PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
(Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia
Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)
Rizky Irsyad Lubis
100906020
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RIZKY IRSYAD LUBIS (100906020)
THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)
Rincian isi skripsi, 108 halaman, 35 buku, 2 jurnal, 7 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1965 - 2013).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan perbandingan pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia dengan Jaringan Islam Liberal tentang relasi Islam dan Negara. Dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara tersebut? Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia.
Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi atau partai Islam di Indonesia yang concern dalam hal penegakan Khilafah. Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia.
Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.
liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalu studi pustaka, wawancara, observasi lapangan, cara-cara lainnya yang dapat memperkaya informasi terkait dengan tema penelitian. Sumber data utama penelitian ini diperoleh dari buku atau literatur tertulis lainnya serta data dari informan yang merupakan kader ataupu aktifis dari Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RIZKY IRSYAD LUBIS (100906104)
THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)
Contents: 108 pages, 35 books, 2 journals , 7 internet sites. (publication from 1965 - 2013).
ABSTRACT
This research aims to determine how the differences and comparisons of political thought Hizb Indonesia with the Jaringan Islam Liberal about the relationship between Islam and the state. And why Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal has a different view in looking at the relationship between Islam and the state? One facing countries that majority of the people of Islam at the time of its formation is how the seat of religion in the state of life. Given Indonesia is a country with a Muslim population at most so the idea of the relationship between Islam and the state has always been the actual discourse in Indonesia. Indonesia as the country with the largest number of Muslims in the world can not be separated from the influence of Islam in its politics. Although Indonesia is not a country with a theocracy, but clearly visible influence of Islam in Indonesian politics.
Hizb ut-Tahrir Indonesia is an organization or Islamic party in Indonesia who are concerned in terms of enforcement of the Caliphate. Islamic Khilafah is a political institution transnational Islamist pan that will unite all Muslim countries in a unitary nation state politics. Khilafah is a common leadership for all Muslims in the world. Khilafah responsible for implementing Islamic law, and convey the message of Islam to the entire earth.
In this study, the authors used data collection techniques through literature studies, interviews, field observations, in other ways that can enrich the information related to the research theme. The main data source of this research was obtained from books or other written literature as well as data from an informant who ataupu cadre of activists of Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi Ini Telah Dipertahankan Dihadapan Penguji Skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dilaksanakan Pada:
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat :
Tim Penguji:
Ketua :
( )
Nip.
Anggota I :
( )
Nip.
Anggota II :
( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:
Nama : Rizky Irsyad Lubis
NIM :100906020
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Pemikiran Politik Islam di Indonesia
(Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)
Menyetujui :
Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing,
(Dra.T.Irmayani,M.Si) (Dr. Heri Kusmanto, MA)
NIP. 196806301994032001 NIP. 196410061998031002
Mengetahui: Dekan FISIP USU,
Karya ini dipersembahkan untuk
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan yang
maha esa, karena atas berkah dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara)”. Penulisan skripsi mengenai bagaimana perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Jaringan Islam
Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara ini dilakukan dalam rangka untuk
memenuhi salah satu syarat perampungan final studi untuk mencapai gelar
sebagai sarjana Ilmu Politik.
Tulisan ini saya sadari sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dari
banyak pihak tentunya akan menyita lebih banyak tenaga, waktu, biaya dan akan
sulit terselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih
kepada para pihak yang telah membantu untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bapak
Dr. Heri Kusmanto, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan
masukan yang sangat berarti kepada saya untuk penyelesaian skripsi ini. Terima
kasih kepada bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Serta seluruh Bapak/Ibu Dosen Pengajar Departemen
Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingannya kepada
Administrasi Departemen Ilmu Politik yaitu Kak Emma, Bang Burhan, Kak Siti
atas segala bantuannya.
Terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan terkhusus kepada Pembimbing
utama dalam kehidupan saya yang sekaligus sebagai inspirasi dalam kehidupan
saya yaitu kedua orang tua saya, Ibu Ermafni dan Bapak Herman Lubis serta
kepada kedua Adik saya, M. Irfan Lubis dan Syafira Fadillah Lubis atas segala
doa, motivasi dan dukungan selama ini kepada saya untuk menyelesaikan studi
saya dengan sebaik-baiknya.
Tak lupa kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2010.
Khususnya kepada Josua Hutauruk, Yovie Rezki Akbar, Ade Randana Panjaitan,
sukses untuk kita semua. Juga kepada senior-senior Ilmu Politik atas waktu
diskusinya dan segala masukannya. Juga semua yang telah membantu yang tidak
dapat penulis tuliskan satu persatu. Terimakasih sebanyak-sebanyaknya, semoga
kebaikan semua mendapatkan balasan kebaikan pula dari Tuhan Yang Maha Esa.
Akhir kata, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama
penulisan skripsi ini terdapat terdapat kesalahan kata atau perbuatan yang
menyinggung beberapa pihak. Saya berharap, Allah SWT membalas semua
kebaikan para pihak yang telah membantu dan semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.
Medan, 25 Juni 2015
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ... i
Abstract ... iii
Halaman Pengesahan ... v
Halaman Persetujuan ... vi
Lembar Persembahan ... vii
Kata Pengantar ... viii
Daftar Isi ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Batasan Masalah ... 10
D. Tujuan Penelitian ... 10
E. Manfaat Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori ... 11
F.1. Pemikiran Politik Islam ... 11
F.1.1 Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali ... 11
A. Islam Tradisional/Fundamentalis ... 11
A. Islam Sekularistik ... 15
A. Islam Moderat ... 20
F.1.2Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (Hizbut Tahrir) ... 25
F.2 Teori Perbandingan Politik... ... 32
G. Metode Penelitian ... 34
H. Sistematika Penulisan ... 36
A.1. Berdirinya Hizbut Tahrir ... 38
A.2. Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia ... 41
A.3. Aktivitas Hizbut Tahrir Indonesia ... 43
B. Jaringan Islam Liberal ... 45
B.1. Latar Belakang Berdirinya Jaringan Islam Liberal ... 45
B.2. Visi, Misi dan Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal ... 50
B.3. Perkembangan dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal ... 52
BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK HIZBUT TAHRIR INDONESIA DENGAN JARINGAN ISLAM LIBERAL TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA A. Analisis Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia Tentang Relasi Islam dan Negara... 57
A.1. Negara Islam Menurut Hizbut Tahrir Indonesia ... 57
A.2. Khilafah Sebagai Sistem Pemerintahan ... 61
A.2.1 Struktur Negara Khilafah ... 67
a. Khalifah ... 67
b. Mu‟awin at – Tafwidh (wuzara‟ at- Tafwidh) ... 69
c. Para Wali ... 70
d. Amir Al-Jihad ... 71
e. Keamanan Dalam Negeri ... 72
f. Industri ... 73
g. Peradilan ... 74
h. Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum ... 75
i. Baitul Mal ... 76
j. Lembaga Informasi ... 77
k. Majelis Umat (Syura dan Muhasabah) ... 78
B. Analisis Pemikiran Politik Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara... 78
B.1. Islam dan Sekularisme (Negara Sekuler) ... 78
B.3. Penerapan Syariat Islam di Indonesia ... 86
C. Analisis Perbandingan Pemikiran Politik Hizbut Tahrir Indonesia
Dengan Jaringan Islam Liberal Tentang Relasi Islam dan Negara ... 91
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN ... 99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
RIZKY IRSYAD LUBIS (100906020)
THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)
Rincian isi skripsi, 108 halaman, 35 buku, 2 jurnal, 7 situs internet. (kisaran buku dari tahun 1965 - 2013).
