• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingginya kadar residu pelarut dalam oleoresin memerlukan dilakukannya proses pemisahan dengan menggunakan teknologi yang lebih baik. Hal ini bertujuan untuk memenuhi peraturan standar keamanan pangan yang telah ditetapkan oleh FDA.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Evi dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak; Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Agro media, Jakarta

Anonim. 1962. Farmakope Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

______. 2002. Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. PT. Penebar Swadaya, Jakarta

______. 2009. Etanol [Online]. www.wikipedia.org. 05 Maret

______. 2009. Biaya Daftar Herbal Asing Terlalu Murah [Online]. www.republika.co.id. 13 Oktober

Bombardelli, E. 1991. Technologies for The Processing of Medical Plant. CRC Press, Florida

Cripps, M.H. 1973. Spices Oleoresin : The Process, The Market and The Future. Di dalam Proceeding of Conference of Spice. Tropical Product Institute, London

Djubaedah, E. 1978. Pemisahan Oleoresin dari Daun, Kulit, dan Bubuk Kulit Kayu Manis di dalam Proceeding Seminar Minyak Atsiri III. 13-14 Juni 1978. Departemen Perindustrian, Jakarta

Ferrell, Kenneth T. 1985. Spices, Condiments, and Seasoning. Van Nostrand Reinhold, New York

Gilbertson, G. 1971. Oleoresin as Flavor Ingridients. Fd Inds. S. Afr., 23(8), 19-20 Goldman, A. 1949. How Spice Oleoresin are Made. Am. Perf. Ess. Oil. 53: 230-233. Harborne, JB. 1996. Metode Fitokimia. Ed Ke-2. Terjemahan Kosasih Padmawinata.

ITB, Bandung

Heath, H. A. dan B. Pharm. 1978. Flavor Technology : Profiles, Product, Appilcation. AVI Publishing Company, Inc., London

Herman, A. S. 1985. Berbagai Macam Penggunaan Temulawak dalam Makanan dan Minuman. Di dalam Proseding Symposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung

Hwang, Jae-Kwan dan Rukayadi, Yaya. 2006. Challenges And Opportunities In Applying Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) For Industrial Oral Care Products. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. Departemen Kimia FMIPA IPB, Bogor

Ketaren, S. 1988. Penentuan Komponen Utama Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Tesis . ITB, Bandung

Kirk, R.E dan D.F. Othmer. 1952. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol. IX. The Interscience Encyclopedi Inc., New York

Koswara, S. 2009. Teknologi Enkapsulasi Flavor Rempah-rempah [online]. www.ebookpangan.com . 05 Maret

List, PH dan Schmidt PC. 1989. Phytopharmaceutical Technology. CRC Press Inc. Boston

Taryono, M E., S, Rachmat, dan Sardina, A. 1987. PlasmaNutfah Tanaman Temu-temuan dalam Pengembangan Penelitian Plasma Nutfah tanaman Rempah dan Obat. Balittro, Bogor

Mahendra, B. 2005. 13 Jenis Tanaman obat Ampuh. Penebar Swadaya, Jakarta Moestafa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-rempah Menjadi Oleoresin dan

Minyak Rempah-rempah. Balai Besar Hasil Pertanian, Bogor

Oei, BL. 1988. Combination of Compounds Isolated from Curcuma Spesies as Anti-inflammatory agents. Indonesia. PT. Daria-Varia Laboratoria.

Purseglove, J.W. 1981. Spice, Vol II. Longman Inc., New York

Ramlan, A. 1985. Etnobotani Marga Curcuma di Jawa Barat. Di dalam Proseding Symposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung

Ravindran, P. N, Babu, K. Nirmal, dan Sivarman, K. 2007. Turmeric : The Genus Curcuma. CRC Press, New York

Ria, Evelina Bunga. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Skripsi. IPB, Bogor

Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru, Bandung

Rukmana, R. 1995. Temulawak : Tanaman Rempah dan Obat. Kanisius, Yogyakarta Sabel, W. dan Warren, 1973. Theory And Practise of Oleoresin Extraction. Di dalam

Proceeding of Conference of Spice. Tropical Product Institute, London Sembiring, Sembiring Br., Ma’mun dan Ginting, Edi Imanuel. 2009. Pengaruh

Kehalusan Bahan dan Lama Ekstraksi terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) [online]. www.balittro.litbang.deptan.go.id. 3 Februari

