BAB V PENUTUP
B. Saran
Bagi pembaca pada umumnya, semoga penelitian ini bisa menambah wawasan serta mengembangkan pengetahuan mengenai penelitian sastra. Selain itu, pembaca juga diharapkan mengenal tentang adanya berbagai teori dalam dunia sastra yang digunakan sebagai alat penelitian sastra. Bagi peneliti sendiri, semoga penelitian ini menjadi langkah untuk memperbaiki studi tentang teori dalam penelitian sastra, khususnya sastra Indonesia.
Bagi dunia pendidikan formal, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengajaran sastra mengenai ajaran moral dalam sebuah novel.
Masih banyak alternatif penelitian yang dapat dilakukan terhadap novel Selembar Itu Berarti dengan menggunakan analisis yang berbeda, misalnya analisis nilai pendidikan maupun analisis nilai pendidikan. Dengan demikian, masih terbuka luas kesempatan bagi para peneliti untuk lebih mengeksplorasi dalam melakukan penelitian terhadap novel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amipriono, Suryaman. 2019. Selembar Itu Berarti. Jakarta: Literatur.
Baso, Andi dan Nasrun Hasan. 2016. Pendidikan Pancasila. Makassar: Media Sembilan-sembilan.
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011
Budiningsih, Asri 2013.Pembelajaran Moral. Jakarta:Rineka Cipta.
Darmadi, Hamid. 2009. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Bandung: Alfabeta. Emzir dan Saiful Rohman. 2016. Teori Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers. Ginanjar, Nurhayati. 2012. Pengkajian Prosa Fiksi Teori dan Praktik. Surakarta. Gunawan, Andri. 2018. Nilai-nilai Reliius dalam Novel Ayat-Ayat Cinta 2Karya
Habiburrahman El Shirazy dan Rancangan Pembelajaran Sastra di SMA/MA. PBSI. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung.
Jabrohim. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012
Kurniadi, Aluisius Titus. 2019. Analsis Nilai Moral dan Nilai Sosial dalam Novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin Karya Tere Liye dan Implementasinya. Skripsi: Universitas Sanata Dharma.
Nasir, Muhammad. 2014. Analisis Nilai Moral dalam Novel Kereta Di Awal Syawwal Karya Riyanto El Harits. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Nugroho, Catur Abi. 2017. Analisis Nilai Moral Novel Sandiwara Bumi Karya Taufiqurrahman Al-Azizy dan Rencana Pembelajarannya Di Kelas XII SMA. Skripsi. Universitas Muhmadiah Purworejo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Salfiah, Nining. (2015). Nilai Moral Dalam Novel 5 Cm Karya Donny Dhirgantoro. Jurnal Humanika. 3(15), 6.
Setyawati, Elyna. 2013. Analisis Nilai Moral dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar (Pendekatan Pragmatik). Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Wahyuni, Elizabeth. 2017. Analisis Unsur Intrinsik Dan Ekstrinsik Novel Surat Kecil Untuk Tuhan Karya Agnes Davonar Sebagai Sumbangan Materi Bagi Pengajaran Sastra. Skripsi: Universitas Muhammadiyah Palembang.
Wellek, Rene dan Warren Austin. 2014. Teori Kesusastraan. IKAPI Jakarta: Gramedia.
Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Yogyakarta: Garuda Wacana. Zuriah, Nurul. 2011. Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif
Lampiran 1. Korpus Data
No. Hal. Kutipan Data
1. 6 “Meskipun kondisinya serba kekurangan, kami bahagia kok. Kan, bahagia itu nggak melulu harus punya harta. Bahagia itu, ketika kita berada dekat dengan keluarga,” gumamnya. Tangan mungil Putri merapikan buku, lalu menyusunnya kertas putih yang warna-nya kian lusuh. (Amipriono, 2019: 6)
2. 118 “Ayah… Ibu. Maafin Putri, ya. Putri terpaksa harus melepas Diaz untuk dirawat orang lain. Beraaaat rasanya. Karena hanya Diaz satu-satunya darah daging Putrisaat ini.” (Amipriono, 2019:118)
3. 124 “Namun kini, Putri terpaksa mengalah dengan kondisi. Takut berkompromi dengan ekonomi, dengan merelakan Diaz diasuh orang lain supaya hidupnya lebih baik dan bisa terus sekolah.” (Amipriono, 2019: 124)
4. 26 “Ketika ia melihat sebuah buku tulis yang menggenang di sungai kecil, Diaz berusaha keras untuk mengambilnya. Padahal lokasinya sulit dijangkau.” (Amipriono, 2019: 26) 5. 43 “Nggak kok, Kak. Diaz nggak akan menyerah. Tapi Diaz
kepikiran dengan sakitnya Ibu. Harusnya, kita sudah ada di rumah untuk menjaganya”. (Amipriono, 2019: 43)
6. 44 “Iya, Kak. Diaz tetap semangat. Kakak nggak usah ragukan itu lagi,” jawab Diaz. Tangannya mengepal. Lengannya diangkat menunjukkan ototnya. (Amipriono, 2019: 44) 7. 90 “Diaz tengah bersiap untuk ke sekolah. Semangat belajarnya
masih meladak-ledak meskipun perlengkapan sekolahnya sederhana. Warna seragamnya kian lusuh. Putihnya menguning. Celana pendek merahnya tidak berikat pinggang.” (Amipriono, 2019: 90)
8. 181 “Namun, sekarang Kakak tahu. Bahwa Kakak punya kamu. Kakak punya teman. Dan Kakak punya masa depan yang harus Kakak hadapi. Kita harus tetap menjaga semangat ini, ya. Kita harus terus bersekolah. Apapun keadaannya. Buat kedua orangtua bangga.” (Amipriono, 2019: 181)
9. 45 “Pak. Ini kantor saya. Tolong yang sopan. Anda boleh punya banyak uang. Tapi tak semua bisa Anda beli. Apalagi kejujuran.” Sergap Pak Lingga saat digoda dengan uang rasuah. Ia naik pitam. (Amipriono, 2019: 45)
10. 53 “Ratusan siswa serentak memasang sikap hormat kepada sang merah putih, yang ditarik menuju langit. Dengan iringan lagu Indonesia Raya dari mulut-mulut mungil penerus bangsa itu.” (Amipriono, 2019: 53)
11. 87 “Buat sekolah Diaz dan Kak Putri, Pak. Buku itu nanti kita rapikan lagi. Mengambil kertas yang belum dipakai. Dan menyusunnya menjadi buku baru,” jawabnya sambil tersenyum. Senyum itu menusuk kalbu Pak Lingga. (Amipriono, 2019: 87)
12. 53 “Dua kali purnama sejak ibunya wafat, Putrid an Diaz terlihat sudah lebih tegar. Mereka tak lagi dirundung sedih sudah bisa tersenyum dan kembali nyaman bersekolah……” (Amipriono, 2019: 53)
13. 56 “Diaz kembali menjalani rutinitasnya sepulang sekolah: mencari lembaran kertas di tempat pembuangan sampah. Bedanya, beban pikirannya sudah bertambah. Galau karena mikirin sepatu putihnya itu.” (Amipriono, 2019: 56)
