• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hal yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah:

(1) Penentuan posisi penangkapan sebaiknya menggunakan GPS sehingga posisi penangkapan lebih akurat.

(2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat profil SPL di Perairan Indramayu pada periode waktu yang berbeda dan data time series yang lebih lama.

(3) Perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor oseanografi lain diluar SPL dan faktor-faktor teknis produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan.

DAFTAR PUSTAKA

Butler, M.J.A., M.C. Mouchot, V. Barale and C Le Blanc. 1988. The Aplication of Remote Sensing Technologi to Marine Fisheries : An Introduction Manual.. FAO Fisheries Technical Paper. 295 p.

Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2006. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Jawa Barat 2006. Bandung. Hal 76

Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, 2004. Statistik Perikanan Tangkap. Jakarta. Guci N. 1999. Analisis Hasil Tangkapan (Catch) dan Upaya Penangkapan

(Effort) Tenggiri (Scomberomorus commerson) di Pantai Baron dan Sadeng Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Hal 5-9

Gunarso. W. 1985. Tingkah Laku Ikan : Hubungannya dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 149.

Hasyim B. 2004. “Penerapan Informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI)

untuk Mendukung Usaha Peningkatan Produksi dan Efesiensi Operasi Penangkapan Ikan”. Makalah Pribadi Pengantar Kefalsafahan Sains.

Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Hidayat. 2004. Kajian Unit Penangkapan Purse Seine dan Kemungkinan Pengembangannya di Indramayu. [Skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Hal 48

Hutabarat, S. dan M.E Stewart. 1984. Pengantar Oseanografi. UI Press. Hal 54-67 [LAPAN] Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional. 2003. Teknologi Penginderaan

Jauh dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: LAPAN.

[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komite Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta: LIPI.

Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1994. Remote Sensing and Image Interpretation. Third Edition. University of Wisconsin. 1 P

Martasuganda S. 2000. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. . Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, diterjemahkan oleh M. Eidmen, Koesbiono dan D.G. Bengen. Gramedia. Jakarta. Hal 12

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Hal 55-60 dan 68 Pellegrini, J.J dan I.D. Penrose. 1986. Comparison on Ship Based Satelite AVHRR

Estimates of Sea Surface Temperature. Preceding 1st Australian AVHRR Conference. Perth, Australia

Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I dan II. Binacipta. Bandung. Hal 508

Subani W and H R Barus. 1989. Fishing Gear for Marine Fish and Shrimp in Indonesia. Jakarta: Jurnal of Marine Fisheries Research

Von Brandt A. 1984.Fish Catching Methods of The World. FAO Fishing news Book. Room. P: 209-218

Wiryawan B et al. 2008. Kajian Dampak Lingkungan untuk Pengusahaan LNG Receiving Terminal di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Volume I: Hal v-3, v-5, v-8dan v-10

Lampiran 1 Perhitungan Analisis Sidik Ragam antara Suhu Permukaan Laut dengan Hasil Tangkapan Tenggiri

The regression equation is ht = 75.9 - 2.32 suhu Correlations: suhu, ht

Pearson correlation of suhu and ht = -0.672 P-Value = 0.000 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0.671517056 R Square 0.450935157 Adjusted R Square 0.432632995 Standard Error 4.676102591 Observations 32 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 1 538.7406867 538.7406867 24.63835531 2.58105E-05 Residual 30 655.9780633 21.86593544 Total 31 1194.71875 Coefficients Standard

Error t Stat P-value Lower 95%

Upper

95% Lower 95.0% Upper 95.0%

Intercept 75.87997493 13.88247481 5.465882412 6.252E-06 47.52817909 104.23177 47.52817909 104.2317708

Lampiran 2 Uji Kenormalan Data Suhu Permukaan Laut ( SPL ) dengan Hasil Tangkapan Tenggiri Hasil Tangkapan P e rc e n t 30 20 10 0 -10 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean 0.037 7.094 StDev 6.208 N 32 KS 0.163 P-Value

ProbabilityPlot of Hasil Tangkapan Normal suhu P e rc e n t 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 10 5 1 Mean >0.150 29.59 StDev 1.794 N 32 KS 0.105 P-Value ProbabilityPlot of suhu Normal

