DAFTAR PUSTAKA ... 92
Halaman Tabel 1 Jari"jari pengaruh sumur
………
13 Tabel 2 Koefisien tanaman (kc) palawija... 25
Tabel 3 Metode pengumpulan data ……… 37
Tabel 4 Kriteria rancangan hipotetik sistem irigasi tetes ... 40 Tabel 5 Hasil uji pemompaan ... 41 Tabel 6 Karakteristik akifer dan sumur ... 42
Tabel 7 Nilai LLIactdan LAT ………. 46
Tabel 8 Jumlah pemberian air irigasi aktual ……… 51
Tabel 9 Hasil perhitungan satuan kebutuhan air (SKA) ... 52 Tabel 10 Rekapitulasi perhitungan efisiensi irigasi ... 54
Tabel 11 Perbandingan nilai LLIact, LLIpot, dan LAT ……… 55
Tabel 12 Hasil perhitungan biaya irigasi ... 58 Tabel 13 Nilai beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT
dangkal dari segi kecukupan air ……… 63
Tabel 14 Spesifikasi teknis penetes ... 71
Tabel 15 Contoh tabel penentuan panjang maksimum pipa lateral dan
pipa manifold dengan tipe penetes A ... 75
Tabel 16 Ukuran sub"unit irigasi tetes pada JIAT dangkal ... 78
Tabel 17 Rangkuman hasil dan hasil validasi pendugaan
panjang lateral dan panjang dengan jaringan syaraf
tiruan ... 80
Tabel 18 Nilai dan penerapan
irigasi tetes pada JIAT dangkal ……… 83
Tabel 19 Hasil perhitungan IRR ( 2 musim) penerapan
Halaman
Gambar 1 Kilas"jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes ………… 7
Gambar 2 Diagram alir perumusan masalah ……….…………... 9
Gambar 3 Penampang melintang tipe sumur gravitasi pada tanah
homogen ………... 12
Gambar 4 Skema jaringan irigasi airtanah dangkal ... 13
Gambar 5 Komponen dan tata letak tipikal sistem irigasi tetes ………….. 14
Gambar 6 Prosedur rancangan irigasi tetes ... 18 Gambar 7 Distribusi tekanan pada sub unit ... 19
Gambar 8 Hubungan tekanan dan variasi debit penetes ... 19
Gambar 9 Hubungan antara kecepatan spesifik, bentuk impeller,
efisiensi, dan tipe pompa ...
22
Gambar 10 Kurva debit" pada sambungan pompa dengan sumur ... 23
Gambar 11 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran ... 28
Gambar 12 Pengaruh terhadap titik impas apabila biaya tidak tetap per
unit berkurang ...
32
Gambar 13 Kerangka pemikiran dan lingkup penelitian ... 35
Gambar 14 Grafik penentuan debit pemompaan optimum ... 43
Gambar 15 Skema perkiraan jari"jari pengaruh ... 47 Gambar 16 Skema rasio Qa/Qcdan rasio Ha/Hspada kurva H"Q pompa .... 49
Gambar 17 Penampang melintang lahan tanaman padi sawah dan
hortikultura ...
51
Gambar 18 Nilai SKA dengan skenario pergeseran jadwal tanam ... 53
Gambar 19 Variasi nilai LLIpotdengan skenario pola tanam dan efisiensi irigasi ...
57
Gambar 20 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran di lokasi
penelitian ...
61
Gambar 21 Nomogram penentuan nilai LLIpotpenerapan irigasi tetes pada
JIAT dangkal ...
63
Gambar 22 Nomogram penentuan nilai LLIpotpenerapan irigasi tetes pada
JIAT dangkal sesuai dengan lama operasi (Ta) dengan nilai Ud=0,6 l/det.ha ...
65
Gambar 23 Nomogram penentuan lama irigasi sesuai dengan debit
penetes dengan spasi penetes 0,5mx0,5m, Ud=0,6 l/det.ha ....
Gambar 24 Nomogram penentuan LBI penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal dengan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m ……...
