• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.3 Saran

1. Hendaknya perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya terutama pada hal pengungkapan wajib (mandatory disclousure) yang sebenarnaya dalam hal ini telah diatur oleh BAPEPAM melalui Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-134/BL/2006 yang ditetapkan tanggal 7 Desember 2006 agar investor bisa mengetahui dengan lengkap tentang perusahaan dan tertarik untuk berinvestasi.

2. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian sejenis, dapat menambahkan variabel bebas (independen) yang lain seperti Net Profit Margin, Return On Equity,Net Interest Margin,

Likuiditas, porsi saham publik, dan lain-lain yang dapat dipakai untuk memprediksi tingkat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan memperbanyak periode yang digunakan dalam penelitiannya agar penelitian dapat lebih digeneralisasi dan memberikan kesimpulan yang lebih baik.

BAB I I

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Agency Theory

Teori keagenan menggambarkan suatu hubungan antara pemegang saham

(principals) dan manajemen (agent). Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Pihak manejemen yang dipilih harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang saham.

Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan sebagai

“agency relationship as a contract under which one or more person (the

principals) engage another person (the agent) to perform some service on their

behalf which involves delegating some decision making authority to the

agent”. Ketika pemilik (manajer) mendelegasikan otoritas pangambilan keputusan pada pihak lain, terdapat hubungan keagenan antara kedua belah pihak. Hubungan keagenan, seperti hubungan antara pemegang saham dengan manajer, akan efektif selama manajer mengambil keputusan investasi yang konsisten dengan kepentingan pemegang saham. Namun, ketika kepentingan manajer berbeda maka keputusan yang diambil oleh manajer kemungkinan besar akan mencerminkan preferensi manajer dibanding dengan pemilik (Pearce dan Robinson, 2008:47). Masalah keagenan potensial terjadi apabila bagian kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen

(Masdupi, 2005). Proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan membuat manajer cenderung bertindak untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk memaksimumkanperusahaan. Inilah yang nantinya akan menyebabkan biaya keagenan (agency cost). Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan

agency cost sebagai jumlah dari biaya yang dikeluarkan prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Hampir mustahil bagi perusahaan untuk memiliki zero agency cost dalam rangka menjamin manajer akan mengambil keputusan yang optimal dari pandangan shareholders karena adanya perbedaan kepentingan yang besar diantara mereka.

2.1.2 Signalling Theory

Teori sinyal menyatakan bahwa perusahaan yang berkualitas baik dengan sengaja akan memberikan sinyal pada pasar dengan demikian pasar diharapkan dapat membedakan perusahaan yang berkualitas baik dan buruk (Hartono, 2005). Signalling theory menjelaskan bahwa laporan keuangan pada dasarnya dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memberi sinyal (baik positif maupun negatif) kepada para penggunanya.

Signalling theory juga dapat membantu mengurangi asimetri informasi antar perusahaan (agent), pemilik (principal), dan pihak luar perusahaan melalui laporan keuangan yang berkualitas. Untuk memastikan pihak-pihak berkepentingan tentang keandalan suatu laporan keuangan, dibutuhkan pihak independen yang dapat memberikan opini atas kualitas laporan keuangan yang disajikan manajemen. Menurut Scott (2009), pengambilan keputusan investasi

oleh investor dilakukan secara rasional dalam rangka memaksimalkan utilitasnya karena rata-rata para investor memanfaatkan informasi akuntansi keuangan sebagai pertimabangan keputusan investasinya sehingga diharapkan akuntan bisa menyediakan informasi akuntansi yang lengkap, akurat dan tepat waktu sehingga memberikan peluang bagi investor untuk mengambil keputusan secara rasional sehingga mencapai hasil sesuai yang diharapkan.

2.1.3 Pengungkapan Laporan Keuangan

Pengungkapan secara sederhana dapat diartikan sebagai pengeluaran informasi (the release of information). Apabila dikaitkan dengan laporan keuangan, pengungkapan (disclosure) mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha (Chariri dan Ghozali, 2003:235).

Laporan keuangan dibuat berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (generally accepted accounting principles/GAAP), yang merupakan aturan dan panduan akuntansi keuangan (Wild et al., 2005) dan tanggung jawab utama dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan ini berada di tangan manajemen.

