• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Agama dan Negara di dalam Konsep Negara Sekuler dan

BAB III HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

3.3. Relasi Agama dan Negara di dalam Konsep Negara Sekuler dan

Sekulerisme adalah sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan Tuhan.

Negara sekuler adalah salah satu konsep negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekuler juga mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Negara sekuler juga tidak memiliki agama nasional.

Negara sekuler didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekuler juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.

Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada gereja saat itu (abad 15) karena dominasi sosio-ekonomi dan cultural dan tindakan refresi terhadap

penggunaan pengetahuan diluar gereja. Gerakan Reformasi Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad XV-XVI di Eropa menuntut dipisahkannya otoritas agama, sebagai reaksi terhadap maraknya korupsi dan politisasi agama oleh penguasa Katholik Roma pada masa itu. Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu upaya untuk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Negara sekuler adalah negara yang memisahkan agama dengan politik. Terus mengapa sebuah negara harus sekuler? Sebuah negara haruslah sekuler karena dengan demikian maka agama tidak harus ikut campur dalam urusan-urusan politik. Seperti yang kita ketahui ketika agama dijadikan sebagai agenda politik, maka agama itu dimanfaatkan oleh penguasa untuk mengkokohkan kekuasaannya.73

Namun ternyata Kain tidak mengacuhkan peringatan Allah itu. Ia cemburu, iri hati, dan kemurkaannya membuat dia tak dapat mengendalikan diri. Ia lalu membunuh adiknya, Habel. Dan ketika Allah menanyakan dimana adiknya, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Pembunuhan Habel merupakan Negara sekuler yang telah ada sejak penyelewengan beberapa malaikat mulai menampakkan karakter, sifat-sifat dan identitasnya lewat Kain, manusia pertama yang menjadi warga negara sekuler. Pembunuhan Habel mengungkapkan banyak hal yang menunjukkan bagaimana sebenarnya karakter, sifat, identitas negara duniawi itu.

Mengutip Kejadian 4: 6-7, Augustinus menunjukkan bahwa sebelum Kain membunuh Habel, Allah telah memperingatkan lebih dahulu kepada Kain dengan mengatakan:

“Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Akankah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip didepan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”

tindakan kriminal pertama dalam negara sekuler. Dan sejak itu, kehidupan negara sekuler dipenuhi berbagai tindakan kriminal.

Seluruh sikap dan tindakan Kain tersebut diatas menunjukkan karakter, sifat-sifat negara dunia duniawi itu. Tidak mengacuhkan peringatan Allah berarti memberontak dan melawan kehendak Allah. Ia cemburu, iri hati, murka, dan tak sanggup mengendalikan diri yang mengakibatkan pembunuhan. Sesudah Kain membunuh, ia berdusta kepada Allah tatkala ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui dimana adiknya itu berada. Itulah karakter, sifat-sifat identitas negara sekuler: pemberontakan, perlawanan, cemburu, iri hati, murka, tak dapat menguasai diri, pembunuhan, dusta, dan lain sebagainya.

Negara sekuler terus berkembang dengan pesat yang menunjukkan bahwa manusia semakin jauh meninggalkan Allah. Ketika Abraham lahir telah ada kerajaan kafir yang besar dan termasyur yang kehidupan warga negaranya oleh gaya hidup negara duniawi, ketiga negara itu adalah Sicyon, Mesir, dan Assyiria. Dalam hal itu belum terhitung negara-negara kafir kecil yang tersebar di seluruh dunia.

Pada masa Deborah hakim wanita memerintah Israel, lahirlah kerajaan Laurentum di Italia yang merupakan cikal bakal negara Romawi. Ketika raja Hizkia memerintah Israel, kerajaan Assyiria runtuh dan bersamaan dengan itu Roma didirikan. Para penguasa kekaisaran Romawi berupaya menindas dan menghambat perkembangan agama Kristen lewat penganiayaan yang begitu kejam terhadap orang-orang Kristen, maka semakin tampaklah dengan sempurna wajah negara duniawi memusuhi kebenaran, keadilan dan kasih Allah. Dan memang sejak semula, ketika Roma di bangun, ia telah didirikan di atas dasar cinta manusia atau cinta diri yang merupakan dasar yang paling utama dari negara duniawi.

Negara dan Agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan (discource) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan Agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari dogma Agama. Pada

hakekatnya, Negara sendiri diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula sehingga Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

Agama saat ini merupakan realitas yang berada di sekeliling manusia. Masing-masing manusia memiliki kepercayaan tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Agama yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia tersebut. Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam ranah ketatanegaraan muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.74

Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang Munculnya tuntutan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara memunculkan perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai relasi antara negara dan agama. Banyak pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli dalam menempatkan posisi agama dalam kehidupan bernegara. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa selalu saja muncul persoalan ini.

Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

1) Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)

74

Anshari Thayib. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategis dan Kebijakan.1997, hal 5

berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.

Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.75

Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. 76

Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan, menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.77

75

Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di

Indonesia. Yogyakarta: LKiS., 2001, hal 24

Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang

September 2014 77

Kaelan. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”. Makalah. Yogyakarta, tanggal 1 Juni 2009, hal 9

memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.78

Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

2) Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)

79

Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.80

Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.81

Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi

2014 79

Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.cit., hal 24 80

Adi Sulistyono. 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah Seminar Hukum

Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008, hal 2

81

saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama.82

Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.

3) Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)

83

Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama. 84

Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma-norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama.

Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.

85

82

Agus Thohir. 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang

diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009,

hal 4 83

Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.cit., hal 28. 84

Agus Thohir, Op.cit., 4

Agama dan negara merupakan dua institusi yang berbeda yang sama-sama kuatnya. Agama mempengaruhi eksistensi negara juga mempengaruhi keberlangsungan umat beragama. Dalam suatu negera tertentu agama kemudian menjadi dasar bernegaranya dalam artian agama yang mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang diberlakukan di dalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk memisahkan agama dengan negaranya, agama baginya adalah urusan keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak untuk mengurus wargaya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia. Jadi bagi negara-negara yang sekuler seperti ini mereka tidak mau mencampur adukkan antara agama yang ukhrawi dan negara yang bersifat duniawi.

Dalam perkembangannya, sistem teokrasi cenderung mengarah ke arah politik praktis. Jauh dari apa yang semula dirumuskan oleh Yosefus. Teokrasi yang berkembang di kemudian hari semakin menjurus ketreskeiokrasi(pemerintahan oleh agama) atauhierokrasi(pemerintahan oleh imam), karena yang dipersoalkan adalah siapa yang berkuasa mewakili Tuhan. Inilah yang membuat para ahli politik modern cenderung “mengutuk” bentuk-bentuk teokrasi karena dianggap melegalkan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk kekuasaan atas nama Tuhan.

Para ahli modern membandingkan model teokrasi Yosefus dengan apa yang ada dalam masyarakat-masyarakat primitif, seperti pernah diterapkan dalam masyarakat Mesir Kuno, Tibet bahkan dalam masyarakat Indian Amerika, dimana sistim masyarakat dikendalikan oleh para “putra langit” atau “putra dewa”, yang kemudian disejajarkan dengan istilahben Elohim(Anak atau Putra Tuhan) yang disandang oleh Raja Daud dan keturunannya, hingga oleh Yesus sendiri.

Teokrasi kemudian dianggap sebagai sistem yang gagal ketika disamakan dengan penerapan syariat Islam di Timur Tengah, seperti Taliban di Afghanistan, al-Shabab di Somalia atau sistim kerajaan Arab Saudi. Menurut para kritikus kontemporer, teokrasi semacam itu adalah bentuk teokrasi yang membungkam hak-hak sipil dan bahkan mengebiri hak-hak asasi manusia (HAM). Pada akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa teokrasi sangat bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Akibatnya, stigma negatif terhadap teokrasi pun terus tertanam hingga kini.

Kesimpulan ini didasarkan pada pandangan bahwa teokrasi adalah sistim pemerintahan yang mengedepankan siapa yang berkuasa. Padahal, dalam rumusan Yosefus, sistim teokrasi merupakan sistim penggembalaan umat Israel, sebagai bangsa pilihan Tuhan. Yosefus tidak berbicara tentang siapa yang berkuasa sebagai wakil Tuhan, tetapi bagaimana menjalankan amanat Tuhan dalam kehidupan umat. Artinya, klaim bahwa teokrasi adalah sistim yang gagal adalah klaim yang didasarkan pada sudut pandang teokrasi yang melenceng dari teokrasi yang sesungguhnya digambarkan dalam perjalanan sejarah bangsa Israel dalam Alkitab.

Alkitab menggambarkan perkembangan sejarah Israel, dimana bangsa itu ternyata banyak mengadopsi sistim pemerintahan yang beragam, mulai dari zaman Musa, para hakim, raja-raja hingga sistim raja wilayah pada zaman Herodes. Alkitab menggambarkan sikap terbuka para Tuhan terhadap sistim pemerintahan baru di setiap perjalanan sejarah umat-NYA, misalnya ketika Musa menerima saran dalam hal pembagian kekuasaan militer atau teguran Tuhan kepada Samuel untuk mengakomodasi tuntutan umat dalam penerapan sistim kerajaan

