• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Martin Luther Tentang Relasi Agama Dan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran Politik Martin Luther Tentang Relasi Agama Dan Negara"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Arnold Toynbee, Civilzation on Trial, dalam Somervell (ed), Western Civilization, Nottingham: International University Society, ad.1999.

Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi,(Jakarta:BPK-GM;2002.

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah perkembangan

pemikiran Negara, masyarakat, dan kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2004.

Albert Hourani, Islam dalam Pandangan Eropa (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Ali 'Abd ar-Raziq, Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Terj. Afif Mohammad, Pustaka, Bandung, 1985.

Abul A’la Al Maududi, Towards Understanding Islam, IIPSO, Lahore, 1960.

Anshari Thayib. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian Strategis dan Kebijakan.1997

Andrew Hacker, Political Theory: Philosophy, Ideology, Science, New York, The Macmillan Company, 1968

A. Heuken, SF, Ensiklopedia Gereja, Jilid A-G. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1991

Aried Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

A. Najiyulloh, Gerakan Pemikiran Dan Keagamaan (Akar ideologis dan

penyebarannya), Jakarta Timur: Al-I’tishom Cahaya Umat, 1993.

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah perkembangan

pemikiran Negara, masyarakat, dan kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2004

Bambang S, Agama dalam Praksis, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003

(2)

Blum Camerun dan Barness, A History of Western World, Boston, Toronto, Little Brown and Company, 1966.

Cooper dalam Perel and Keith, Western Civilization, 1992.

Deliar Noer, Pemikiran Politik Barat, Bandung: Mizan, 1997.

Donald Keagan, Perancis of Athens and the Birth of Democracy, New York: Free Press, 1991.

Dikutip dari Skripsi Nurhabibah Dalimunthe (Mahasiswa Dept. Ilmu Politik Stambuk 2002

Dikutip dalam Eep Saefullah Fatah, Prospek Democracy, Baca Anton Powell, Athens, 1993

Ernest Renan, filsuf Perancis abad XIX juga menggangap “pengorbanan jiwa” demi pengabdian bangsa sebagai esensi nasiolisme, Jadi Renan melanjutkan gagasan Pericles Tentang Gagasan Nasionalisme Renan, Lihat Renan, Apakah Bangsa itu”, Jakarta: Erlangga, 1968.

Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan

pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007.

George Sabine and Thomas A History of Political, New York: Henry Holt and Co. 1997.

Husani Usman dan Purnomo, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung Bumi Aksara, 2004

Helmut T. Lehman (Gen.ed) Luther Works, Vol. 21 Philadelphia: Muhlenberg Press, 1962.

IAIN Syarif Hidayatullah, “pendidikan kewargaan, demokrasi, Ham & masyarakat madani” Jakarta, 2000.

Imam Al-Mawardiy, Hukum Tatanegara dan Kepemimpinan dalam Takaran

Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin, Gema Insani

Press, Jakarta, 2000.

(3)

Jalaluddin Rahmat dalam M. Muksshim, Agama-Agama Baru di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2008.

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan

Fundamentalis, Yayasan Indonesia Tera (Anggota IKAPI), Magelang, 2001

Marthin Luther, Work of Martin Luther, Vol. III, Philadelphia: Muhlemberg Press, 1930

Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI;2008.

Marthin Luther, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, Jakarta:BPK-GM;1996.

Made Sri Wirdiata, (Penyuluh Agama Hindu Kemenag KSB; Sekretaris BPH PHDI Prov. NTB)

Kemah Bakti Lintas Agama se-NTB tahun 2011, pada tanggal 20 Oktober 2011 di Bumi Perkemahan Pramuka, Karang Bayan, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat

Muhammad Albahy, Islam dan Sekularisme Antara Cita dan Fakta, Alih bahasa: Hadi Mulyo, Ramadhani, Solo, 1988

Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum

Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS., 2001

Mukti, Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha-Dhamma. Yayasan Dharma Pembangunan: Jakarta, 2003

Nisbet. The Social Philosopher, Community and Conflict in Western Thought, New York Washington Square Press, 1983.

Somad Zawawi, dkk, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Universitas Trisakti, 2004.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1992

Y. Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara (Hubungan Gereja Katolik Indonesia dengan Negara Pancasila, Jakarta, Averros Press, 2002.

(4)

Doing Theology With Asian Resources, Theology and Politics (ed. Yeow Choo Lak) Vol. 1 Singapura: ASTSEA, 1993.

Internet

1 September 2014

Negara/diakses tanggal 1 September 2014

tanggal 1 September 2014.

2014

Sekretaris Badan Penyiaran Hindu PHDI Prov. NTB; Penyuluh Agama Hindu Kankemenag Kab. Sumbawa Barat, diakses tanggal 1 September 2014

Matakin.wordpress.com/agama-khonghucu/diakses tanggal 1 September 2014

Dindhut.wordpress.com/2014/03/07/hubungan-agama-dengan-negara/

diakses tanggal 1 September 2014

Kaelan. 2009. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”.

(5)

September 2014

Adi Sulistyono. 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah

Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8

Mei 2008, hal 2

Agus Thohir. 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian

Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009

(6)

BAB III

PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

3.1 Pandangan Martin Luther tentang hakikat Gereja dan Negara

Awal mulanya para reformator meyakini bahwa gereja pada abad pertengahan telah rusak dan ajarannya telah menyimpang karena melepaskan diri dari Kitab Suci dan karena tambahan-tambahan manusia pada kitab suci. Gereja sendiri merupakan wadah atau perwujudan dari Agama Kristen. Pandangan-pandangan Luther tentang hakikat Gereja adalah perefleksian penekanan atas firman Allah. Firman Allah berjalan terus untuk menaklukan dan kemanapun ia akan menaklukan dan mendapat kesetiaan yang benar kepada Allah dan gereja. Injil adalah sesuatu yang esensial bagi identitas gereja, “di mana firman itu ada di sana ada iman, dan di mana ada iman dan di sana ada gereja yang benar”. Luther juga mengatakan bahwa gereja yang kelihatan dibentuk oleh pemberitaan firman Allah. Lembaga gereja ini merupakan alat anugerah yang ditentukan secara ilahi. Di samping itu juga, Luther mengatakan bahwa “gereja yang palsu hanya mempunyai rupa yang kelihatan saja, meskipun ia memiliki jabatan-jabatan Kristen”. Dengan kata lain, gereja abad pertengahan telah menyerupai gereja yang sebenarnya tetapi dia benar-benar sesuatu yang berbeda.43

Luther menerima pandangan Augustinus tentang gereja sebagai suatu badan “campuran”. Anggota gereja yang jahat terdapat di dalam gereja. ”sama seperti kotoran tikus di temukan di antara biji lada atau lalang di antara biji gandum”. Itu adalah salah satu fakta dari kehidupan gereja yang di akui oleh Augustinus dan di setului oleh Luther. Artinya gereja harus di lihat sebagai gereja yang keanggotaanya bercampur, baik orang-orang kudus maupun orang-orang

berdosa.

44

Luther memandang negara sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Konsekuensinya adalah bahwa seluruh dunia dan manusia harus tunduk kepada

43

Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi,(Jakarta:BPK-GM;2002,hal.249-250 44

(7)

Allah. Dengan demikian maka kesetiaaan manusia kepada penguasa menjadi tanpa syarat. Luther melihat kesetiaan warga Negara kepada pimpinannya sebagai hal yang rohani dalam kerangka hubungan manusia dengan Allah.45

Dalam katekismus besar Luther, juga disebutkan bahwa kuasa itu berasal dari Allah. Luther meneruskan penjelasannya yang mengatakan bahwa pemerintah tercakup di dalam kedudukan orang tua. Artinya ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan kepada seorang bapak, sebab pejabat bukan hanya bapak dari satu keluarga melainkan bapak dari rakyat. Para penguasa bagaikan orang tua46 dan penguasa itu meneladani Kristus. Artinya ialah bahwa seorang penguasa harus mengosongkan dirinya seperti Kristus. Ia tidak mengeksploitasi kekuasaan demi kepentingannya, melainkan demi kepentingan orang lain.47

Hubungan antara Agama dan Negara, Luther menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan”

Negara tidak boleh merebut hak-hak Allah. Allahlah yang memerintah jiwa-jiwa bukan Negara. Luther mempertegas bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah atau penguasa adalah mempraktekkan keadilan, mengizinkan kebebasan bagi setiap orang dalam melaksanakan kepercayaannya, membela Negara dari semua musuh-musuhnya, dan memuliakan Tuhan.