2.1.4 Level Pengungkapan

Menurut Hendriksen (2004:432) secara umum pengungkapan informasi keuangan mendasarkan pada tiga level antara lain:

1. Adequate disclosure (pengungkapan yang memadai) yaitu pengungkapan harus memadai, agar pemakai laporan keuangan tidak salah menafsirkan atas informasi yang disampaikan. Semua perusahaan publik diwajibkan untuk memenuhi pengungkapan mininum, tetapi secara substansial dalam hal jumlah tambahan informasi yang diungkapkan ke pasar modal pasti akan berbeda.

2. Fair disclosure (pengungkapan yang wajar) yaitu pengungkapan secara wajar menunjukan tujuan etis agar dapat memberikan perlakuan yang sama dan bersifat umum bagi semua pemakai laporan keuangan.

3. Full disclosure (pengungkapan yang penuh) yaitu penyajian semua informasi yang relevan. Penyajian informasi yang mendetail akan menyembunyikan informasi yang penting sehingga membuat laporan keuangan menjadi sulit diinterpretasikan.

2.1.5 Jenis-jenis Pengungkapan

Pengungkapan yang sesuai dengan yang ada dibagi atas dua jenis yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela atau yang disebut voluntary disclosure. Pengungkapan wajib

(mandatory disclosure) adalah pengungkapan minimum yang dilakukan oleh perusahaan di dalam laporan tahunan perusahaan sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pihak/lembaga yang terkait (BAPEPAM ,SAK, Menteri Keuangan, Pajak, dan lain-lain), sedangkan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang dilakukan oleh

perusahaan diluar dari peraturan yang ditetapkan oleh pihak/lembaga yang terkait (BAPEPAM , SAK , Menteri Keuangan, Pajak, dan lain-lain).

2.1.6 Pengungkapan Wajib ( Mandatory Disclosure )

Pengungkapan wajib (mandatory disclosure) merupakan pengungkapan minimum mengenai informasi yang harus diungkapkan oleh perusahaan. Jika perusahaan tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi secara sukarela, maka pengungkapan wajib (mandatory disclosure) akan memaksa perusahaan untuk mengungkapkannya.Di Indonesia, kewajiban pengungkapan informasi bagi perusahaan yang go public diatur oleh pemerintah atau badan pembuat standar (Ikatan Akuntan Indonesia/IAI dan Badan Pengawas Pasar Modal/Bapepam).

Peraturan mengenai pengungkapan informasi yang diwajibkan ini pertama kali diatur dalam Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep- 17/PM/1995. Kemudian peraturan ini mengalami beberapa perubahan sehingga peraturan terbaru yang berlaku adalah Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-40/BL/2007 yang ditetapkan tanggal 30 Maret 2007.

2.1.7 Peraturan BAPEPAM

Sesuai dengan lampiran Keputusan Ketua BAPEPAM No. Kep- 134/BL/2006 tanggal 7 desember 2006, laporan tahunan wajib dikeluarkan begi emiten atau perusahaan publik. Dalam peraturan ini, laporan tahunan perusahaan-perusahaan tersebut diwajibkan memuat 93 item pengungkapan.

2.1.8 Profitability

Profitability adalah salah satu dari rasio keuangan yang digunakan sebagai salah satu indikator dalam mengukur baik atau buruknya kinerja suatu perusahaan.

Rasio profitability digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (profitabilitas) pada tingkat penjualan, aset maupun modal perusahaan (Fitriana,2014).

Menurut Van Horne dan Machowicz dalam Chairani (2015) menyatakan bahwa terdapat dua jenis rasio profitabilitas yaitu profitabiltas yang terkait dengan penjualan dan profitabilitas yang terkait dengan investasi.

1. Profitabilitas dalam kaitannya dengan penjualan

Pada rasio jenis ini yang perlu dicermati adalah margin laba kotor:

Penjualan

Penjualan – harga pokok penjualan

Pada jenis rasio ini dijelaskan bahwa laba perusahaan di dapat dari penjualan perusahaan setelah dikurangi biaya untuk memproduksi barang. Rasio ini juga digunakan untuk mengukur efisiensi operasi perusahaan.