14. 72 “Dan setelah Putri piker-pikir, Diaz harus tetap bersekolah. Dian nggak boleh kehilangan masa depannya. Biarlah Putri bekerja. Mencari uang. Untuk keperluan hidup dan sekolah Diaz.” (Amipriono, 2019: 72)
15. 65 “Iya, Diaz. Kakak paham. Tapi kita nggak punya makanan. Kamu sabar, ya. Mudah-mudahan besok pagi Bu Imah datang membawakan kita makanan,” Putri mengusap-usap rambut adikny. Matanya nanar menatap. Bulir bening membesar dan siap-siap jatuh. (Amipriono, 2019: 65)
16. 72 “Putri harus mengambil sikap, Atri. Perjuangan ini cukup berat. Tapi Putri harus kuat menghadapinya,” jelas Putri. (Amipriono, 2019: 72)
17. 73 Diaz mau jadi presiden, Kak,” jawabnya ringan. Air mukanya Nampak datar.” (Amipriono, 2019: 73)
18. 90 “Langkah Diaz untuk menuntut ilmu juga makin mantap. Dia mengabaikan koloid hitam yang menghias sepatunya. Tali pengikatnya sudah disambung-sambung. Kaus kakinya pun yang itu-itu saja.” (Amipriono, 2019: 90)
19. 88 “Pak Lingga terpaku mendengar itu. Mendadak ia malu sebagai kepala desa. Merasa gagal karena melihat langsung penderitaan yang dirasakan warganya.” (Amipriono, 2019: 88)
20. 91 “Itu cara kita membantu mereka, Pak…,” ucap Bu Imah. Air matanya tak terbendung lagi. Tangannya mengepal, lalu memukul meja dengan pelan. Ia menyesal tak sanggup membesarkan kedua bocah yang sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri. (Amipriono, 2019: 91)
21. 103 “Maafin Bu Imah ya, Putri. Ibu nggak bisa bantu banyak buat sekolah kamu dan Diaz.” Wajah keriputnya penuh kecemasan. Dia merasa bersalah karena menganggap dirinya telah menelantarkan mereka. (Amipriono, 2019: 103)
22. 118 “Putri nggak punya daya untuk menahan Diaz, Bu. Putri nggak tega melihat dia menderita. Putri ingin hidupnya
lebih baik. Nggak harus mikir mencari buku tulis lagi. Dan agar Diaz tetap bisa sekolah. Seperti pesan Ayah dan Ibu dulu…” Spearuh nyawanya selaksa terbang saat mengucap itu. (Amipriono, 2019: 118)
23. 118 “Ayah … Ibu. Putri janji akan kembali untuk Diaz. Setelah Putri mendapatkan kerja yang layak. Putri janji demi Diaz, Bu. Putri janji. Ayaaaahhh… Ibu… Putri siap… Putri siaaappp…” (Amipriono, 2019: 118)
24. 157 “Setelah Diaz terima rapor, kita ke Desa Kelantan ya. Ibu dan Ayah yang akan mengantarkan Diaz ke rumah Kak Putri, Ibu janji.” Bu Lina meyakinkan Diaz yang tiba-tiba mematung. Mungkin dia sangat berharap. (Amipriono, 2019: 157)
25. 155 “Sebelumnya Atri sudah ngomong, Pa. Tapi karena Papa baru pulang tugas, dan karena Atri baru ketemu Putri kemarin, Atri berani bilangnya lagi setelah didesak Bu Reni. Maafin Atri ya, Pa….” Kepala Atri menunduk usai menjelaskan itu. (Amipriono, 2019: 155)
26. 6 “Meskipun kondisinya serba kekurangan, kami bahagia kok. Kan, bahagia itu nggak melulu harus punya harta. Bahagia itu, ketika kita berada dekat dengan keluarga,” gumamnya. (Amipriono, 2019:6)