Sidik, Mulayono MW, dan Muhtadi A. 1995. Temulawak (Curcums xanthorrhiza Roxb). Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alam, Jakarta

Sirait, M. Moedarsono, Gana A. 1985. Pemeriksaan Kadar Xanthorrizol dalam Curcuma xanthorriza Roxb. Symposium Nasional Temulawak; Bandung,

17-18 sepetember 1985. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Bandung. Hlm 82-84

Somaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Industri Oleoresin di Indonesia. Komunikasi no. 201. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor

Stanforth, V. 1973. Spices or Oleoresin : a choice ?. di dalam Proceeding of The Conference of Spices. 10 – 14 April 1972. Trop. Prod. Inst., London

Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe Dengan Cara Solvent Extraction. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor

Syarief, A. M dan Nugroho, E. A. 1992. Teknik Reduksi Ukuran Bahan. PAU-IPB, Bogor

Syarief, R dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan, Jakarta

Whiteley, M.A, A.J.E. Welch dan L.N. Owen. 1951. Thrope’s Dictionary Applied Chemistry, Vol V. Longmans Green and Co., London

Rimpang temulawak dicuci dan dibersihkan

Temulawak kering dihaluskan dengan menggunakan discmill bersaringan 60 mesh

Temulawak dikeringkan pada suhu 50oC selama 20 jam

Temulawak diiris dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ±1 mm Rimpang

temulawak segar

Serbuk temulawak

100 gram serbuk temulawak Etanol 96%

sebanyak 400, 600 dan 800 ml

Oleoresin temulawak

Serbuk temulwak dicampurkan dengan pelarut dalam Erlenmeyer 1000 ml

Bahan diekstrak dan diaduk selama 4 jam pada suhu 30oC, 40 oC, 50 oC pada water bath

Larutan diekstrak dengan penyaring vakum

Bahan dibiarkan pada suhu ruang selama 24 jam

Ekstrak

ampas

Pelarut diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50oC

Analisa : 1. Rendemen oleoresin 2. Kadar minyak atsiri 3. Kadar kurkumin 4. Sisa pelarut 5. Indeks bias Lampiran 1b. Diagram Alir Proses Ekstraksi Temulawak

Lampiran 2. Prosedur Analisis Oloeresin Temulawak 1. Rendemen Oleoresin

Berat oleoresin yang dapat diperoleh dari setiap satuan berat bahan bubuk rimpang temulawak yang diekstrak.

Perhitungan :

Rendemen (% BK) = Berat Oleoresin (g) . x 100 % Berat Bahan (g) – (ka x berat bahan)

Keterangan :

BK = Berat Kering ka = Kadar Air

2. Penentuan Kadar Air (AOAC 1970)

Pinggan porselen kosong dimasukkan ke dalam oven bersuhu 1050C selama 1 jam, kemudian pinggan dimasukkan dalam eksikator. Selanjutnya, pinnggan ditimbang. Bubuk rimpang ditimbang sebanyak ± 2 gram dan dimasukkan ke dalam pinggan porselen. Pinggan yang berisi rimpang temulawak dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 1050C. Selanjutnya, pinggan dimasukkan ke dalam eksiaktor. Setelah dingin, pinggan ditimbang. Perlakuan dilakukan sampai bobot pinggan + sampel konstan pada saat ditimbang.

Kadar air = a – b x 100% a

Keterangan : a = bobot sampel sebelum pengeringan (gr) b = bobot sampel setelah pengeringan (gr)

3. Penentuan Kadar Minyak Atsiri (AOAC, 1984)

Sampel ditimbang sebanyak 10 g dan dimasukkan ke dalam labu didih 1 liter. Kemudian ditambahkan 500 ml air dan dihubungkan dengan alat penyuling minyak atsiri. Labu didihkan selama 3 jam. Volume minyak atsiri yang ditampung dalam alat penampung dicatat. Kadar minyak atsiri dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini.

(w- (ka x w))

Keterangan = v = minyak atsiri yang tertampung (ml) w = bobot contoh (g)

ka = kadar air (%)

4. Penentuan Kadar Kurkumin

0,2 gram bahan ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml. selanjutnya ditambahkan 25 ml asam asetat dan dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam pada suhu 100 °C. selanjutnya larutan didinginkan. Setelah dingin, ditambahkan asam borat dan asam oksalat masing-masing sebanyak 1 gram. Larutan dipanaskan kembali selama 10 menit pada suhu 100 °C kemudian didinginkan. Larutan diencerkan dengan menggunakan asam asetat sampai mencapai tanda tera. Lalu dipipet sebanyak 0.1 ml dan diencerkan dengan menggunakan asam asetat glacial sampai menjadi 10 ml. larutan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.