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan perbandingan pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia dengan Jaringan Islam Liberal tentang relasi Islam dan Negara. Dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara tersebut? Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam kehidupan bernegara. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tidak terlepas dari pengaruh Islam dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi, tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia.
Hizbut Tahrir Indonesia adalah organisasi atau partai Islam di Indonesia yang concern dalam hal penegakan Khilafah. Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam satu kesatuan politik negara.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia.
Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi.
liberalisme dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalu studi pustaka, wawancara, observasi lapangan, cara-cara lainnya yang dapat memperkaya informasi terkait dengan tema penelitian. Sumber data utama penelitian ini diperoleh dari buku atau literatur tertulis lainnya serta data dari informan yang merupakan kader ataupu aktifis dari Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal.
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE
RIZKY IRSYAD LUBIS (100906104)
THINKING OF POLITICAL ISLAM IN INDONESIA (COMPARISON OF POLITICAL THOUGHTS HIZB UT-TAHRIR AND THE JARINGAN ISLAM LIBERAL RELATIONSHIP OF ISLAM AND THE STATE)
Contents: 108 pages, 35 books, 2 journals , 7 internet sites. (publication from 1965 - 2013).
ABSTRACT
This research aims to determine how the differences and comparisons of political thought Hizb Indonesia with the Jaringan Islam Liberal about the relationship between Islam and the state. And why Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal has a different view in looking at the relationship between Islam and the state? One facing countries that majority of the people of Islam at the time of its formation is how the seat of religion in the state of life. Given Indonesia is a country with a Muslim population at most so the idea of the relationship between Islam and the state has always been the actual discourse in Indonesia. Indonesia as the country with the largest number of Muslims in the world can not be separated from the influence of Islam in its politics. Although Indonesia is not a country with a theocracy, but clearly visible influence of Islam in Indonesian politics.
Hizb ut-Tahrir Indonesia is an organization or Islamic party in Indonesia who are concerned in terms of enforcement of the Caliphate. Islamic Khilafah is a political institution transnational Islamist pan that will unite all Muslim countries in a unitary nation state politics. Khilafah is a common leadership for all Muslims in the world. Khilafah responsible for implementing Islamic law, and convey the message of Islam to the entire earth.
In this study, the authors used data collection techniques through literature studies, interviews, field observations, in other ways that can enrich the information related to the research theme. The main data source of this research was obtained from books or other written literature as well as data from an informant who ataupu cadre of activists of Hizb ut-Tahrir Indonesia and the Jaringan Islam Liberal.
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh
sejumlah pejabat atau pemerintahan yang berhasil menuntut para warga negaranya
taat kepada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolitis dari kekuasaan yang sah.1
Negara terbentuk karena kesamaan nasib dan cita-cita, pada awalnya lebih
merupakan kesatuan suku dan agama yang mendominasi dalam suatu masyarakat
yang menjaga norma dan aturan sosial masyarakat. Namun pekrembangan
pengertian negara sewaktu-waktu dapat berubah, kesatuan agama dan etnis pada
akhirnya luntur karena munculnya politik demokrasi, multikultur dan multi ras
dalam suatu negara. Pada akhirnya negara sebagai penjaga moral dan hukum
berkembang dan berubah hanya untuk menjadi pengatur atau regulator dari
kebebasan individu dan hak asasi setiap warganya.2
Konsep tentang negara selalu berhubungan dengan sejarah pemikiran
politik, tidak terkecuali pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam
sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi
dalam peranan pemerintah atau negara sebagai faktor instrumental untuk
memenuhi kepentingan dan kesejahteraan baik lahir maupun batin.3
Di beberapa “negara” abad ke-7, abad pertengahan dan modern, ternyata agama tidak terintegrasikan secara penuh. Ada dua faktor mendasar, mengapa
agama gagal menjadi “ideologi” dasar atau penuh sebuah negara. Pertama,
1
Miriram Budiarjo, 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. hal. 40
2
Gerhart Raichle, 1999. Asas-Asas Kebijakan Sosial liberal. Postdam: Freidrich-Naumann-Stiftung. Bab Kebabasan dan keamanan
keinginan pemimpin-pemimpin agama menciptakan sistem pemerintahan yang
menganut sistem pemerintahan religio-politik, dibarengi sikap toleran terhadap
pemerintah-pemerintah yang cenderung sekuler. Hal ini erat kaitannya dengan
sikap-sikap tokoh agama yang cenderung memilih status quo dengan alasan “maslahat umat” seperti yang terjadi dalam sejarah terbentuknya Dinasti Bani Umayyah, dimana para “Shahabah” yang beranggapan bahwa model
pemerintahan Bani Umayyah adalah tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah, juga
terhadap prilaku politik sekuler dari Dinasti Bani Umayyah hingga masa
keruntuhannya. Kedua, adanya anggapan bahwa agama harus mandiri, tidak
berfungsi sebagai kekuasaan. Model keterlibatan agama dalam kekuasaan politik
sebagai lembaga yang kritis yang mendampingi lembaga kuasaan dengan sikap
korektif.4
Dalam memandang relasi Islam dan negara muncul berbagai persepsi di
kalangan para pemikir politik Islam. Para pemikir yang beraliran
tradisionalis/fundamentalis seperti Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala
al-Maududi berpendapat bahwa, Islam sebenarnya telah meletakkan satu pondasi
yang kokoh dalam membangun sebuah tata pemerintahan negara, yaitu pada
waktu Muhammad SAW memimpin Madinah dengan disepakatinya Piagam
Madinah. Adapun mengenai pengakuan dirinya sebagai seorang pemimpin, sudah
beliau terima ketika disepakatinya Ba‟iat al-Aqabah pertama (621 M) dan
Ba‟iatal al-Aqabah kedua (622 M).5 Dalam konteks Madinah sebagai sebuah negara, Muhammad SAW mempunyai peran ganda, sebagai kepala pemerintahan
sebuah negara sekaligus sebagai hakam yang merupakan manifestasi beliau sebagai Rasul utusan Allah SWT. Syariat Islam menjadi dasar tata pemerintahan
pada waktu itu, yang selanjutnya sistem khilafah Islam dipegang oleh sekian
khilafah, termasuk didalamnya yang dikenal sebgai al-Khulafa al-Rasyidin (661-1924 M).6 Ada pula yang berpersepsi lain, yakni aliran sekularis dengan tokoh
seperti Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid yang berpersepsi bahwa Islam tidak
4
Abdullahi Ahmed an-Na‟im, 1997. Hak-hak sipil dalam pandangan Islam. Jurnal Tashwirul Afkar Edisi: No. 1/Mei-Juni 1997, hal.78.
