• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III MEMBANGUN HUKUM MENUJU SISTEM

B. Saran

BAB II

PENGARUH TIMBAL BALIK ANTARA

POLITIK, HUKUM DAN EKONOMI DALAM

TATANAN KEHIDUPAN BERBANGSA

DAN BERNEGARA

A. Hukum dan Politik

Dalam pengkajian ini Hukum diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari sekitar 10 komponen yang saling pengaruh mempengaruhi, sedemikian rupa, sehingga apabila salah satu komponen berubah, maka semua komponen yang lain diubah juga. Dan apabila satu komponen tidak bekerja, maka seluruh sistem juga tidak bekerja atau macet total.

Komponen sistem hukum itu tidak hanya terdiri dari kaidah atau norma saja, tetapi juga termasuk di dalam sistem lembaga-lembaga hukum, proses dan prosedur, sumber daya manusia, sarana dan masih banyak lagi.

Hukum merupakan pedoman yang berfungsi mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam proses pembentukan hukum itu sendiri, hukum banyak dipengaruhi oleh politik melalui pembahasan dalam seminar-seminar, media massa dan terutama melalui pembahasan rancangan undang-undang di DPR. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan cerminan dari pemegang kekuasaan poltik, mengingat hukum itu sendiri merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak para politisi dan merupakan cerminan hasil adu kekuatan dan tawar-menawar dengan Pemerintah.

Di pihak lain semua kegiatan politik harus memperhatikan aturan-aturan hukum yang ada; sehingga Hukum dan Politik merupakan sub sistem dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Dalam pada itu baik Hukum maupun Politik bukan merupakan tujuan bagi, kehidupan

berbangsa dan bernegara, akan tetapi hanya merupakan jembatan, yang akan membawa kita kepada ide-ide dan keadaan masyarakat yang dicita-citakan.1

Bertolak dari hukum sebagai produk politik, maka Karya Ilmiah ini perlu lebih menitikberatkan pada pengaruh politik pada hukum di Indonesia untuk mengetahui konseptualisasi dan adanya indikator-indikator tertentu tentang letak politik itu sendiri, apakah pada ilmu politik atau ilmu hukum?

Para pakar hukum mengatakan bahwa baik ilmu politik maupun ilmu hukum merupakan bagian dari filsafat, karena kedua sistem tersebut mengacu pada “pohon filsafat” yang sama.

Filsafat memikirkan mengenai bagaimana mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara itu dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Ilmu politik membahas mengenai cara-cara bagaimana tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara itu perlu dilaksanakan secara demokratis dan seefisien mungkin. Dan Ilmu Hukum menentukan “aturan main” kehidupan berbangsa dan bernegara itu. Timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah terjadinya pengaruh-mempengaruhi di antara keduanya yaitu potitik di satu sisi dengan hukum di sisi lainnya? Karena pembuatan peraturan perundangan hukum, yaitu antara lain Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, yang lebih rendah dibuat oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan lembaga politik dan proses politik itu sendiri diatur oleh hukum.

Sejak proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hukum dasarnya, maka mulai pada saat itu perlu melakukan pembaharuan atas peraturan perundang-undangan yang merupakan produk hukum peninggalan zaman penjajahan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun Pemerintah Hindia Belanda. Proklamasi telah mengubah kehidupan masyarakat Indonesia yang bebas dan merdeka. Pemerintah Indonesia dengan

seluruh kekuatan yang ada, harus segera mengisi kemerdekaan untuk menata kehidupan Bangsa Indonesia yang telah terbebas dari tekanan politik penjajah.

Dari uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa: 1) Hukum merupakan determinan atas politik karena kegiatan politik

diatur dan harus tunduk pada peraturan perundang-undangan atau aturan hukum;

2) Demikian pula sebaliknya politik juga merupakan determinan atas hukum, karena hukum (peraturan perundang-undangan) merupakan hasil kristalisasi kehendak politik yang saling berinteraksi atau bahkan bersaing;

3) Politik dan hukum sebagai sub sistem kehidupan bernegara dan bermasyarakat berada pada posisi yang sederajat dan seimbang antara satu dengan yang lainnya.