Lampiran 3 Jumlah Hasil Tangkapan Tenggiri ( kg ) dan nilai SPL pada setiap Posisi Penangkapan di Perairan Indramayu

Posisi Tangkapan Data SPL Di Citra Satelit NOAA (°C)

No

Tanggal Operasi Penangkapan

Ikan Lintang Bujur Titik Penangkapan Kisaran Dominan Rata-rata

Sekitar titik penangkapan Tenggiri 1 26 Juni 6.279 108.535 27.72 20 - 29 27.55 26.81 28 12 2 6.317 108.656 27.35 20 - 29 27.55 26.81 28 10 3 27 Juni 6.279 108.535 24.61 20 - 31 27.69 25.46 25 20 4 1 Juli 6.314 108.594 29.72 20 - 32 30.35 29.69 31 5 5 1 Juli 6.314 108.612 29.72 20 - 32 29.63 29.69 31 2 6 1 Juli 6.411 108.788 29.72 20 - 32 30.03 29.69 31 2 7 3 Juli 6.278 108.575 31.58 20 - 33 32.04 31.53 32 11 8 10 Juli 6.306 108.583 32.73 20 - 33 32.03 32.72 33 3 9 18 Juli 6.397 108.633 28.68 20 - 31 28.07 29.20 26 17 10 19 Juli 6.414 108.605 30.75 20 - 33 30.47 30.90 31 3 11 31 Juli 6.308 108.461 29.32 20 - 32 29.13 29.36 30 5 12 9 Agustus 6.264 108.070 25.72 24-27 25.68 25.20 26 30 13 10 Agustus 6.208 108.092 26.8 26-30 27.53 27.50 27 2 14 10 Agustus 6.358 108.511 27.54 26-30 27.53 27.50 28 7 15 10 Agustus 6.175 108.202 27.91 26-30 27.53 27.50 28 7 16 11 Agustus 6.405 108.639 29.98 28-31 29.17 29.15 30 3 17 11 Agustus 6.220 108.417 29.34 28-31 29.17 29.15 30 3 18 11 Agustus 6.396 108.558 28.84 28-31 29.17 29.15 30 3 19 12 Agustus 6.405 108.639 31.05 29-32 30.17 30.12 31 2 20 12 Agustus 6.220 108.417 30.36 29-32 30.17 30.12 31 2

Lampiran 3 ( Lanjutan )

Posisi Tangkapan Data SPL Di Citra Satelit NOAA (°C) No Tanggal Operasi Penangkapan Ikan Lintang Bujur Titik

Penangkapan Kisaran Dominan Rata-rata

Sekitar titik penangkapan Tenggiri 21 12 Agustus 6.419 108.667 30.58 29-32 30.17 30.12 31 5 22 12 Agustus 6.396 108.558 30.07 29-32 30.17 30.12 31 2 23 14 Agustus 6.316 108.588 28.74 28-29 28.48 28.50 29 7 24 15 Agustus 6.311 108.633 29.6 29-31 29.71 29.70 30 10 25 15 Agustus 6.308 108.513 29.82 29-31 29.71 29.70 30 5 26 15 Agustus 6.425 108.696 29.98 29-31 29.71 29.70 30 3 27 19 Agustus 6.212 108.371 29.27 28-32 29.25 29.28 30 10 28 19 Agustus 6.316 108.533 29.26 28-32 29.25 29.28 30 10 29 19 Agustus 6.169 108.414 29.1 28-32 29.25 29.28 30 10 30 23 Agustus 6.229 108.385 29.06 28-30 28.94 28.95 30 36 31 29 Agustus 6.359 108.540 29.37 30-32 30.32 30.34 30 10

ii

INDRAMAYU, JAWA BARAT

RIKA RIZKAWATI

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

iv Hasil Tangkapan Ikan Tenggiri di Perairan Indramayu, Jawa Barat. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON.

