• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

Awang, Hasim. 1990. Kritik Sastra Dalam Dunia Melayu. Kuala Lumpur : Dewan Pustaka dan Bahasa.

Cohen, Bruce J. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar .Jakarta : Rajawali Press. Danandjaja , James. 1986. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan

lain-lain. Jakarta : Pustaka Grafitipers.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : P3BS, DEPDIKBUD RI

Husnan, Ema, dkk. 1998. Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung : Angkasa Bandung.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Luckman Sinar, tengku, dan syaifuddin, Wan. 2000. Kebudayaan Melayu

Sumatera Timur. Medan : USU Press.

Monalisa, Delsy. 1999. Skripsi, Mite Cerita Rakyat mambang Sigaro Dalam Masyarakat melayu Pesisir dahari Selebar. USU. Medan.

Nurbuko. 1997. Metode Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara.

Nettl, Bruno. 1964. Theory And Method In Ethnomusicology. New York : The Free Press Of Glencoe.

Poerwasarminta, W J S, 1976. Kamus Umum Bahasa. PN Balai Pustaka. Suryabrata, S. 1985. Metodologi Penelitian. Jakarta : CV. Rajawali.

Lampiran,

Di hulu, di tepi Sungai Nipah, bertempat tingal di sana, Pawang Satria bersama istrinya Dayang Merdu. Bersama warganya yang lain mereka hidup makmur, aman dan sentosa, rukun dan damai. Masyarakat di sekitarnya mengenal Pawang Satria, sebagai orang yang sangat dihormatin. Beliau mampu mengobati orang sakit, melalui mantera-manteranya. Selain itu, Pawang Satria terkenal sebagai seorang pendekar, guru silat yang sakti, dan gagah berani. Binatang yang sangat buas, dapat ditaklukkannya.

Sungguh pun Pawang Satria dan Dayang Merdu, telah bertahun-tahun berkeluarga, mereka belum dikaruniai keturunan oleh yang Maha Esa. Setiap malam sebelum beranjak tidur, mereka senatiasa berdoa, agar memperoleh anak, sebagai buah hati, pengarang jantung, cibiran tulang.*)

Pada suatu ketika, saat bulan purnama, mereka duduk berdua memandangi kilauan air Sungai Nipah. Sungguh malam yang syahdu dan terasa indah. Beberapa kali terlihat buaya mengapungkan dirinya. Diantaranya sepasang buaya putih yang sangat besar, beserta seekor yang masih kecil. Berkata Dayang Merdu di samping suaminya:

“Makhluk itu mengerti keindahan. Andakata kita punya anak, seperti buaya itu, Pun aku tak menolaknya”.

“Kita tak boleh berputus asa, suatu saat kita akan memperoleh anak, sebagai buah hati, pengarang jantung, cibiran tulang.*)

Pada suatu hari Pawang Satria berperahu, pergi ke lubuk di rimba, hulu Sungai Nipah, untuk menangkap ikan, mengambil lukah atau bubunya yang telah 7 hari ditahannnya. Lubuk sungai itu sangat dalam. Selain airnya deras menikung, pada bagian yang tenang, ada buaya yang berkeliaran, memangsa burung bangau yang mencari ikan.

Sungguh banyak ikan yang diperoleh Pawang Satria hari ini. Tak lain seperti biasanya. Setelah ikan diperolehnya, ia menahan kembali lukahnya di dalam air, untuk diambilnya lagi, setelah beberapa hari kemudian.

Ketika pawang satria akan beranjak pulang, belum sepenggalah perahunya menghilir, sayup-sayup selain gemercik air yang tehempas ke batu, terdengar suara tangis bayi.

“Tak mungkin”, katanya dalam hati. Namun ditepikan perahunya untuk mencari asal suara tangis bayi. Tetapi terkejutnya Pawang Satria menyaksikan hal ini. Disapu-sapu matanya berulang kali, sadar ia tak bermimpi, namun

mustahil. Dilihatnya seorang bayi, terbaring di dedaunan yang kering. Tak jauh dari bayi tersebut, terdapat seonggok kulit buaya.

“Bayi siapakah ini”, katanya di dalam hati. Untuk menyakinkan bahwa bayi tersebut ada pemiliknya, ia berteriak keras-keras:

“A…...hoi siapa di sini”, Namun suaranya saja yang membahana, memecah kesunyian hutan. Tiada jawaban.

