Doktor
Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk" Jawa Timur adalah karya saya dengan
arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Agustus 2007
Prastowo
MURTILAKSONO.
The exploitation of groundwater for irrigation in Indonesia has not yet yield even maximum benefit relatively, necessitating efforts to increase the performance of groundwater irrigation networks. One of these efforts is the improvement of irrigation efficiency through the application of frugal water technology in irrigation. The objective of this research is to develop a model for designing trickle irrigation within sustainable shallow groundwater irrigation systems that can ensure an adequate supply of water for plant growth, while taking into consideration the conservation of shallow groundwater, the need for a high level of irrigation efficiency, and financial feasibility.
The technical performance of shallow groundwater irrigation schemes (SGWIS) has been evaluated by using the parameters of well efficiency, pump operation, and irrigation efficiency. Research indicates that well efficiency is around 55"77% with optimum discharge of 4–12 l/s. Relatively, the performance of pump operation was not optimum, and the irrigation efficiency varied at 49"81%. Based on existing criteria, the technical performance of SGWIS in the research area was relatively better than in other regions of Indonesia. However, it might be possible to enhance performance, either by the improvement of pump operation management, the conveyance system, or the technology of irrigation application.
The design criteria of trickle irrigation have been developed, and include the water sufficiency criterion, the hydraulics criterion, and the financial criterion. These criteria could be developed as a design standard for trickle irrigation systems in shallow groundwater irrigation schemes.The results of analysis indicate that the water requirement values for secondary/horticultural crops are 0.60 – 0.67 l/s.ha. In order to achieve an irrigation coverage which is greater or equal to the influenced area, the efficiency of the shallow groundwater irrigation network must be increased by a minimum of 80%. The total provision of irrigation water varied between 4.9 and 20.7 mm per application, with the interval of irrigation at 1 – 3 days. The potential irrigation coverage area ranges from 4.5 to 13.5 ha/well.
KUKUH MURTILAKSONO.
Pemanfaatan airtanah untuk irigasi di Indonesia relatif belum memberikan manfaat yang maksimum, di antaranya diperlukan upaya peningkatan kinerja jaringan irigasi airtanah. Salah satu upaya tersebut adalah peningkatan efisiensi irigasi, melalui penerapan teknologi irigasi hemat air. Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Tujuan khusus penelitian adalah untuk 1) mengembangan kriteria kecukupan air untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air bagi pertumbuhan tanaman dengan mempertimbangkan konservasi airtanah dangkal, 2) mengembangkan kriteria hidrolika untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang mempunyai efisiensi irigasi tinggi, dan 3) mengembangkan kriteria finansial untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang layak secara finansial.
Kinerja teknis jaringan irigasi airtanah (JIAT) dangkal telah dievaluasi dengan parameter efisiensi sumur, operasi pompa, dan efisiensi irigasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi sumur berkisar antara 55"77% dengan debit pemompaan optimum sebesar 4 l/det di Desa Pehserut dan 12 l/det di Desa Kapas. Kinerja pengoperasian pompa relatif belum optimum, dan efisiensi irigasi bervariasi antara 49"81%. Kinerja teknis JIAT dangkal di lokasi penelitian relatif lebih baik dibanding dengan daerah lain di Indonesia. Namun demikian, kinerja JIAT dangkal tersebut masih dapat ditingkatkan melalui perbaikan pengelolaan pompa, perbaikan sistem penyaluran air irigasi maupun teknologi aplikasi irigasi.
Model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang
berkelanjutan telah dapat dikembangkan dalam bentuk koefisien, tabel
nomogram, dan program komputer. Dengan model rancangan tersebut, perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dapat dilakukan dengan lebih mudah dan sistematis, untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang
dapat menjamin kecukupan air irigasi, mengendalikan muka airtanah,
mempunyai efisiensi irigasi tinggi, dan layak secara finansial. Kriteria rancangan irigasi tetes yang telah dikembangkan meliputi kriteria kecukupan air, kriteria hidrolika, dan kriteria finansial. Kriteria rancangan tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi referensi rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal.
menunjukkan bahwa dengan spesifikasi penetes, Ha= 50"150 kPa dan qa= 1,41" 2,42 l/jam, diameter pipa lateral yang sesuai dengan bentuk dan ukuran petakan lahan sawah pada JIAT dangkal di lokasi penelitian adalah 13 mm dan 19 mm.
Dengan diameter pipa lateral tersebut, diameter pipa yang memenuhi
persyaratan hidrolika adalah 40 mm, 50 mm dan 65 mm.