48

45

Mangisi SE. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther,Pematangsiantar: kalportase pusat GKPI;2008, hal.26

46

Marthin Luther, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, Jakarta:BPK-GM;1996, hal. 63-65 47

Mangisi SE. Simorangkir, Op.cit., hal. 92-93 48

Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, Bandung: Jurnal Info Media;2007, hal. 127

atau “dua pemerintahan”. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan roh kudus, dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran” atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”. Ukuran Allah tentang keadilan mempersoalkan semua perkara di

(8)

menciptakan kedamaian dan untuk menekan dosa dan semua ini didasarkan atas firman Allah dan merefleksikan kehendak Ilahi untuk membangun dan memelihara bidang duniawi.49 Atau dengan kata lain, Allah memberi kepada

gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada Negara Allah memberikan kuasa mengurusi kehidupan duniawi untuk menertipkan orang-orang jahat, sekaligus menolong gereja mengupayakan orang-orang yang belum Kristen itu bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Karena para raja dan bangsawan itu adalah warga gereja, maka sejalan dengan semboyan “Imamat Am Orang Percaya” bahwa mereka juga terpanggil untuk membaharui gereja dan mengambil bagian dalam pelayanan gereja terutama dalam memberantas kejahatan dan mengupayakan perikehidupan yang kristiani. Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik.50 Pemerintah atau pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14).51

Pada mulanya Luther berpendapat bahwa secara kelembagaan Negara tidak boleh mengurusi kehidupan gereja. Tetapi ketika ia melihat bahwa ada kelompok tertentu atas nama imam melakukan pemberontakkan dan huru-hara yang juga mengakibatkan kerugian kepada gereja, antara lain pemberontakkan kaum petani tahun 1525 yang dinilai Luther sudah mengarah pada anarkhi, maka Luther memberi peluang kepada negara untuk ikut mengatur kehidupan gereja. Dalam perkembangan selanjutnya campur tangan Negara terhadap gereja semakin besar. Itu tak lepas dari dukungan raja-raja tertentu di Jerman terhadap Luther

ketika membela di hadapan tuntutan GKR. Itulah sebabnya di negara-negara yang

49

Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta:BPK-GM;2002),hal.249-250. 50

Mangisi SE. Simorangkir, Op.cit., hlm. 91. 51

(9)

didominasi aliran Lutheran (mis. Jerman dan Negara-negara Skandinafia) gereja pada umumnya menjadi gereja Negara, paling tidak hingga pada abad ke XIX.

3.2 Konsep Negara dan Agama Menurut Martin Luther

Gereja mengajarkan bahwa adanya suatu negara adalah berdasarkan atas kodrat manusia sebagai mahkluk sosial. Manusia secara kodrati dalam mengembangkan diri pribadinya tidak bisa sendirian begitu saja. Walaupun tujuan adanya negara bukan hanya untuk mengembangkan diri saja, tetapi mereka saling membutuhkan anatara satu dengan yang lain, mulai dari kelompok yang paling kecil, yaitu keluarga hingga masyarakat-negara (Gaudium et Spes art. 74; Bdk. Go, 1989:105)52

Melihat kenyataan bahwa antara negara satu dengan negara lain dalam suatu bangsa adalah saling membutuhkan. Untuk itu Gereja mengajarkan bahwa adanya suatu negara adalah demi kepentingan umum. Inilah yang menjadi tujuan adanya suatu negara. Bapa Konsili bahkan pernah memberikan rumusan mengenai kesejahteraan umum sebagai, “Keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial yang memungkinkan kelompok-kelompok sosial maupun masing-masing anggotanya mencapai kesempurnaan sendiri secara lebih penuh, menyeluruh dan lebih mudah” (GS, art. 26). Bila kita bandingkan dengan artikel 74, di sana di-tuliskan bahwa kesejahteraan umum mencakup sejumlah persyaratan kehidupan sosial yang memungkinkan manusia, keluarga dan serikat-serikat untuk mencapai kesempurnaannya secara lebih penuh.53

Itulah sebabnya mengapa Konsili Vatikan II sendiri menyadari realitas dunia dan berefleksi terhadap dirinya secara utuh. Konsili menyadari hakikat Gereja, yakni sebagai umat Allah yang hadir di dunia dan untuk dunia. “Gereja

merupakan gambaran karya penyelamatan Kristus di dunia sehingga semua kegiatan duniawi para beriman dipenuhi terang Injil” (Bdk. Go, 1989:105: Bdk. GS art. 43). Untuk itu Gereja menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa antar

52

Y. Eko Budi Susilo, Op.cit, hal. 1 53

(10)

Gereja dan dunia terjadi hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (GS art. 40).

Bila dilihat keberadaan Gereja di dunia, maka keberadaannya tidak bisa

dilepaskan dari pemerintahan dunia. Barangkali Gereja bisa mempengaruhi pemerintahan dunia, tetapi di pihak lain Gereja juga bisa terpengaruh oleh pemerintah dunia yang dimaksud. Kehadiran Kristus sendiri di dalam membawa misi penyelamatan-Nya berhadapan dengan pemerintahan dunia. Sebagai contoh menjelang akhir hayat-Nya, Ia dihadapkan dan berhadapan dengan Gubernur Ponsius Pilatus.

Keberadaan Gereja di dunia bisa diperlakukan dengan baik dan bisa juga diperlakukan dengan kurang baik dari pihak pemerintah dunia. Dari sejarah Gereja kita bisa melihat bahwa kekaisaran Romawi menganiaya Gereja yang masih muda itu sampai 300 tahun lamanya secara kejam hanya karena orang Kristen tidak mau memuja berhala dan mendewakan Kaisar. Namun demikian, kita ketahui bahwa setiap negara dan bangsa dalam menghadapi Gereja tidak sama sikapnya. Ada yang sengaja menghambat perkembangan Gereja, namun ada yang memberikan kebebasan yang sepenuhnya. Hal ini, tentu saja, akan mempengaruhi hubungan antara gereja dan negara.

Luther memandang negara sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Konsekuensinya adalah bahwa seluruh dunia dan manusia harus tunduk kepada Allah. Dengan demikian maka kesetiaaan manusia kepada penguasa menjadi tanpa syarat. Luther melihat kesetiaan warga Negara kepada pimpinannya sebagai hal yang rohani dalam kerangka hubungan manusia dengan Allah.54

Dalam katekismus besar Luther, juga disebutkan bahwa kuasa itu berasal dari Allah. Luther meneruskan penjelasannya yang mengatakan bahwa pemerintah

tercakup di dalam kedudukan orang tua. Artinya ketaatan kepada penguasa adalah ketaatan kepada seorang bapak, sebab pejabat bukan hanya bapak dari satu

54

(11)

keluarga melainkan bapak dari rakyat. Para penguasa bagaikan orang tua55 dan penguasa itu meneladani Kristus. Artinya ialah bahwa seorang penguasa harus mengosongkan dirinya seperti Kristus. Ia tidak mengeksploitasi kekuasaan demi

kepentingannya, melainkan demi kepentingan orang lain.56

Hubungan antara gereja dan Negara, Luther menggunakan teori atau ajaran tentang “dua kerajaan”

Negara tidak boleh merebut hak-hak Allah. Allahlah yang memerintah jiwa-jiwa bukan Negara. Luther mempertegas bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah atau penguasa adalah mempraktekkan keadilan, mengizinkan kebebasan bagi setiap orang dalam melaksanakan kepercayaannya, membela Negara dari semua musuh-musuhnya, dan memuliakan Tuhan.