67
Gambar 25 Grafik hasil perhitungan jumlah pemberian irigasi dan interval
irigasi ...
68
Gambar 26 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan debit
penetes(Øl= 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ...
72
Gambar 27 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan tekanan kerja
penetes (Øl= 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ...
72
Gambar 28 Grafik hubungan antara panjang manifold dengan tekanan
kerja (Øl= 13mm; Ha=3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes=0,5 m) ...
73
Gambar 29 Contoh nomogram untuk menentukan ukuran pipa manifold
dan pipa lateral ...
76
Gambar 30 Skema tata letak irigasi tetes pada JIAT dangkal ... 78 Gambar 31 Sensitivitas nilai titik impas luas areal irigasi tetes pada JIAT
dangkal terhadap penurunan keuntungan usahatani ...
84
Gambar 32 Sensitivitas nilai IRR penerapan irigasi tetes pada JIAT
dangkal terhadap penurunan usahatani ………..
86
ac persentase reduksi tenaga akibat elevasi lokasi dan iklim (persamaan 16)
d kedalaman kotor maksimum air irigasi yang harus diberikan setiap aplikasi,
mm (persamaan 32, 33, 35)
dn kedalaman bersih air irigasi yang diberikan per irigasi untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif tanaman, mm (persamaan 31)
dx kedalaman bersih maksimum air per irigasi, mm (persamaan 29, 30)
fa Interval irigasi aktual, hari (persamaan 31, 35)
fr faktor untuk menjaga bilamana tenaga penggerak beroperasi terus"menerus
pada kapasitas maksimum = 1,1 – 1,2 (persamaan 16)
fx interval irigasi maksimum, hari (persamaan 30)
g percepatan gravitasi = 9,81 m/det2(persamaan 16)
h ketinggian elevasi air sumur, diukur dari dasar/formasi kedap, L (persamaan
1)
h total dinamik " TDH, m (persamaan 15, 16)
i tingkat suku bunga yang berlaku (persamaan 39, 40, 41, 42)
kc koefisien tanaman (persamaan 19)
ky nilai faktor respon hasil tanaman
m nomor urut data setelah data diurut dari yang terbesar ke data yang terkecil
(persaman 22)
n jam penyinaran aktual hasil pengukuran, jam/hari (persamaan 21)
n jumlah tahun pengamatan (persaman 22)
n jumlah tahun (persamaan 39, 40, 41, 42)
n jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 37)
P faktor tanaman, yaitu fraksi air tanah tersedia yang siap digunakan untuk
evapotranspirasi tanaman (persamaan 28)
q debit penetes, l/jam (persamaan 5)
r jari"jari sumur, L (persamaan 1)
t tahun ke 1, 2, 3, ...., n (persamaan 39, 40, 41, 42)
x eksponen debit penetes (persamaan 5)
A luas lahan yang akan diirigasi, ha (persamaan 36)
Bt manfaat tahun ke" (persamaan 39, 40, 41)
C faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata"rata dan bulan
(persamaan 20)
Ct biaya tahun ke" (persamaan 39, 40, 41`)
D diameter pipa, mm
E beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi, m (persamaan 14)
Ea efisiensi pemberian air, % (persamaan 24, 26)
Ec efisiensi penyaluran air irigasi, % (persamaan 23, 26)
Ef efisiensi irigasi (persamaan 17, 18, 26, 43)
Ep efisiensi pompa (persamaan 15)
Eu efisiensi pemakaian air, % (persamaan 25, 26)
Es efisiensi irigasi musiman, % (persamaan 3, 4)
ETc evapotranspirasi tanaman, mm/hari (persamaan 17, 18, 19)
ETo evapotranspirasi acuan, mm/hari (persamaan19, 20)
ETact evapotranspirasi aktual, mm/hari ETcrop evapotranspirasi potensial, mm/hari
EU keseragaman emisi, % (persamaan 3, 4, 32)
F biaya tetap, Rp/tahun (persamaan 37, 38)
G volume kotor air irigasi yang diberikan per tanaman per operasi, l/hari
(persamaan 33, 34)
H ketinggian diatas dasar/formasi kedap, L (persamaan 1)