Sistem teokrasi juga menyebabkan pemimpin itu merasa sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga perkataan-perkataannya tidak boleh dibantah sama sekali. Politisisasi agama juga menyebabkan umat yang tidak seagama dengan pemimpinnya bisa termarjinalkan dan bahkan juga rakyat yang seharusnya tidak

beragama justru wajib beragama secara paksaan. Politisasi agama juga menyebabkan agama yang mayoritas itu merasa superior dan agama minoritas haruslah tunduk pada aturan-aturan yang berlaku di negara tersebut. Walaupun ditolakpun tidak akan bisa, karena yang menentukan benar salah itu adalah kaum penafsir Kitab Suci sehingga, penafsir ini dianggap sebagai wali Tuhan di muka bumi. Sebagai sebuah organisasi, negara merupakan perkumpulan warga negara dalam batas-batas wilayah tertentu yang didasarkan pada sistem politik yang ditetapkan dasar negara dan konstitusi negara. Jadi, negara bukan organisasi SARA. Dalam kaitan ini, tidak selayaknya sebuah negara berbhinneka dikuasai penormaannya oleh satu agama saja. Karena dengan demikian akan menjadi agama utama dan agama nomor dua yang tidak resmi (baca: diskriminasi). Jika negara islam, misalnya, maka otomatis agama islam akan jadi agama utama (agama resmi negara), sedangkan agama lain adalah agama nomor dua dan pengikutnya dikenal sebagai “kafir dzimmi”.

Sejak manusia pertama jatuh ke dalam dosa, maka sejak itulah negara

sekuler dan negara surgawi mulai menampakkan diri dalam wujud yang lebih nyata. Tentu saja manifestasi kedua negara itu, tidak tampak dalam garis batas

teritorial dan dalam bentuk organisasi manusia. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa dosa-lah yang menjadi garis batas pemisah antara negara sekuler dan negara surgawi itu. Karakter, sifat-sifat dan identitas kedua negara terlihat dengan jelas dalam kehidupan manusia yang sekaligus telah menunjukkan apa kewarganegaraannya yang sesungguhnya dari orang yang bersangkutan.

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Setelah membahas skripsi ini beserta permasalahannya maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Relasi negara dan agama menurut Martin Luther yaitu kekuasaan penguasa sekuler yang suci memberikan andil bagi munculnya konsepsi hak-hak ketuhanan para penguasa Negara atau raja. Raja dengan hak-hak ketuhananannya itu kemudian merasa memperoleh pembenaran doktrinal keagamaan untuk memerintah secara semena-mena, tanpa kontrol politik berarti dari rakyat. Kondisi ini pada akhirnya menjurus pada terbentuknya Negara Kekuasaan (Machtstaat). Sebenarnya, Luther tidak bermaksud mengemukakan sekularisme, tetapi gagasan-gagasannya telah memicu sekularisasi politik. Penyangkalan Luther atas otoritas politik bersampul agama telah menimbulkan wacana pemisahan Gereja-Negara. Luther acap kali menekankan perlunya kepatuhan kepada kekuasaan pemerintahan sipil yang sah. Besar kemungkinan, latar belakang pokoknya adalah karena penolakannya atas campur tangan gereja terhadap pemerintahan sipil. Menurutnya, kekuasaan Paus tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler suatu Negara yang memiliki prinsip-prinsip kenegaraan yang berdasarkan nasionalisme. Luther juga menuntut dibedakannya otoritas politik dengan otoritas agama. Paus dituntut agar mengakui otoritas politik penguasa Negara dan tidak mencampur-adukannya dengan otoritas agama.

2. Konsep Negara sekuler, relasi agama dan Negara adalah Hubungan antara agama & Negara dalah tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintah dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan. Segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan Negara dilakukan atas titah Tuhan. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak

berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma-norma-norma agama. Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.

3. Tidaklah mudah untuk menggandeng antara agama denga negara. Keduanya, dalam dunia politik, membuat ketegangan dan perdebatan yang rumit. Dari hubungan keduanya melahirkan Sistem teokrasi. Teo artinya Tuhan. Jadi maksud dari teori ini adalah segala sesuatunya bersandar pada kehendak Tuhan, yang dalam hal ini diwakilkan oleh prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam agama, yang akan mengatasi realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam negara agama, kekuasaan politik tidak berdasarkan aturan hukum (rule of law) sebagaimana yang biasa diapahami kebanyakan orang. Kekuasaan politik hanya dapat dipahami dan dipandang berdasarakan pada suatu aturan-aturan yang datang dan bersumber dari hukum-hukum Tuhan.

4. Agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.

4.2 Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini penulis merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan di atas, yaitu:

Sebagai warga negara, sudah selayaknya kita mengkaji lebih dalam hubungan antara agama dan negara. Selain untuk memperluas cakrawala berpikir, kelak ketika kita menempati posisi strategis di pemerintahan kita tidak terjebak

pada arus perdebatan penyatuan agama dan negara. Sebab yang lebih penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau memerintah sesuai dengan norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada hakikatnya agama akan menuntun umatnya pada kebaikan. Jika kita bernegara dengan mengindahkan norma agama, niscaya kita akan menjadi warga negara dan pemimpin yang baik.Disarankan agar negara membiarkan masyarakat untuk beragama sesuai dengan pandangannya. Sampai kapan rakyat Indonesia dianggap belum dewasa Pro dan kontra masyarakat akan pandangan beragama sebaiknya dikembalikan sendiri kepada masing-masing rakyatnya. Biarkanlah negara membiarkan masyarakat bermoral secara rasional tanpa intimidasi ketakutan akan neraka dan iming-iming surga.

BAB II

Dokumen terkait