57

atau “dua pemerintahan”. Dalam hal ini, Gereja merupakan lembaga atau perwujudan nyata dari Agama. Luther menarik suatu perbedaan antara pemerintahan “spiritual” yang berasal dari Allah yang diberlakukan melalui firman Allah dan tuntunan roh kudus, dan pemerintahan “duniawi” Allah diberlakukan melalui raja-raja, pengeran-pangeran dan hakim-hakim dengan mempergunakan pedang dan hukum Negara. Luther juga menekankan perbedaan antara konsepsi manusia dan konsepsi Ilahi tentang “kebenaran” atau “keadilan”, suatu tema yang merupakan karakteristik dari “teologi salib”. Ukuran Allah tentang keadilan mempersoalkan semua perkara di dunia ini. Luther mengatakan bahwa keteraturan akan dikenakan untuk menciptakan kedamaian dan untuk menekan dosa dan semua ini didasarkan atas firman Allah dan merefleksikan kehendak Ilahi untuk membangun dan memelihara bidang duniawi.58

55

Marthin Luther, Katekismus Besar, terj. Anwar Tjen, (Jakarta:BPK-GM;1996), hal. 63-65. 56

Mangisi SE. Simorangkir, Op.cit., hal. 92-93 57

Jan S. Aritonang, Garis Besar Sejarah Reformasi, (Bandung: Jurnal Info Media;2007), hal. 127. 58

Alister E. McGrath,Sejarah Pemikiran Reformasi, (Jakarta:BPK-GM;2002), hal.270

Atau dengan kata lain, Allah memberi kepada gereja kuasa untuk mengurusi kehidupan rohani dari umat yang sudah berada dalam lingkungan kerajaan Allah, sedangkan kepada Negara Allah memberikan

(12)

bisa masuk ke dalam naungan kerajaan Allah. Karena para raja dan bangsawan itu adalah warga gereja, maka sejalan dengan semboyan “Imamat Am Orang Percaya” bahwa mereka juga terpanggil untuk membaharui gereja dan mengambil

bagian dalam pelayanan gereja terutama dalam memberantas kejahatan dan mengupayakan perikehidupan yang kristiani. Dengan alasan itu pula maka Luther setuju bila orang Kristen duduk dalam pemerintahan. Ia menerima pandangan Augustinus yang mengatakan bahwa pemerintahan Kristen harus memerintah dengan akal, kasih dan kehendak baik.59 Pemerintah atau pangeran-pangeran itu harus tetap melaksanakan tugas ilahi (Luther mengacu pada Roma 13:1-7, I Petrus 2:13-14).60

Meskipun pada dasarnya Luther tidak bermaksud menggelontorkan sekularisasi, tetapi gagasan-gagasannya telah memicu sekularisasi politik. Penyangkalan Luther atas otoritas politik bersampul agama telah menimbulkan wacana pemisahan Gereja-Negara. Luther acap kali menekankan perlunya

kepatuhan kepada kekuasaan pemerintahan sipil yang sah. Besar kemungkinan, latar belakang pokoknya adalah karena penolakannya atas campur tangan gereja terhadap pemerintahan sipil. Menurutnya, kekuasaan Paus tidak universal sebab Awal mulanya Luther berpendapat bahwa secara kelembagaan Negara tidak boleh mengurusi kehidupan gereja. Tetapi ketika ia melihat bahwa ada kelompok tertentu atas nama imam melakukan pemberontakkan dan huru-hara yang juga mengakibatkan kerugian kepada gereja, antara lain pemberontakkan kaum petani tahun 1525 yang dinilai Luther sudah mengarah pada anarkhi, maka Luther memberi peluang kepada negara untuk ikut mengatur kehidupan gereja. Dalam perkembangan selanjutnya campur tangan Negara terhadap gereja semakin besar. Itu tak lepas dari dukungan raja-raja tertentu di Jerman terhadap Luther ketika membela di hadapan tuntutan GKR. Itulah sebabnya di Negara-negara yang didominasi aliran Lutheran (mis. Jerman dan Negara-negara Skandinafia) gereja pada umumnya menjadi gereja Negara, paling tidak hingga pada abad ke XIX.

59

Mangisi SE. Simorangkir, Op.cit., hal. 91. 60

(13)

Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler suatu Negara yang memiliki prinsip-prinsip kenegaraan yang berdasarkan nasionalisme. Luther juga menuntut dibedakannya otoritas politik dengan otoritas agama. Paus

dituntut agar mengakui otoritas politik penguasa Negara dan tidak mencampur-adukannya dengan otoritas agama.61

Pemikiran Luther ini pada akhirnya menumbuhkan semangat nasionalisme yang mengakibatkan imperium Katolik Roma yang dulunya merupakan entitas politik (political entity) mengalami disintegrasi politik. Dapatlah dikatakan bahwa Reformasi Protestan dibawah pimpinan Luther telah menumbuhkan Royal

Absolutism (kekuasaan mutlak kalangan bangsawan dan pangeran/penguasa

Negara). Jadi tidak mengherankan apabila Luther mendapatkan dukungan dari kalangan bangsawan dan penguasa secara luas. Dukungan itu selain karena alas an keagamaan juga karena alasan ekonomis dan politik; mereka menolak untuk membayar pajak yang memberatkan serta keinginan memisahkan diri dari kekuasaan imperium Katolik Roma.62

Terhadap 95 dalil dan pernyataan- pernyataan Luther Lainnya pihak kepausan telah menanggapi dengan mengeluarkan bulla “Exsurge Domine”, yang menyatakan terdapat 41 pernyataan Luther yang salah/ keliru; dan Luther diminta untuk menarik pernyataan/ pengajaran yang salah itu dalam waktu 60 hari. Namun

Luther menolak untuk menarik kembali ajarannya, dan bahkan ia membakar bulla tersebut, maka pihak Vatikan akhirnya mengeluarkan bulla ekskomunikasi Martin Gagasan Luther tentang kekuasaan penguasa sekuler yang suci memberikan andil bagi munculnya konsepsi hak-hak ketuhanan para penguasa Negara atau raja. Raja dengan hak-hak ketuhananannya itu kemudian merasa memperoleh pembenaran doktrinal keagamaan untuk memerintah secara semena-mena, tanpa kontrol politik berarti dari rakyat. Kondisi ini pada akhirnya menjurus pada terbentuknya Negara Kekuasaan (Machtstaat).

61

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, kajian sejarah perkembangan pemikiran Negara,

masyarakat, dan kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal 154

62

Firdaus Syam, ,Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan pengaruhnya Terhadap

(14)

Luther dan para pengikutnya, tanggal 3 Januari 1521. Seandainya Luther mau menarik pengajaran yang salah tersebut, atau mau datang ke Roma untuk menjelaskan kasusnya, maka sejarah akan mencatat kisah yang berbeda.63

Abad pertengahan adalah periode sejarah di Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga munculnya monarkhi-monakhi nasional, dimulainya penjelajahan samudera, kebangkitan humanisme, serta reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans pada tahun 1517. Zaman Renaissance

adalah zaman kelahiran-kembali (Renaissance, baha

pada periode kira-kira dari abad ke-14 sampai abad ke-17, dimulai di Meskipun pemakaian kertas dan penemuan barang metal mempercepat penyebaran ide-idenya dari abad ke-15 dan seterusnya, perubahan Renaissance tidak terjadi secara bersama maupun dapat dirasakan di seluruh Eropa.

Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif dari kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia.

Dalam dunia politik, budaya Renaissance berkontribusi dalam pengembangan konvensi diplomasi, dan dalam ilmu peningkatan ketergantungan pada sebuah observasi. Sejarawan sering berargumen bahwa transformasi intelektual ini adalah jembatan antara Abad Pertengahan dan sejarah modern. Meskipun Renaissance dipenuhi revolusi terjadi di banyak kegiatan intelektual,

serta pergolakan sosial dan politik, Renasaince mungkin paling dikenal karena

63

(15)

perkembangan artistik dan kontribusi dari

Ada konsensus bahwa Renaissance dimulai di

ke-

karakteristik, berfokus pada berbagai faktor termasuk kekhasan sosial dan kemasyarakatan dari Florence pada beberapa waktu; struktur politik; perlindungan keluarga dominan,dan migrasi sarjana Yunani dan terjemahan teks ke bahasa Italia setelah

Kata Renaissance, yang terjemahan literal dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris adalah "Rebirth" (atau dalam kembali"), pertama kali digunakan dan didefinisikanole juga telah diperluas untuk gerakan sejarah dan budaya lainnya, seperti Carolingian Renaissance dan Renaissance dari abad ke-12.