H tekanan kerja pada penetes, m (persamaan 5)
Ha tekanan pompa aktual, m
Hf1 kehilangan akibat gesekan sepanjang pipa penyaluran dan distribusi,
m (persamaan 14)
Hf2 kehilangan pada sub unit (m), besarnya 20 % dari Pa (persamaan 14)
Hm kehilangan pada sambungan"sambungan dan katup, m (persamaan
14)
Hn tekanan yang memberikan debit penetes qndengan EU rancangan, m
(persamaan 6)
Hs untuk faktor keamanan (m), besarnya 20 % dari total kehilangan
(persamaan 14)
Hs spesifikasi pompa, m
Hv (m), besarnya 0,3 m (persamaan 14)
In laju pemberian air irigasi, mm/jam (persamaan 35)
IR air untuk penyiapan lahan, mm/hari (persamaan 17)
IRR , %
IUCN % % &
IWR ' (kebutuhan air irigasi, mm
JIAT jaringan irigasi airtanah
K konduktivitas hidrolik, L/T (persamaan 1)
Kd koefisien debit, suatu konstanta yang mencirikan suatu penetes (persamaan
5)
Kt pada tahun"tahun awal ketika arus kas negatif
(persamaan 42)
LR ' kebutuhan air irigasi untuk pencucian media tanam,
mm
LRt rasio kebutuhan pencucian pada irigasi tetes (persamaan 4)
LAT luas areal terpengaruh, ha
LBI luas blok irigasi
LLIpot luas layanan irigasi potensial, ha (persamaan 43)
MT musim tanam
MAD fraksi pengurangan air tanah yang diijinkan untuk keperluan manajemen
Irigasi (persamaan 29)
N maksimum jam penyinaran yang memungkinkan, jam/hari (persamaan 21)
Np jumlah emiter per tanaman (persamaan 34)
Ns jumlah stasiun dioperasikan (persamaan 36)
Nt setiap tahun setelah arus masuk positif (persamaan
42)
NFR kebutuhan air irigasi, mm/hari (persamaan 17, 18)
P perkolasi, mm/hari (persamaan 17)
P probabilitas, % (persaman 22)
P harga jual, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
Pd persentase permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi tanaman pada
siang hari, % (persamaan 2)
Pd tenaga yang diperlukan, kW (persamaan 15, 16)
Pw persentase areal yang terbasahi, % (persamaan 29)
Q debit pompa, m3/det (persamaan15, 16)
Qa Debit pemompaan aktual, l/det
Qc kapasitas pemompaan, l/det
Qs debit sumur, l/det
Qs kapasitas sistem yang dibutuhkan, l/det (persamaan 36)
Qsa kapasitas sumber air, l/det
Qopt debit pemompaan optimum, l/det (persamaan 43)
R jari"jari pengaruh, L (persamaan 1)
R penerimaan, Rp/tahun (persamaan 37)
Ra radiasi eksternal dalam ekivalen evapotranspirasi, mm/hari (persamaan 21)
RAW ; air tanah siap tersedia, mm/m kedalaman tanah (persamaan 28)
Rs radiasi matahari, mm/hari (persamaan 20)
Sc , m2/hari
Se jarak antar penentes dalam satu lateral, m (persamaan 36)
Sl jarak antar lateral, m (persamaan 36)
Sp, Sr jarak tanaman, m x m (persamaan 33)
Sfc kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27) (persamaan 27)
Swp kadar air tanah pada kondisi titik layu permanen, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27)
SH beda elevasi sumber air dengan pompa, m (persamaan 14)
SKA satuan kebutuhan air irigasi, l/det.ha (persamaan 43)
T titik impas jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 38)
Ta lama irigasi selama masa penggunaan puncak jam/hari (persamaan 34, 35)
Td laju transpirasi harian rata"rata pada bulan dengan penggunaan air
tanaman puncak dengan irigasi tetes, mm/hari (persamaan 2, 30, 31)
TR rasio transmisi pada periode penggunaan puncak (persamaan 32)
Tr rasio transmisi musiman (persamaan 4)
TAW ; total air tanah tersedia, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27, 28)
Ud perkiraan konvensional rata"rata laju penggunaan air konsumtif harian pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak untuk tanaman dengan kanopi penuh, mm/hari (persamaan 2)