Kelayakan finansial penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal tergantung
pada luas layanan irigasi (LLI) dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Titik
impas areal layanan irigasi tetes untuk tanaman semangka adalah seluas 3,4 ha di Desa Pehserut dan 10,19 ha di Desa Kapas, sedangkan untuk tanaman cabe seluas 2,84 ha di Desa Pehserut dan 8,53 ha di Desa Kapas. Pada tingkat LLI
sebesar 13,5 ha, nilai (IRR) penerapan irigasi tetes untuk
tanaman cabe dan semangka masing"masing sebesar 55% dan 42%.
Dengan batasan persyaratan teknis dan kondisi kepemilikan lahan oleh petani, kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal hanya dapat diterapkan apabila pengelolaan sumur/pompa dilakukan secara kelompok. Hal ini berarti bahwa penerapan model rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal masih memerlukan pengaturan kelembagaan pengelolaan di tingkat usahatani.
Nama : Prastowo
NIM : F.161030112
Program Studi : Ilmu Keteknikan Pertanian
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, MS
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Keteknikan Pertanian
Prof.Dr.Ir. Armansyah H. Tambunan Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
diselesaikan. Disertasi ini berjudul ”Pengembangan Model Rancangan Irigasi Tetes
pada Sistem Irigasi Airtanah Dangkal yang Berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur”, yang merupakan hasil penelitian penulis selama tahun 2005 – 2006.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyempurnakan metode perencanaan dan
perancangan irigasi tetes, untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi airtanah dangkal
yang berkelanjutan.
Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada berbagai pihak
yang telah membantu penyusunan disertasi ini, antara lain kepada:
1. Prof.Dr.Ir. Soedodo Hardjoamidjojo, MSc selaku ketua Komisi Pembimbing
2. Prof.Dr.Ir. Bambang Pramudya, M.Eng selaku anggota Komisi Pembimbing
3. Dr.Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku anggota Komisi Pembimbing
4. Dr.Ir. Nora H.Pandjaitan, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup
5. Dr.Ir. Basuki Hadimoelyono, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka
6. Dr.Ir. Surya Darma Tarigan, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka
7. Bupati Kabupaten Nganjuk
8. Rektor Institut Pertanian Bogor
9. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
10. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
11. Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB
12. Ketua Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB
13. Kepala Bagian Teknik Tanah dan Air, Dep TEP Fateta IPB
14. Isteriku Nurlaela Mustafa, serta anak"anakku Isa Budiwan dan Musa Darmawan
15. Karib kerabat dan rekan"rekan penulis: Pak Kudang, Pak Suhatmono, Pak
Sukarsono, Pak Poerwantono, Sutoyo, Sarwoto, Supriyanto, Liyantono, Gerald,
Sanz, dan Slamet.
Disertasi ini dipersembahkan kepada orang tua penulis, alm Bapak Sailillah
Hardjosuwito dan almh Ibu Sianah, serta mertua penulis alm Bapak Mustafa Zahri dan
Ibu Zubaidah, juga kepada isteri dan anak"anakku tersayang. Semoga disertasi ini
dapat bermanfaat bagi pembangunan pertanian dan pengairan di Indonesia.
Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 17 Februari 1958 sebagai anak
ke"dua dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Sailillah Hardjosuwito dan Ibu Sianah.
Tahun 1975 penulis lulus dari SMA Negeri Nganjuk dan pada tahun 1976
melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Mekanisasi Pertanian
diperoleh pada tahun 1980 di Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1989 penulis melanjutkan studi S2 di bidang
teknik irigasi di !
" , dan lulus pada bulan Juli tahun 1991. Tahun 2003 penulis melanjutkan studi program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis menikah pada tanggal 5 Januari 1986 dengan Nurlaela Mustafa, dan
dikaruniai dua anak laki"laki, yaitu Isa Budiwan (21 tahun) dan Musa Darmawan (12
tahun).