Untuk mengukur profitabilitas dengan melihat penjualan bisa juga memakai margin laba bersih yaitu:

Penjualan Bersih Laba bersih setelah pajak

2. Profitabilitas dalam kaitannya dengan investasi

Rasio jenis ini menghubungkan antara profitabilitas dengan investasi perusahaan. Ada beberapa jenis cara pengukuran yaitu tingkat pengembalian atas investasi (Return on Invesment – ROI) , tingkat pengembalian atas aktiva (Return on Asset – ROA) , dan tingkat pengembalian atas modal sendiri (Return on Equity – ROE).

a) Return on Investment ( ROI) Menurut Munawir (2004) dalam Chairani (2015), dinyatakan bahwa Return on Invesment adalah kemampuan perusahaan dengan seluruh dana yang ditanamkan dalam menghasilkan laba. Cara mengukurnya adalah dengan membagi antara laba bersih setelah pajak dengan kekayaan perusahaan

b) Return on Asset (ROA) adalah rasio yang menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba terhadap total aset perusahaan setelah dikurangi beban bunga dan pajak. Semakin tinggi tingkat ROA maka kinerja perusahaan semakin baik karena tingkat pengembalian investasi yang semakin besar

c) Return on Equity (ROE) adalah rasio yang menunjukkan ukuran profitabilitas diliat dari sudut pandang pemegang saham. ROE adalah rasio laba bersih setelah pajak terhadap modal sendiri yang dipergunakan untuk mengukur laba yang tersedia bagi pemegang saham

Pada penelitian ini akan digunakan rasio dengan menggunakan

Return on Asset mendeskripsikan besarnya hasil yang diperoleh perusahaan atas semua aktiva yang ditanamkan di perusahaan. Jika nilai dari ROA bernilai positif maka total aset yang dimiliki untuk menjalankan operasional perusahaan bisa memberikan laba bagi perusahaan. Perusahaan juga dianggap mengelola aset serta hutang yang dimiliki perusahaan dan juga aktivitas dari perusahaan secara baik. Semakin tinggi tingkat profitabilitas maka perusahaan biasanya melakukan pengungkapan secara luas untuk menarik perhatian dari pihak eksternal untuk menanamkan modal karena dianggap memiliki kinerja yang baik dan dapat menghasilkan laba. Return on Asset juga banyak digunakan karena rumus yang digunakan lebih mudah dimengerti, lebih luas digunakan serta alat ukur prestasi manajemen yang sensitif terhadap setiap kondisi keuangan perusahaan .

2.1.9 Leverage

Leverage dalam pengertian bisnis mengacu pada penggunaan aset

(asset) dan sumber dana (sources of funds) oleh perusahaan dimana dalam penggunaan aset atau dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan biaya tetap atau beban tetap. Penggunaan aset (aktiva) atau dana tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan potensial bagi pemegang saham (Martono dan Harjito, 2005).

Rasio leverage menggambarkan sampai sejauh mana aktiva suatu perusahaan dibiayai oleh hutang. Suatu perusahaan dengan rasio leverage

yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan banyak dibiayai oleh investor atau kreditur luar. Semakin tinggi rasio leverage berarti semakin besar pula proporsi pendanaan perusahaan yang dibiayai dari hutang. Berdasarkan teori agensi (agency theory) yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling (1976), perusahaan dengan proporsi hutang yang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan mempunyai biaya pengawasan

(monitoring cost) yang lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi kebutuhan informasi yang memadai bagi investor atau kreditur.

Dua indikator pengukuran variabel leverage yang sering digunakan adalah debt to total asset ratio dan debt to equity ratio. Rasio hutang terhadap total aktiva (debt to total asset ratio) diukur dengan membagi antara total hutang dengan total aset, sedangkan rasio hutang terhadap ekuitas (debt to equity ratio) diukur dengan cara membagi total hutang perusahaan dengan ekuitas.