V biaya tidak tetap, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
W konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian (persamaan 20)
Wa kapasitas tanah menahan air, mm/m (persamaan 29)
Wi jumlah air yang dialirkan dari sumber air, l/det (persamaan 23)
Ws jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran selama pemberian air,
l/det (persamaan 24)
Wu jumlah air yang digunakan oleh tanaman (persamaan 25)
WT waktu tanam
WLR air untuk penggantian lapisan, mm/hari (persamaan 17)
Z kedalaman perakaran tanaman, m (persamaan 29)
Øl diameter pipa lateral, mm
Øm diameter pipa , mm
OHl variasi tekanan pada pipa lateral, m
OHm variasi tekanan pada pipa , m
OHs variasi tekanan yang diijinkan pada sub unit yang akan memberikan
nilai EU yang diinginkan, m (persamaan 6)
η efisiensi pompa yang diharapkan (persamaan 16)
ηd efisiensi tenaga penggerak (persamaan 16)
ηred efisiensi reduksi = 0,96 " 0,98 (persamaan 16)
π konstanta = 3,14 (persamaan 1)
!" # $%
Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai swasembada pangan khususnya beras, melalui pembangunan jaringan irigasi yang meliputi program"program rehabilitasi, pembangunan prasarana irigasi baru, dan pencetakan sawah. Saat ini terdapat lebih dari 5 juta hektar sawah irigasi, terdiri dari sawah irigasi teknis, semi teknis, dan sawah irigasi sederhana (Departemen Pekerjaan Umum 2007). Namun demikian masih terdapat ratusan ribu hektar lahan yang tidak dimanfaatkan, yang tersebar di Pulau Jawa dan daerah lainnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain adalah kondisi topografi lahan dan sifat fisik tanah yang tidak memungkinkan untuk pengembangan irigasi permukaan, kondisi iklim wilayah yang relatif kering, serta debit sumber air yang terbatas.
Pemerintah juga telah mengembangkan jaringan irigasi airtanah (JIAT) di beberapa provinsi, di antaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Namun demikian tidak semua wilayah mampu memanfaatkan JIAT tersebut secara optimal. Hal ini karena pembangunan JIAT tidak diikuti dengan perbaikan teknologi dan manajemen budidaya pertanian dan sistem irigasi. Pemanfaatan airtanah untuk irigasi perlu didukung dengan penerapan pola tanam yang optimum dan pengelolaan air irigasi di tingkat usahatani (Departemen Pekerjaan Umum 1994).
Di Indonesia, potensi airtanah untuk irigasi sebagian besar terletak di Provinsi Jawa Timur, dengan areal layanan irigasi seluas 108,000 ha atau 64.3% dari total areal irigasi airtanah secara nasional. Sekitar 61% akifer airtanah dangkal dimanfaatkan untuk irigasi melalui pembangunan sumur"sumur bor atau sumur"sumur pantek Hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Pertanian (1998) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi belum memberikan manfaat yang maksimal.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi irigasi JIAT dangkal di Indonesia sekitar 60%. Menurut hasil penelitian Harjoko (1998), efisiensi irigasi JIAT dangkal di Kabupaten Madiun sebesar 59%, meliputi efisiensi penyaluran irigasi dengan sistim saluran terbuka sebesar 91 % dan efisiensi aplikasi irigasi dengan sistim alur sebesar 65 %. Hasil studi Departemen
Pertanian (1998) menunjukkan bahwa dari segi kecukupan air irigasi, rata"rata persentase kecukupan air pada JIAT dangkal yang tersebar di 22 kabupaten berkisar antara 36 – 84% pada musim tanam ke"dua (MT"2) dan 40 – 83% pada musim tanam ke"tiga (MT"3).