Indramayu merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya (MSY) terbesar di Jawa Barat. Ikan komoditas unggulan lokal di Indramayu diantaranya adalah tenggiri. Nelayan Indramayu dalam menentukan daerah penangkapan ikan umumnya masih berdasarkan pengalaman. Hal ini mangakibatkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan berkurang dengan banyaknya waktu, biaya dan tenaga yang terbuang. Sebaran suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai indikator penentuan daerah penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk pegukuran suhu permukaan laut. Penelitian ditujukan untuk mengetahui kisaran suhu permukaan laut di Perairan Indramayu, mengetahui hasil tangkapan tenggiri pada kurun waktu yang berbeda serta hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan tenggiri di Perairan Indramayu. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode survei. Kisaran suhu permukaan laut di Perairan Indramayu pada bulan Juni 2005 yaitu berkisar antara 20ºC-31ºC dengan suhu dominan 27,55 ºC. Pada bulan Juli 2005 kisaran suhu permukaan laut berada antara 25-33 ºC dengan suhu dominan sebesar 30,28 ºC sedangkan pada bulan Agustus 2005 suhu permukaan laut berkisar 24-32 ºC dengan suhu dominan 29,37 ºC. Hasil tangkapan ikan tenggiri pada bulan Juni 2005 sebesar 14 kg/trip, bulan Juli 2005 sebesar 6 kg/trip dan pada bulan Agustus 2005 sebesar 30 kg/trip. Suhu permukaan laut berpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan ikan tenggiri.

Perairan laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya hayati yang sangat kaya baik ikan maupun non ikan. Sumberdaya hayati ikan meliputi ikan-ikan pelagis, karang dan demersal. Ikan-ikan pelagis berdasarkan ukuran tubuhnya digolongkan ke dalam pelagis besar dan pelagis kecil. Produksi ikan pelagis besar pada tahun 1995 mencapai 592.341 ton atau setara dengan 21,5% dari total produksi perikanan laut Indonesia yang mencapai 2.752.838 ton (Direktorat Jendral Perikanan, 1997 dalam LIPI, 1998). Kelompok terbesar dari produksi tersebut adalah tongkol dengan nilai prosentase 31,2%, diikuti oleh cakalang, tuna, tenggiri dan cucut dengan nilai masing-masing 26,9%, 17,2%, 14,1% dan 10,7% (LIPI, 1998).

Ikan tenggiri (Scomberomorus sp) merupakan salah satu komoditas unggulan, banyak diminati konsumen dan memiliki nilai jual tinggi. Produksi ikan tenggiri di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa kontribusi Kabupaten Indramayu dalam memproduksi ikan tenggiri sebesar 54,13 % dari total produksi. Nilai ini menunjukan bahwa Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten tertinggi dalam memproduksi tenggiri di Jawa Barat.

Indramayu merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya (MSY) terbesar di Jawa Barat, dengan nilai 83.764,69 ton/tahun (Rahardjo et al, 1999). Kabupaten Indramayu memiliki potensi alam yang dapat digunakan untuk pengembangan perikanan, terutama perikanan tangkap. Hal ini didukung dengan kondisi alam Indramayu yang memiliki panjang pantai 114 km, 17 sungai yang bermuara ke laut dengan 14 diantaranya digunakan sebagai jalur keluar masuk armada penangkapan serta aktivitas pelelangan ikan.

Informasi mengenai daerah penangkapan ikan, khususnya tenggiri merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan operasi penangkapan ikan. Oleh karena itu, pengetahuan akan daerah penangkapan ikan harus terus dikaji dan disosialisasikan terutama kepada pihak-pihak yang terkait dengan operasi penangkapan ikan, termasuk didalamnya nelayan. Nelayan, umumnya menentukan daerah penangkapan ikan masih berdasarkan pengalaman, warna perairan dan bongkahan kayu yang terapung di atas perairan.

Hal ini menyebabkan efektivitas dan efisiensi operasi penangkapan ikan berkurang dengan banyaknya waktu, biaya dan tenaga yang terbuang.

Tabel 1 Produksi Ikan Tenggiri di Jawa Barat Tahun 2006

No Pantai Kab/Kota Jumlah (Ton) (%)

1 Kab Ciamis 212.57 6,01 2 KabTasikmalaya 39.70 1,12 3 Kab Garut 45.76 1,29 4 Kab Cianjur 5.12 0,14 5 Pantai Selatan Jawa Kab Sukabumi 85.82 2,43 6 Kab Bekasi 132.79 3,76 7 Kab Karawang 76.16 2,15 8 Kab Subang 443.44 12,55 9 Kab Indramayu 1913.10 54,13 10 Kab Cirebon 260.10 7,36 11 Pantai Utara Jawa Kota Cirebon 319.49 9,04