Semua kegiatan politik harus memiliki pedoman yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara guna menuju terwujudnya kedamaian di antara seluruh komponen bangsa yang ada.

B. Politik, Hukum dan Ekonomi

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta telah lama memasukkan politik hukum sebagai mata kuliah pilihan yang berdiri sendiri sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 4 Tahun 1986, tetapi di lain pihak, lain-lain universitas negeri hingga kini bahkan belum memasukkan mata kuliah Politik Hukum di dalam kurikulum, sebab sekali pun Politik Hukum merupakan bagian dari Ilmu Hukum, namun hal itu belum berarti, bahwa Politik merupakan bagian dari Hukum. Melihat kebelakang dalam menelusuri perkembangan politik dan hukum di Indonesia, dengan yang dimulai sejak proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah dimulai dengan peletakan dasar dan Ground

norm kehidupan berbangsa dan bernegara dengan lahirnya

Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini merupakan batu pertama ke arah pembentukan Hukum Nasional dan pembaharuan atas peraturan

perundang-undangan sebagai pengganti peraturan peninggalan penjajah; baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun Pemerintah Hindia Belanda.

UUD 1945 tersebut merupakan lembaran baru bagi rakyat dan pemerintah Republik Indonesia dalam penampilan politik yang lebih dominan. Dalam rangka dan akibat pergulatan politik, Indonesia bahkan terpaksa masih menyetujui Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1945 dan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950, namun hal ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 1959, ketika Presiden Soekarno juga karena kekhawatiran bahwa akibat pergolakan politik di dalam Konstituante yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru, akan menuju ke arah negara agama (Islam) Republik Indonesia agar bangsa Indonesia “kembali ke UUD 1945”.

Akibatnya, keadaan politik yang demokratis yang berlangsung sejak tahun1945 sampai tahun 1957, pada tahun 1957 berubah menjadi otoriter ketika Presiden Soekarno melemparkan pemikiran tentang demokrasi terpimpin secara konstitusional, yaitu dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan alasan bahwa konsep tentang demokrasi liberal dan kehidupan politik sebelumnya bertentangan dengan budaya bangsa. Hal tersebut menjadikan negara dalam keadaan tidak stabil dan tidak menentu.

Dengan adanya 5 (lima) kekuatan politik yang saling tolak dan tarik-menarik yaitu antara Presiden Soekarno, Angkatan Darat, Partai Nasionalis Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan Partai Masyumi di mana kekuasaan terbesar ada pada Presiden Soekarno yang mencanangkan politik Nas A Kom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Keadaan tersebut berakhir pada tahun 1966 dengan dibarengi kelahiran atau munculnya Orde Baru dan Angkatan Darat sebagai pemeran utamanya. Sebagai akibat terjadinya peristiwa berdarah pembunuhan 7 Jenderal G/30 S PKI yang mengakibatkan akhirnya PKI dibubarkan. Meletusnya Gerakan 30 September/PKI tahun 1965 telah meruntuhkan konfigurasi politik era demokrasi terpimpin, karena

Agkatan Udara terlibat dalam peristiwa tersebut. Dengan demikian Orde Baru ditandai tampilnya militer (khususnya Angkatan Darat) sebagai pemenang dalam pertarungan politik nasional, sedang Presiden Soekarno dihentikan secara konstitusional oleh MPRS karena dianggap pemberian tanggung jawabnya (Nawaksara) atas musibah nasional G 30 S/PKI tidak dapat diterima, sehingga PKI dibubarkan dan dinyatakan partai terlarang.

Lahirlah “Orde Baru” dan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dalam pentas politik pada awal Orde Baru. Kekuatan anti-PKI dan menjatuhkan Soekarno tidak dapat dibendung. Krisis politik cukup berat ditandai oleh berbagai demonstrasi baik dilakukan oleh mahasiswa, pelajar, ormas-ormas/Parpol yang didukung oleh Angkatan Darat. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR 1966) yang ditujukan kepada Jenderal Soeharto, untuk mengamankan keadaan di Republik Indonesia.2