Di samping nilai efisiensi irigasi yang relatif rendah, kinerja JIAT dangkal juga ditunjukkan oleh debit pemompaan yang umumnya lebih kecil dari debit optimum sumur. Dari segi pemanfaatan airtanah untuk irigasi, debit pemompaan tersebut menunjukkan bahwa luas layanan irigasi aktual cenderung lebih kecil dari luas potensial areal yang dapat diairi. Parameter kinerja JIAT dangkal yang
juga penting diperhatikan adalah tersedianya tekanan pompa air yang telah
terpasang. Sebagian besar pompa air pada JIAT dangkal dioperasikan pada tingkat debit" yang belum optimal (Departemen Pertanian 1998).
Hasil uji pemompaan di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa nilai jari"jari pengaruh sumur bervariasi antara 38 – 1246 m. Dilihat dari segi konservasi airtanah, terdapat indikasi bahwa pengembangan sumur dangkal di beberapa wilayah tersebut cenderung semakin menurunkan muka airtanah. Hal ini karena jarak antar sumur yang ada relatif lebih kecil dibanding dengan jari"jari pengaruh sumur (Susatya 1998). Selain disebabkan oleh debit pemompaan yang berlebihan serta jarak antar sumur yang relatif dekat, penurunan muka airtanah dangkal juga diakibatkan oleh adanya kerusakan daerah tangkapan hujan, terutama akibat berkurangnya vegetasi penutup lahan di daerah hulu.
Sejak tahun 1996, di beberepa wilayah di Kabupaten Nganjuk " Jawa
Timur, pompa pada sumur dalam ( ) harus diturunkan 1 – 3 meter di
bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan airtanah pada musim kemarau. Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur
dangkal ( ) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena
kedalaman muka air sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter. Eksploitasi airtanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum)
Hasil studi Departemen Pertanian (1998) merekomendasikan perlunya upaya untuk meningkatkan kinerja JIAT dangkal, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumur dan pompa air, peningkatan efisiensi irigasi serta pengaturan pola tanam. Salah satu upaya peningkatan efisiensi irigasi yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan teknologi irigasi hemat air. Dalam penerapan teknologi irigasi tersebut, di samping mempertimbangkan faktor
kecukupan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman, juga harus
mempertimbangkan faktor konservasi airtanah, supaya pemanfaatannya dapat berkelanjutan.
Penerapan teknologi irigasi di beberapa negara telah mengalami
pergeseran seiring dengan berbagai masalah pengelolaan air irigasi. Sistem
irigasi saluran terbuka telah berubah kearah sistem perpipaan. Sistem irigasi
permukaan (genangan, , dan alur) berubah kearah sistem irigasi
bertekanan, yaitu irigasi curah atau irigasi tetes. Di Indonesia, efisiensi irigasi dengan sistem genangan sekitar 40 – 45%, sedangkan dengan sistem alur sekitar 60 " 65%. Di masa mendatang, efisiensi irigasi di Indonesia harus dapat ditingkatkan untuk mengantisipasi kekurangan air irigasi selama musim kemarau. Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes diharapkan dapat meningkatkan efisiensi irigasi masing"masing sekitar 75% dan 90%. (Departemen Pekerjaan Umum 1994).
Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes di Indonesia belum berkembang
secara luas, yaitu masih terbatas pada usahatani komersial. Dilihat dari
perkembangannya, sistem irigasi curah relatif lebih awal digunakan dibanding
dengan irigasi tetes. Penerapan teknologi irigasi bertekanan ini memerlukan
dukungan dalam pemilihan jenis tanaman, masa tanam, dan pengelolaan air
irigasi di tingkat usahatani. Pemilihan jenis tanaman harus memperhatikan
prospek pemasaran, yaitu mempunyai nilai ekonomi tinggi dan jaminan pemasaran.
Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perhatian yang serius terhadap komoditas pertanian non beras, yang tidak terbatas pada komoditas pendukung industri pertanian (seperti tanaman perkebunan dan palawija), namun juga yang mempunyai peluang pasar domestik maupun antar pulau. Dukungan pemerintah juga dinyatakan dengan adanya Undang"Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, serta upaya pemerintah dalam
mengelola komoditas unggulan di setiap wilayah, khususnya dalam perbaikan mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah tersebut akan menjadi faktor penting dalam
penerapan sistem irigasi tetes. Hal ini karena sistem irigasi tetes dapat
digunakan sebagai alternatif untuk:
1. Mendayagunakan lahan tidur yang mempunyai keterbatasan debit sumber
air menjadi lahan produktif
2. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber"sumber air yang telah
dikembangkan
3. Menyelesaikan masalah konflik kepentingan pemakaian air di masa
mendatang
Hasil studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) menyatakan bahwa penerapan irigasi tetes di masa mendatang merupakan salah satu alternatif untuk mengantisipasi upaya peningkatan efisiensi pemakaian air irigasi. Ditinjau dari aspek teknis, yaitu karakteristik fisik lahan, agroklimat dan sumber air, sistem irigasi tetes mempunyai prospek untuk dikembangkan di beberapa wilayah yang tidak terjangkau (tidak memungkinkan digunakannya) sistem irigasi gravitasi, dan atau di beberapa wilayah dengan keterbatasan sumber air. Namun demikian untuk penerapannya di tingkat petani masih perlu perintis karena adanya sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan.
Beberapa kendala penerapan sistem irigasi tetes di tingkat petani adalah terbatasnya pengetahuan teknis dan manajemen serta kemampuan finansial. Oleh karena itu, studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) juga memberikan rekomendasi bahwa penerapan irigasi tetes di tingkat petani di Indonesia perlu dirintis dan dikembangkan secara bertahap melalui pengkajian lebih mendalam. Salah satunya adalah perlu dilakukan penelitian untuk menguji kriteria pengembangan serta mendapatkan kriteria rancangan irigasi tetes, termasuk rancangan tata letak dan rancangan hidrolika.
Penerapan sistem irigasi tetes tergolong relatif baru di Indonesia,
khususnya pada tingkat petani. Oleh karena itu, petani (bahkan mungkin
petugas penyuluh irigasi/pertanian) belum mengenal sistem irigasi ini.
Keterbatasan pengetahuan teknis sistem irigasi ini merupakan salah satu kendala yang secara bertahap perlu diatasi. Penerapan irigasi tetes memerlukan
optimasi luasan areal yang harus dilayani, sedangkan kepemilikan/pengusahaan lahan garapan petani cenderung tidak seragam dan relatif sempit.
Secara teoritis, efisiensi irigasi tetes lebih tinggi dibanding dengan efisiensi
irigasi permukaan maupun irigasi curah, yaitu lebih besar dari 95%. Hal ini
karena di samping dapat mengurangi kehilangan air berupa perkolasi dan limpasan, sistem irigasi tetes hanya memberikan air pada daerah perakaran, sehingga mengurangi kehilangan air irigasi pada bagian lahan yang tidak efektif untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian dalam aplikasinya, nilai efisiensi irigasi tetes yang relatif tinggi hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua syarat, yaitu rancangan yang benar dan operasi yang tepat.
Beberapa hasil penelitian tentang efisiensi irigasi tetes menunjukkan bahwa penerapan irigasi tetes di Indonesia belum mencapai efisiensi irigasi yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penerapan irigasi tetes di Indonesia:
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman melon di Bogor sebesar 17% (Departemen PU 1994)
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dengan sistem hidroponik di Bandung sebesar 74"79% (Apriliani 2005)
Efisiensi irigasi tetes di Daerah Irigasi Seropan, Gunung Kidul – DIY sebesar 72"82% (Widayanti 2003)
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dan paprika dengan
sistem hidoponik di Bogor, masing"masing sebesar 67% dan 70%
(Nuruszaman 1996)
Efisiensi irigasi tetes ( ) pada sistem aeroponik di Bogor sebesar
91"97% (Prastowo . 2007c)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1994), pada tahap awal
pengembangan, sistem irigasi tetes dapat diterapkan pada daerah yang memenuhi kriteria pengembangan, yaitu di Provinsi"provinsi Sumatera Barat, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, dan Irian Jaya. Kriteria pengembangan tersebut meliputi aspek
agroklimat, sumberdaya lahan, sumber air, dan aspek kelembagaan usahatani. Salah satu kriteria pengembangan yang penting diperhatikan adalah adanya
diterapkan pada JIAT yang telah dikembangkan oleh petani maupun oleh pemerintah.