Nilai absorbansi yang diperoleh dari pengukuran dibandingkan terhadap kurva standar untuk mengetahui konsentrasi kurkumin yang terdapat di dalam sampel oleoresin. Kurva standar kurkumin yang digunakan adalah sebagai berikut.

Persentase kadar kurkumin dalam oleoresin dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini.

Perhitungan = Faktor Pengenceran x Konsentrasi Kurkumin (ppm) x 100 % Bobot Bahan (Kg)

5. Pengukuran kadar Xhanthorrizol

Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan contoh diantara dua fase. Salah satu fase yaitu fase diam, mempunyai permukaan yang lebih luas. Fase yang lain adalah fase yang bergerak berupa gas. Pemisahan komponen dalam suatu senyawa dengan menggunakan kromatografi gas didasarkan pada perbedaan laju gerak komponen tersebut.

Kromatografi gas merupakan metode umum yang digunakan untuk pemisahan, deteksi, dan perhitungan kuantitatif dari komponen yang tercampur dalam oleoresin temulawak.

Spesifikasi Alat yang digunakan :

Instrument : Agilent technologies 6890 Kolom : HP Ultra 2.Capilary Coulumn

Suhu Awal Kolom : 65 °C Suhu Akhir Kolom : 240°C Suhu Injektor : 250°C Suhu Detektor : 280°C Gas pembawa : helium Volume injeksi : 1,0 µl

6. Sisa Pelarut

Oleoresin sebanyan 2-3 gram ditimbang (a) dalam labu vacuum rotary evaporator (b). Alat vacuum rotary evaporator dijalankan pada suhu 500C dan tekanan 0.75 atmosfir selama satu jam. Selanjutnya labu ditimbang dan dicatat (c).

Perhitungan :

Sisa Pelarut = (b – c) x 100% a

7. Indeks Bias Oleoresin

Contoh oleoresin diteteskan pada alat refraktometer, kemudian dibiarkan beberapa menit agar suhu alat dan bahan merata. Kemudian dilakukan pembacaan nilai indeks bias. Faktor koreksi untuk minyak atsiri umumnya 0.00045 untuk setiap perubahan 1°C.

Perhitungan :

nDt = nDt* + 0.00045 (t* - t) Keterangan :

nDt = indeks bias pada t°C

Lampiran 3a. Hasil Analisis Keragaman Rendemen Oleoresin Temulawak.

Suhu (°C) Ulangan Nisbah Bahan Baku - Pelarut

1:4 1:6 1:8 30 1 8.57 8.22 11.55 2 10.23 13.58 13.43 Rata-rata 9.40 10.90 12.49 40 1 8.82 10.69 17.17 2 10.50 12.82 18.35 Rata-rata 9.66 11.75 17.76 50 1 10.42 12.43 17.16 2 13.81 14.63 18.38 Rata-rata 12.12 13.53 17.77

Analisa Keragaman Rendemen Oleoresin Temulawak

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 3265.269a 9 362.808 148.255 .000

Suhu 40.334 2 20.167 8.241 .009

Nisbah bahan baku-pelarut

113.016 2 56.508 23.091 .000

Interaksi 21.629 4 5.407 2.210 .149

Galat 22.025 9 2.447

Total 3287.293 18

Lampiran 3b. Uji Lanjut Duncan Nisbah Bahan Baku dengan Pelarut Terhadap Rendemen Oleoresion

Nisbah Pengelompokan Duncan

1 2

1:4 10.4283

1:6 12.4267

1:8 16.4533

Lampiran 4. Analisis Keragaman Kadar Kurkumin dalam Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Ulangan Nisbah Bahan baku dengan Pelarut

1:4 1:6 1:8 30 1 3.18 1.16 2.55 2 3.21 1.06 3.83 Rata-rata 3.20 1.11 3.19 40 1 2.56 1.59 3.30 2 2.20 3.66 2.66 Rata-rata 2.38 2.63 2.98 50 1 5.10 2.41 3.24 2 1.88 3.34 4.51 Rata-rata 3.49 2.88 3.88

Analisa Keragaman Kadar Kurkumin Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 147.009a 9 16.334 10.356 .001