2.1.10 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan adalah salah satu variabel yang paling sering digunakan dalam beberapa literatur untuk menjelaskan luas tingkat pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam penelitian Fitriani (2001) terdapat tiga alternatif yang digunakan untuk menghitung ukuran perusahaan, yaitu total aset, penjualan bersih dan kapitalisasi pasar. Fitriani (2001) menunjukkan bahwa variabel ukuran perusahaan mempunyai positif terhadap kelengkapan pengungkapan. Jadi semakin

besar ukuran perusahaan maka akan semakin tinggi pengungkapannya. Dalam penelitian ini ukuran perusahaan didasarkan pada total aktiva, karena berdasarkan penelitian Fitriani (2001) total aktiva lebih menunjukkan ukuran perusahaan dibandingkan kapitalisasi pasar (Market Capitalization).

Ukuran perusahaan juga bisa diliat dari segi operasional perusahaan dan juga luas jangkauan produk usaha yang dimiliki. Perusahaan besar biasanya memiliki tenaga kerja yang memiliki keterampilan yang memadai bahkan tak jarang perusahaan besar merekrut tenaga ahli untuk suatu bidang tertentu. Perusahaan besar cenderung menjadi sorotan publik. Untuk itu perusahaan akan melakukan pengungkapan secara luas untuk mengurangi pandangan negatif atas perusahaan dan juga untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul atas perusahaan dan juga merupakan bagian dari akuntabilitas publik. Perusahaan besar juga pada umumnya memiliki sumber daya yang besar pula. Dengan sumber daya yang besar tersebut maka perusahaan perlu menyediakan informasi bagi pihak internal dan perusahaan dan juga informasi tersebut bisa menjadi bahan untuk melakukan pengungkapan informasi kepada pihak eksternal. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan pengungkapan secara lengkap (Sudarmadji dan Sularto, 2007:3). Ada beberapa cara untuk mengetahui ukuran perusahaan:

1. Ukuran total aset dalam suatu perusahaan terbagi atas dua jenis yaitu aset tetap dan aset lancar. Jika suatu perusahaan memiliki aset tetap yang besar maka operasional perusahaan dapat berjalan dengan dengan baik karena didukung dengan aset yang besar dan juga jumlah revenue

yang besar pula.

2. Hasil penjualan bersih Analisa dalam sebuah penjualan biasanya dilihat dalam hal pertumbuhan penjualan perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan bukan hanya jumlah unit produk yang terjual saja yang ingin dicapai perusahaan.

3. Kapitalisasi pasar Semakin tinggi penjualan yang dicapai suatu perusahaan maka perputaran uang perusahaan semakin besar dan nilai kapitalisasi pasar semakin besar serta perusahaan semakin dikenal oleh publik.

2.1.11 Proporsi Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen adalah adalah bagian dari dewan komisaris perusahaan yang bertanggungjawab dalam mempekerjakan, melakukan evaluasi dan melakukan pemecatan untuk para manajer puncak (KNKG, 2006). Secara lebih luas tugas komisaris independen adalah mengawasi dewan direksi perusahaan dalam mencapai kinerja dalam business plan

dan memberikan nasihat kepada direksi mengenai penyimpangan pengelolaan usaha yang tidak sesuai dengan arah yang ingin dituju oleh perusahaan (Alijoyo dkk, 2004). Manajemen laba pada perusahaan terjadi karena adanya conflict of interest yang dimiliki antara agen dan principal.

Dalam hal ini komisaris independen dapat meminimalisir conflict of interest karena akan bersikap objektif dalam pengambilan keputusan, dimana komisaris independen akan memberi masukan jika terjadi penyimpangan pengelolaan usaha sehingga adverse selection dan moral hazard dapat dihindari.

Dengan semakin baiknya dan banyaknya jumlah dewan komisaris independen, maka pengawasan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan akan lebih baik, objektif dan ketat. Laporan keuangan yang disajikan akan lebih bisa diminimalisir dari potensi kecurangan oleh manajer.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu mengenai kualitas dan luas pengungkapan telah banyak dilakukan. Subiyantoro (1997) melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara karakteristik perusahaan dengan tingkat kelengkapan laporan tahunan perusahaan (yang diwujudkan dalam bentuk tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan yang dibuat setiap tahunnya/pengungkapan wajib). Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 64 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) periode tahun 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ada tiga karakteristik perusahaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan tahunan, yaitu total aktiva, rasio ungkitan dan rasio likuiditas.