5
Syuyuti J.Pulungan, 1966. Prisip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau Dari Pandangan Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hal. 71
6
pernah menerangkan tentang kehidupan bernegara, Islam adalah agama murni
bukan negara. Selain itu ada juga persepsi lain yaitu aliran moderat dengan
tokohnya seperti Muhamad Husein Haikal, Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman
yang berpersepsi kendati Islam tidak menunjukkan preferensinya pada sistem
politik tertentu, tetapi dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi
kehidupan bernegara, yang untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih
sistem mana pun yang terbaik.
Sementara itu dalam sejarah, masa kejayaan Islam habis saat masa
khilafah Islam berakhir bersamaan dengan runtuhnya sistem kekhalifahan yang dihapus oleh Majelis Nasional Turki (1924 M) yang pada waktu itu dipegang oleh
Kemal at-Taturk.7 Sebelumnya dia juga telah menghapus sistem Kesultanan Turki
(1922 M). Hal ini ternyata menimbulkan dampak yang begitu besar pada sistem
pemerintahan negara yang secara struktural dan konstitusional berubah.
Puncaknya adalah pernyataan Konstitusi Negara bahwa Republik Turki adalah
Negara Sekuler.8 Sekulerisasi Turki ternyata memberikan wacana baru dalam
khasanah pemikiran Islam kontemporer. Setidaknya hal inilah yang
melatarbelakangi perdebatan yang kontoversial seputar relasi Islam dan negara
sampai saat ini.
Salah satu yang dihadapi negara-negara yang mayoritas masyarakatnya
Islam pada masa pembentukannya adalah bagaimana mendudukkan agama dalam
kehidupan bernegara. Permasalahan tersebutlah yang telah lama dirasakan di
Indonesia mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang
beragama Islam paling banyak sehingga gagasan tentang relasi Islam dan Negara
selalu menjadi wacana aktual di Indonesia. Indonesia sebagai negara dengan
jumlah umat muslim terbesar di dunia juga tidak terlepas dari pengaruh Islam
dalam perpolitikannya. Walaupun Indonesia bukan negara dengan sistem teokrasi,
tetapi pengaruh Islam jelas terlihat dalam perpolitikan Indonesia mulai dari masa
pra kemerdekaan, orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang. Peran
7
Faisal Ismail, 1999. Islam dan Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogyakarta: Tiara Wacana Group. hal. 157.
8
Islam tersebut terus berubah dan berkembang mengikuti dinamika perpolitikan
Indonesia.
Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada
tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak
terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.9 Pada tahun pemilu
tahun 1950 Indonesia mulai memakai sistem multipartai, ini merupakan
kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas
Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai. Pada
pemilu 1977 saat rezim Orde Baru berkuasa sistem multipartai tidak lagi dipakai
berlanjut hingga pemilu 1982, 1987, dan 1992. Namun pada pemilu 1999 sistem
multipartai kembali dipakai seiring dengan runtuhnya rezim orde baru, dan
berlanjut hingga pemilu-pemilu selajutnya sampai sekarang. Tetapi lagi-lagi Islam
belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara.
Pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang
diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar
biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu
sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai
perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan
negara,10 khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk
membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler?
Di era reformasi, terutama setelah adanya kebebasan politik, Islam
mengalami kebangkitan. Ada perubahan yang signifikan dari kelompok Islam
dalam memaknai jatuhnya rezim Orde Baru, yang mulai mengakomodasikan
aspirasi Islam. Aspirasi Islam lebih nampak di pentas politik nasional
dibandingkan dengan periode Orde Baru yang belum sepenuhnya memberikan
saluran politik Islam. Kejatuhan rezim Orde Baru membangkitkan kesadaran
politik umat Islam untuk menyongsong periode baru, yakni periode
9
Douglas E. Ramage (Terj. Hartono Hadikusumo), 2002. Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Jogjakarta: Mata Bangsa. hal. 2
10
kebangkitannya. Reformasi adalah awal periode kebangkitan kembali politik
Islam di Indonesia.
Kemunculan banyak partai politik yang berasaskan agama, baik Islam
maupun Kristen, merupakan salah satu fenomena politik menarik pada masa
pasca-Soeharto. Seiring dengan kebebasan yang diberikan rezim Habibie,
ormas-ormas Islam semakin menunjukkan momentumnya untuk melakukan gerakan
memperjuangkan aspirasi Islam secara radikal. Ormas-ormas tersebut merupakan
ormas dengan aliran pemikiran Islam fundamentalis yang menginginkan agar
dijunjung tingginya syariat Islam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Seperti
Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASW), Ikhwanul Muslimin,
HAMAS, Hizbut Tahrir Indonesia dan Majelis Mujahidin dan kemudian disusul
ormas Islam lainnya seperti Front Pembela Islam (FPI), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia
(PPMI).11 Namun diantara organisasi-organisasi tersebut Hizbut Tahrir Indonesia
memiliki pandangan yang sedikit berbeda dimana bukan hanya menginginkan
diteggakkannya ideologi dan syariat Islam tetapi mereka juga ingin ditegakkannya
kembali khilafah Islam dan Indonesia menjadi bagian didalamnya.