Dan setelah Presiden Soeharto akhirnya di tahun 1998 diturunkan oleh MPR, sekali pun beberapa bulan dilantik sebagai Presiden untuk keenam kalinya melalui amandemen UUD 1945 telah terjadi pengaturan mengenai pemilihan Kepala Negara dengan perjuangan rakyat untuk menuju Negara Republik Indonesia dan pembatasan masa bakti seorang Presiden dan Wakil Presiden menjadi hanya selama maksimal 10 tahun (atau khusus hanya boleh dipilih selama maksimal 2 kali). Setelah jatuhnya mantan Presiden Soeharto, maka secara berturut-turut Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami pergantian pimpinan pemerintahan yaitu dari Prof. B.J. Habibie, Dipl. Ing.; K.H. Abdurrahman Wahid; Megawati Soekarnoputri; dan saat ini Dr. Jend. (Purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono. Pengalaman menunjukkan bahwa keadaan politik dalam negeri dan pergantian pimpinan negara sangat berpengaruh pada keadaan ekonomi negara, terlebih-lebih pengaruh peningkatan nilai

2 Kebenaran adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang mengalihkan kekuatan kepada

Mayor Jenderal (waktu itu) Soeharto, atau apa pun isinya Surat Perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi sehingga kini masih terus dipertanyakan, karena sampai akhir hayatnya almarhum Jenderal Jusuf yang katanya menyimpan naskah asli Surat Perintah itu, tidak pernah memperlihatkan surat itu atau menyerahkannya kepada pejabat atau orang lain.

tukar dolar yang sempat menimbulkan krisis moneter dan ekonomi waktu itu.

Bahkan sekarangpun, sekalipun Presiden dan WakiI Presiden sudah dipilih dengan sangat demokratis dan secara langsung, namun karena partai-partai yang tidak kebagian kursi atau merasa tidak cukup jumlah kursinya di kabinet, maka mereka setiap saat berusaha untuk menggunjang-ganjingkan kedudukan Presiden yang mau tidak mau mempengaruhi keadaan ekonomi, khususnya masalah penanaman modal asing ke Indonesia.

C. Hukum sebagai Produk Politik Ekonomi

Sekalipun di Masa Orde Baru pembangunan Hukum selalu dianaktirikan, karena Hukum dianggap hanya menghambat ekonomi, namun begitu terjadi Krisis Moneter di tahun 1997 para pengusahalah yang justru berteriak-teriak “Mana Hukum kita? Mengapa penegakan Hukum di negeri kita begitu brengsek dan amburadul?” Hal tu terjadi karena kini pihak pengusaha asing dan Bank Dunia serta IMF menuntut pembayaran segera dari utang-utang (dalam mata uang dolar) yang selama bertahun-tahun belum dibayar oleh perusahaan-perusahaan Indonesia (bad debts) dan agar perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayar utangnya segera dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Akibatnya, begitu banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utangnya, sehingga langsung dinyatakan pailit atau bahkan dihukum penjara karena tidak dapat mempertanggungjawabkan pengeluaran yang telah dilakukan, atau bahkan dihukum pidana karena korupsi.

Hingga saat ini pun Pemerintah masih terus menghadapi keengganan penanaman modal asing untuk menginvestasikan modalnya di Indone-sia, karena tuntutan calon investor adalah adanya kepastian hukum, sehingga hak-hak dan kewajibannya jelas dan terjamin.

Namun membentuk sistem hukum yang baik, bahkan menyusun dan mengundang-undangkan suatu undang-undang tidak semudah membalik telapak tangan! Apalagi karena Indonesia sudah mengabaikan

Untuk memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan hukum nasional sudah dan masih harus berjalan, dan jangka waktu yang diperlukan untuk itu, kami sajikan proses pengembangan hukum di Indonesia sejak abad ke XIV sampai sekarang dalam bagan 1 di bawah ini. Ada pun hal-hal yang masih harus dilakukan di tahun-tahun mendatang tergambar secara visual di bagan 2.

Dari bagan 2 itu saja sudah tampak betapa luas dan kompleksnya proses pembentukan hukum itu. Apalagi bila proses itu harus diimplementasikan di dalam kenyataan!