Fitriani (2001) melakukan penelitian mengenai signifikansi perbedaan tingkat kelengkapan pengungkapan wajib dan pengungkapan sukarela pada 102

perusahaan yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 1999. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan wajib adalah ukuran perusahaan, status perusahaan, kelompok industri, net profit margin, dan Kantor Akuntan Publik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan sukarela adalah sama dengan pengungkapan wajib kecuali kelompok industri. Penelitian Fitriani (2001) tidak berhasil membuktikan hubungan antara variabel leverage dan likuiditas dengan luas pengungkapan.

Simanjuntak dan Widiastuti (2004) melakukan penelitian mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Dengan mengambil sampel sebanyak 34 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2002, penelitian ini menggunakan variabel antara lain

leverage, likuiditas, profitabilitas, porsi kepemilikan saham oleh publik, dan umur perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa secara bersama-sama kelima variabel tersebut mampu mempengaruhi kelengkapan pengungkapan laporan keuangan. Sedangkan secara parsial hanya variabel leverage, profitabilitas dan porsi kepemilikan saham oleh publik secara signifikan mempengaruhi kelengkapan pengungkapan. Penelitian ini berhasil membuktikan hubungan variabel leverage

terhadap luas pengungkapan yang tidak dapat dibuktikan pada penelitian Fitriani (2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Johan dan Lekok (2006) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kelengkapan pengungkapan informasi laporan

keuangan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode tahun 2002-2004, menunjukkan bahwa kelengkapan pengungkapan wajib dipengaruhi oleh likuiditas, ukuran perusahaan, dan jenis Kantor Akuntan Publik. Sedangkan kelengkapan pengungkapan sukarela hanya dipengaruhi oleh solvabilitas dan status perusahaan.

Penelitian Rahmawati et al. (2007) mengenai pengaruh ukuran perusahaan, likuiditas, leverage dan profitabilitas terhadap pengungkapan wajib laporan keuangan tahunan perusahaan manufaktur dengan sampel 71 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2003-2004 menemukan bahwa secara parsial pengungkapan wajib dipengaruhi oleh variabel ukuran perusahaan dan likuiditas. Sedangkan secara simultan tidak ditemukan adanya pengaruh antara variabel ukuran perusahaan, likuiditas, leverage dan profitabilitas terhadap pengungkapan wajib.

Agus Sumarnadi Nugroho (2011) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh karakteristik perusahaan terhadap tingkat keluasan pengungkapan laporan keuangan. Penelitian ini mengambil total sampel sebanyak 72 laporan keuangan sektor industri makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran perusahaan (yang diproksikan melalui total aktiva) secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan. Sedangkan rasio likuiditas secara parsial tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kelengkapan laporan keuangan. Dalam penelitian ini ditunjukkan juga bahwa leverage secara parsial mempunyai pengaruh signifikan

terhadap tingkat kelengkapan laporan keuangan. Namun indikator leverage yang digunakan dalam penelitian Agus Sumarnadi Nugroho adalah debt to equity ratio

(DER), sedangkan dalam penelitian ini indikator leverage adalah debt total assets ratio (DTA).

Prawinandi, W., D. Suhardjanto dan H. Triatmoko (2012), dalam penelitiannya yaitu Peran struktur corporate governance dalam tingkat kepatuhan

mandatory disclosure konvergensi IFRS Indonesia menunjukkan bahwa struktur tata kelola perusahaan mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib konvergensi IFRS. Semakin besar proporsi komisaris independen dalam suatu perusahaan, maka pengawasan yang dilakukan terhadap manajemen dapat berjalan efektif sehingga laporan keuangan yang dihasilkan menjadi semakin berkualitas. Berdasarkan penelitian tersebut juga didapatkan hasil bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib konvergensi IFRS.

Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Likuiditas, dan Leverage terhadap Mandatory Disclosure pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia menunjukan bahwa secara parsial ukuran perusahaan, likuiditas, dan

leverage tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) laporan keuangan dalam tingkat yang signifikan. Sedangkan secara simultan ukuran perusahaan, likuiditas, dan leverage juga tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) laporan keuangan dalam tingkat yang signifikan.