Suhu 3.249 2 1.625 1.030 .396

Nisbah bahan baku-pelarut

6.643 2 3.322 2.106 .178

Interaksi 7.452 4 1.863 1.181 .382

Galat 14.195 9 1.577

Total 161.198 18

Lampiran 5a. Analisis Keragaman Kadar Minyak atsiri dalam Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Ulangan Nisbah Bahan baku dengan Pelarut

1:4 1:6 1:8 30 1 10.1 7.7 3.6 2 9.76 8.34 3.68 Rata-rata 9.93 8.02 3.64 40 1 8.65 8.25 7.6 2 7.03 6.89 6.04 Rata-rata 7.84 7.57 6.82 50 1 12.05 11.25 9.05 2 10.81 10.55 8.57 Rata-rata 11.43 10.9 8.81

Analisa Keragaman Kadar Minyak Atsiri dalam Oleoresin Temulawak Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 1337.058a 9 148.562 275.762 .000

Suhu 38.000 2 19.000 35.268 .000

Nisbah bahan baku-pelarut

35.128 2 17.564 32.603 .000

Interaksi 15.262 4 3.816 7.082 .007

Galat 4.849 9 .539

Total 1341.906 18

Lampiran 5b. Uji Lanjut Duncan Suhu dan Nisbah Bahan Baku dengan Pelarut Terhadap Kadar Minyak Atsiri Oleoresion Temulawak

Suhu

Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu terhadap Minyak Atsiri dalam Oleoresin

Suhu (°C) Pengelompokan Duncan

1 2

30 7.1967

40 7.4100

50 10.3800

Sig. .627 1.000

Nisbah Bahan Baku dengan Pelarut

Uji Lanjut Duncan Pengaruh Nisbah Bahan Baku-Pelarut terhadap Minyak Atsiri dalam Oleoresin

Nisbah Pengelompokan Duncan

1 2

1:4 6.4233

1:6 8.8300

1:8 9.7333

Lampiran 6a. Analisis Keragaman kadar xanthorrizol dalam Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Nisbah Bahan baku dengan Pelarut

1:4 1:6 1:8

30 26.16 42.82 26.99

40 30.30 28.15 24.92

50 1.26 1.43 1.49

Analisa Keragaman Persen Area Xanthorrhizol Relatif terhadap Senyawa Volatil dalam Oleoresin Temulawak

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat df Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 5458.886a 5 1091.777 34.981 .002

Suhu 1650.580 2 825.290 26.442 .005

Nisbah bahan baku-pelarut

66.129 2 33.065 1.059 .427

Galat 124.843 4 31.211

Total 5583.730 9

Lampiran 6b. Uji Lanjut Duncan Suhu Terhadap kadar xanthorrhizol Oleoresion

Suhu

Uji Lanjut Duncan Pengaruh Nisbah Bahan Baku-Pelarut terhadap persen area Relatif terhadap Senyawa Volatil dalam Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Pengelompokan Duncan

1 2

30 1.3933

40 27.7900

50 31.9900

Lampiran 7. Analisis Keragaman Kadar Sisa Pelarut dalam Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Ulangan Nisbah Bahan Baku - Pelarut

1:4 1:6 1:8 30 1 5.71 3.12 5.55 2 5.01 5.07 6.61 Rata-rata 5.36 4.10 6.08 40 1 6.89 5.20 3.85 2 3.73 5.95 5.61 Rata-rata 5.31 5.57 4.73 50 1 3.43 5.12 8.30 2 6.83 4.90 4.45 Rata-rata 5.13 5.01 6.37

Analisa Keragaman Kadar Sisa Pelarut dalam Oleoresin Temulawak

Sumber Keragaman Jumlah

Kuadrat df

Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 512.345a 9 56.927 22.524 .000

Suhu .395 2 .197 078 .925

Nisbah bahan baku-pelarut

2.099 2 1.050 .415 .672

Interaksi 4.972 4 1.243 .492 .742

Galat 22.746 9 2.527

Total 535.091 18

a. R Squared = .957 (Adjusted R Squared = .915

Lampiran 8a. Analisis Keragaman Indeks Bias Oleoresin Temulawak

Suhu (°C) Ulangan Nisbah Bahan baku dengan Pelarut

1:4 1:6 1:8 30 1 1.5201 1.5116 1.4976 2 1.5195 1.5025 1.5004 Rata-rata 1.5198 1.5071 1.4990 40 1 1.5159 1.5101 1.4811 2 1.5198 1.5127 1.5148 Rata-rata 1.5179 1.5114 1.4979 50 1 1.5220 1.5132 1.4776 2 1.5108 1.4969 1.4858 Rata-rata 1.5164 1.5051 1.4817