Hizbut Tahrir Indonesia sebagai salah satu ormas yang disebutkan diatas
adalah satu-satunya organisasi Islam yang concern dalam hal penegakan Khilafah.
Khilafah Islam adalah sebuah institusi politik pan Islamis yang bersifat transnasional yang akan menyatukan seluruh negara-negara bangsa Muslim dalam
satu kesatuan politik negara. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah dua kata ini mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih. Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di dunia Islam.12
11
Khamami Zada, 2004. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju. hal. 77
12
Hizbut Tahrir bukanlah sebuah organisasi kerohanian, melainkan
merupakan organisasi politik yang bermaksud untuk membagkitkan kembali umat
Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat Islam dari ide-ide,
sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan
mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara barat. Selain itu
kemunculan Hizbut Tahrir juga bermaksud untuk membangun kembali Daualah
Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali
sesuai dengan apa yang diturunkan Allah.13
Menurut Hizbut Tahrir, khilafah termasuk hukum Islam. Allah SWT menurunkan hukum Islam untuk seluruh umat manusia. Sehingga hukum Islam
itu tidak hanya cocok untuk bangsa (orang) Arab saja, melainkan cocok bagi umat
Islam secara keseluruhan. Juga, Islam tidak hanya cocok untuk waktu tertentu
saja, melainkan cocok untuk semua waktu. Dengan demikian, khilafah ini cocok untuk semua umat, kapan saja dan di mana saja. Selain itu, sejarah telah mencatat
bagaimana khilafah telah membentangkan pengaruhnya di atas wilayah yang luas, mulai dari Asia, Afrika dan Eropa. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan
bahwa khilafah ini cocok untuk semua bangsa sekalipun dengan latar belakang etnis dan budaya yang berbeda-beda, tidak hanya untuk bangsa (orang) Arab saja.
Di samping itu, Khilafah telah memimpin dunia lebih dari dua belas abad, dan
selama itu Khilafah merupakan negara nomor satu di dunia.14
Sebagai pendatang baru dalam percaturan politik Indonesia Hizbut Tahrir
Indonesia bisa dikatan cukup memiliki kararter yang kuat. Ini bisa dilihat dari
banyaknya sorotan publik terhadap kelompok yang di awal kedatangannya
dipandang eksentrik. Apalagi dengan isu dan konsep khilafah serta metode dakwah yang dibawanya. Hizbut Tahrir harus berhadapan dengan demokrasi yang
telah menjelma dalam sebuah sistem negara. Secara tidak langsung hizbut Tahrir
harus berhadapan dengan negara karena pada dasarnya konsep yang dibawanya
mensyaratkan untuk menolak apapun bentuk pemerintahan selain pemerintahan
13
Tim Hizbut Tahrir, 2007. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah. hal 4.
14 http://hizbut-tahrir.or.id/2015/06/25/khilafah-cocok-untuk-semua-bangsa-di-setiap-zaman/. Diakses pada
Islam (khilafah). Perdebatan juga terjadi ketika harus membicarakan konsepsi kedaulatan negara, dimana Hizbut Tahrir tidak pernah mengakui kedaulatan
rakyat melainkan kedaulatan Tuhan, sementara negara demokrasi sekarang
bertumpu pada kedaulatan rakyat.
Seiring dengan bangkitnya Islam dalam perpolitikan Indonesia pasca orde
baru tersebut, muncul pula gerakan-gerakan Islam kontemporer yang lebih
moderat dan modern serta membahawa paham liberalisme, yang hadir lebih
belakangan dari organisasi-organisasi Islam tradisonalis/fundamentalis diatas
yang telah muncul lebih awal. Gerakan-gerakan ini merupakan
gerakan kontemporer pemikiran Islam yang di Indonesia banyak dimotori oleh
kalangan muda Islam.
Dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, kelompok ini
merupakan kelompok yang muncul pasca gerakan pembaharuan yang dibangun
Nurcholis Majid pada tahun 1979-1980 an. Gerakan ini terkenal dengan gagasan
gagasannya yang liberal dan terlihat bersebrangan dengan pendapat kebanyakan
para ulama Islam di Indonesia pada masa sebelumnya.15
Ada beberapa gerakan Islam kontemporer di Indonesia pasca reformasi,
seperti Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kelompok pemikiran cendekiawan
muslim kontemporer di Indonesia yang juga mengusung jargon-jargon liberesasi
pemikiran Islam seperti Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Namun yang paling terkenal dan menentang arus pemikiran Islam di Indonesia
adalah gerakan pemikiran yang dimotori oleh kelompok Jaringan Islam Liberal
(JIL) yang digerakan oleh tokoh tokoh muda seperti Ulil Absar Abdalla dan
kawan kawannya.16
Jaringan Islam Liberal memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan
organisasi-organisasi Islam konservatif dan fundamentalis. Menurut Luthfi
Assyaukanie yang merupakan salah satu tokoh dari Jaringan Islam Liberal bahwa
15
https://www.scribd.com/doc/113318562/Kontroversi-Pemikiran-Islam-Liberal-Di-Indonesia, hlm.2-3. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 21.35 wib
ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para intelektual muslim liberal,
yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak paling tidak lima abad terakhir.
Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan
bangsa-bangsa muslim di depan bangsa-bangsa asing (kolonialisme). Hanya dengan membangun
kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap keberagamaan mereka, kondisi
menyedihkan itu dapat diperbaiki.17 Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme
dan demokrasi dimana menurut mereka agama dan kehidupan bernegara tidak
dapat disatukan.
JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap
mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena
rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi
masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa
diskusi, padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat
Islam dari kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.18
Jika dilihat dari latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh Hizbut
Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal, jelas sekali dapat disimpulkan
keduanya memiliki latar belakang aliran pemikiran yang berbeda dalam
memandang relasi Islam dan Negara.
Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan
Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif tradisionalis/fundamentalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan
bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para
tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis/Islam moderat, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara.
Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran
17
http://islamlib.com/gagasan/islam-liberal/tentang-asal-usul-dan-mengapa-islam-liberal/. Diakses pada 20 agustus 2015. Pukul 22.10 wib
18
nasionalis sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh
utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.19
Jika kita identifikasikan latar belakang aliran pemikiran yang di anut oleh
Hizbut Tahrir Indonesia dan Jaringan Islam Liberal dari tiga kategori yang
disebutkan oleh Munawir Sjadzali diatas, Hizbut Tahrir Indonesia tidak bisa di
masukkan kedalam tiga tipe pemikiran politik Islam yang di sebutkan tersebut.