Sumber : Buku Tahunan Statistik Perikanan Tangkap Jawa Barat (2006)

Daerah penangkapan ikan salah satunya dapat diduga dengan memperhatikan sebaran suhu permukaan laut. Gunarso (1985) mencatat beberapa hal mengenai pengaruh suhu terhadap ikan antara lain, umumnya suhu digunakan sebagai indikator dalam menentukan perubahan ekologi, aktivitas metabolisme serta penyebaran ikan. Hal lain yang berkaitan dengan suhu permukaan laut, dinyatakan bahwa ikan sangat peka terhadap perubahan suhu walaupun hanya sebesar 0,03 C. Pengaruh suhu permukaan terhadap tingkah laku ikan terlihat jelas ketika ikan akan melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman tertentu pula. Pengetahuan mengenai suhu optimum (suhu yang sesuai dengan kehidupan suatu jenis ikan) dapat digunakan untuk meramalkan daerah konsentrasi ikan, kelimpahan musiman dan ruaya ikan.

Pengukuran suhu permukaan laut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengukur langsung (in-situ) atau tidak langsung (eks-situ) melalui satelit. Pengukuran sacara langsung membutuhkan frekuensi dan selang waktu ulangan pengamatan yang berkesinambungan. Hal ini berarti membutuhkan pengamatan dalam waktu yang lama dan biaya observasi yang besar. Metode pengukuran

secara langsung juga sulit dilakukan untuk mendeteksi penyebaran suhu dalam waktu bersamaan pada suatu area yang luas. Penggunaan teknologi penginderaan jauh dapat dipilih sebagai alternatif dalam mengatasi kelemahan tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk :

(1) Mengetahui kisaran suhu permukaan laut pada bulan Juni-Agustus 2005 di Perairan Indramayu

(2) Menentukan hasil tangkapan tenggiri pada bulan Juni-Agustus 2005 di Perairan Indramayu

(3) Mengetahui pengaruh suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan tenggiri di Perairan Indramayu

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk bahan informasi tentang keberadaan ikan tenggiri kaitannya dengan suhu permukaan laut di Perairan Indramayu, untuk selanjutnya dapat digunakan oleh :

(1) Nelayan dan pengusaha perikanan dalam hal mengefektifkan dan mengefisienkan operasi penangkapan ikan

(2) Pemerintah, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan sebagai tambahan informasi mengenai daerah penangkapan ikan tenggiri di Perairan Indramayu

(3) Peneliti dan mahasiswa, menambah informasi serta literatur dalam kegiatan penelitian yang relevan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Tenggiri

Menurut Saanin (1984) Kailola dan Gleofelt (1986), taksonomi ikan tenggiri adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi

Sub Ordo : Scombridea Famili : Scombridae

Genus :Scomberomorus

Spesies :Scomberomorus commerson

Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson).

Tenggiri (Scomberomorus commerson) adalah jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting di Indonesia. Tenggiri mempunyai tubuh yang panjang, merupakan ikan perenang cepat serta tangkas dalam menerkam mangsanya (Nontji, 1987). Selain itu, tenggiri termasuk kedalam golongan ikan pelagis besar dan suka memakan ikan kecil seperti sardin (Sardinella sp), tembang (Sardinella

fimbriata), teri (Stolephorus sp) dan cumi-cumi (Loligo sp) (Ditjen Perikanan, 1979).

Secara morfologi tenggiri mempunyai tubuh panjang dan berbentuk torpedo. Mulut lebar dan berujung runcing, gigi pada rahang gepeng dan tajam. Sirip punggung tenggiri ada yang berjari-jari keras dengan jumlah 14-17 buah dan ada pula sirip punggung yang berjari-jari lemah dengan jumlah 14-19 buah yang diikuti dengan 8-10 sirip tambahan. Tenggiri memiliki garis rusuk lurus kemudian membengkok tajam dibawah awal jari-jari sirip tambahan dan melurus kembali sampai batang ekor. Garis rusuk tenggiri tidak terputus dan hanya berjumlah satu. Gelembung renang tidak ada, warna punggung biru gelap keabu-abuan atau biru kehijauan. Sisi tubuh tenggiri berwarna putih keperakan dan pada bagian perut dijumpai garis-garis (Guci, 1999).