27. 110 “Kakak nggak mungkin mencelakakan adik kandung kakak sendiri. Diaz satu-satunya milik kakak. Diaz satu-satunya harapan kakak. Diaz separuh nyawa kakak. Karena itu, Diaz harus berhasil. Diaz harus membuat Ayah dan Ibu bangga di alam sana.” Putri membelai rambut Diaz dan menyibakkan poni yang menututi sebagian keningnya. (Amipriono, 2019: 110)
28. 111 “Ehm… Kakak sayang kamu, Diaz.” Putri menutup drama malam itu dengan satu pelukan erat kepada adiknya, yang dalam beberapa hari kedepan akan memiliki kehidupan baru, masa depan baru, bersama keluarga yang baru. (Amipriono, 2019: 111)
29. 149 “Jadi, walaupun saat ini kamu belum sekolah lagi, Putri tetap bisa belajar dari rumah, melalui buku Atri. Iya, kan?” terang Atri. Tatapan matanya ke Putri membuat teduh. (Amipriono, 2019: 149)
30. 166 “Nggak Putri. Nggak. Ini nyata!” Jemari Atri dengan terampil menghapus sisa air mata di pipi Putri dengan perlahan. Putri sesekali mengedipkan mata dengan bibir yang mengembang. (Amipriono, 2019: 166)
31. 179 “Diaaaaaz! Kakak kangen banget sama kamu, Sayang.” Tubuh Diaz jatuh di pelukan saudara kandungnya. Putri mendekapnyaerat. Bagaikan seribu tahun tidak berjumpa. Buliran air mengalir deras. Membasahi bagian bahu kemeja
Diaz. (Amipriono, 2019: 179)
32. 9 “Tadi ada banyak cucian di rumah Bu Zaitun. Anak pertamanya baru pulang dari Medan. Dari asrama tempatnya kuliah.” Pelan-pelan, Hera menjawab. Kedua tangannya mendekap erat anaknya yang merapat. (Amipriono, 2019: 9)
33. 36 Diaz, Ibu sayang banget sama kalian. Sayang sama Diaz. Sayang sama Kak Putri,” tangan Hera menggenggam jemari Diaz. Rasa hangatnya membuat anak laki-laki itu merasakan nyaman. (Amipriono, 2019: 36)
34. 48 “K-kalian adalah anak-anak Ibu yang pintar. T-tetap s-semangat ya. Jangan pernah menyerah dengan keadaan.” Hera menggenggam jemari Putri. (Amipriono, 2019: 48) 35. 123 “Bu Imah berulang kali mencium pipinya. Sesekali ke dahi,
sambil mengusap-usap rambutnya.” (Amipriono, 2019: 123) 36. 142 “Ya sudah-ya sudah. Ngobrolnya nanti aja, ya. Kita makan
dulu. Diax dan Sela, Ayah punya hadiah bagus untuk kalian. Nanti Ayah berikan setelah makan, ya,” bujuk Pak Azwar. (Amipriono, 2019: 142)
37. 10 “Ya sudah, kalian belajar ya. Ibu mau masak dulu untuk makan kita mala mini.” Hera lalu bergegas. Menyiapkan bahan masakan dan peralatan dapur. (Amipriono, 2019: 10) 38. 122 “Diantara bait kehidupan itu, sosok Ibulah yang paling Diaz
ingat. Beliau menjadi teladan yang baik. Mendidiknya menjadi anak yang patuh. Tenang dan tidak petakilan. Tabah. Tidak manja. Serta nyaris tidak pernah mengeluh menghadapi kesulitan yang datang bertubi-tubi.” (Amipriono, 2019: 122)
39. 12 “Kalian berdua pasti bisa menjadi Presiden, Nak. Dengan syarat, kalian harus memiliki semangat belajar yang tinggi. Berusaha dengan sungguh-sungguh dan terus berdoa kepada Allah.” (Amipriono, 2019: 12)