Bagaimana pun juga, di masa Orde Baru perundang-undangan Republik Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik liberalisasi, privatisasi dan deregulasi kegiatan ekonomi.

Politik ekonomi di zaman Reformasi ini bahkan ditambah dengan politik demokratisasi, perlindungan hak asasi maupun globalisasi dan internasionalisasi ekonomi, politik dan hukum.

Akibatnya, kini rakyat Indonesia yang tidak terbiasa dengan kebebasan yang begitu besar, dalam suasana euphoria demokrasi seakan-akan “lepas kendali”. Demokrasi seakan-akan berubah menjadi sikap “semau gue”, “gue mesti menang”, “siapa yang tidak sepaham denganku adalah lawan”. Tidak mengherankan, bahwa tidak hanya orang asing segan untuk menginvestasi di Indonesia, pengusaha dan pemilik modal bahkan pejabat negara birokrat/sendiri lebih cenderung menempuh “jalan aman” untuk mendepositokan anggaran belanja negara daerah daripada menggunakannya untuk keperluan pelayanan publik!

Di sini tampaklah, bahwa manakala di masa lampau pengabaian pembangunan hukum merupakan akibat dari Politik Ekonomi, kini benar-benar Pembangunan Ekonomi di hambat oleh belum tersedianya sarana hukum, kesiapan profesi hukum dan kesadaran hukum masyarakat, akibat diabaikannya pengembangan sarana hukum, pendidikan hukum dan kesadaran hukum masyarakat di masa yang lalu.

Orang asing mengatakan : “the damage has been done” atau “nasi sudah menjadi bubur”. Dan adalah suatu hal yang mustahil

untuk dalam waktu 1 atau 2 tahun membangun seluruh komponen sistem hukum sebagaimana tergambar dalam bagan 1 dan 2 itu.

Namun demikian, kita tidak boleh putus asa. Bagaimana pun hari ini pun harus kita mulai melaksanakan pembangunan hukum dalam segala aspeknya.

Maka untuk mempersingkat proses itu tidak boleh tidak kita harus menyiapkan Rencana Pembangunan Hukum yang pokok-pokoknya sudah disebut dalam bagan 2 itu.

BAB III

MEMBANGUN HUKUM MENUJU SISTEM

EKONOMI YANG SESUAI DENGAN

PEMBUKAAN UUD 1945

A. Sejarah Ekonomi Indonesia

1. Sistem Ekonomi Indonesia di zaman kolonial Hindia Belanda merupakan sistem yang oleh Prof. Dr. JK. Boeke dalam bukunya yang berjudul “Oosterse Economic”3 merupakan sistem Ekonomi yang dualistis.

Disebut “dualistis”, karena sebetulnya sejak akhir abad ke-19 di Hindia Belanda berlaku dua sistem yang berdampingan, yaitu sistem Ekonomi Barat (yang dianut oleh bangsa Belanda dan bangsa Eropa pada umumnya), dan sistem Ekonomi Timur (Oosterse

economic) yang dianut oleh penduduk Indonesia asli.

Sistem Ekonomi Barat dijiwai oleh alam pikiran individualistis, liberalistis dan kapitalistis, dan secara hukum dilandasi oleh Burgerlijk

Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang berasal

dari Negeri Belanda, dan yang pada gilirannya merupakan terjemahannya dari code Civil Prancis, ketika Belanda dijajah oleh Prancis.

Sistem Ekonomi Timur djiwai oleh falsafah kekeluargaan dan dilandasi oleh Hukum Adat. Hal ini di dalam hukum diatur oleh Wet op de Staatsinrichting Van Nederlandsie (Staatsblad 1855 No. juncto No. 1) di dalam pasal 131 ayat 2, yang mengatakan