Walaupun aliran konservatif tradisionalis/fundamentalis yang disebutkan Munawir Sjadzali juga menyebutkan sistem khilafah, tetapi khilafah menurut Hizbut Tahrir Indonesia berbeda, dimana khilafah menurut mereka adalah kepemimpinan secara umum atas seluruh umat Islam di dunia, yang artinya hanya
ada satu khilafah dan kepemimpinan di dunia. Sementara Jaringan Islam Liberal dapat kita simpulkan cenderung kepada aliran nasionalis sekuler. Karena Jaringan Islam Liberal menerima liberalisme dan demokrasi dimana menurut
mereka agama dan kehidupan bernegara tidak dapat disatukan. Maka dari itu, dari
semua pemaparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai perbandingan pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan
Negara. Dimana keduanya memiliki pemikiran politik yang berbeda dalam
memandang relasi antara Islam dan Negara tersebut.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian di atas dipaparkan bahwa adanya perbedaan pemikiran politik
antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam
memandang relasi Islam dalam Negara di Indonesia. Oleh sebab itu perlu penulis
tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu mengenai bagaimana pemikiran
politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam
melihat relasi Islam dan Negara dan mengapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan
Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pandangan berbeda dalam melihat relasi
Islam dan Negara.
19
C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah
penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor
mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor
mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian.20 Maka
batasan masalah pada penelitian ini yaitu hanya membahas perbandingan
pemikiran politik antara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal
(JIL) dalam memandang relasi antara Islam dan Negara.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: “Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih tajam mengenai pemikiran politik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) dalam
melihat relasi Islam dan Negara dan mengidentifikasi asal-usul mengapa Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan Jaringan Islam Liberal (JIL) memiliki pemikiran
berbeda dalam melihat relasi Islam dan Negara.”
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang terkait
dengan politik agama, yaitu politik Islam.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai masukan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di Indonesia.
3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.
20 Husaini Usmandan Purnomo Setiady Akbar, 2009,Metodologi Penelitian Sosial Jakarta: PT. Bumi Aksara,
F. Kerangka Teori
F.1 Pemikiran Politik Islam
F.1.1 Pemikiran Politik Islam Munawir Sjadzali
Menurut Munawir Sjadzali ada beberapa kategorisasi atau tipologisasi
dalam pemikiran politik Islam, yaitu:
A. Islam Tradisional/Fundamentalis
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara
(din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dan
negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara
benar-benar organik dimana negara berdasarkan syari‟ah Islam dengan
ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang
kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam
yang memiliki tipologi seperti ini, Islam bukan sekedar agama dalam
pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang
lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk
politik.
Fundamentalisme mengajak umat Islam kepada prinsip-prinsip
yang fundamental dan bercorak romantis kepada Islam periode awal,
dengan keyakinan bahwa doktrin dan ajaran Islam adalah lengkap,
sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Syari‟ah adalah
peraturan yang kekal dan abadi sepanjang zaman, tanpa perlu ditafsirkan
ulang untuk menyesuaikannya dengan perubahan zaman.21
Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini
adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub dan Abu al-„ala al-Maududi.
21 Irfan Suryahardi Awwas, 2001. Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari‟ah Islam. Yogyakarta:
a. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha, sebagai seorang yang berkecenderungan tradisional
begitu percaya dengan lembaga kesultanan Usmani yang menurutnya
adalah juga kekhalifahan, walaupun mereka bukan dari keturunan Quraisy
dan Arab. Ia tampaknya menutup mata terhadap despotisme kesultanan
Usmani. Kekhalifahan Usmani baginya merupakan pranata politik supra
nasional yang mewakili nabi pasca Abbasiyah yang mempersatukan umat
Islam di berbagai belahan dunia yang perlu dihidupkan dengan tugas untuk
mengatur urusan dunia dan agama, suatu pemikiran yang sama persis
dengan pemikiran al-Mawardi. Alasannya karena Al-Qur‟an, hadis dan
ijma‟ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-hall wa al-„aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah juga perlu dibentuk. Hanya saja ia lebih maju
dibanding pemikir politik Islam klasik yang realis pada masa klasik dan
pertengahan, walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh
yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga
pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-hall wa al-„aqd
anggotanya bukan saja ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid
melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang.22
Selain itu, berbeda dengan pemikir politik sebelumnya, lembaga
representatif itu dalam pandangannya juga bertugas mengangkat khalifah, mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah
dan perlu menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau
kekerasan demi kepentingan umum. Meskipun pandangan-pandangan
Rasyid Ridha sulit diterima untuk konteks kekinian, bagaimanapun Rasyid
Ridha telah berhasil memformulasikan tradisi dan merancangkan gagasan
dasar bagi para penganjur negara Islam berikutnya.
Ia merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang
kekhalifahan dengan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20
yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan al-Maududi.
22
b. Sayyid Quthb
Seperti halnya Rasyid Ridha, Sayyid Quthb menginginkan bentuk
pemerintahan supra nasional (kesatuan seluruh dunia Islam) yang
sentralistis, tetapi daerah tidak sebagai jajahan, mempersamakan pemeluk
agama, dan didirikan atas tiga prinsip: keadilan penguasa, ketaatan rakyat
karena hasil pilihannya dan permusyawarahan antara penguasa dan rakyat.
Meskipun ia tidak mempersoalkan sistem pemerintahan apapun sesuai
dengan sistem kondisi masyarakat, namun pemerintahan ini bercirikan
penghormatan pada superemasi hukum Islam (syari‟ah). Sayyid Quthb
dan juga al-Maududi adalah orang pertama yang menggunakan pengertian
bahwa umat manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai dasar
teori kenegaraan. Keduanya menolak prinsip kedaulatan rakyat dalam
pengertian konsep politik Barat, karena manusia hanyalah pelaksana
kedaulatan dan hukum Tuhan yang sebab itu, manusia tidak boleh
membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Konsep
politik Islam ini oleh al-Maududi disebut sebagai Theo-Demokrasi.23
Istilah Theo-Demokrasi berasal dari dua kata, theokrsasi dan
demokrasi. Dua kata yang disatukan dalam istilah ini dijelaskan Maududi
bahwa kewenangan untuk menegakkan pemerintahan yang diberikan
Tuhan kepada manusia dibatasi oleh undang-undang Nya yakni syari‟at.
