemsakan dasar perairan (benthic disturbance), kemungkinan hilangnya alat tangkap, kontribusi terhadap polusi, menurunnya keanekaragaman hayati
(biodiversity), tertangkapnya ikan-ikan muda, melimpahnya hasil tangkapan
sampingan (by-catch). Monintja (2000) menjelaskan bahwa w a teknis alat
tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi criteria : (1) mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak m e ~ s a k habitat temmbu karang, (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan operatorlnelayan, (5) rendahnya hasil tangkapan sampinganlby-catch, (6) dampak terhadap
biodiversity kecil, (7) tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi, (8) hasil
tangkapan tidak melebihi jumlah yang boleh dimanfaatkan/ total allowable catch-
TAC, (9) alat tangkap tersebut menggunakan sedikit bahan bakar, (10) secara hukum alat tangkap tersebut legal, (I I) jumlah investasi kecil, (12) hasil produksi baik dengan harga yang kompetitif
Sebagaimana dijelaskan di sub bab sebelumnya bahwa di kawasan
konservasi laut selain menyediakan wilayah untuk zona inti, juga menyediakan
wilayah untuk perikanan tangkap berkelanjutan.
Daerah penangkapan ikan @hing ground) adalah suatu wilayah dimana ikan-ikan biasa berkumpul dan m e ~ p a k a n target para nelayan untuk menangkap
ikan karena selain lokasi sumberdaya ikan, wilayah tersebut dianggap aman untuk
pengoperasian suatu alat tangkap dan tidak membahayakan bagi nelayan serta jumlah ikan target yang akan ditangkap dianggap masih menguntungkan secara
ekonomi.
Keberadaan fishing ground sangat dipengaruhi oleh beberapa factor,
diantaranya faktor lingkungan yang mencakup, suhu, salinitas, upwelling dan adanya pertemuan arus panas dengan a ~ s dingin. Selain itu jenis substrat dari
Suhu adalah suatu besaran fsika yang menyatakan banyaknya aliran panas yang terkandung &lam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan, sangat tergantung pada jumlah panas yang diterima dari sinar matahari. Dengan demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah khatulistiwa (Hutagalung 1988).
Ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi, atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Kelimpahan suatu jenis ikan pada suatu daerah penangkapan dipengaruhi perubahan suhu tahunan serta berbagai keadaan laimya (Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005). Laevastu dan Hayes 1981 yang diacu dalam Syahdan 2005 selanjutnya menyatakan bahwa suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan; aktifitas dan mobilitas gerakan, ruaya, penyebaran dan kelimpahan; penggerombolan, maturasi, fekunditas dan pemijahan; masa inkubasi dan penetasan telur serta kelulusan hidup larva ikan.
Lapisan perairan di permukaan laut tropis umumnya hangat dan variasi hariannya tinggi. Perairan Indonesia umumnya mempunyai kisaran suhu sekitar 28 - 3 1 OC pada lapisan permukaan. Pada daerah tertentu dimana sering terjadi up welling, keadaan suhunya dapat menjadi lebih rendah (sekitar 25 OC) yang disebabkan oleh massa air dingin dari bawah yang berasal dari bagian yang lebih dalam terangkat ke atas (Wyrtki 1961 yang diacu &lam Syahdan 2005).
Cakalang m e ~ p & a n salah satu ikan pelagis yang memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji 1993; Mam and Lazier 1996 yang diacu dalam Syahdan 2005). Informasi suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh secara in silu. atau melalui citra satelit.
Nontji (1993) yang diacu dalam Syahdan (2005) menyatakan bahwa faktor yang dapat meningkatkan konsentrasi klorofil-a di lautan adalah adanya peristiwa up welling yang salah satu pemicunya adalah sistem angin muson ; ha1 ini berkaitan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh.
2.5 Pemanfaatan Tekoologi Penginderaan Jaub dan Sistem Informasi Geografis
2.5.1 Penginderaan jaub (INDRAJA) satelit
National Oceanic Atmosperic Administration (NOAA) mempakan program penginderaan jauh satelit untuk lingkaran kelautan yang dimulai sejak tahun 1960- an oleh negara Amerika Serikat yang pads awalnya bernama program television infared obseravtion satelitre (TIROS). Dan hingga tahun 2001 NOAA masih mengoperasikan V i a satelit dengan seri NOAA-12,14, 15,16 dan 17.
Satelit serial NOAA ini beredar pada orbit polar dengan ketinggian 833
km
di atas permukaan bumi. Untuk aktivitas pemantauan lingkungan kelautan satelit serial NOAA memanfaatkan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR).Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk sumber daya perikanan laut pada umumnya mempergunakan hasil pengukuran tidak langsung satelit terhadap parameter suhu permukaan laut (SPL) dan wama laut (ocean color). Untuk pengukuran SPL dapat mempergunakan pencitraan sensor satelit dengan kisaran panjang gelombang 3-14 pm.