Sesudah mengalami masa kebudayaan tradisional yang sepenuhnya diwarnai oleh ajaran kristiani. Namun, orang-orang kini mencari orientasi dan inspirasi baru sebagai alternatif bagi kebudayaan Yunani-Romawi sebagai satu-satunya kebudayaan lain yang mereka kenal dengan baik. Kebudayaan klasik ini juga dipuja dan dijadikan model serta dasar bagi seluruh peradaban manusia. 64

Reformasi Protestan lahir sebagai sebuah upaya untuk mereformasi menurut anggapan mereka adalah doktrin-doktrin palsu dan malapraktik gerejawi khususnya ajaran dan penjualan rohaniwan yang menurut para reformator merupakan bukti kerusakan sistemik

65

64 Ibid. 65

(16)

Abad pertengahan sering diwarnai dengan kesan-kesan yang tidak baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya kalangan yang memberikan stereotipe kepada abad pertengahan sebagai periode buram sejarah eropa

mengingat dominasi kekuatan agama yang begitu besar sehingga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip moralitas yang agung membuat kekuasaan agama menjadi begitu luas dan besar di segala bidang.66

Abad pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di eropa. Pada masa ini agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah berkembang di zaman klasik dipinggirkan dan dianggap sebagai ilmu sihir yang megalihkan perhatian manusia dari ketuhanan. Eropa dilanda Zaman Kelam (Dark Ages) sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Maksud "Zaman Kelam" ialah zaman masyarakat Eropa menghadapi kemunduran intelek dan kelembapan ilmu pengetahuan. Menurut Ensikopedia Amerikana, tempoh zaman ini selama 600 tahun, dan bermula antara zaman kejatuhan Kerajaan Romawi dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada abad ke-15 Masihi. "Gelap" juga bermaksud tiada prospek yang jelas bagi masyarakat Eropa. Keadaan ini merupakan wujud kekuasaan agama. Gereja Kristiani yang sangat berpengaruh. Gereja serta para pendeta mengawasi pemikiran masyarakat serta juga politik. Mereka berpendapat hanya gereja saja yang pantas untuk menentukan kehidupan, pemikiran, politik dan ilmu pengetahuan. Akibatnya kaum cendekiawan yang terdiri daripada ahli-ahli sains berasa mereka ditekan dan dikawal ketat. Pemikiran merekapun ditolak, dan timbul ancaman, siapa yang mengeluarkan teori yang bertentangan dengan pandangan gereja akan ditangkap dan didera, malah ada yang dibunuh.67

Negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan

perdebatan (discourse) yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai

66

Zulfafadila.blogspot.com/2012/04/sejarah-abad-pertengahan-eropa.html, diakses tanggal 5 Oktober 2014

(17)

bagian dari negara atau negara bagian dari dogma agama. Pada hakekatnya, Negara sendiri diartikan secara umum sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhlu individu dan makhluk

sosial, oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersamaan. Dengan demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

Memahami hubungan agama dan Negara ini, akan dijelaskan beberapa konsep hubungan agama dan Negara menurut beberapa ajaran agama di Indonesia :

Dalam Ajaran Islam, hubungan agama dan Negara menjadi perdebatan yang cukup panjang diantara pakar Islam hingga kini. Bahkan menurut Azyumardi Azra perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan belangsung hingga dewasa ini. Azra mengatakan bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah), berbagai eksperimen dilakuakan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.68

Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang

berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang Sumber dari hubungan yang canggung di atas, kitab, berkaitan dengan kenyataan bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan bidang-bidang ilahiah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik kenegaraan pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.

68

(18)

berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.69

Dalam ajaran Katolik, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk hubungan. Pada bagian ini akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Banyak orang berpikir bahwa gereja dan negara merupakan dua hal yang sangat berbeda. Sehingga mereka menyatakan bahwa negara dan gereja tidak boleh memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Di samping itu ada orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling berhubungan. Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung jawab penuh terhadap negara. Negara harus berada di bawah pengawasan dan kontrol gereja. Pandangan lain menyatakan bahwa negara harus berperan penuh dalam perkembangan yang terjadi di dalam gereja. Artinya negara harus mengontrol gereja. Berbagai pandangan tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bagian berikut:

Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam

merupakan sistem kepercayaan dimana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik.

70

69

IAIN Syarif Hidayatullah, “pendidikan kewargaan, demokrasi, Ham & masyarakat madani” jakarta, 2000, hal 127-129

Gereja dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga kerohanian, merupakan sebuah organisasi yang terbentuk di dalam suatu wilayah tertentu. Wilayah yang dimaksud tentunya memiliki struktur pemerintahan. Artinya adalah gereja yang terbentuk di dalam negara atau teritorial kekuasaan yang diatur oleh hukum yang berlaku dalam negara tersebut.

70

(19)

Dalam Ajaran Hindu, negara dan agama saling melengkapi. Kehidupan bernegara identik dengan politik. Namun banyak pihak beranggapan bahwa politik adalah kotor karena politik selalu diidentikkan dengan perebutan

kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi, Hindu memandang politik tidak semata-mata sebagai cara mencari, dan mempertahankan kekuasaan, melainkan adalah bagian dari penegakkan Dharma.

Hindu mengajarkan agar umatnya menghormati pemerintah. Berperan aktif membantu program pemerintah. Warga negara memiliki kewajiban untuk membela negaranya, demikian Hindu mengajarkan umatnya. Mahawakya dalam Hindu yaitu Tat Tvam Asi (Itu adalah kamu) dan Vaisudeva Kutumbakam (semua mahluk adalah satu keluarga) menjiwai umat Hindu untuk mengikatkan diri menjadi satu keluarga besar dengan warga negara lainnya, bahkan dengan semua umat dan semua mahluk. Ini menjadi semangat untuk melaksanakan kewajiban kepada negara, mengingat negara idealnya ditujukan untuk mensejahterakan seluruh umat.

Walaupun agama bertujuan sebagai suatu sistem kontrol agar tujuan negara benar-benar untuk mensejahterakan rakyatnya, agama tidak diformalkan menjadi hukum positif, akan tetapi agama dijadikan ruh dan etika yang mendasari hukum positif. Negara menjadikan agama sebagai etika dan moralitas di dalam penyelenggaraan negara dan sebaliknya agama memperoleh tempat yang sangat memadai untuk berkembang dan terus hidup. Hal tersebut memperhatikan bahwa dalam suatu negara ada kebhinekaan aliran kepercayaan (agama). Maka agama tersebut memiliki peran sebagai pedoman bagi individu penyelenggara kehidupan bernegara (aparatur negara) agar memiliki etika-moral yang positif, sehingga penyelenggaraan roda kehidupan bernegara dapat mencapai tujuan dengan baik.

(20)

diskriminasi. Konsep hubungan negara dan agama seperti itulah yang diambil di negeri kita tercinta ini, Indonesia.71

1. Bersikap bebas/tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri

sendiri.

Dalam Ajaran Budha, Pendekatan agama Buddha terhadap politik adalah moralisasi dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang 'adil'. Beliau mengajarkan, "Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai". Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan malalui kekuatan, tidak akan berhasil. Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 (sepuluh) aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai "Dasa Raja Dhamma". Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :

2. Memelihara suatu sifat moral tinggi.

3. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.

(21)

4. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati. 5. Bersikap baik hati dan lembut.

6. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.

7. Bebas dari segala bentuk kebencian. 8. Melatih tanpa kekerasan.

9. Mempraktekkan kesabaran, dan

10.Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.72

Dalam Ajaran Khonghucu, terdapat ajaran-ajaran yang wajib di amalkan oleh para pengikutnya: Beriman terhadap tuhan yang maha esa. Beriman bahwa hidupnya (oleh dan )mengemban firman tuhan. Beriman bahwa tuhan itu menjadi tugas suci yang wajib di pertanggungjawabkan dan sekaligus menjadi rahmat dan kemampuan di dalam hidupnya. Beriman bahwa hidupnya mampu mengikuti, tepat, selaras,serasi, dan seimbang dengan watak sejati itu. Beriman bahwa agama karunia bimbingan tuhan Yang Maha esa untuk membina diri menempuh jalan kebenaran (suci) itu. Beriman bahwa jalan suci itu menghendakai hidup memahami, menghayati, mengembangakan,menggemilangkan kebajikan, benih kesucian dalam watak sejatinya. Beriman bahwa kesetiaan menggemilangkan kebajikan itu wajib di amalkan dengan mencintai, teposeliro sesama manusia,sesama mahkluk dan menyayangi lingkungan. Beriman bahwa kebajikan suci ialah menggembilangkan kebajikan dan mengamalkany sampai puncak baik. Beriman hanya di dalam kebajikan itu tuhan berkenan, hidup itu bermakna apabila dapat setia kepada khaliknya dan saudara sejati kepada sesamanya. 10. Beriman bahwa kebajikan itu jalan, keselamatan ;kebahagiaan tertinggi di dalam haekat

dan martabat manusia sebagai mahluk termulia ciptaan tuhan. Pada saat mengalami kematian roh seorang manusia meninggalkan badan dan orang yang semasa hidupnya mampu hidup sesuai dengan fitrah atau watak sejatinya , rohnya

(22)

menjadi Sheng. “Orang yang sungguh sepenuh hati menempuh jalan suci,lalu mati, dia lurus di dalam firman”(bingcu VIIA). Sheng naik ke surga dan immortal, artinya dia hidup abadi di dalam surga (shian thian) di samping tuhan. Sebaliknya

orang yang berlumuran dosa, yang mengingkari jalan suci rohnya manjadi kuei atau hantu turun ke neraka dalam pujian yang di tujukan kepada raja suci Bun atau nabi king ciang.