Manusia diberikan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
pejabat yang melanggar atura Tuhan. Hal-hal yang tidak jelas diatur secara jelas dalam syari‟at diselesaikan berdasarkan musyawarah dan konsensus kaum muslimin. Mukmin yang memiliki persyaratan dan kemampuan
berijtihad diberi kesempatan untuk menafisrkan undang-undang Tuhan
jika diperlukan. Undang-undang yang sudah jelas terdapat dalam nash
tidak boleh seorang pun mengubah atau membantahnya. Penafsiran
terhadap undang-undang yang belum jelas pengertiannya tidak boleh
kontradiktif dengan ketentuan umum undang-undang Tuhan.24
23lbid, hal 157
24
c. A l-Maududi
Pemikiran pembaruan politik al-Maududi tentang teori politik
pemerintahan didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya, sistem politik Islam
didasari oleh tiga prinsip tersebut, yaitu Unity of God (tauhid),
Prophethood (risalah) dan Caliphate (khilafah). Aspek politik Islam akan sulit dipahami tanpa memahami secara keseluruhan akan ketiga prinsip
ini.25
Tauhid berarti hanya Tuhan sendirilah pencipta, penguasa dan
pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini
berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan laranganNya
adalah undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak
mengklaim bahwa dirinya memiliki kedaulatan.
Risalah menurut Maududi adalah bahwa undang-undang dari
Tuhan itu disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk disampaikan
kepada seluruh umat manusia. Perbuatan Rasulullah dengan melakukan
interpretasi terhadap undang-undang itu melalui perkataan dan
perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut sebagai Risalah
Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia yang
disebut syari‟ah.
Khilafah, ia jelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa manusia adalah wakil Tuhan di bumi. Manusia yang
dimaksudkannya adalah seluruh komunitas yang meyakini dan menerima
prinsip-prinsip bahwa pemegang kepemimpinan dan yang berkuasa di
alam ini adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada Tuhan. Dengan
demikian, setiap manusia yang menerima prinsip ini berarti telah
menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang diserahi khilafah
yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu,
melainkan komunitas yang meyakini dan menerima prinsip-prinsip yang
25
telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar
prinsip tersebut. Dengan demikian, pelaksanaan khilafah itu haruslah
kolektif, dan Maududi menyebut teori khilafahnya yang demikian dengan
nama khilafah kolektif. Untuk memperjelas mekanisme khilafah dalam rangka melaksanakan kedaulatan Tuhan, Maududi memberikan ilustrasi
sebuah perusahaan yang pengelolaannya diserahkan pada orang yang
bukan pemiliknya. Perusahaan yang demikian haus memberlakukan empat
syarat. Pertama, pemilik sebenarnya bukanlah si pengelola. Kedua,
pengelola harus mengelola perusahaannya dengan instruksi-instruksi
pemilikinya. Ketiga, pengelola harus melaksanakan kekuasaannya dalam
batas-batas yang telah ditentukan pemiliknya. Keempat, pengelola itu
harus melaksanakan administrasi perusahaan itu berdasarkan kehendak
pemiliknya, bukan atas kehendaknya sendiri.26
B. Islam Sekularistik
Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk
memisahkan agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan
umum bahwa hasil utama sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah
pemisahan gereja dan negara. Dan dalam konteks Islam sekularisme juga
dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan demokratisasi masyarakat
termasuk dalam masyarakat muslim.
Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum
sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya,
bagi mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Mendirikan negara bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan
duniawi yang lepas dari pengaruh agama. Karena itu, menempatkan agama
disatu pihak dan politik (negara) dipihak lain merupakan wujud dari tidak
adanya hubungan Islam dan negara.
Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara
agama dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan
26
antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan
dengan hukum sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil
dengan dasar negara. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan
melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Tokoh pemikir politik islam yang termasuk dalam tipologi ini
diantaranya adalah Ali Abd al-Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
a. Ali Abd al-Raziq
Kebalikan dari tipoligi pertama, menurut tipologi ini Islam adalah
agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak
mengajarkan cara-cara pengaturan tentang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Islam adalah agama murni bukan negara. Pemikir yang masuk
dalam tipologi ini adalah Ali Abd al- Raziq dan Luthfi al-Sayyid.
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaruk, Kepala Negara Turki
mengumumkan dihapuskannya jabatan khilafah dari negaranya Dia
mengklaim lembaga khalifah terbukti tidak bisa berfungsi sejak awal. Tiga
belas setelah kejadian penghapusan khalifah ini, tepatnya April 1925,
Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar‟iyyah di al-Manshurah
menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya
kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam.
Penerbitan buku ini mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan
umat Islam di seluruh dunia. Judul buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul
al-Hukm.27
Tesis utama dari buku ini adalah:28
Nabi Muhammad tidak membangun negara dan otoritasnya
murni bersifat spritual
Bahwa Islam tidak menentukan sistem pemerintahan yang definitif. Karena umat Islam boleh memilih bentuk
27
lbid, hal 167 28
pemerintahan apa pun yang dirasa cocok
Bahwa tipe-tipe pemerintahan yang dibentuk setelah
wafatnya Nabi tidak memiliki dasar dalam doktrin Islam.
Sistem ini semata-mata diadopsi oleh orang-orang Arab dan
dinaikkan derajatnya dengan istilah khilafah untuk memberi
legitimasi religius
Bahwa sistem ini telah menjadi sumber tipuan bagi
sebagian besar persoalan dunia Islam karena ia digunakan
untk meligitimasi tirani dan menimbulkan dekadensi umat
Islam.
Dalam sistematikanya, buku tersebut terbagi menjadi tiga bagian:29
1. Dalam bagian pertama diuraikan tentang definisi khilafah atau
lembaga khalifah beserta ciri-ciri khususnya, kemudian
dipertanyakan tentang dasar anggapan bahwa mendirikan
pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan
dalam agama Islam, dan akhirnya dikemukakan bahwa baik dari
segi agama maupun dari segi rasio, sistem pemerintahan khilafah
itu tidak perlu.
2. Dalam bagian kedua diuraikan tentang pemerintahan dan Islam,
tentang perbedaan antara risalah atau misi kenabian dengan
pemerintahan, dan akhirnya disimpulkan bahwa risalah kenabian
itu bukan pemerintahan dan bahwa agama bukan negara.
3. Dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau
lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini
Abd al-Raziq berusaha membedakan antara mana yang Islam dan
mana yang arab, mana yang khilafah Islamiyah dan mana yang
negara Arab, serta mana yang agama dan mana yang politik.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq adalah
pandangannya bahwa Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah
29
kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah
kekuasaan al-khulafa‟u al-Rasyidun bukanlah sistem Islam ataupun
keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali „Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Keduanya tidak
menyebut kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam
sejarah. Lebih lanjut, tidak ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur‟an maupun Sunnah mengenai bentuk sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata
seperti uli al-amr (mereka yang berkuasa) dalam al-Qur‟an (QS 4: 26)
yang diklaim oleh banyak pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah,
tidak ada sangkut pautnya dengan institusi ini dan tidak dimaksudkan
untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan. Dengan mengacu pada
mufassir besar al-Qur‟an seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, ia katakan
bahwa kata-kata itu ditafsirkan sebagai sahabat Nabi atau ulama. Ia juga
membantah bahwa Nabi Muhammad telah membentuk negara Islam di
Madinah nabi hanyalah Rasulullah, bukan raja atau pun pemimpin politik.
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan
politik, atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik.
Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun
kesatuan masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah
agama.30
Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam sama
sekali tidak perlu membentuk pemerintahan Sebaliknya, Islam tidak
menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur‟an, menurutnya
Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai
sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk
melindungi agama dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini
tidak berarti bahwa pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran
30
pokok Islam. Ini jelas menunjukkan bahwa Ali menerima keberadaan
otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas menolak bahwa otoritas
politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi politik yang
wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq pemerintahan
kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada
dasarnya bersifat sekuler.
b. Luthfi al-Sayyid
Orang lain yang memiliki persamaan pendapat dengan Ali Abd
al-Raziq adalah Ahmad Luthfi al-Sayyid. Menurutnya agama dan negara
adalah dua hal yang berbeda. Dalam membangun negara, kaum Muslimin
tidak harus mengikatkan diri pada Islam dan pan Islamisme karenanya
tidak lagi relevan.
Program Ahmad Luthfi al-Sayyid adalah memadukan antara
prinsip-prinsip Islam dan filsafat Yunani, gagasan-gagasan pencerahan
Prancis dan liberalisme Inggris. Pemaduan pemikiran ini membawa
Ahmad Luthfi al-Sayyid memusatkan perhatiannya pada sejumlah prinsip
yang dapat mempertegas garis-garis pokok pemikiran yang ia tampilkan
dan yang secara keseluruhannya terwujud dalam liberalisme Mesir pada
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-20. Prinsip-prinsip tersebut adalah
mendirikan suatu pemerintahan bercorak sekuler yang didasarkan atas asas
manfaat, menafsirkan agama hanya dalam kerangka hubungan manusia
dan Tuhannya, menentukan kriteria-kriteria perilaku perorangan dan
akhirnya mempertegas gagasan nasionalisme Mesir.31
Perlu juga disebutkan bahwa ketika Partai Umat dibentuk, dengan
penamaan umat di situ tidak dimaksudkan umat dalam konsepsi Islam
melainkan umat bangsa Mesir yang terdiri dari orang-orang Kristen,
Yahudi dan Islam yang semuanya tidak disatukan oleh hukum syari‟at,
melainkan oleh hubungan-hubungan alamiah yang lahir dari kehidupan
31
bersama di tempat yang sama. Lebih lanjut, seperti ditegaskan oleh Ahmad
Luthfi al-Sayyid, Islam bukanlah dasar Nasionalisme.32
C. Islam Moderat
Berbeda dengan dua kecenderungan tipologi di atas adalah tipologi
ketiga yang moderat. Tipologi ini menolak klaim ekstrim bahwa Islam
adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik,
tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak
ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam tidak
menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam
Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara,
yang untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem mana pun
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhamad Husein Haikal,
Muhammad Abduh, dan Fazlurrahman.
a. Muhamad Husein Haikal
Menurut Haikal,33 di dalam Al-Qur‟an dan sunnah tidak terdapat
prinsip-prinsip dasar kehidupan yang langsung berhubungan dengan
ketatanegaraan. Ayat tentang musyawarah misalnya tidaklah diturunkan dalam kaitan sistem pemerintahan. Al Qur‟an juga tidak secara tegas dan langsung menyebutkan sistem pemerintahan tertentu. Karenanya, tidak
aneh bila empat khalifah periode Islam awal (Khulafa Rasyidun) memang di bai‟at masyarakat di mesjid, tetapi mereka diangkat tidak selalu melalui pemilihan. Nabi sendiri bahkan membiarkan sistem pemerintahan Arab
asalkan menerima baik agama yang dibawanya. Dalam perkembangan
selanjutnya juga pengaruh luar (Bizantium dan Persia) terhadap
pemerintahan Islam makin mendalam dan tampak.
Namun demikian, sejauh yang bisa kita baca dari sumber-sumber
Islam, paling tidak ada 3 prinsip dasar peradaban manusia termasuk
politik. Pertama, prinsip monotheisme murni. Kedua, prinsip sunnah
32
lbid, hal 176
33
(hukum ) Allah yang tidak pernah berubah, dan ketiga, persamaan antar
manusia sebagai konsekuensi prinsip pertama dan kedua. Realisasi
prinsip-prinsip itu diwarnai oleh semangat persaudaraan, cinta kasih, rasa
keadilan, dan takwa.
b. Muhammad Abduh
Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk
pemerintahan. Jika bentuk khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai
model pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti
perkembangan masyarakat. Ini me-ngandung makna bahwa apa pun
bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang
dinamis. Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan
zaman. Pendapat demikian adalah konsekuensi dari konsep teologisnya
tentang kehendak bebas manusia sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Tentang sumber kekuasaan, Abduh menegaskan rakyat adalah
sumber kekuasaan bagi pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan yang
mempunyai hak memaksa pemerintah. Karenanya rakyat harus menjadi
pertimbangan utama dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan
mereka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat, Islam tidak mengenal
kekuasaan agama seperti yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad
pertengahan di Barat. Islam tidak memberi kekuasaan kepada seorang pun
selain kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak menghendaki seseorang
mempunyai kekuasaan terhadap akidah dan keimanan orang lain. Bahkan
seorang mufti, qadhi atau syaikhul Islam tidak memiliki kekuasaan agama.
Islam hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu kekuasaan politik. Kekuasaan
politik itu berhubungan dengan urusan keduniaan yang tidak berlandaskan
agama.