Tabel 2.1

REVIEW PENELITIAN TERDAHULU 1. Subiyantoro (1997) Hubungan Antara Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Dengan Karakteristik Perusahaan Publik di Indonesia a. Total Aktiva b.Total Penjualan c.Rasio Ungkitan d. Rentabilitas e.Profit Margin f.Rasio Likuiditas g.Tipe Industri

Total aktiva, rasio ungkitan, dan rasio likuiditas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kelengkapan pengungkapan laporan keuangan tahunan 2. Fitriani (2001) Signifikansi Perbedaan Tingkat Kelengkapan Pengungkapan Wajib Dan Sukarela Pada Laporan Keuangan Perusahaan Publik a.Ukuran Perusahaan b. Leverage c. Likuiditas d.Net Profit Margin e. KAP f. Status Perusahaan g. Kelompok Industri Faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan wajib adalah ukuran perusahaan, status perusahaan, kelompok industri,

net profit margin,

dan Kantor Akuntan Publik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kelengkapan pengungkapan sukarela adalah sama dengan pengungkapan wajib kecuali kelompok industri. 3. Simanjuntak dan Widiastuti (2004) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta a. Leverage b. Likuditas c. Profitabilitas d.Porsi Kepemilikan Publik e.Umur Perusahaan Variabel yang mempengaruhi Luas pengungkapan antara lain leverage, profitabilitas, dan proporsi kepemilikan saham publik

Lekok (2006) Yang Mempengaruhi Tingkat Kelengkapan Pengungkapan Informasi Laporan Keuangan b. Solvabilitas c.Ukuran Perusahaan d.Proporsi Saham Publik e.Umur Perusahaan f.Profitabilitas g.Status Perusahaan h. Jenis KAP i.Struktur Modal pengungkapan wajib dipengaruhi oleh likuiditas, ukuran perusahaan, dan jenis kantor akuntan publik. Sedangkan kelengkapan pengungkapan sukarela hanya dipengaruhi oleh solvabilitas dan status perusahaan. 5. Rahmawati, Mutmainah, dan Haryanto (2007) Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Likuiditas, Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Pengungkapan Wajib a.Ukuran Perusahaan b. Likuditas c. Leverage d. Profitabilitas Luas pengungkapan wajib dipengaruhi oleh variabel ukuran perusahaan dan likuiditas. 6. Prawinandi, W., D. Suhardjanto dan H. Triatmoko. (2012) Peran Struktur Corporate Governance Dalam Tingkat KepatuhanMandatory Disclosure Konvergensi IFRS Indonesia. struktur tata kelola perusahaan , konvergensi Keuangan Internasional Standar Pelaporan , tingkat kepatuhan pengungkapan wajib konvergensi IFRS dan layanan perusahaan . Hasil penelitan Menunjukkan bahwa struktur tata kelola perusahaan Mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib konvergensi pengungkapan atau IFRS . 7. (2013) Analisis Pengaruh Ukuran Perusahaan, Likuiditas, dan Leverage terhadap Mandatory Disclosure pada Perusahaan a.Ukuran Perusahaan b.Likuiditas c. Leverage

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial ukuran perusahaan, likuiditas, dan leverage tidak

Sumber: Hasil Olahan Penelti, 2016 Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) laporan keuangan dalam tingkat yang signifikan. Sedangkan secara simultan ukuran perusahaan, likuiditas, dan

leverage juga tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib (mandatory disclosure) laporan keuangan dalam tingkat yang signifikan.

H1 H2 H3 H4 2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan pustaka , dan tinjauan penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan kerangka konseptual penelitian pada gambar 2.1.

H5

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2016

Profitability menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan, sehingga mempengaruhi tingkat pengungkapan. Ditinjau dari signaling theory, profitabilitas yang tinggi merupakan sinyal untuk meyakinkan investor tentang kinerja manajemen dalam menghasilkan laba bagi

Profitability Leverage Ukuran Perusahaan Proporsi Dewan Komisaris Independen Mandatory Disclousure

perusahaan. Profitabilitas yang tinggi memicu pihak manajemen untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas karena manajer perusahaan yang

Dokumen terkait