Beberapa topik penelitian tentang penerapan irigasi tetes di Indonesia telah mulai dilakukan sejak tahun 1990an, di antaranya mengenai prospek penerapan irigasi tetes, kinerja jaringan, spesifikasi teknis penetes, hidrolika pipa dan pompa, serta penelitian tentang faktor"faktor rancangan yang berkaitan dengan
hubungan tanah, air dan tanaman. Kilas jejak ( ) penelitian tentang
penerapan irigasi tetes disajikan pada Gambar 1 (Prastowo . 2007).
Berkaitan dengan upaya peningkatan efisiensi irigasi JIAT dangkal melalui penerapan irigasi tetes, maka penelitian tentang kriteria rancangan, merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebagai upaya persiapan dalam penerapan teknologi irigasi tetes di masa mendatang.
Kabupaten Nganjuk dipilih sebagai lokasi penelitian, dengan pertimbangan bahwa daerah ini tergolong wilayah dengan iklim relatif kering. Selain itu, pemanfaatan airtanah untuk irigasi di daerah ini relatif telah berkembang dengan baik untuk budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan jaringan irigasi airtanah (JIAT) di Kabupaten Nganjuk mulai dilakukan secara intensif pada
Tahun 1975, melalui pembuatan sumur"sumur maupun sumur"sumur
. Jumlah sumur pompa airtanah di Kabupaten Nganjuk sebanyak 5.033 unit yang tersebar di 20 wilayah kecamatan (Lampiran 1). Hasil penelitian
Liyantono . (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal di
sebagian wilayah di Kabupaten Nganjuk telah melebihi kemampuan akifer.
Menurut Linsley )(1986) apabila beberapa sumur saling berdekatan, kerucut
depresinya akan saling melewati, sehingga penurunan muka airtanah semakin besar dan debit sumur semakin kecil.
Menurut Prastowo )(2007), pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi
di Kabupaten Nganjuk pada umumnya dilakukan pada musim kemarau, yaitu musim tanam ke"dua (MT"2) dan musim tanam ke"tiga (MT"3). Tanaman yang biasa dibudidayakan pada musim tanam tersebut adalah palawija (kedelai, jagung) dan hortikultura (cabai, bawang merah, semangka, melon, sayuran). Rata"rata curah hujan tahunan di Kabupaten Nganjuk sebesar 2.285 mm/tahun dengan 90 hari hujan per tahun. Curah hujan rata"rata bulanan sebesar 190,4 mm/bulan, dengan fluktuasi yang relatif tinggi sepanjang tahun. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, tipe iklim di Kabupaten Nganjuk termasuk tipe C3,
dengan 5 bulan kering (Juni–Oktober) dan 6 bulan basah (November–April). Hal ini berarti bahwa wilayah ini hanya dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija dalam setahun, tetapi hal tersebut tergantung dari persediaan air yang ada.
Kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT Kinerja JIAT
• Pola tanam • Efisiensi irigasi
Kinerja jaringan irigasi tetes yang telah ada • Keseragaman
• Efisiensi irigasi
Wilayah potensial untuk penerapan irigasi tetes di Indonesia Hidrolika pompa
(H, Q, NPSH, Eff)
Spesifikasi teknis penetes (Ha, Qa, Kd, x)
Hidrolika pipa (H, Q, Dia, L)
Hubungan tanah, air, dan tanaman
(pF curve, TAW, MAD, RAW, Rz, ETc, ky)
Sebelum 1990 1990 " 1995 1995 " 2000 Setelah 2000
*
Gambar 1. Kilas"jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes
&'($ "
Penerapan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi JIAT dangkal yang