“In de ordonanties regelende het burgerlijk en handelsrecht worder:

a. voor de Europanen de in Nederland geldende wetten gevolgd, van weeke wetten echter mag worden afgeweken roowel wegens byzondere toestanden in Ned — Indie, als om hen met een of meer der overnge bevolkingsgroepen of onderdeelen daarvan aan deselfde voorzeherften te kannen onder overpen;

b. de Inlanders, de Vreemde Oosterlingen en de onderdeelen,

waarnet deze beide groepen der bevalking bestaan, voorzoovere de by hen gebleken maatsehap pelijke behoeften dit eischen, hetzij aan de voor Europeanen geldende bepalingen, voor Europeanen geldende bepalinger, voor zoveed mooding gewijzigd, hetzij met de Europeanen aan gemensehap pelijke voor schriften on derwarpen, terwijl overigens de onder hen geldende, met hunne godsdiensten en gewoonten samenhangende rechts regelen worden gecerbiedigd, waarvan echter mag worden algeweken, wanneer het algemeen belang of de by hen gebleken maatschap pelijke behocften rulks vorderen”

Yang artinya :

“Di dalam ordonansi yang mengatur hukum perdata dan hukum dagang, maka

a. Untuk orang Eropah berlaku undang-undang yang berlaku di negeri Belanda, kecuali apabila keadaan khusus di Hindia Belanda menuntut penyimpangan dari perundang-undangan Belanda itu atau dalam hal dituntut agar untuk mereka diperlakukan peraturan hukum yang sama dengan golongan penduduk Bumiputera dan Timur Asing.

b. Golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing atau bagian bagian dari kedua golongan penduduk itu tunduk pada peraturan hukum yang berlaku untuk golongan penduduuk Eropah (jika perlu dengan mengadakan penyesuaian dengan adat istiadat mereka), atau tunduk pada hukum yang berlaku umum untuk semua golongan penduduk, dan selebihnya tunduk pada

masing-masing hukum agama dan kebiasaan. Namun demikian, dari peraturan Hukum Agama dan Hukum Adat dapat diadakan penyimpangan, apabila kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka ternyata menghendakinya”.

2. Membangun Produk Politik Ekonomi

Tampaklah bahwa Sistem Hukum Indonesia yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan yaitu: golongan penduduk Eropah, Timur Asing dan Bumiputera (lihat pasal 163 JS) sejak zaman kolonial cenderung ditentukan oleh Politik Ekonomi yang dianut oleh penjajah untuk memperoleh hasil bumi sebanyak banyaknya dan semurah-murahnya dari daerah jajahannya (Indonesia dan Suriname)

Itulah sebabnya, Hukum Adat dan Hukum Agama golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing tidak akan diganggu/atau istilah resminya: “dibiarkan tetap berlaku, sepanjang kepentingan umum atau perubahan zaman tidak menuntutnya”.

Dengan demikian terjadilah “pembagian kerja” antara ketiga golongan penduduk itu di dalam sistem ekonomi Indonesia, di mana golongan penduduk Pribumi (Indonesia) menjadi kelompak

penghasil hasil bumi, golongan penduduk Eropah menjadi kelompok pengusaha ekspor-impor dan kelompok Timur Asing

merupakan kelompok pedagang perantara, yang membeli hasil bumi dari golongan penduduk Indonesia dan menjualnya ke pengusaha Eropah untuk diekspor ke negeri Belanda dan luar negeri, serta menjual barang-barang impor melalui toko-tokonya ke penduduk Indonesia/Pribumi dan Timur Asing serta Eropah di kota-kota dan daerah pedesaan.4

Akibat pembagian kerja di bidang ekonomi di Indonesia timbullah suatu bidang hukum yang menjadi mata kuliah di dalam kurikulum

4 Baca: Sunaryati Hartono “dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat. Alumni

Rechts-Hege School (RHS) di Batavia, yang guru besarnya adalah

Prof. Kollewijn, yaitu bidang Intergentiel recht (Hukum Antar Golongan).

Bidang hukum antar golongan ini menentukan hukum mana yang berlaku, manakala orang dari golongan penduduk Eropah mengadakan tindakan hukum atau kontrak dengan orang Timur Asing, atau orang Tionghoa mengadakan kontrak dengan orang Pribumi Indonesia atau Timur Asing, dan sebagainya.

Di tahun 1950-an mata kuliah ini di Universitas Indonesia diajarkan oleh Prof. Resink (ketika penulis menjadi mahasiswanya). Kemudian Prof. Dr. Mr. Sudargo Gautama, Ph.D. menulis disertasi di bidang Hukum antar Golongan dan kemudian menjadi guru besar di UI.