Pencitraan yang menghasilkan pola sebaran SPL tersebut dapat dijadikan dasar dalam menduga fenornena laut seperti upwelling, &nt dan pola arus permukaan yang mempakan indikasi dari suatu wilayah perairan yang kaya dengan unsur ham atau subur. Perairan subur mempakan tempat kecenderungan dari migrasi sumber daya ikan, yang dapat juga dikatakan sebagai DPI. Data SPL dapat diperoleh dari data penginderaan jauh yang menggunakan kana1 i n h merah jauh, sebagai contoh SP diturunkan dari pencitraan satelit serial NOAA ataupun MODIS-AQUA (Kushardono 2003)
Disamping itu perairan Indonesia juga dipengaruhi oleh massa air dari Lautan
Pasifik dan Lautan Hindia. Kedua massa air ini dihubungkan dengan sistem arus lintas Indonesia (ARLINDO) di beberapa tempat seperti: Selat Makassar, Selat Sunda dan lain-lain. Sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara musim barat dan musim timur. Pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah
timur perairan Indonesia, sebatiknya ketika musim timur berkembang dengan
sempurna sulai m a s s air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan Indonesia bagian barat, perbedaan
suplai massa air tersebut mengakibatkan tejadiiya pembahan terhadap kondisi
perairan atau tingkat konsenhasi klorofil-a.
Sebaran klorofil-a didalam kolom perairan sangat bergantung dengan
konsentrasi nutrient. Kandungan klorofil-a dapat digunakan sebagai ukuran
banyaknya fitoplankton pada suatu perairan tertentu dan dapat juga digunakan
sebagai petunjuk produktivitas suatu perairan. Dengan memanfaatkan dengan
kisaran gelombang cahaya tampak atau antara 0,43-0,58 pm untuk warna sensor
laut, dapat dilakukan pendugaan sebaran spasial klorofil-a di permukaan laut,
sebagai contoh, identifikasi konsentrasi klorofil-a dapat diperoleh dari pengolahan citra satelit MODIS-AQUA.
2.5.2 Sitem informasi geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) digolongkan kedalam sistem spasial
dimana pemanfaatan SIG ini dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh
nelayan dengan pengetahuan yang diiiliki oleh ilmuwan perikanan untuk
kegiatan pengolahan perikanan laut di masa mendatang (Close dan Hall 2006).
Pengertian sistem informasi geografis (SIG) jika dihubungkan dengan kegiatan pengelolaan perikanan adalah suatu analisis informasi dan pengelolaan
data yang berasal dari data tangkapan, sintesis data citra, pengembangan data perikanan yang sudah ada ataupun analisis terhadap data yang berhubungan
dengan kegiatan perikanan laut dalam menghasilkan keluaran informasi yang berguna bagi stakeholder perikanan (Holmes 2006).
Pemanfaatan SIG bagi keperluan pengelolaan sumber daya perikanan
perairan dan (3) Kawasan perlindungan habitat sumber daya perairan. Tujuan pengelolaan dalam kegiatan pembangunan penangkapan ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya ini secara berkelanjutan dengan adanya dinamika penawaran (supply) dan permintaan (demand) sebagai dasar data masukan (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006).
Hasil tangkapan tinggi bergantung pada kondisi lingkungan perairan yang baik sehingga retautmen stok dan pertumbuhan individu dapat meningkat dengan membimalkan kematian alamiah dari individu itu sendiri. Logika masukan data pengelolaan seperti ini membutuhkan berbagai informasi yang terkait agar pengelolaan pembangunan perikanan tangkap yang berkelajutan dapat diwujukan, salah satunya dengan menyediakan informasi spasial distribusi jenis-jenis sumber daya perikanan itu sendiri (Dahuri et al. 1996; Holmes 2006).
Data grafis SIG di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu: (1) Data raster dan (2) Data vektor. Data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan S t ~ k t u r matriks atau piksel- piksel yang membentuk grid. Data vektor menampilkan, menempatkan dan menyimpan data-data spasial dengan titik-titik, garis-garis atau kuwa atau poligon dan atribut-atrihutnya. Struktur data vektor yang sering dipergunakan dalam SIG adalah suatu cara untuk membandingkan informasi titik, garis ataupun poligon kedalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Rahasta 2002).
Model data spasial itu sendiri dalam pengertian SIG adalah pandangan atau persepsi terhadap dunia nyata (real world) yang telah disederhanakan, dimana kemampuan SIG yang dapat melakukan: (1) Analisis keruangan (spatial analysis) dan (2) Pemantauan (monitoring) dapat dipergunakan mempercepat dan mempermudah penataan ruang ataupun pemetaan potensi kebetadaan sumber daya pada suatu wilayah di permukaan bumi yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya (Prahasta 2002).
dalam bentuk peta yang mengandung berbagai informasi baik keberadaan sumber
daya maupun kondisi lingkungan pendukungnya pada waktu itu (Prahasta 2004).
2.6 Proses Hirarki AnalitikmH.4 (Analytical Hierarchy ProcesdAHP)
Marguire dan Carver (1991) yang diacu dalam Subandar (2002) telah
mengamati kelemahan analisis spasial (SIG) dalam menganalisis sebuah model
multi kriteria dalam konteks proses pembuatan keputusan (spatial decision).
Kelemahan SIG yang lain adalah keterbatasannya dalam penentuan prosedur
pendukung pengambilan keputusan (Birkin et a/ 1996; Maguire, 1995
Subandar 2002).
Subandar (1999) mengunakan teknik MCDM (Multy Criteria Decision
Making) untuk mengatasi kelemahan SIG dalam pengambilan keputusan. Proses
Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical Hierarchy
Process/AHP) mempakan salah satu metode MCDM yang mula-mula
dikembangkan oleh Saaty (1991). dan sangat populer digunakan &lam
perencanaan lahan, temtama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use
allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang
masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang
memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun
tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara
sederhana [Saaty 1991).
Proses Hirarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (Analytical
Hiermchy Process/AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty,
seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun
1970-an.
Beberapa keuntu