2.2 Parameter Oseanografi yang Mempengaruhi Penyebaran Ikan

Kondisi lingkungan perairan akan menentukan keberadaan suatu organisme dalam lingkungan tersebut, dimana setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungannya. Adapun faktor-faktor yang menentukan keberadaan suatu sediaan (stok) diantaranya suhu, salinitas, kandungan oksigen, kecerahan dan arus (Hasyim, 2004). Adapun hubungan karakteristik lingkungan laut dengan habitat beberapa jenis ikan khususnya ikan pelagis dapat dilihat pada Tabel 2.

2.2.1 Suhu Permukaan Laut

Sebaran suhu secara vertikal di Perairan Indonesia pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu, lapisan hangat di bagian teratas, lapisan termoklin di bagian tengah dan lapisan dingin. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Karena kerja angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman 50-70 m terjadi pengadukan, hingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28 °C) yang homogen. Oleh karena itu, lapisan teratas ini sering disebut lapisan homogen. Di bawah lapisan homogen terdapat lapisan termoklin, dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman. Karena suhu yang turun menyebabkan densitas air meningkat,

maka lapisan termoklin ini merupakan daerah perlonjakan kenaikan densitas yang sangat menyolok. Perubahan densitas ini bisa diperkuat lagi karena di lapisan ini pun salinitas sering meningkat dengan cepat. Akibatnya air di sebelah atasnya tidak bisa bercampur dengan air di lapisan bawahnya. Oleh karena itu lapisan ini sering disebut lapisan pegat (discontinuity layer) karena mencegah atau memegat percampuran air antara lapisan di atas dan dibawahnya. Tebal lapisan termoklin bervariasi sekitar 100-200 m. Di bawah lapisan termoklin, terdapat lapisan yang hampir homogen dan dingin. Makin ke bawah suhunya berangsur-angsur turun hingga pada kedalaman lebih dari 1000 m dengan suhu dingin biasanya kurang dari 5 °C (Nontji, 1987). Susunan suhu secara vertikal ini menentukan kedalaman ikan. Tenggiri akan berenang sedikit lebih dalam pada waktu suhu permukaan lebih tinggi dari biasanya (Gunarso, 1985). Gambaran mengenai sebaran suhu secara vertikal di Perairan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 2 Parameter Oseanografi dan Habitat beberapa Jenis Ikan Pelagis Jenis Ikan Suhu (ºC) Kedalaman

(m) Salinitas (º/00) Kecerahan (m) Tongkol(Euthinnus spp) 20 - 22 - 32.21 -34,40 20 - 28 Cakalang (Katsuwonusspp) 27 -30 20 - 22 -31-33 34,81 - 35 17 - 28 Madidihang (Thunnus spp) 22 - 28 - 34,41 -35 20 - 28 Setuhuk (Makaira spp) 24 - 30 - 34,81 -35 24 - 32 Layang (Decapterus spp) - > 30 - -Tenggiri (Scomberomorus spp) 24 - 30 - 34,21– 34,60 24 - 32 Banyar (Rastelliger spp) 22 - 24 > 30 - 20 - 26 Kembung 22 - 24 8 - 15 - < 8 Siro (Amblygaster spp) 28 - 32 18 - 22 28-32 -Lemuru (Sardinella spp) - < 200 30

-Kuweh (Caranx rysophrys) - 20 - 25 -

100

300

Keterangan : A Lapisan Hangat, B Lapisan Termoklin, C Perairan dalam

Gambar 2 Sebaran Vertikal Suhu secara Umum di Perairan Indonesia (Nontji, 1987).

Pengaruh suhu perairan terhadap tingkah laku ikan terlihat jelas pada waktu ikan-ikan akan melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman tertentu. Menurut (Sette, 1950 vide Gunarso, 1985) yang meneliti ikan tenggiri (Scomber scombrus) menyatakan bahwa ikan ini melakukan pemijahan pada perairan dengan kisaran suhu antara 12-15 °C. Umumnya jenis ikan memiliki suhu optimum yang khusus sifatnya. Melalui pengetahuan tentang suhu optimum suatu jenis ikan, dapat meramalkan daerah konsentrasi dan kelimpahan musiman maupun ruaya suatu stok ikan. Adapun suhu optimum tenggiri berada pada kisaran suhu 24-30 °C.