3.3 Relasi Agama dan Negara di dalam Konsep Negara Sekuler dan Sistem Teokrasi

Sekulerisme adalah sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan Tuhan.

Negara sekuler adalah salah satu konsep negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekuler juga mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Negara sekuler juga tidak memiliki agama

nasional.

Negara sekuler didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekuler juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.

(23)

penggunaan pengetahuan diluar gereja. Gerakan Reformasi Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther pada abad XV-XVI di Eropa menuntut dipisahkannya otoritas agama, sebagai reaksi terhadap maraknya korupsi dan

politisasi agama oleh penguasa Katholik Roma pada masa itu. Gerakan ini kemudian berhasil melahirkan Sekularisme, yaitu upaya untuk memisahkan kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Negara sekuler adalah negara yang memisahkan agama dengan politik. Terus mengapa sebuah negara harus sekuler? Sebuah negara haruslah sekuler karena dengan demikian maka agama tidak harus ikut campur dalam urusan-urusan politik. Seperti yang kita ketahui ketika agama dijadikan sebagai agenda politik, maka agama itu dimanfaatkan oleh penguasa untuk mengkokohkan kekuasaannya.73

Namun ternyata Kain tidak mengacuhkan peringatan Allah itu. Ia cemburu, iri hati, dan kemurkaannya membuat dia tak dapat mengendalikan diri. Ia lalu membunuh adiknya, Habel. Dan ketika Allah menanyakan dimana adiknya, ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Pembunuhan Habel merupakan Negara sekuler yang telah ada sejak penyelewengan beberapa malaikat mulai menampakkan karakter, sifat-sifat dan identitasnya lewat Kain, manusia pertama yang menjadi warga negara sekuler. Pembunuhan Habel mengungkapkan banyak hal yang menunjukkan bagaimana sebenarnya karakter, sifat, identitas negara duniawi itu.

Mengutip Kejadian 4: 6-7, Augustinus menunjukkan bahwa sebelum Kain membunuh Habel, Allah telah memperingatkan lebih dahulu kepada Kain dengan mengatakan:

“Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? Akankah mukamu tidak akan berseri jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip didepan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.”

(24)

tindakan kriminal pertama dalam negara sekuler. Dan sejak itu, kehidupan negara sekuler dipenuhi berbagai tindakan kriminal.

Seluruh sikap dan tindakan Kain tersebut diatas menunjukkan karakter,

sifat-sifat negara dunia duniawi itu. Tidak mengacuhkan peringatan Allah berarti memberontak dan melawan kehendak Allah. Ia cemburu, iri hati, murka, dan tak sanggup mengendalikan diri yang mengakibatkan pembunuhan. Sesudah Kain membunuh, ia berdusta kepada Allah tatkala ia mengatakan bahwa ia tidak mengetahui dimana adiknya itu berada. Itulah karakter, sifat-sifat identitas negara sekuler: pemberontakan, perlawanan, cemburu, iri hati, murka, tak dapat menguasai diri, pembunuhan, dusta, dan lain sebagainya.

Negara sekuler terus berkembang dengan pesat yang menunjukkan bahwa manusia semakin jauh meninggalkan Allah. Ketika Abraham lahir telah ada kerajaan kafir yang besar dan termasyur yang kehidupan warga negaranya oleh gaya hidup negara duniawi, ketiga negara itu adalah Sicyon, Mesir, dan Assyiria. Dalam hal itu belum terhitung negara-negara kafir kecil yang tersebar di seluruh dunia.

Pada masa Deborah hakim wanita memerintah Israel, lahirlah kerajaan Laurentum di Italia yang merupakan cikal bakal negara Romawi. Ketika raja Hizkia memerintah Israel, kerajaan Assyiria runtuh dan bersamaan dengan itu Roma didirikan. Para penguasa kekaisaran Romawi berupaya menindas dan menghambat perkembangan agama Kristen lewat penganiayaan yang begitu kejam terhadap orang-orang Kristen, maka semakin tampaklah dengan sempurna wajah negara duniawi memusuhi kebenaran, keadilan dan kasih Allah. Dan memang sejak semula, ketika Roma di bangun, ia telah didirikan di atas dasar cinta manusia atau cinta diri yang merupakan dasar yang paling utama dari negara

duniawi.

(25)

hakekatnya, Negara sendiri diartikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar

Negara pula sehingga Negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, Negara memiliki sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri Negara itu sendiri.

Agama saat ini merupakan realitas yang berada di sekeliling manusia. Masing-masing manusia memiliki kepercayaan tersendiri akan agama yang dianggapnya sebagai sebuah kebenaran. Agama yang telah menjadi kebutuhan dasar manusia ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial manusia tersebut. Agama juga diyakini tidak hanya berbicara soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus dikonkretkan dalam kehidupan sosial. Termasuk dalam ranah ketatanegaraan muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.74

Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang Munculnya tuntutan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara memunculkan perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai relasi antara negara dan agama. Banyak pendapat yang dikeluarkan oleh para ahli dalam menempatkan posisi agama dalam kehidupan bernegara. Hampir setiap fase dalam sejarah sebuah bangsa selalu saja muncul persoalan ini.

Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

1) Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)

74

(26)

berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.

Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma

integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.75

Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan. 76

Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan, menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.77

75

Marzuki Wahid & Rumaidi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di

Indonesia. Yogyakarta: LKiS., 2001, hal 24

Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang

September 2014 77

(27)

memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.78

Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan. Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.

2) Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)

79

Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.80

Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.81

Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi

2014 79

Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.cit., hal 24 80

Adi Sulistyono. 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah Seminar Hukum

Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008, hal 2

81

(28)

saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama.82

Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.

3) Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)

83

Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama. 84

Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma-norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama.

Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.

85

82

Agus Thohir. 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang

diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009,

hal 4 83

Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.cit., hal 28. 84

Agus Thohir, Op.cit., 4

(29)

Agama dan negara merupakan dua institusi yang berbeda yang sama-sama kuatnya. Agama mempengaruhi eksistensi negara juga mempengaruhi keberlangsungan umat beragama. Dalam suatu negera tertentu agama kemudian

menjadi dasar bernegaranya dalam artian agama yang mengatur mekanisme suatu negara tersebut termasuk hukum-hukum yang diberlakukan di dalamnya. Tetapi pada negara yang lain cenderung untuk memisahkan agama dengan negaranya, agama baginya adalah urusan keyakinan dan hal itu adalah urusan individu sehingga negara tidak berhak untuk mengurus wargaya untuk memeluk agama tertentu. Lagi pula agama merupakan urusan akhirat sedangkan negara adalah urusan dunia. Jadi bagi negara-negara yang sekuler seperti ini mereka tidak mau mencampur adukkan antara agama yang ukhrawi dan negara yang bersifat duniawi.

Dalam perkembangannya, sistem teokrasi cenderung mengarah ke arah politik praktis. Jauh dari apa yang semula dirumuskan oleh Yosefus. Teokrasi yang berkembang di kemudian hari semakin menjurus ketreskeiokrasi(pemerintahan oleh agama) atauhierokrasi(pemerintahan oleh imam), karena yang dipersoalkan adalah siapa yang berkuasa mewakili Tuhan. Inilah yang membuat para ahli politik modern cenderung “mengutuk” bentuk-bentuk teokrasi karena dianggap melegalkan bentuk-bentuk-bentuk-bentuk kekuasaan atas nama Tuhan.