Analisa Keragaman Indeks Bias Oleoresin Temulawak

Sumber Keragaman Jumlah

Kuadrat df

Kuadrat

Tengah F Signifikansi

Rata-rata 40.779a 9 4.531 36375.882 .000

Suhu .000 2 9.644E-5 .774 .489

Nisbah bahan baku-pelarut

.003 2 .001 10.085 .005

Interaksi .000 4 3.163E-5 .254 .900

Galat .001 9 .000 .000

Total 40.780 18

Lampiran 8b. Uji Lanjut Duncan Nisbah Bahan Baku dengan Pelarut Terhadap Indeks Bias Oleoresin Oleoresion

Nisbah Pengelompokan Duncan

1 2

1:4 1.489467

1:6 1.507833

1:8 1.518017

Lampiran 9. Kromatogram hasil analisis gas Kromatografi (GC) oleoresin temulawak

1. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 30 °C dan nisbah 1:4

2. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 30 °C dan nisbah 1:6

3. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 30 °C dan nisbah 1:8

4. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 40 °C dan nisbah 1:6

5. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 40 °C dan nisbah 1:8

6. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 40 °C dan nisbah 1:8

7. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 50 °C dan nisbah 1:4

8. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 50 °C dan nisbah 1:6

9. Kromatogaram bahan volatil dalam oleoresin temulawak yang diekstrak dengan menggunakan suhu 50 °C dan nisbah 1:8

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan gaya hidup ke arah lebih sehat cenderung menuntut adanya perubahan pemenuhan kebutuhan hidup dengan bahan alami atau yang lebih dikenal dengan back to nature. Begitu pula dalam hal penggunaan obat-obatan, terdapat kecenderungan untuk mengkonsumsi obat-obatan yang bersumber dari bahan alami. Bahan yang secara alami memiliki kemampuan untuk mengobati suatu penyakit dikenal sebagai bahan herbal. Indonesia memiliki berbagai macam tanaman yang memiliki kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit maupun untuk menjaga kesehatan. Menurut Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia, terdapat lima bahan herbal yang termasuk sebagai produk unggulan untuk dikembangkan. Kelima komoditas tersebut adalah temulawak, jahe, sambiloto, kencur dan pegagan (Republika, 2009).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu tanaman temu – temuan (Zingiberaceae) yang memiliki berbagai khasiat dan kegunaan. Menurut Ramlan (1985) di dalam Sidik et al (1995), temulawak dapat digunakan secara luas baik sebagai rempah, bahan baku obat tradisional, bahan baku makanan maupun minuman. Sebagai tanaman obat, temulawak memiliki berbagai khasiat. Menurut Sidik et al (1995), temulawak berkhasiat sebagai anti inflamasi, antitumor, mengobati penyakit hipokolesterolemia, mengobati gangguan fungsi hati, memperbaiki fungsi saluran cerna, bersifat antibakteri dan antijamur, dan antijerawat.

Efek farmakologis yang diberikan oleh temulawak tidak lepas dari peran senyawa aktif yang terdapat dalam rimpang temulawak. Senyawa aktif yang terdapat dalam temulawak terdiri dari dua fraksi utama yaitu zat warna kurkuminoid dan minyak atsiri. Salah satu komponen minyak atsiri temulawak adalah xanthorrhizol. Menurut Taryono et al (1987), Gabungan senyawa kurkumin dengan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak.

Senyawa kurkumin merupakan komponen yang memberikan warna kuning pada temulawak. Menurut Mahendra (2005), kurkumin yang terdapat dalam rimpang temulawak bermanfaat sebagai antijerawat, anti-inflamasi (anti radang) dan anti

hepototoksik (anti keracunan empedu). Xanthorrhizol merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak. Menurut Hwang (2006) xanthorrhizol merupakan antibakteri potensial yang memiliki spektrum luas terhadap aktifitas bakteri, stabil terhadap panas, dan aman terhadap manusia.