2.2.2 Salinitas Perairan

Salinitas adalah konsentrasi rata-rata seluruh garam yang terdapat di dalam air laut. Hampir semua organisme laut hanya dapat hidup pada daerah-daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang sangat kecil. Daerah estuarin adalah suatu daerah dimana kadar salinitasnya berkurang. Hal ini dikarenakan adanya sejumlah

0 1 2 3

Suhu

A B

air tawar yang masuk yang berasal dari sungai-sungai serta pengaruh dari terjadinya pasang surut. Akibatnya hanya organisme tertentu yang telah beradaptasi dengan kondisi ini yang dapat hidup. Salinitas bersifat lebih stabil di lautan terbuka, walaupun di beberapa tempat dijumpai adanya perubahan. Salinitas akan naik dikarenakan banyaknya air yang hilang saat terjadi penguapan pada musim panas atau sebaliknya akan menurun oleh besarnya curah hujan Hutabarat dan Evans (1984).

Ikan, termasuk tenggiri diduga melakukan ruaya sepanjang suatu tingkat atau derajat salinitas tertentu. Hal ini mengingat bahwa ikan sangat sensitif terhadap perubahan salinitas sebesar 0,02 per mil (Gunarso, 1985). Adapun kisaran salinitas optimum untuk tenggiri menurut Hasyim (2004) 34,21-34,60º/00.

2.2.3 Arus Perairan

Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut, gerakan bergelombang panjang dan arus yang disebabkan oleh pasang surut. Angin yang berhembus di Perairan Indonesia terutama adalah angin muson yang dalam setahun terjadi dua kali pembalikan arah yamg mantap, masing-masing disebut muson barat dan muson timur (Nontji, 1987).

Arus memegang peran penting sehubungan dengan penyebaran ikan. Bila arus mengalir secara teratur ikan dapat hanyut terbawa arus baik secara pasif atau aktif bahkan ada juga yang bergerak dengan kombinasi keduanya. Pada umumnya tenggiri dewasa bergerak secara aktif melawan arus (Gunarso, 1985).

Menurut Gunarso (1985) menyatakan bahwa salah satu daerah penangkapan yang baik terdapat pada perbatasan atau pertemuan arus panas dengan arus dingin (sebagai contoh pertemuan arus kuroshio dengan arus oyashio), terjadinya arus pengisian (divergensi) dan lainnya. Tenggiri banyak dijumpai pada pertemuan kedua arus tersebut.

2.3 Habitat dan Daerah Penyebaran Ikan Tenggiri

Indonesia memiliki tiga jenis tenggiri, yaitu Scomberomorus commerson, Scomberomorus guttatus dan Scomberomorus lineatus. Tenggiri banyak hidup di daerah pelagis. Nybakken (1992) menyatakan bahwa seluruh daerah terbuka merupakan kawasan pelagis.

Daerah penyebaran tenggiri di Indonesia meliputi Perairan Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya. Hal yang berkaitan dengan daerah penyebaran dan penangkapan yang potensial di masing-masing perairan tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Daerah Penyebaran dan Penangkapan Potensial Tenggiri Perairan Daerah Penyebaran Daerah Penangkapan Utama

Sumatera Seluruh Perairan - Perairan Aceh bagian utara, timur, Sumatera Utara dan sekitar Bengkalis

- Perairan Bangka dan Belitung - Pantai barat Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung

Jawa dan Nusa Tenggara

Seluruh Perairan - Seluruh Pantai Utara Jawa dan Madura, Selatan Jawa Tengah, Selatan Bali, Utara Lombok, Sumbawa dan Flores

- Pantai Pulau Timur bagian barat

Kalimantan dan Sulawesi

Seluruh Perairan - Hampir semua pantai barat dan selatan Kalimantan - Perairan Teluk Palu,

Sulawesi bagian selatan - Sebagian Perairan Sulawesi

Utara Maluku dan Irian

Jaya

Seluruh Perairan - Sebagian pantai barat Halmahera

- Perairan selatan Pulau Seram - Hampir semua perairan

pantai barat Pulau Irian sampai Kepala Burung

2.4 Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh merupakan ilmu serta seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah maupun fenomena yang diteliti (Lisseland dan Kiefer, 1994). Teknologi penginderaan jauh pada dasarnya meliputi tiga kegiatan utama. yaitu perolehan data, pemrosesan data dan interpretasi data. Komponen fisik yang terlibat dalam penginderaan jauh adalah matahari sebagai sumber energi dalam bentuk radiasi elektromagnetik, atmosfir sebagai media lintasan dari radiasi elektromagnetik, sensor untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik dan mengubahnya dalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam serta komponen terakhir adalah obyek (Butler et a/., 1988). Untuk lebih jelas mengenai sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 3.