(30)

Teokrasi kemudian dianggap sebagai sistem yang gagal ketika disamakan dengan penerapan syariat Islam di Timur Tengah, seperti Taliban di Afghanistan, al-Shabab di Somalia atau sistim kerajaan Arab Saudi. Menurut

para kritikus kontemporer, teokrasi semacam itu adalah bentuk teokrasi yang membungkam hak-hak sipil dan bahkan mengebiri hak-hak asasi manusia (HAM). Pada akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa teokrasi sangat bertentangan dengan demokrasi dan HAM. Akibatnya, stigma negatif terhadap teokrasi pun terus tertanam hingga kini.

Kesimpulan ini didasarkan pada pandangan bahwa teokrasi adalah sistim pemerintahan yang mengedepankan siapa yang berkuasa. Padahal, dalam rumusan Yosefus, sistim teokrasi merupakan sistim penggembalaan umat Israel, sebagai bangsa pilihan Tuhan. Yosefus tidak berbicara tentang siapa yang berkuasa sebagai wakil Tuhan, tetapi bagaimana menjalankan amanat Tuhan dalam kehidupan umat. Artinya, klaim bahwa teokrasi adalah sistim yang gagal adalah klaim yang didasarkan pada sudut pandang teokrasi yang melenceng dari teokrasi yang sesungguhnya digambarkan dalam perjalanan sejarah bangsa Israel dalam Alkitab.

Alkitab menggambarkan perkembangan sejarah Israel, dimana bangsa itu ternyata banyak mengadopsi sistim pemerintahan yang beragam, mulai dari zaman Musa, para hakim, raja-raja hingga sistim raja wilayah pada zaman Herodes. Alkitab menggambarkan sikap terbuka para Tuhan terhadap sistim pemerintahan baru di setiap perjalanan sejarah umat-NYA, misalnya ketika Musa menerima saran dalam hal pembagian kekuasaan militer atau teguran Tuhan kepada Samuel untuk mengakomodasi tuntutan umat dalam penerapan sistim kerajaan

(31)

beragama justru wajib beragama secara paksaan. Politisasi agama juga menyebabkan agama yang mayoritas itu merasa superior dan agama minoritas haruslah tunduk pada aturan-aturan yang berlaku di negara tersebut. Walaupun

ditolakpun tidak akan bisa, karena yang menentukan benar salah itu adalah kaum penafsir Kitab Suci sehingga, penafsir ini dianggap sebagai wali Tuhan di muka bumi. Sebagai sebuah organisasi, negara merupakan perkumpulan warga negara dalam batas-batas wilayah tertentu yang didasarkan pada sistem politik yang ditetapkan dasar negara dan konstitusi negara. Jadi, negara bukan organisasi SARA. Dalam kaitan ini, tidak selayaknya sebuah negara berbhinneka dikuasai penormaannya oleh satu agama saja. Karena dengan demikian akan menjadi agama utama dan agama nomor dua yang tidak resmi (baca: diskriminasi). Jika negara islam, misalnya, maka otomatis agama islam akan jadi agama utama (agama resmi negara), sedangkan agama lain adalah agama nomor dua dan pengikutnya dikenal sebagai “kafir dzimmi”.

Sejak manusia pertama jatuh ke dalam dosa, maka sejak itulah negara

sekuler dan negara surgawi mulai menampakkan diri dalam wujud yang lebih nyata. Tentu saja manifestasi kedua negara itu, tidak tampak dalam garis batas

(32)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Setelah membahas skripsi ini beserta permasalahannya maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Relasi negara dan agama menurut Martin Luther yaitu kekuasaan penguasa sekuler yang suci memberikan andil bagi munculnya konsepsi hak-hak ketuhanan para penguasa Negara atau raja. Raja dengan hak-hak ketuhananannya itu kemudian merasa memperoleh pembenaran doktrinal keagamaan untuk memerintah secara semena-mena, tanpa kontrol politik berarti dari rakyat. Kondisi ini pada akhirnya menjurus pada terbentuknya Negara Kekuasaan (Machtstaat). Sebenarnya, Luther tidak bermaksud mengemukakan sekularisme, tetapi gagasan-gagasannya telah memicu sekularisasi politik. Penyangkalan Luther atas otoritas politik bersampul agama telah menimbulkan wacana pemisahan Gereja-Negara. Luther acap kali menekankan perlunya kepatuhan kepada kekuasaan pemerintahan sipil yang sah. Besar kemungkinan, latar belakang pokoknya adalah karena penolakannya atas campur tangan gereja terhadap pemerintahan sipil. Menurutnya, kekuasaan Paus tidak universal sebab Paus harus mengakui kekuasaan para pangeran atau penguasa sekuler suatu Negara yang memiliki prinsip-prinsip kenegaraan yang berdasarkan nasionalisme. Luther juga menuntut dibedakannya otoritas politik dengan otoritas agama. Paus dituntut agar mengakui otoritas politik penguasa Negara dan tidak mencampur-adukannya dengan otoritas agama.

(33)

berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma-norma-norma agama. Kehidupan manusia, dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat

Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis makhluk manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas.

3. Tidaklah mudah untuk menggandeng antara agama denga negara. Keduanya, dalam dunia politik, membuat ketegangan dan perdebatan yang rumit. Dari hubungan keduanya melahirkan Sistem teokrasi. Teo artinya Tuhan. Jadi maksud dari teori ini adalah segala sesuatunya bersandar pada kehendak Tuhan, yang dalam hal ini diwakilkan oleh prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam agama, yang akan mengatasi realitas kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam negara agama, kekuasaan politik tidak berdasarkan aturan hukum (rule of law) sebagaimana yang biasa diapahami kebanyakan orang. Kekuasaan politik hanya dapat dipahami dan dipandang berdasarakan pada suatu aturan-aturan yang datang dan bersumber dari hukum-hukum Tuhan.

4. Agama adalah bersumber pada wahyu Tuhan yang sifatnya mutlak, sedangkan Negara adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara. Sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.

4.2 Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini penulis merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan di atas, yaitu:

(34)

pada arus perdebatan penyatuan agama dan negara. Sebab yang lebih penting itu semua adalah bagaimana kita bernegara atau memerintah sesuai dengan norma-norma yang diajarakan agama kita. Lantaran pada hakikatnya agama akan

(35)

BAB II

BIOGRAFI MARTIN LUTHER

2.1 Riwayat Hidup Martin Luther

Martin Luther lahir di anak seorang, petani Ayah, nenek dan moyang Martin Luther adalah petani-petani tulen.” Demikianlah Luther pernah berkata kepada teman-temannya, para sarjana. Ciri-ciri anak petani tidak pernah lepas dari dirinya, baik secara lahiriah maupun secara rohaniah.29

29

Y. Eko Budi Susilo, Gereja dan Negara (Hubungan Gereja Katolik Indonesia dengan Negara

Pancasila, Jakarta, Averros Press, 2002, hal 1

Namun ciri-ciri tersebut tidak benar secara harfiah. Ayah Luther, Hans Luther, setelah perkawinannya dengan Margaretha Lindemmannn, meninggalkan tanah pertanian orang tuanya di Mohra, disebelah barat Hutan Thuringen, untuk mencari penghidupan baginya. Ia sudah mulai bekerja di pertambangan tembaga Eisleben. Ia berperawakan kecil, tangannnya kuat. Setiap orang dapat melihat bahwa ia adalah orang yang ingin maju di dunia. Istrinya, yang perawakannnya juga tidak besar, bersedia mendapinginya. Mereka terpaksa membangun masa depan dengan tangan mereka sendiri, karena tidak seorangpun di antara keduanya yang mendapat banyak warisan. Tetapi mereka cukup gembira dan percaya kepada pertolongan Allah.

Ibu Margaretha adalah seorang yang sangat percaya pada tahayul. Jiwanya yang mempunyai banyak khayalan sering kali sibuk dengan cerita-cerita yang mengerikan, perumpamaan-perumpamaan serta perbuatan-perbuatan sihir, pelbagai pekerjaan Iblis yang sangat banyak pada masa itu. Suaminya bersikap agak masa bodoh terhadap hal itu. Namun, ia pun yankin akan kuasa sijahat dan

(36)

Ayahnya menghendaki agar ia menjadi ahli hukum. Di masa mudanya Luther dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas dan berani. Setiap saat di waktu senggangnya ia gunakan untuk belajar, sehingga mengurangi tidurnya, bahkan

kadang juga mengambil waktu makannya. Namun di atas segalanya, ia bersuka cita mempelajari firman Allah. Ia menemukan sebuah Alkitab yang dirantai ke dinding biara, sehingga untuk membacanya ia sering pergi ke situ. Sementara keyakinannya mengenai dosa semakin mendalam, ia mulai mencari pengampunan dan kedamaian atas usahanya sendiri. Ia menghidupkan suatu kehidupan yang ketat, dengan berpuasa, berjaga dan berdoa sepanjang malam, dan menyiksa diri untuk menundukkan sifat-sifat jahatnya, dimana hal ini tidak bisa diatasi oleh kehidupannnya sebagai biarawan.