Namun kini, karena dalam rangka menggiatkan penanaman modal asing sejak tahun 1974 ketentuan mengenai Perusahaan Terbatas sudah dinyatakan berlaku juga bagi orang Indonesia Pribumi, apalagi dengan berlakunya UU Perusahaan Terbatas yang baru, Kitab Undang Hukum Perdata (Barat) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga sudah berlaku bagi orang Indonesia Pribumi, maka hukum antar goIongan oleh banyak orang sudah dilupakan dan kehilangan arti pentingnya.

Sebagai gantinya justru Hukum Perselisihan (Conflicten recht) yang lain, seperti Hukum antar waktu, Hukum antar agama, Hukum antar daerah otonom, Hukum antar wewenang dan Hukum Perdata Internasional yang menjadi sangat penting, karena kini terjadi perubahan UU secara bertubi-tubi (Hukum antar waktu), timbul berbagai lembaga kenegaraan yang baru (Hukum antar wewenang), otonomi daerah sedang digiatkan (Hukum antar daerah dan Hukum antar wewenang), dan berbagai konvensi PBB dan perjanjian internasional telah diratifikasi (Hukum Perdata Internasional).

Padahal mind set para sarjana hukum dan para pembentuk hukum (DPR sebagai lembaga legislatif, Pengadilan dan MA sebagai lembaga yudikatif maupun Pemerintah/Birokrasi sebagai lembaga

eksekutif) masih tetap berpegangan pada pasal 131 Indische Staats

Rejheling dan menyangka, seakan-akan bagi orang Pribumi hanya

berlaku ketentuan Hukum Adat dan Hukum Agama, dan seakan-akan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Dagang hanya berlaku bagi orang Eropah dan Timur Asing!

Bahkan sekali pun kita sudah lebih dari 61 (enam puluh satu) tahun merdeka, masih saja ditutup mata seakan-akan di dalam lebih dari setengah abad sama sekali tidak terjadi perubahan apa-apa di dalam bidang Hukum Adat sekali pun Undang-Undang Pokok Agraria sudah berlaku sejak tahun 1960, jadi sudah hampir setengah abad pula.

Sayangnya, masih saja ada ahli-ahli sosial, budaya dan hukum yang bertekad mengembalikan jarum jam sejauh Indonesia ke abad ke-16, ketika bangsa-bangsa asing mendarat di Indonesia, dengan menerapkan Hukum Adat yang berlaku 4 (empat) abad yang lalu, setidak-tidaknya 100 tahun yang lalu.

Inilah antara lain sebabnya mengapa kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya itu hanya menyentuh permukaan atau “kulit luar” kehidupan berbangsa dan bernegara itu. Karena kebanyakan warga Indonesia hanya cenderung bernostalgia ke abad-abad puncak-puncak kebesaran suku-suku bangsa di masa yang lalu dan kurang melihat ke depan, ke masa kini dan masa yang akan datang yang sudah membawa perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya yang begitu besar dan semakin besar saja.

Sebagai contoh misalnya: masih mungkin kita membentuk Sistem Hukum Elektronik (Cyber law) yang begitu penting untuk kehidupan ekonomi bangsa masa sekarang dan yang akan datang dengan mengandalkan konsep-konsep Hukum Adat, Pasti tidak! Bahkan konsep-konsep Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang berasal dan zaman Napoleon pun, tidak lagi dapat kita gunakan. Juga tidak, kalau kita membahas masalah lingkungan akibat pemanasan bumi, atau semburan lumpur panas seperti di Porong Sidoarjo, yang sekarang bahkan mulai diikuti dengan semburan

lumpur di Kalimantan dan Banten (Serang). Atau penanggulangan penyakit HIV/AIDS dan Flu Burung.

Jelas, hanya pemikiran-pemikiran modern sejalah yang akan mampu menemukan solusinya, baik di bidang teknologi, ekonomi, poiltik, hukum tetapi juga di bidang filsafah dan budaya.

SAMP AI ABAD KE XIV SAMP AI ABAD KE XIV SAMP AI ABAD KE XIV SISTEM HUKUM AD AT SE

Dokumen terkait