• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Poerwadarminta (2003:558), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, oleh karena itu konsep penelitian ini adalah mengenai:

2.2.1 Struktural

Menurut Abrams (Pradopo, 2002:21), karya sastra itu adalah sesuatu yang mandiri, bebas dari pengaruh sekitarnya, baik pengarang dan pembaca. Dari pengertian ini konsep struktur dalam karya sastra mengutamakan totalitas. Pengertian ini diperkuat oleh Teuw (Pradopo, 2002: 72, 276) bahwa struktur itu murni untuk membongkar apa yang membentuk karya sastra. Hubungan pengertian para ahli ini dengan konsep struktur yang diaplikasikan dalam penelitian cerita rakyat Melayu Batubara adalah, ke-31 teori dari Vladimir Propp yang oleh Alan Dundes disederhanakan menjadi 6 motifeme, pembongkaran dengan konsep totalitas terhadap apa yang membentuk cerita rakyat Melayu Batubara adalah konsep dasar dari teori struktur ini.

Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu:

alur (plot), penokohan/ perwatakan, latar, dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14).

a. Alur

Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk, (1992:184).

Secara sederhana alur itu terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir (Surana, 1980:84). Pada tahap perkenalan pada awal cerita diperkenalkan/dilukiskan tempat, waktu, dan tokoh-tokohnya pada tempat dan saat tertentu. Pada tahap pertikaian dilukiskan munculnya pertikaian yang berkembang menuju puncak atau klimaks. Pertikaian dapat berupa konflik bathin dalam diri sendiri, antar tokoh dalam suatu keluarga atau masyarakat. Pada tahap akhir dilukiskan cerita telah berakhir atau penyelesaian konflik atau masalah yang dihadapi.

Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya

sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

b. Penokohan

Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita sedangkan watak adalah menggambarkan bagaimana sifat para tokoh pada cerita itu. Tokoh dan watak dinyatakan setelah alur cerita dinyatakan secara jelas. Biasanya alur cerita berpusat pada tokoh utama, ditemukan juga tokoh bawahan. Watak tokoh cerita ada yang

baik (penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu:

(1) penulisan bentuk lahir,

(2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain,

(4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik. Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.

Pelukisan keadaan sekeliling tokoh utama atau tokoh bawahan cerita, misalnya keadaan rumah, kamar, dan halaman dapat mengukapkan watak pelaku, misalnya rajin atau malas, saleh atau munafik.

Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39). Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

c. Latar

Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar

memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan tentang latar. Pembaca dapat merasakan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1)Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas. Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai

dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

(2)Latar waktu , latar ini berhubungan dengan masalah “kapan “ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra masalah, “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan tentang persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

(3)Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan

hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

d. Tema dan Amanat

Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:

a) Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

b) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

c) Keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, e) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

f) Keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra,

g) Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

h) Kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

Unsur-unsur ekstrinsik yang digunakan yaitu:

1) Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

2) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

3) Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

4) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya, 5) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

6) Pandangan pembaca terhadap karya sastra.

2.2.2 Fungsi

Fungsi adalah suatu kegunaan atau faal yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan karya sastra, memiliki fungsi dalam

masyarakat, apakah itu fungsi langsung atau tidak langsung. Bila dilihat secara langsung, fungsi karya sastra itu pada dasarnya adalah media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau yang dialami oleh pengarang itu sendiri atas apa yang terjadi pada masyarakat. Karya sastra dapat dikatakan merupakan gambaran tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dengankata lain hal yang disampaikan dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat .

Setelah cerita rakyat dianalisis secara struktural kemudian dilanjutkan dengan analisis fungsi yang dikemukakan oleh Bascom (Danandjaya, 1986:19-20), foklor memiliki empat fungsi yaitu:

a. Sebagai sistem proyeksi ( Projective sistem ).

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. c. Sebagai alat pendidikan anak ( Pedagogical device ).

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar anggota kolektif dari masyarakat tersebut mematuhinya.

Fungsi yang diutarakan tersebut di atas didasarkan pada pencatatan hal-hal yang tampak atau tersirat dalam cerita Melayu Batubara. Penulis memilih teori ini karena teori fungsi yang dikemukakan oleh Bascom mampu memberikan penjelasan mengenai kebenaran fungsi cerita rakyat itu bagi kehidupan masyarakakat Melayu Batubara.

2.3 Legenda

Folklor merupakan sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Brunvand, 1968:5; Danandjaja, 1986:2). Istilah folklor diciptakan pada abad ke-19 untuk menunjuk dongeng kepercayaan dan adat-istiadat yang tidak tertulis dari kaum tani Eropa sebagai lawan tradisi kaum elit yang terpelajar (Haviland, 1985:227). Menurut Abrams, folklor sebagai mana koleksi, memperlihatkan jangkauan yang sangat luas, sebab hampir setiap aspek kehidupan yang bersifat tradisional (1981:66).

Sebenarnya istilah folklor (folklore, Inggris; dieja folk-lore) pada mulanya adalah ciptaan William John Thorms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah popular antiquities; dan mula-mual diperkenalkan dalam majalah Athenaeum (No. 982, tanggal 22 Agustus 1984), dengan nama samaran Ambrose Merton (1846: 862 – 863). Menurut Thorms istilah popular antiquities itu tidak tepat untuk merujuk pada fenomena-fenomena yang hidup dan yang masih mendapat tempat di dalam kehidupan sekelompok penduduk di luar kota di negeri Inggris pada waktu itu. Istilah folklor itu sebenarnya cocok dengan istilah Jerman,

yakni Volkskunde. Istilah-istilah lain yang pernah digunakan orang adalah verbal arts, folk literature, dan folk-life (digunakan di Skandinavia).

Menurut etimologinya, perkataan folklore (diindonesiakan menjadi

folklor) berasal dari kata folk dan lore. Danandjaya (1984: 2) menyatakan

bahwa definisi folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Folklor adalah kepercayaan, legenda, dan adat-istiadat suatu bangsa yang sudah sejak lama diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis. Bentuknya bisa berupa nyanyian, cerita, peribahasa, teka-teki, bahkan permainan kanak-kanak (Sudjiman, 1986:29). Folklor mencakup kepercayaan, adat-istiadat, upacara yang dijumpai dalam masyarakat dan juga benda-benda yang dibuat manusia yang erat kaitannya dengan kehidupan spiritual, misalnya patung, larangan untuk tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan norma kehidupan (Moeis, 1988:127-128).

Jika kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu sistem data pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem

seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (setengah lisan), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore) (Danandjaja, 1986:21; Brunvand, 1968:2-3).

Dokumen terkait