Sejauh ini, temulawak diperdagangkan dalam beberapa bentuk yaitu bentuk rimpang temulawak yang utuh, serbuk temulawak, oleoresin temulawak, dan minyak atsiri temulawak. Penggunaan bahan baku temulawak dalam bentuk rimpang utuh maupun serbuk memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah bersifat kamba, mudah mengalami perubahan warna dan aroma yang diakibatkan oleh perubahan iklim, mudah terkontaminasi oleh bahan asing, mudah terkontaminasi mikroorganisme, pada tahap aplikasi komponen aktif dihasilkan secara lambat dan tidak terekstrak secara sempurna, dan partikel rimpang mengakibatkan adanya bintik atau noda pada produk akhir (Ravindran et al, 2007).

Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka penggunaan temulawak dapat dilakukan dalam bentuk oleoresin temulawak. Menurut Glibertson (1971), oleoresin merupakan campuran antara resin dan minyak atsiri yang diekstrak dari berbagai jenis rempah, baik rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit, maupun rimpang dengan menggunakan pelarut organik. Selain untuk menutupi kekurangan penggunaan temulawak dalam bentuk rimpang dan sebuk, penggunaannya dalam bentuk oleoresin dapat meningkatkan nilai jual temulawak.

Dalam proses ekstraksi oleoresin temulawak, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap mutu oleoresin yang dihasilkan. Ravindran et al (2007) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin diantaranya adalah jenis dan konsentasi pelarut yang digunakan, suhu ekstraksi, dan ukuran bahan yang diekstrak. Selain itu, faktor volume dan lama ekstraksi juga dapat mempengaruhi proses ekstraksi oleoresin.

Pemilihan pelarut yang tepat untuk mengekstrak oleoresin temulawak telah dilakukan oleh Ria pada tahun 1989. Ria (1989) menggunakan pelarut etanol, aseton, dan heksana. Hasil pengamatan Ria (1989) menunjukkan bahwa pelarut etanol merupakan pelarut terbaik untuk mengekstrak oleoresin dari rimpang temulawak. Pengaruh faktor lama ekstraksi dan kehalusan bahan baku terhadap mutu oleoresin temulawak diamati oleh Sembiring et al pada tahun 2006. Lama ekstaksi yang

diamati terdiri dari tiga taraf, yaitu 4, 6 dan 8 jam dan tingkat kehalusan bahan terdiri dari dua taraf, yaitu 40 dan 60 mesh.

Hasil pengamatan Sembiring et al (2006) menunjukkan bahwa kehalusan bahan dan lama ekstraksi berpengaruh terhadap rendemen ekstraksi. Rendemen tertinggi dihasilkan pada tingkat kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 6 jam, yaitu sebesar 32,49 %. Kehalusan bahan berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri dan kadar xanthorrhizol, sedangkan lama ekstraksi tidak berpengaruh. Kadar kurkumin tidak dipengaruhi oleh faktor kehalusan bahan dan lama ekstraksi. Kadar minyak atsiri dan kadar kurkumin tertinggi dihasilkan pada kehalusan bahan 40 mesh dan lama ekstraksi 4 jam, yaitu secara berurutan sebesar 33,03 % dan 2,88%. Tingkat kehalusan 60 mesh dan lama ekstraksi 4 jam menghasilkan kadar xanthorrhizol terpilih, yaitu sebesar 14,21 %.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi oleoresin temulawak adalah suhu ekstraksi dan volume pelarut yang digunakan. Peningkatan penggunaan suhu dan volume pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi diharapkan mampu meningkatkan mutu oleoresin yang dihasilkan, terutama terjadinya peningkatan kadar xanthorrhizol didalam oleoresin tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi yang tepat diantara kedua faktor tersebut untuk menghasilkan rendemen oleoresin optimal dengan kandungan xanthorrhizol yang paling tinggi.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nisbah bahan baku - pelarut dan suhu ekstraksi terhadap kandungan kurkumin dan xanthorrhizol dalam oleoresin temulawak yang dihasilkan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak

1. Botani Tanaman Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) merupakan salah satu tanaman obat dari suku temu-temuan (Zingiberaceae). Tanaman ini termasuk ke dalam tanaman tahunan dan tumbuh secara liar di beberapa pulau Indonesia, antara lain Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Selain dikenal dengan nama temulawak, tanaman ini memiliki beberapa nama daerah seperti koneng gede (Sunda), temo lobak (Madura) (Hyne, 1950 di dalam Sidik et al, 1995), tommo (Bali), tommon (Sulawesi Selatan), dan di Ternate dengan nama karbanga (Gunster, 1943 di dalam Sidik et al, 1995). Menurut Rukmana (1995) kedudukan tanaman temulawak dalam sistematika tumbuhan adalah sebagai berikut.