40. 36 “Tapi, kalian harus ingat ya. Apapun keadaannya. Bagaiamanapun kondisinya, kalian harus tetap sekolah, ya. Belajar yang tekun. Jaga semangat. Bersikap disiplin. Pantang menyerah. Agar kalian bisa menjadi orang yang sukses…,” ucap Hera lembut menasihati Diaz. (Amipriono, 2019: 36)
41. 54 “Baik-baik belajar ya, Nak. Ibu dan ayahmu pasti bangga mempuyai anak-anak rajin seperti kalian. Dan Ibu yakin, Allah pasti akan melihat perjuangan kalian, dan meringankan beban hidup kalian. Makanya jangan tinggalkan salat ya, Nak,” nasihat Bu Imah. (Amipriono, 2019: 54)
42. 123 “Sehat-sehat ya, Nak. Jaga diri kamu baik-baik…,” bisik Bu Imah kepada Diaz. (Amipriono, 2019: 123)
43. 130 “Ya sudah, ya sudah. Kamu jaga diri, ya. Jangan lupa jenguk juga mama kamu. Perhatiin dia. Karena bagaimanapun, dia itu yang ngerawat dan ngelahirin kamu dulu.” (Amipriono, 2019: 130)
44. 142 “Bukannya Bunda ngelarang kamu, Mbak. Tapi ya, harus ingat waktu. Malam itu kan waktunya belajar. Main HP kan, juga ada waktunya. Bisa pulang sekolah. Atau ketika sore sehabis solat Asar. Harusnya Sela kasih contoh yang baik baut adik kamu,” kata Bu Lina bernasihat. (Amipriono, 2019: 142)
45. 157 “Ibu paham yang kamu rasakan, Diaz. Andai jadi kamu, Ibu juga akan kepikiran. Tapi pikiran itu jangan sampai mengganggu belajar kamu, ya?” (Amipriono, 2019: 157) 46. 17 Bukannya bergegas, Diaz malah mendekati ibunya,
melendot manja. “Ibu sarapan, ya. Terus, minum obat. Biar Diaz dan Kak Putri belajarnya tenang di sekolah.” (Amipriono, 2019: 17)
47. 46 “Nggak usah. Kamu jagaian Ibu aja, ya. Cepat panggil Kakak kalau ada apa-apa. Apalagi kalau Ibu mau minum obat. Ya…,” terang Putri. Ia pun bergegas ke kamar mandi. (Amipriono, 2019: 46)
48. 19 “Yang penting, bagaimana kita menikmatinya. Tetap ikhlas. Bersyukur. Menjalani hidup apa adany. Sekarang aja, Kakak udah bersyukur banget bisa sekolah. Dan kamu. Juga harus begitu. Bersyukur. Yaaah,” ajak Putri kompak. (Amipriono, 2019: 19)
49. 44 “Itu makanya, kita tetap harus bersyukur Diaz. Sambil terus menjaga semangat. Semoga Allah tetap memberikan kita rezeki agar kita masih terus bisa sekolah. Iya, kan?” Putri mencoba memotivasi karena cuma itu yang bisa dia beri sejauh ini. (Amipriono, 2019: 44)
50. 58 “Diaz. Memang seperti inilah hidup. Tapi kamu jangan sedih, ya. Kamu harus tetap menjaga semangat. Karena Kakak yakin, kamu bisa melewati semua ini. Ada aura optimis di wajah kamu,” Nisa menyemangati. (Amipriono, 2019: 58)
51. 60 “Mulai sekarang, kamu harus yakin. Dan tetap menjaga semangat. Bahwa kamu bisa melanjutkan sekolah hingga SMA.” (Amipriono, 2019: 60)
52. 86 “Atri, tolong. Kamu jangan sedih, ya. Kamu harus bersyukur atas kondisi kamu sekarang. Kamu harus bersyukur tetap bisa sekolah. Memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin. Karena tidak semua orang bisa seberuntung kamu,” jawab Putri. (Amipriono, 2019: 86) 53. 123 “Diaz jangan sedih lagi, ya. Ingat pesan Ibu dan Ayah. Diaz
semangat.” Putri menggenggam erat tangan adiknya. (Amipriono, 2019: 123)