Setelah yakin tidak ada yang menjawab, secepatnya dibawa bayi itu pulang, beserta kulit buaya yang dijumpainya. Keanehan juga terjadi. Bayi tersebut diam tidak menangis di pangkuannya.

Ditatapnya wajah bayi itu : “Alangkah cantiknya bayi ini, akan ku rawat segenap hati. Terimah kasih, Yang Maha Pencipta”, katanya dalam hati. Hanya sesekali ini mengayuh, namun perahunya tetap melaju.

Setelah sampai belum ditambatkan perahunya, Pawang Satria berteriak memanggil istrinya. Secepatnya Dayang Merdu tiba, karena dilihatnya suaminya menggendong sesuatu.

Dayang Merdu Bertanya ; “Bayi siapakah ini kanda?. “Yang kuasa telah mengabulkan permintaan kita Dinda”, jawab Pawang Satria dengan gembira.

Setelah semuanya selesai, di rumah Pawang Satria menceritakan kembali seluruh kejadian serta juga keanehan yang dialaminya. Hal kulit buaya kecil tersebut, disimpannya rapi di dalam peti, di ruangan tersendiri. Kelak menurutnya, kulit tersebut akan dijadikan perhiasan dinding.

Betapa gembiranya perasaan Dayang Merdu, walaupun sesungguhnya ia tak tahu siapakah pemilik bayi itu. Sejak itu mereka merawat sang bayi, dan mereka beri nama Nilam Baya. Warga menjadi gempar. Namun kemudian kegemparan ini menjadi reda sendirinya. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Nilam Baya beranjak remaja.

Semenjak keberadaan Nilam Baya ditengah-tengah keluarga Pawang Satria, kehidupan mereka semakin bahagia. Pawang Satria semakin dikenal diseluruh tanah Batubara, bahkan tanah Deli seluruhnya.

Kecantikan Nilam Baya menjadi buah bibir, bagi yang melihatnya. Bagi yang hanya mendengar beritanya saja, ingin segera menyaksikannya. Rambutnya hitam tergerai, ikal mengurai, Tingginya semampai, Kulitnya mulus, kuning langsat, bagaikan pualam. Bila nyamuk hinggap menghampirin, tergelincir karena halus. Matanya berbinar. Hidungnya, pipinya, bibirnya, lehernya jenjang, sungguh menawan. Keterampilannya selaku seorang wanita, tiada pula cacat celananya. Demikian pula adat sopan santunnya, sangat

terpuji. Kalau Nilam Baya berbicara betah mendengarnya. Suaranya yang merdu, baik berbicara maupun berdendang, bagaikan buluh perindu.

Dayang Merdu bangga atas kecantikan Nilam Baya. Tetapi sesekali, timbul rasa was-wasnya. Darimanakah sebenarnya asal Nilam Baya? Siapakah gerangan orang tuanya?. Keraguannya pernah ditanyakan kepada Pawang Satria, suaminya. Ketika Nilam Baya tidak bersama mereka.

“Kanda, ada sesuatu hal yang aneh pada diri anak kita”, kata Dayang Merdu.

“Apa yang terjadi istriku” bertanya Pawang Satria.

“Beberapa hari yang lalu, Dinda telah memindahkan peti yang berisi kulit buaya dari ruang tengah ke lubang padi. Nilam Baya mencarinya dan menanyakkan padaku. Setelah kukatakan tempatnya, dengan tersenyum ia mengatakan, bahwa kulit itu pakaiannya. Bagaimanakah ini Kanda ?”,

“Tidak baik berpraduga. Jangan pikirkan tidak-tidak. Bukankah sejak kehadiran anak kita, kehidupan kita semakin sejahtera dan warga kita semakin makmur”, jawab Pawang Satria.

daging daripada yang lainnya?. Iapun senang mandi di sungai, sungguhpun wanita bila ia berenang atau menyelem tak ada yang menandinginya. Seakan-akan...” kata Dayang Merdu tidak jadi meneruskan kata-katanya.

“Sudahlah istriku, singkirkan pikiran dan bayangan yang menggoda. Lihatlah betapa cantiknya putri kita”. Hibur Pawang Satria menunjuk Nilam Baya yang berjalan gemulai namun tangkas.

Sejakik itu Dayang Merdu tidak pernah mengkhwatirkan siapa sebenarnya dan dari mana asal usul Nilam Baya. Bahkan kasih mereka semakin bertambah terhadap Nilam Baya. Tidak saja keluarga Pawang Satria, bahkan warga disekitarnya teramat sayang dan hormat kepada Nilam Baya. Bila tak melihatnya sehari saja, mereka menanyakan. Bila telah bersua puaslah hati mereka, namun esoknya timbul pula rasa rindu.