kingdom divisi sub divisi kelas ordo family genus spesies : : : : : : : : Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledonae Zingiberales Zingiberaceae Curcuma

Curcuma xanthorriza ROXB

Secara lebih lanjut Rukmana (1995) menjelaskan bahwa temulawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Batang tanaman temulawak adalah batang semu yang merupakan metamorphosis atau penjelmaan dari daun tanaman dengan tinggi mencapai 2 – 2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman (anakan), dan tiap tanaman memiliki 2 – 9 helai daun. Daun tanaman berbentuk panjang dan agak lebar. Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Lebar helaian daun temulawak adalah ±18 cm dengan panjang daunnya 50-55 cm, tiap helaian daun melekat pada tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur

Perbungaan temulawak bersifat lateral. Tangkai bunga ramping dan berbulu dengan panjang 4 – 37 cm. Bunga berbentuk bulir, bulat memanjang yang

panjangnya dapat mencapai 23 cm. Bunga tanaman ini memiliki banyak daun pelindung yang panjangnya melebihi atau terkadang sebanding dengan panjang mahkota bunga. Mahkota bunga berwarna putih sampai kuning dan bagian ujungnya berwarna merah dadu atau merah. Bunga temulawak memiliki benang sari dan putik sehingga setelah terjadi fruitset maka akan terbentuk buah. Buah yang terbentuk merupakan buah yang berbulu dengan panjang 2 cm (Anonim, 2002). Bunga temulawak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bunga Tanaman Temulawak

Menurut Ramlan (1985) di dalam Sidik et al (1995), temulawak memiliki rimpang induk yang berbentuk membulat, kemudian dari rimpang induk ini keluar rimpang kedua (rimpang cabang) yang berukuran lebih kecil, tumbuhnya ke arah samping dengan berbentuk bermacam-macam. Rukmana (1995) menambahkan, tiap tanaman memiliki rimpang cabang antara 3 – 4 buah. Warna kulit rimpang temulawak adalah kuning kotor. Warna daging rimpang adalah kuning, dengan cita rasanya pahit, berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman ±16 cm. tiap rumpun tanaman temulawak umumnya memiliki enam buah rimpang dan lima buah rimpang muda. Sebagai ilustrasi, Gambar rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar 2. Sistem perakaran tanaman temulawak termasuk akar serabut. Akar-akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan (Rukmana, 1995).

Gambar 2. Rimpang Temulawak

2. Kandungan Kimia Rimpang Temulawak

Menurut Sidik et al (1995), kandungan kimia rimpang temulawak yang memberi arti pada penggunaanya sebagai bahan baku pangan, bahan baku industri, dan sebagai bahan baku obat terbagi menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak atsiri. Kandungan kimia rimpang temulawak dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Kimia Rimpang Temulawak

Komponen Jumlah (% BK)

Pati 58,24

Lemak (fixes oil) 12,10

Kurkumin 1,55 Serat Kasar 4,20 Abu 4,92 Protein 2,90 Mineral (N, P, K, Na) 4,29 Minyak Atsiri 4,90

Sumber : Roeslan (1980) di dalam Ketaren (1988)

2.1Fraksi Pati

Sidik et al (1995) menjelaskan bahwa pati rimpang temulawak merupakan fraksi dengan jumlah yang paling besar. Kadar pati dalam rimpang temulawak bervariasi antara 48 hingga 54% tergantung pada altitude tempat tumbuh. Makin tinggi tempat tumbuh, maka makin rendah kadar patinya.

Pati temulawak memiliki bentuk bulat telur sampai lonjong dengan salah

satu ujungnya persegi dengan ukuran rerata 60 µm. Bentuk pati temulawak

ini sangat khas sehingga digunakan sebagai salah satu unsur pengenal untuk mengidentifikasi simplisia rimpang temulawak. Bentuk pati temulawak murni adalah berupa serbuk dan berwarna putih kekuningan. Warna kuning diakibatkan oleh adanya spora kurkuminoid.

Pati temulawak berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan makanan, campuran bahan makanan, atau sebagai sumber karbohidrat. Herman (1985) di dalam Sidik et al (1995) memberikan contoh pemanfaatan pati temulawak,

Dokumen terkait