Orangtua Luther sangat memperhatikan pendidikan dan pelatihan anak-anaknya. Mereka berusaha mengajarkan pengetahuan akan Allah dan mempraktikkan kebijakan Kristen. Doa-doa ayahnya sering dinaikkan dengan didengar oleh anaknya, agar anaknya boleh mengingat nama Tuhan, dan pada suatu hari membantu memajukan kebenaran-Nya. Setiap kesempatan untuk memupuk moral dan intelektual yang diberikan oleh kehidupan mereka yang keras kepada mereka untuk dinikmati, selalu dikembangkan oleh orangtua ini. Mereka berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan sabar untuk mempersiapkan anak-anak mereka bagi suatu kehidupan yang `saleh dan berguna, meski kadang-kadang mereka melatih terlalu keras. Bagi Luther sendiri, meskipun menyadari adanya kesalahan dalam cara orang tuanya mendidik, ia menemukan bahwa dalam disiplin yang direpakan orang tuanya terdapat lebih banyak dukungan daripada hukuman.

Di sekolah, di mana ia belajar pada masa mudanya, Luther diperlakukan

(37)

ke masa depan yang gelap dengan gemetar, dan dengan ketakutan yang terus-menerus menganggap Allah itu sebagai hakim yang lalim yang tidak menaruh belas kasihan, seorang tiran yang jahat, bukannya seorang Bapa Surgawi yang

baik hati.

Namun, di bawah ketawaran hati yang begitu banyak, Luther terus berusaha maju menuju standar moral yang tinggi dan keungguluan intelektual yang menarik jiwanya. Ia haus akan pengetahuan, kesungguhan serta pikirannya yang praktis menuntunnya untuk menginginkan yang kuat dan berguna, daripada yang menyolok dan dangkal.

Ia kemudian mendalami teologi terutama dari paham Augustinus

(Augustianisme). Dalam kehidupannya, ia pernah mengalami peristiwa mistis

yang mengakibatkan dirinya gandrung akan mistisime Katolik, juga dipengaruhi oleh seorang mistikus yang bernama John Wicliff yang hidup sekitar abad XII. Setelah menyelesaikan studinya dari Universitas Wittenberg, ia menjadi guru besar tafsir Al Kitab di Universitas tersebut serta memegang sejumlah jabatan.30

30

Firdaus Syam, ,Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan pengaruhnya Terhadap

Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hal 89-90

Luther ditahbiskan menjadi imam dan telah dipanggil keluar dari biara menjadi guru besar di Universitas Wittenberg. Di sini ia mempelajari Alkitab dalam bahasa aslinya. Ia mulai memberi ceramah mengenai Alkitab. Dan kitab-kitab Mazmur, Injil, dan surat rasul-rasul telah ia bukakan para pendengar yang menerimanya dengan gembira. Staupitz, sahabatnya dan atasannya, mendorongnya untuk naik mimbar dan mengkhotbahkan firman Allah. Luther merasa ragu karena merasa dirinya tidak layak berbicara kepada orang-orang sebagai ganti Kristus. Hanya selelah pergumulan yang lama dia menerima permintaan sahabat-sahabatnya. Tak lama, ia sudah mahir mengenai Alkitab, dan rahmat Allah turun ke atasnya. Kemampuannya berbi-cara yang memikat para

(38)

Luther masih tetap menjadi anggota gereja kepausan yang sungguh-sungguh dan tidak pernah berpikir yang lain-lain. Dengan pemeliharaan Allah ia telah dituntun untuk mengunjungi Roma. Ia melakukan perjalanan dengan

berjalan kaki, dan menginap di biara-biara sepanjang perjalanan. Di salah satu biara di Italia ia dipenuhi keheranan melihat kekayaan, keindahan dan kemewahan yang disaksikannya. Para biarawan tinggal di apartemen yang megah dengan pendapatan yang memuaskan, berpakaian yang paling mewah dan paling mahal dan memakan makanan yang mewah. Dengan sangat ragu-ragu, Luther membandingkan pemandangan ini dengan penyangkalan diri dan kesukaran yang dialaminya dalam hidupnya sendiri. Pikirannya menjadi bingung.31

Hidup seseorang mahasiswa pada zaman itu sama sekali tidak memperlihatkan ciri kebebasan sebagaimana berlaku sekarang ini. Sebaliknya, siapa yang mau belajar di sebuah universitas, ia harus mondok di salah satu asrama mahasiswa yang diatur seperti biara. Seluruh studi dan kehidupan pribadi

para pemuda diawasi secara ketat oleh pemimpin asrama. Siapa saja di sana yang berkelakuan tidak baik, dia tidak memperbolehkan mengikuti ujian. Di luar asrama, para mahasiswa mengenakan pakaian seragam, yaitu toga, semacam Kota Erfurt, tempat Luther akan memasuki sekolah tinggi, pada zaman itu merupakan suatu kota yang besar dan mempunyai banyak tempat industry. Walaupun masa gemilang kota itu sudah lewat, namun penduduknya, yang mempunyai gaya hidup gembira dan sering kali mewah, tampaknya belum melihatnya. Dikota itu banyak biara dan gereja juga rohaniawan yang tidak terhitung jumlahnya. Mereka mendapat tumpangan di sana.

Universitas yang usianya lebih dari seabad itu adalah salah satu universitas terbaik di Jerman, khususnya untuk jurusan hukum. Setiap tahun tidak kurang dari 400 mahasiswa mendaftarkan diri. “Siapa yang ingin belajar dengan baik, hendaklah pergi ke Erfert,” begitulah bunyi ucapannya. Luther memang melakukan keduanya. Pada tahun 1501 ia mendaftarkan diri di sana.

31

(39)

jubah yang dipakai guru besar, hakim atau pendeta dengan baret, sehingga mereka segera dapat dikenali. Di asrama ini, idup keagamaan dan kegerejaan sangat diperhatikan.

Kuliah yang harus diikuti dan buku yang harus dibicarakan di sana, semuanya itu ditetapkan lebih dahulu dengan teliti. Sebelum seseorang memulai studi yang sebenarnya pada fakultas pilihannya, dia harus lebih dulu menjalani kursus persiapan, semacam kursus pendidikan umum, selama beberapa tahun sebelum spesialisasi, yang disebut Fakultas Artes. Disanalah diberikan mata pelajaran pengetahuan umum, artes libares, keahlian-keahlian itu adalah gramatika (tata bahasa), logika, astronomi, geometri, filsafat alam (natural philosophy), metafisika, bahkan music. Siapa yang telah menyelesaikan bahan pelajaran yang tidak sedikit ini diperbolehkan mengikuti ujian dan diangkat menjadi magister (bnd. Bhs. Ing., master). Magister semacam ini dapat mengikuti studi dalam teologi, hukum, atau kedokteran. Namun demikian, sejalan dengan itu, ia sendiri dapat memberi kuliah di Fakultas Artes.