54. 167 “Iya, Put. Insyaallah ini yang terbaik buat kamu, ya. Kamu harus manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya,” bisik Nisa. Putri mengangguk dan spontan memeluk Nisa. (Amipriono, 2019: 167)
55. 21 Kenapa nggak bilang dari tadi, Arya bawa buku yang masih baru, lebih kok. Kamu pilih mana yang kamu suka,” tawar Arya ramah. Tiga buku tulis berisi 50 halaman dikeluarkan dari tasnya. (Amipriono, 2019: 21)
56. 134 “Kalau gitu, kita cari kita cari makanan, yuk. Kakak yang bayar,” ajak Nisa. Sama seperti tadi. Putri juga menjawabnya tanpa kata. (Amipriono, 2019: 134)
57. 21 “Iya, Arya. Terima kasih, ya.” Secuil senyum pun merekah dari bibir Diaz. Harinya yang kosong menjadi berisi berkat ketulusan pertemanan. (Amipriono, 2019: 21)
58. 49 “Bu Imah. Terima kasih sudah membantu kami,” tarik napas hera semakin berat. (Amipriono, 2019: 49)
59. 72 “Jangan, Atri. Jangan, ya. Terima kasih. Putri nggak mau buat orang lain repot. Putri ingat betul pesan Ayah: Jangan karena ingin membuat kita bahagia, orang lai malah menjadi sedih” kenangnya. (Amipriono, 2019: 72)
60. 149 “Terima kasih, Atri. Kamu baik banget,” jawabnya, saat menerima beberapa buku catatan yang sudah tersampul rapi. (Amipriono, 2019: 149)
61. 27 “Ini, Dik. Pegang ranting ini, biar Kakak tarik kamu ke atas,” seru Nisa. Kayu itu ditarik perlahan setelah berhasil dijangkau Diaz. (Amipriono, 2019: 27)
62. 75 “Pak, kita harus membantu mereka. Karena mereka sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap Bu Imah kepada kepala desa. (Amipriono, 2019: 75)
63. 84 “Ya, udah. Nggak apa-apa. Biasa itu, Dek. Ini ikannya, ya. Tiga ekor, masih seger-seger. Ambil aja buat kalian. Gratis,” kata si penjual ikan ikhlas. (Amipriono, 2019: 84) 64. 149 “Iya, Put. Nggak apa-apa. Yang Atri bawa sih, baru 4
pelajaran. IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan Matematika. Kalau Putri mau buku catatan Bahasa Inggris dan Agama, besok Atri bawa, ya.” Ia menggenggam tangan Putri. (Amipriono, 2019: 149)
65. 39 “Besok Ibu ke Meda. Doakan ikan Ibu cepat laku, ya. Biar ada uang buatmu berobat. Biar kamu bisa cepat normal dan merawat anakmu lagi.” Mata bening Bu Imah menatap. (Amipriono, 2019: 39)
66. 53 “Untungnya ada Bu Imah. Janda paruh baya ini begitu pengertian. Meskipun hidupnya tidak lebih baik, ia begitu memperhatikan Putri dan Diaz. Sering ia ke rumah. Melihat
mereka. Memastikan kondisinya baik-baik saja. Dan untuk meyakinkan ini: ada atau tidak makanan yang bisa mereka makan.” (Amipriono, 2019: 53-54)
67. 72 “Putri, Atri masih punya tabungan. Kalau kamu mau, besok Atri bawa ya. Kamu boleh pake buat apa aja. Buat beli beras. Buat beli buku. Yang penting kamu masih bisa bersekolah.” (Amipriono, 2019: 72)
68. 104 “Bu Imah selalu hadir saat dua malaikat kecil itu butuh pertolongan. Sering ia membersihkan rumah, dan mengantarkan makanan. Malah kadang mencuci kembali pakaian yang terlihat masih kotor, dan tak membiarkan pakaian-pakaian itu kusut. Semua licin, bersih, dan wangi disetrika Bu Imah.” (Amipriono, 2019: 104)