Jelasnya menurut Abduh34, Islam tidak mengenal adanya
kekuasaan agama dalam arti:
34
1. Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama
agama atau berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan
2. Islam tidak membenarkan campur tangan seseorang,
penguasa sekalipun, dalam kehidupan dan urusan
keagamaan orang lain
3. Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan
pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas
orang lain.
Bahkan, menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam
adalah mengikis habis kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan
Rasulnya, tidak akan ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas
akidah dan iman orang lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang
mubalig dan pemberi peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya.
Tidak ada seorang muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang
mempunyai hak untuk memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam
juga tidak terdapat penguasa agama yang atas nama agama, atau
berlandaskan mandat dari langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja,
memungut pajak dan upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti
yang pernah terjadi dalam sejarah sementara agama.
Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan
pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan
pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu
merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab
kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara
adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya
merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan.
Abduh mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama
semata-mata, melainkan mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan
antarsesama muslim dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan
aparatnya. Menurutnya, tugas itu merupakan tanggung jawab kepala
negara beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai
penguasa sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya.
Rakyat adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan Bahkan,
menurut Abduh, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah mengikis habis
kekuasaan keagamaan sehingga setelah Allah dan Rasulnya, tidak akan
ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan iman orang
lain. Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi
peringatan tanpa hak untuk memaksakan ajarannya. Tidak ada seorang
muslim, bagaimanapun tinggi keduduk-annya, yang mempunyai hak untuk
memberikan nasihat dan penyuluhan. Dalam Islam juga tidak terdapat
penguasa agama yang atas nama agama, atau berlandaskan mandat dari
langit, dapat mengangkat dan menurunkan raja, memungut pajak dan
upeti, serta mengundangkan hukum ilahi, seperti yang pernah terjadi
dalam sejarah sementara agama.35
Pendapat Abduh di atas seperti mengisyaratkan ketidak-sepakatan
pendapatnya dengan sementara pemikir politik Islam zaman klasik dan
pertengahan yang menyatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat dari Allah, dan karenanya ia bertanggung jawab
kepada Allah pula. Menurut Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang pengangkatan dan pemberhentiannya
merupakan hak manusia atau rakyat dan bukan hak Tuhan. Abduh
mengakui bahwa bahwa Islam itu bukan agama semata-mata, melainkan
mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan antarsesama muslim
dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya
memerlu-kan adanya penguasa lengkap dengan aparatnya.
Menurutnya,36 tugas itu merupakan tanggung jawab kepala negara
beserta perangkat pemerintahnya. Tetapi kepala negara sebagai penguasa
sipil diangkat oleh rakyat dan bertanggung jawab kepadanya. Rakyat
35
lbid, hal 123 36
adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan berhak menurunkan
kepala negara dari takhta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan
Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap muslim taat kepadanya demi agama
meskipun perilaku dan kebijaksanaannya bertolak belakang dengan ajaran
agama. Lebih jauh Abduh menyatakan bahwa kalau khalifah atau raja saja
tidak memiliki kekuasaan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan di
bawah kepala negara lebih tidak mempunyai kekuasaan agama, termasuk
lembaga fatwa dan jabatan syaikhul Islam atau mufti. Mereka dapat saja
memberikan opini hukum atau fatwa, tetapi tidak dapat dipaksakan. Dalam
hal ketaatan, rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat maksiat.
Apabila pemimpin melakukan hal yang bertentangan dengan al-Qur‟an
dan Sunnah, rakyat harus meng-gantinya dengan orang lain, selama dalam
proses penggantian itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar
daripada maslahat yang ingin dicapai. Dengan kekuasaan politik, Abduh
menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang
mempunyai hak dan wewenang pemerintah. Tapi Islam tidak memberi
peluang akan munculnya sistem teokrasi. Usaha pemerintah untuk
menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan
pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Abduh, harus ada
hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi negara setempat.
Dari pendapat-pendapat Abduh di atas, dapat disimpulkan bahwa
tampaknya Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan
agama, tetapi memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai dan
prinsip-prinsip Islam yang umum. Persepsinya tentang negara dan
pemerintahan, mencerminkan bahwa ia tidak meng-hendaki pemerintahan
eksklusif untuk umat Islam; ia juga dapat menerima negara kesatuan
nasional yang berkembang di zaman modern. Pikiran-pikiran
keagamaannya pun bersifat antisipatif terhadap perubahan zaman. Yang
lebih penting, ia tetap mem-punyai komitmen yang tinggi terhadap Islam.
Karena baginya kekuasaan politik yang ada di samping mengurus dunia,
c. Fazlurrahman
Bila Haikal tidak menyebut preferensi Islam pada sistem politik
tertentu, maka pemikir Islam setelahnya, yaitu Fazlur-Rahman, Mohamed
Arkoun, dan di Indonesia Nurcholish Madjid, menyebut bahwa dari
prinsip-prinsip yang disebut Al-Qur‟an dan Hadis, preferensi Islam adalah
sistem politik demokratis. Dalam berbagai tulisannya Fazlur-Rahman
menekankan masyarakat Islam adalah masyarakat menengah yang tidak
terjebak pada ekstrimitas, dan ûlil al-amri-nya (para pemegang kekuasaan)
adalah mereka yang tidak menerima konsep elitisisme ekstrim.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang egaliter dan terbuka atau
inklusif, saling berbuat baik dan kerjasama, dan tidak melakukan
diskriminasi berdasarkan gender atau kulit.37
Selanjutnya Fazlur Rahman menjelaskan konsep syûra
(musyawarah). Syûra bukan berarti bahwa seseorang meminta nasehat
kepada orang lain, seperti yang terjadi dahulu antara khalifah dan ahl halli
wa al–„alqd, tetapi nasehat timbal balik melalui diskusi bersama. Tentu
saja konsep demokrasi yang dipilih Fazlur Rahman ini dengan, katanya
lebih lanjut, berorientasi pada etika dan nilai spiritual Islam, tidak
semata-mata bersifat material seperti di Barat. Karena pilihannya pada sistem
demokrasi itulah, ia mengkritik para tokoh Islam yang menentang
demokrasi, seperti terhadap al- Maududi seperti yang telah dijelaskan di
muka.38
F.1.2 Pemikiran Politik Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (Hizbut Tahrir)
Pemikiran dan gagasan politik Syaikh Taqiyyuddin juga tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dua sosok guru dalam kehidupannya, yaitu kakek
beliau Syaikh Yusuf an-Nabhani dan Syaikh Muhammad Khadir Hussein.
37
lbid, hal 127 38