Demikian kehidupan Nilam Baya yang kian hari semakin rupawan.

Bila di hulu Sungai Nipah bertempat tinggal Pawang Satria, di hilir sungai yang masih dalam kawasan Tanah Batubara, terdapat suatu kepenghuluan di bawah pimpinan Datuk Indra Jaya.

Saat itu bertemulah Datuk Indra Jaya dengan Nilam Baya, ketika memberikan hidangan. Betapa kagumnya Datuk Indra Jaya menyaksikan

kecantikan Nilam Baya, wajahnya bercahaya, jarinya yang lentik, langkahnya yang gemulai, membuat hati Datuk Indra Jaya bergetar.

Setelah penat hilang, mereka meneruskan perjalanan kembali pulang. Sejak itu pikiran Datuk Indra Jaya tiada menentu, kata orang itulah penyakit cinta. Mengetahui anaknya mabuk kepayang Datuk Indra Dewa mencari sebab. Ternyata Datuk Indra Jaya terkena panah asmara.yang dilepas oleh Nilam Baya putri tunggal Pawang Satria.

Setelah itu, hiduplah Datuk Indra Jaya bersama istrinya Nilam Baya serta warga Batubara yang damai, aman dan sentosa, makmur dan berbahagia.

Selang beberapa tahun kemudian usia pesta perkawinan, Nilam Baya pun hamil, semakin kasihlah Datuk Indra Jaya kepada istrinya. Tujuh bulan setelah kehamilan kembali kenduri dilaksanakan, seluruh penduduk negeri diundang. Pesta tujuh bulan kehamilan ini bagi adat Batubara disebut melenggang. Kenduri ini harus dilaksanakan, bahagia sebagai ungkapan, agar kelahiran bayi tidak terhalang.

Beberapa waktu berlalu, lahirlah seorang putri dari perkawinan ini. Sesuai dengan adat budaya Melayu, setelah empat puluh hari kelahiran, kenduripun dilaksanakan untuk penebalan nama bagi yang lahir. Kenduri ini

Betepa bahagianya Datuk Indra Jaya bersama istrinya Nilam Baya. Sebagaimana ibunya yang cantik jelita, serta ayahandanya yang gagah perkasa, tiada berbeda dengan Nilam Pemata, bagi Nilam Permata yang lebih tua hormat senantiasa disandang dan yang muda senantiasa di sayang, rasa benci dan iri, haruslah hilang sebagai bekal dalam pergaulan.

Sungguh Nilam Permata menjadi kembang di Batubara. Hari demi hari Nilam Permata tumbuh remaja, banyak pemujanya, baik teman pria maupun wanita. Semua kagum akan kecantikan Nilam Permata tiada terlukiskan atau terucapkan dengan kata-kata. Wajahnya bersinar bagai bulan purnama, matanya bagai bintang kejora, alisnya bagai semut beriring, rambutnya bagai mayang terurai, bibirnya bak delima mereka, pipinya bak pauh dilayang, pinggangnya ramping bagai pohon pinangn, lehernya jenjang. Nilam Baya mendidik anaknya merenda, menyulam, masak dan beradat sopan.

Setelah mencapai usia 17 tahun, semakin bertambah pula kecantikan Nilam Permata, paras wajahnya yang ayu, terberita keseluruhan wilayah Batubara.

Pada waktu itu ada beberapa kepenghuluan, seperti : Lima Laras, Tanah Datar, Air Putih, Lima Puluh, Tinggi Raja, Simpang Dolok dan lain-lainnya, telah terbetik tentang kecantikan Nilam Permata. Timbul hasrat bagi

Datuk-datuk itu untuk mempersunting Nilam Permata, bagi putra mereka, yang adalah pewaris tahta.

Permata sekali seorang Datuk di Batubara mengirim utusanya, kepada Datuk Indra Jaya, yang akan meminang Nilam Permata. Karena Nilam Permata maih belia, pinangan ini tidak segera diterima, namun juga bukan ditampik, tetapi hanya ditunda sementara.

Hal pinangan ini, disampaikan Datuk Indra Jaya beserta istrinya kepada Nilam Permata. Betapa bingung Datuk Indra Jaya menghadapi ini, sebagaimana pinangan permata, pinangan yang lain ini pun ditunda. Kepastian belum diberikan, agar tidak menimbulkan kekecewaan.