69. 155 “Jadi tolong, Pak. Kita harus bantu dia. Kita harus menyelamatkan sekolah Putri.” Bu Reni nanar menatap. (Amipriono, 2019: 155)
70. 44 “Eh... kamu capek nggak? Kalau capek, sini biar Kakak gendong.” Putri pun berlutut, adiknya naik ke punggungnya. (Amipriono, 2019: 44)
71. 103 “Ini pilihan yang sulit, Bu.Putri juga nggak tahu sampai kapan. Tapi, biarlah Putri yang cari uang. Buat makan. Buat beli buku. Supaya Diaz bisa terus sekolah.” (Amipriono, 2019: 103)
72. 46 “Diaz, setengah jam lagi, kamu bangunin Ibu, ya. Ibu belum minum obat,” pesan Putri, kepada Diaz. Hera berbaring lemah di atas dipan. (Amipriono, 2019: 46)
73. 177 “Antar Diaz ke makam ya, Bu. Diaz kangen orang tua Diaz,” katanya. Suaranya terdengar parau. Matanya sembap. (Amipriono, 2019: 177)
74. 181 “Iya, Sayang. Nanti setiap salat, jangan lupa kita bacakan Al-Fatihah buat almarhum Ayah dan Ibu ya...” (Amipriono, 2019: 181)
75. 63 “Nggak apa-apa, Putri. Ini juga sudah enak, kok,” hibur Nisa. Ketiganya nampak begitu lahap menyantap. Alhamdulillah. (Amipriono, 2019: 63)
76. 98 “Adam. Ini Pak Udin,” yang disebut namanya lalu bergegas menghampiri. Kepalanya ditundukkan. Tangannya diulurkan. Menyalami, lalu mencium tangan itu. (Amipriono, 2019: 98)
77. 162 “Saya Nisa. Temannya Putri dan Diaz.” Nisa mulai berdamai. Ia menjabat tangan Atri dengan ramah. Mendadak ia santun setelah melihat ekspresi lawan bicaranya yang gugup dan kebingungan itu. (Amipriono, 2019: 162)
78. 100 “Baiklah, Pak Lingga. Saya paksa sekeras apa pun. Bapak pasti akan lebih keras lagi menolaknya. Jadi saya ikuti
kemauan Bapak. Kereta ini saya ambil. Bismillah.” (Amipriono, 2019: 100)
79. 105 “Tapi, itu semua tergantung Putri. Ibu dan Pak Lingga nggak bisa maksa. Inilah cara yang menurut kami paling baik agar Diaz ada yang mengurus karena dia masih terlalu kecil, Putri. Kasihan Ibu lihat dia... Kasihan Diaaazz..., Putri...” Bu Imah pun tergugu. Kedua matanya dilapik kain sarung bermotif batik. (Amipriono, 2019: 105)
80. 120 “Putri, kenalin. Ini Bu Lina. Beliau baru datang dari Tarutung,” kata Pak Lingga memperkenalkan. Putri mencium tangan orang yang baru dikenalnya itu. Diaz melempar perhatian. (Amipriono, 2019: 120)
81. 122 “Kak, doain Diaz ya, kak.” Disalaminya Putri untuk terakhir kali. Matanya menatap sang kakak penuh haru. (Amipriono, 2019: 122)
82. 10 “Biarpun sederhana, kita tetap harus bersyukur. Karena di luar sana, masih banyak orang yang nggak mampu beli makanan. Fabiayyiaalaairobbikumaa Tukadzdzibaan,” ujar Hera. Begitulah ia menanamkan sikap syukur kepada anak-anaknya. (Amipriono, 2019: 10)
83. 163 “Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah. Mungkin ini jawaban atas doa-doamu Putri.” Mata Nisa berbinar. (Amipriono, 2019: 163)
84. 165 “Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah, atas karunia-Mu, Putri bisa sekolah lagi.” (Amipriono, 2019: 165)