Pancaran dan pantulan energi dari benda-benda di permukaan bumi ditangkap oleh sistem sensor pada satelit, kemudian diubah menjadi sinyal-sinyal. Sinyal-sinyal ini selanjutnya dikirim ke stasiun bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk data analog atau digital. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk bidang tertentu harus melalui pengolahan lebih lanjut. Penginderaan atau sensor pada wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu obyek di permukaan bumi, dimana tiap-tiap obyek memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada Gambar 4.

Penginderaan jauh untuk lingkungan kelautan diawali dengan program TIROS (Television Infrared Observation Satelite) yang kemudian menjadi NOAA (National Oceatic Atmospheric Administrations) pada tahun 1960-an oleh Amerika Serikat. Hingga saat ini program tersebut masih berjalan, ini dibuktikan dengan masih beroperasinya lima satelit NOAA yaitu NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17. Satelit NOAA berorbit polar pada ketinggian 833 km dan memiliki sensor utama yaitu AVHRR dengan 5 band. Sementara itu, pada tahun 1988 badan antariksa Cina meluncurkan satelit lingkungan Fengyun 1-A (FY 1-A) dan programnya terus berlanjut hingga peluncuran satelit pada bulan Mei 2002. Satelit Fengyun tersebut memiliki spesifikasi orbitnya mirip NOAA dan memiliki sensor MVISR (Multispectral Visible and Infrared Scan Radiometer) dengan 10

band. Gambar dan karakteristik dari satelit NOAA dan FY-1 MVISR diperlihatkan pada Gambar 5 dan Tabel 4. Sedikit berbeda dengan NOAA AVHRR, FY-1 MVISR memiliki 3 band untuk pemantauan warna laut (ocean color), band ini dapat digunakan untuk mendeteksi sebaran klorofil (phytoplankton) dan kekeruhan di perairan (LAPAN, 2003).

Gambar 3 Sistem Penginderaan Jauh. (LAPAN, 2003).

Gambar 4 Reflektansi berbagai Objek di Permukaan Bumi pada suatu Panjang Gelombang dan Band Spektral Satelit Penginderaan Jauh. (LAPAN, 2003).

Gambar 5 Satelit Lingkungan FY-1 (gambar atas) dan NOAA (gambar bawah). (LAPAN, 2003).

Tabel 4 Karakteristik NOAA AVHRR dan FY-1 MVISR

Sumber : LAPAN, 2003 2.5Gillnet

Alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan dalam penelitian ini adalah gillnet. Von Brandt (1984), menyatakan bahwa gillnet adalah alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dibentangkan melintang sepanjang arah migrasi ikan sehingga ikan-ikan akan tersangkut dalam mata

Karakteristik NOAA FY-1

Jumlah satelit yang beroperasi

5 satelit (NOAA-12, 14, 15, 16 dan 17)

2 satelit (FY-1C dan FY-1D)

Orbit Polar (sun-syncronous) Polar (sun-syncronous)

Ketinggian orbit 833 km 863 km

Periode pengulangan 102 menit 102.3 menit Lebar sapuan data 2048 pixel 2048 pixel Resolusi spasial 1.1 km (nadir) 1.1 km (nadir) Resolusi radiometrik 10 bits/data 10 bits/data

jaring. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

Jaring insang (gillnet) adalah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat ris atas, pemberat ris bawah (kadang tanpa ris bawah). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap. Jaring-jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tingting (piece). Operasi penangkapan dengan menggunakan gillnet biasanya terdiri dari beberapa tingting yang digabung menjadi satu sehingga membentuk satu perangkat (unit). Panjang satu perangkat gillnet ini tergantung dari banyaknya tingting yang dirangkai. Jaring insang termasuk alat

Dokumen terkait