Berselang waktu beberapa hari kemudian datang lagi utusan peminangan dari kepenghuluan yang lain lagi. Sama, seperti jawaban pinangan permata, jawaban pinangan inipun, tetap ditunda.

Belum genap sebulan, belum lepas dari persoalan pinangan pertama, kedua, dan ketiga, datang pula utusan dari kepenghuluan yang lain pula. Bila pinangan ditampik, bukankah tujuan mereka adalah untuk mempererat tali persaudaraan?.

“Bagaimana ini, anakku hanya semata wayang tetapi yang datang ini meminang ada empat orang, bagaikan makan buah simal kama*). Seperti pinangan terdahulu, pinangan inipun ditunda jawabannya.

Telah tersiar kabar berita bahwa Putri Datuk Indra Jaya dilamar oleh 4 orang putra penghulu. Namun semuanya belum memperoleh kepastian, putra yang mana bakal diterima.

Maka berundinglah Datuk Indra jaya dengan dan istrinya, Nilam Baya. Dalam sausana kalut itu berkata Nilam Baya.

“Terimalah pinangan mereka, dinda akan berupaya, tidak akan terjadi silang sengketa atau pertumpahan darah. Esok bulan purnama tiba, dinda akan bermohon kepada Yang Kuasa”.

Nilam Permata yang elok rupa, anggun mempesona mempunyai sifat yang mulia, sesama makhlukpun ia sangat sayang,walau binatang sekalipun. Tidak heran pun bila kera, anjing dan kambing dipelihara di rumahnya. Sesekali ketiga hewan ini bemain bersama Nilam Permata. Berkejaran, berlompatan bahkan berbaring mendekat, hewan inipun tiada takut. Bila dipanggil ketiganya datang, bila diusir ketiganya menjauh kembali ke kandang masing-masing.

Tepat tak kala bulan purnama Nilam Baya memanggil putrinya, Nilam Permata. Ditengah malam buta, tanpa diketahui seorang juapun, dibawanya putrinya ketepian sungai nipah, seakan-akan ada yang memberi tahu. Ketiga ekor makhluk sahabat Nilam Permata mengikutnya. Tiada suara dan tiada yang berkata Nilam Permata bersimpuh dihadapan bundanya. Demikian pula ketiga hewan itu duduk sejajar sesama. Tiba-tiba langit gelap, semua hitam pekat, bulan tiada terlihat. Tak lama kemudian langit berangsur cerah, bertebaran bintang di angkasa, bulanpun bersinar dengan megah. Disinarnya yang temaran samar-samar, terlihat empat orang wanita, menghadap Nilam Baya. Kelima orang ini kembali istana Datuk Indra Jaya.

Keesokan harinya, seakan-akan tidak ada yang terjadi apa-apa. Ketika Datuk Indra Jaya memanggil putrinya, dari kamar, keluar empat orang dara. Berwajah dan berbaju serupa. Bahkan tinggi dan bentuknya juga sama. Datuk Indra Jaya tak dapat membedakan yang mana Nilam Permata.

Setelah duduk, satu persatu mereka berkata dengan suara tiada berbeda,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Permata, anak ayahanda”. Berikutnya berkata pula,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Kencana, anak ayahanda”. Lalu yang berakhir berkata,

“Ayah, Bunda, ananda Nilam Cahaya, anak ayahanda”.

Kini giliran Datuk Indra Jaya bertanya kepada Nilam Baya : “istriku, siapakah mereka?”.

Maka berkatalah Nilam Baya :, “Kanda, ampuni dinda, mereka adalah anak-anak kita. Yang kuasa telah mengabulkan permohonan dinda. Bukankah anak kita telah dipinang empat orang Datuk?”.

Datuk Indra Jaya terharu menyambut mereka. Penduduk Batubara menjadi gempar, atas kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya, Yaitu :Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya.

Namun lambat laun hal ini menjadi reda, mereka bekerja saperti sedia kala.

Kehadiran putri-putri Datuk Indra Jaya telah terdengar dan diketahui oleh Datuk-datuk yang meminangnya, betapa suka cita mereka. Dan selanjutnya mereka segera mengirimkan utusan untuk peminangan.

Betapa bahagianya datuk-datuk ini. Pinanganmereka diterima, masing-masing Datuk menerima Nilam Permata, Nilam Kesuma, Nilam Kencana, dan Nilam Cahaya sebagai calon istri.