Luther dengan mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan keras di asrama yang telah dipilihnya, dan belajar dengan sungguh-sungguh. Di kemudian hari ia sering mengeluh tentang banyaknya bahan pelajaran yang tidak berguna, yang harus diselesaikannnya pada tahun-tahun itu. Waluapun demikian, keluhan itu tidak berarti bahwa ia tidak mendapat pengetahuan umum dari pengajaran filsafat yang selanjutnya sangat berharga bagi seluruh studinya. Para mahasiswa di Fakultas Arte situ terutama belajar berfikir secara metodis, melalui perdebatan wajib di antara rekan sendiri yang berlangsung setiap minggu. Perdebatan-perdebatan tersebut di mulai jam enam pada musim panas dan jam tujuh pada musim dingin. Pemimpin asrama pun mengawasi para mahasiswa yang dating

(40)

berdebat. Oleh karena itu, ia memperoleh julukan “filsuf” dari teman-temannya.32

Pada zaman itu, ajaran humanismus tumbuh dengan pesatnya suatu gerakan yang menentang scholastic dan bertujuan kembali pada sastra klasik serta

semangat Yunani sehingga tidak bersikap kritis terhadap Gereja Roma. Di kota Erfurt, Luther hamper-hampir tidak berkenalan dengan gerakan ini. Ia memang membaca buku-buku dari beberapa pengarang latin, seperti Plautus dan Vergilius,

, tetapi keberatannya yang utama ialah mengenai isi pengajaran yang diberikan oleh para guru besar di Erfurt. Sebab universitas pada Abad Pertengahan tidak

mengenal kebebasan pengajaran. Dengan sumpah, para dosen telah mewajibkan diri untuk menguliahkan kakarangan-karangan Amenurut asas-asas pikiran filsuf ini, para teolog Roma Katolik telah menyusun ajaran mereka. Dari segi tertentu, keadaan di Erfurt masih menguntungkan, karena di sini skolastik dikuliahkan sesuai dengan jurusan William dari Occam, seorang rahib Fransiskan Inggris. Melalui caranya sendiri, rahib ini telah berusaha menyesuaikan filsafat Aristoteles dengan dogma gereja. Dalam hal itu ia cukup berhasil melepaskan diri dari filsuf kafir tersebut. Occam telah menekankan bahwa akal budi manusia tidak sanggup memahami rahasia-rahasia iman, tatapi bahwa kemauan haruslah lebih kuat di banding akal budi. Ajaran tersebut memaksa manusa percaya pada dalil-dalil ajaran gereja, walaupun dalil itu tidak masuk akal kelihatannya.

Mengenai kemauan ini. Luther kemudian sangat menetang guru-gurunya. Saat itu ia tidak mau tahu lagi tentang ketaatan pada dogma-dogma gereja. Tetapi manusia tidak dapat dengan akal budinya menajelaskan keajaiaban-keajaiban pernyataan Allah dan kehidupan beriman. Baginya, semua itu selalu tetap merupakan rahasia dan kebodohan, namun tetap dipegang teguh oleh Luther . Malahan orang dapat berkata bahwa keajaiban pernyataan Allah ini adalah salah satu asas dasar teologinya. Tetapi kemudian, guru besarnya yang paling baik, yakni Profesor Trutvetter, sedikitpun tidak mau tahu lagi tentang dirinya, karena dia telah menghancurkan ajaran scholastic.

(41)

sehingga ia hafal bagian-bagian penting buku itu. Sebagai teolog, ia tetap merasa asing terhadap gerakan tersebut.

Kehidupan di asrama mahasiswa itu diatur dengan ketat. Walaupun

demikian, kehidupan yang ketat tidak menutup kesempatan baginya untuk menjalin persahabatan dan beramah tamah. Betapapun keras dan tekunnya mendalami persoalan-persoalan keagamaan, ia juga sempat menikmati kesenangan dan hiburan bersama para sahabatnya. Dalam perkumpulannya, orang suka bernyanyi. Luther memainkan kecapi. Ia belajar sendiri memainkan alat itu. Ketika menjadi mahasiswa tahun kkeempat, ia mendapat kesempatan untuk memainkannya dalam sebuah peristiwa istimewa33

33 Ibid

.

Hal itu terjadi dalam liburan Paskah. Luther ingin mengunjungi orangtuanya. Bersama seorang teman ia mengadakan perjalanan dengan berjalan kaki ke Mansfeld, yang memakan waktu tiga hari. Tetapi menjelang tiba di Erfurt, kakinya mengalami luka parah akibat pedangnya sendiri tidak ada seorang pun pada zaman itu yang mengadakan perjalanan tanpa senjata. Ternyata pembuluh nadinya terkena hampir tidak mungkin menahan darah yang keluar. Sementara temannya tadi berlari ke kota untuk memanggil dokter. Luther dicekam oleh ketakutan akan kematiannya. Dalam ketakutannya itu ia berdoa dengan sepenuh hatinya, “O Maria tolonglah!”

Ketika akhirnya kakinya yang sangat bengkak itu di balut, dengan susah payah dia dibawa kembali ke asrama. Pada malam hari luka itu terbuka lagi. Selama beberapa waktu keadaan lukanya gawat. Ia terus menerus berseru kepada Maria meminta pertolongan. Ia menyangka bahwa ia akan mati dan merasa dirinya tidak siap. Namun, semuanya mengalami perubahan yang menguntungkan. Hari-hari berikutnya, yakni hari-hari istirahat yang dipaksakan,

(42)

Mengenai kehidupan kerohanian Luther selama tahun-tahun kemahasiswaannya, kita hanya mendengar sedikit saja. Sebagaimana semua orang muda, ia tentu mengalami saat-saat kebimbangan dan godaan, tetapi ia menghibur

hatinya dengan ajaran gereja, doa, dan sakramen. Ia sendiri menceritakan bahwa sebagai mahasiswa yang berumur 20 tahun baru pertama kali ia menemukan sebuah Alkitab yang lengkap di perpustakaan universitas itu. Awalnya ia hanya mengenal bagian-bagian Kitab Suci yang dibacakan di gereja menurut jadwal yang tetap. Kini dengan penuh perhatian ia membaca riwayat Hanna dan Samuel. Tetapi ia tidak dapat teruas membacanya karena sudah waktunya untuk mengikuti kuliah. Orang ingin membuktikan bahwa cerita itu hanya rekaan orang saja. Sebab, sungguh mustahil jika seorang siswa dari “Saudara-saudara yang hidup rukun” belum pernah melihat Alkitab, dan seorang mahasiswa tidak boleh begitu saja mencari-cari buku di perpustakaan. Tetapi, karena Luther sendiri begitu tegas memberitahukan kenang-kenagan masa mudanya, maka keberatan semacam itu tidak lah penting. Selanjutnya, orang tentu tidak boleh menarik kesimpulan terlalu banyak dari kejadian ini.

Dalam waktu singkat, kira-kira empat tahun, Luther telah tamat dari kursus Artes. Ia menempuh ujian magister pada bulan Februari 1505, dan lulus sebagai peringkat kedua dari 17 calon. “Sungguh mulia dan hormat kalu ornag mengangkat para magister dan berjalan membawa obor di depan mereka serta menghormati mereka! Saya berpendapat bahwa tidak ada kegembiraan yang fana dan duniawi lainnya yang dapat dibandingkan dengna lulus ujian tersebut,” kata reformator itu kemudian hari. Dalam perkataan tadi, masih terasa sukacita yang tak dapat tidak memnuhi jiwanya, ketika iapertama kali boleh memakai baret magisternya dan menyelenggarakan kuliah pertamanya bagi para pemula di

kursus Artes. Kegembiraan yang lebih besar lagi terjadi di rumah orangtua Luther. Ayahnya sangat bangga kepadanya, bahkan sang ayah selanjutnya menyapa anaknya yang pintar itu dengan “tuan”.

(43)

kemungkinan menjadi guru besar pada kursus Artes dengan tidak melanjutkan studi sendiri dalam mata kuliah tertentu hanya menghasilkan penghidupan yang melarat. Selain itu, ia tidak mungkin menja

Referensi

Dokumen terkait

Menurutnya, yang penting adalah umat Islam dapat melaksankan nila-nilai etik al-Quran dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakat; kedua: Para Ulama al-salaf al-shalih

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: “Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam mengenai pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia

Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam terutama sejak era reformasi gereja

Berdasarkan penjelasan istilah-istilah yang terdapat dalam judul, maka dapat diambil suatu pemahaman, bahwa yang dima ksud dengan “ Konsep Pemikiran Ӑ li Abdu al-

Dimana keduanya harus menghadapi problem-problem umum yang terjadi di negara-negara muslim, Kekhalifahan sendiri dalam hal ini diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia

Selanjutnya, di masa Umar bin Khattab yang mendapat legalitas dari para tokoh sahabat terkemuka dan memperoleh persetujuan aklamasi dari um at Islam di Masjid Nabawi. Kebijakan

Hasil penelitian mununjukkan bahwa Haji Abdul Malik Karim Amrullah dalam aktivitas kehidupannya banyak terlibat diberbagai bidang misalnya bidang keagamaan beliau bergelut di MUI

Abdurrahman Wahid beralasan bahwa untuk merumuskan relasi agama dengan negara dengan tepat harus menggunakan sudut pandang fungsional, yaitu memandang agama dan