85. 167 “Alhamdulillah, Ya Allah. Terima kasih atas nikmat dan karunia yang telah Engkau berikan. Masyaallah...” Air mata Putri jatuh berderai. Tak henti-hentinya ia mengekspresikan rasa syukur. (Amipriono, 2019: 167)
86. 180 “Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih, ya Allah. Kamu hebat, Diaz. Kamu hebat.” Putri kembali memeluk adiknya. (Amipriono, 2019: 180)
87. 13 “Kuatkan hamba untuk melawan sakit kanker hati ini, Ya Rabb.” Tangisannya makin tersedu-sedu. Badannya berguncang. Tatapan mata kea rah Diaz dan Putri membuatnya makin sedih. (Amipriono, 2019: 13)
88. 20 “Alunan Al-Fatihah menjadi pembuka pembelajaran. Riuh rendah ceramah guru, membentuk mozaik yang khas, membuat suasana belajar kian hidup.” (Amipriono, 2019: 20)
89. 62 “Iya, Kak. Kita makan, ya. Kak Putri ini jagonya masak, loooh. Pasti nanti Kakak ketagihan,” goda Diaz. Dia memimpin doa makan. Kemudian mereka bersantap di atas dipan. (Amipriono, 2019: 62)
90. 117 “Maafkan Putri yaa, Yaaah…” matanya diusap-usap. Tas kerjanya disampirkan ke badan bagian belakang. Tangannya
lalu menengadah, berpangku di atas kedua pahanya. Ia mulai membaca surat Al-Fatihah. (Amipriono, 2019: 117)
91. 175 “Ya Allah, mohon rawat hamba-Mu yang lemah ini. Mohon lindungi dia. Mohon pertemukan kembali ia dengan saudara kandungnya.” Doa Nisa di dalam hati. (Amipriono, 2019: 175)
92. 35 “Ya Allah. Maafkan hamba-Mu ini, ya Rabb.” Hera meringis ketakutan. Tangan kanannya cepat-cepat mengusap darah yang keluar dari hidung dan mulutnya itu. Berulang kali. (Amipriono, 2019: 35)
93. 137 “Wow… Indahnya…” ucap Putri kagum ketika menyaksikan aksi kejar-kejaran air laut yang tak berhenti menyapa bibir teluk. (Amipriono, 2019: 137)
94. 137 “Cantik, kan?” Sahut Nisa. Kemudian, ia membalas senyum sekelompok burung camar yang datang berkerumun menututpi awan. (Amipriono, 2019: 137)
95. 137 “Ya Allah. Indahnya,” lirih Putri. Ia tak henti-hentinya memuji lukisan agung Sang Pencipta. (Amipriono, 2019: 137)
Lampiran 2. Klasifikasi Data
No. Wujud Moral Nilai Moral Hal. Kutipan Data 1. Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri (Moral Individual) Menerima Kenyataan
6 “Meskipun kondisinya serba kekurangan, kami bahagia kok. Kan, bahagia itu nggak melulu harus punya harta. Bahagia itu, ketika kita berada dekat dengan keluarga,” gumamnya. Tangan mungil Putri merapikan buku, lalu menyusunnya kertas putih yang warna-nya kian lusuh. (Amipriono, 2019: 6)
118 “Ayah… Ibu. Maafin Putri, ya. Putri terpaksa harus melepas Diaz untuk dirawat orang lain. Beraaaat rasanya. Karena hanya Diaz satu-satunya darah daging Putrisaat ini.” (Amipriono, 2019:118)
124 “Namun kini, Putri terpaksa mengalah dengan kondisi. Takut berkompromi dengan ekonomi, dengan merelakan Diaz diasuh orang lain supaya hidupnya lebih
baik dan bisa terus sekolah.” (Amipriono, 2019: 124)
Pantang Menyerah
26 “Ketika ia melihat sebuah buku tulis yang menggenang di sungai