Hantaranpun dikirimkan. Datuk Indra Jaya akan menyelenggarakan pesta rakyat besar-besaran, sebulan penuh 30 hari, 30 malam. Datuk Indra Jaya mencanangkan pengumuman perkawinan putri-putrinya.

Menjelang pesta akan diadakan ikan, ternak, sayuran dan buah, tumbuh dengan subur, pepohonanpun berbuah lebat.

Tepat pada hari yang telah ditentukan, pelaminan didirikan keempat pasangan disandingkan. Mempelai wanita berwajah serupa. Hanya merekalah yang tahu, yang mana suaminya. Sebaliknya Datuk-Datuk ini tak tahu yang mana istrinya. Demikian pula seluruh warga di Batubara, tiada tahu yang mana putri Datuk Indra Jaya yang sebenarnya.

Bendera dipasang dimana-mana. Seluruh warga bersuka ria bila siang hari pertunjukan pencak silat, dan bila malam senandung didendangkan, Japin dan rebana tidak ketinggalan, cahaya lampu kerlip-kerlip berkilauan dan istana terang benderang.

Makanan dihidangkan lezat citra rasanya, dihias dan dibentuk beraneka rupa, sehingga menimbulkan selera.

Usai sudah keramaian. Dan Datuk-Datuk kembali ke negerinya membawa istrinya masing-masing. Dikepenghuluan inipun keramaian kembali digelar. Tak kalah meriahnya dari keramaian yang dilaksanakan Datuk Indra Jaya. Selanjutnya mereka hidup berbahagia.

Di dunia yang fana tidak ada yang kekal abadi. Usia Datuk Indra Jaya semakin tua, namun penampilannya tetap prima, demikian pula Nilam Baya, kecantikan tiada pudar ditelan masa. Sesuai dengan janji Yang Kuasa, makhluk didunia harus kembali ke asalnya.

Suatu ketika Nilam Baya minta diantar Datuk Indra Jaya ke kampung halamannya, ke rumah Pawang Satria. Sampai disana, saat bulan purnama tiba berkatalah Nilam Baya kepada Datuk Indra Jaya dan Pawang Satria :

“Kanda, Ayah dan Bunda, ada sesuatu yang ingin ananda sampaikan, yang akan merubah hidup kita”.

“Apakah gerangan dinda”, tanya Datuk Indra Jaya.

“Terima kasih dinda, Ayah dan bunda. Dinda harap, kanda kuat menerima kenyataan ini. Tiada seorangpun yang menanyakan asal-usul dinda

yang sebenarnya. Sekali lagi, terima kasih atas curahan kasih sayang yang diberikan kepada dinda. Kini saatnya dinda meninggalkan segala-galanya, orang yang dinda cintai”.

Hampir tak percaya, betapa terkejutnya Datuk Indra Jaya.

“Dinda berkatalah yang sebenarnya”, berkata Datuk Indra Jaya menghiba.

Seterusnya berkata Nilam Baya :

“Ayah, Bunda dan Kanda, sebenarnya beta keturunan peri. Menjelma di alam manusia. Tak dapat dicegah lagi kanda. Kini saatnya dinda harus kembali malam ini. Ayah, bunda kanda ampunilah kesalahan dinda, kutitipkan keempat putri-putri kita, cucu-cucu kita”.

Selanjutnya Nilam Baya bersujud kepada Pawang Satria, Dayang Merdu dan terakhir Datuk Indra Jaya. Dengan tersedu-sedu berkata selanjutnya Nilam Baya : “Kanda, ayah, bunda jangan ditangisi kepergian beta. Kini antarkan beta ke tepian sungai”.

Nilam Baya berdiri, kemudian berjalan, diiringi Datuk Indra Jaya dan Dayang Merdu. Sesampainya di tepian sungai tiba-tiba gelap, namun hanya

air sungai Nipah, terdengar gemercik air yang tersibak sesuatu makhluk berenang ke hulu. Sadarlah mereka, apa yang terjadi.

Keesokan harinya setelah Nilam Baya pergi, Dayang Merdu ingin melihat peti tempat kulit buaya dahulu tersimpan. Terkejut juga Dayang Merdu, kulit yang selama ini tersimpan turut raib. Hal ini telah diduga Pawang Satria.

Datuk Indra Jaya kembali ke istananya kemudia, setelah beberapa kali purnama tiba, Datuk Indra Jaya pun wafat. Warga di Batubara berduka, tetapi hal ini tidak berlanjut terus. Beberapa hari kemudian kehidupan berjalan seperti sedia kala.

Dokumen terkait