Sejak lulus pendidikan sarjana hingga tahun 1986, penulis bekerja di proyek"
proyek transmigrasi, perusahaan konsultan pertanian, dan kontraktor pembukaan
lahan perkebunan. Mulai tahun 1986 penulis menjadi staf pengajar pada
Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, dan mengajar mata kuliah Teknik Irigasi dan Drainase, Rancangan Irigasi
Curah dan Irigasi Tetes, Rancangan Prasarana Pengelolaan Lahan dan Air, Teknik
Suplai Air, serta Sistem Manajemen Lingkungan. Selain mengajar, penulis juga aktif
melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, khususnya di bidang pengairan
© Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
# $
DAFTAR ISI ………. ix
DAFTAR TABEL ……… xi
DAFTAR GAMBAR ……… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv
KETERANGAN SIMBOL ……… xvi
I PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ……… 1
1.2. Rasional ... 7
1.3. Tujuan ... 8
1.4. Kebaharuan Penelitian (% ) ... 10
II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1. Airtanah dan Jaringan Irigasi Airtanah ... 11
2.2. Jaringan Irigasi Tetes ... 14
2.2.1. Komponen Irigasi Tetes ... 14
2.2.2. Faktor"faktor Rancangan Irigasi Tetes ... 15
2.2.3. Prosedur Rancangan Irigasi Tetes ... 16
2.3. Pompa Air ... 22
2.4. Kebutuhan Air Irigasi ... 24
2.5. Kelayakan Finansial Proyek Pertanian ... 30
III METODOLOGI ... 34
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34
3.2. Pendekatan Konseptual ... 34
3.3. Metode Pengumpulan Data ... 35
3.4. Metode Analisis Data ... 38
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
4.1. Kinerja Jaringan Irigasi Airtanah Dangkal ... 41
4.1.1. Karakteristik Akifer dan Sumur ... 41
4.1.2. Pompa Air dan Areal Layanan Irigasi ………... 45
4.1.3. Pola Tanam dan Aplikasi Irigasi ……… 49
4.2. Kriteria Rancangan Irigasi Tetes pada Jaringan Irigasi
Airtanah Dangkal ………. 59
4.2.1. Kriteria Kecukupan Air Irigasi ……… 60
4.2.2. Kriteria Hidrolika Pipa dan Hidrolika Pompa ... 70
4.2.3. Kriteria Kelayakan Finansial ... 79
4.2.4. Sintesa Kriteria Rancangan Irigasi Tetes ... 86
V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
5.1. Kesimpulan ... 90
5.2. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
Halaman
Tabel 1 Jari"jari pengaruh sumur
………
13
Tabel 2 Koefisien tanaman (kc) palawija... 25
Tabel 3 Metode pengumpulan data ……… 37
Tabel 4 Kriteria rancangan hipotetik sistem irigasi tetes ... 40
Tabel 5 Hasil uji pemompaan ... 41
Tabel 6 Karakteristik akifer dan sumur ... 42
Tabel 7 Nilai LLIactdan LAT ………. 46
Tabel 8 Jumlah pemberian air irigasi aktual ……… 51
Tabel 9 Hasil perhitungan satuan kebutuhan air (SKA) ... 52
Tabel 10 Rekapitulasi perhitungan efisiensi irigasi ... 54
Tabel 11 Perbandingan nilai LLIact, LLIpot, dan LAT ……… 55
Tabel 12 Hasil perhitungan biaya irigasi ... 58
Tabel 13 Nilai beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal dari segi kecukupan air ……… 63
Tabel 14 Spesifikasi teknis penetes ... 71
Tabel 15 Contoh tabel penentuan panjang maksimum pipa lateral dan pipa manifold dengan tipe penetes A ... 75
Tabel 16 Ukuran sub"unit irigasi tetes pada JIAT dangkal ... 78
Tabel 17 Rangkuman hasil dan hasil validasi pendugaan panjang lateral dan panjang dengan jaringan syaraf tiruan ... 80
Tabel 18 Nilai dan penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal ……… 83
Halaman
Gambar 1 Kilas"jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes ………… 7
Gambar 2 Diagram alir perumusan masalah ……….…………... 9
Gambar 3 Penampang melintang tipe sumur gravitasi pada tanah
homogen ………... 12
Gambar 4 Skema jaringan irigasi airtanah dangkal ... 13
Gambar 5 Komponen dan tata letak tipikal sistem irigasi tetes ………….. 14
Gambar 6 Prosedur rancangan irigasi tetes ... 18
Gambar 7 Distribusi tekanan pada sub unit ... 19
Gambar 8 Hubungan tekanan dan variasi debit penetes ... 19
Gambar 9 Hubungan antara kecepatan spesifik, bentuk impeller,
efisiensi, dan tipe pompa ...
22
Gambar 10 Kurva debit" pada sambungan pompa dengan sumur ... 23
Gambar 11 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran ... 28
Gambar 12 Pengaruh terhadap titik impas apabila biaya tidak tetap per
unit berkurang ...
32
Gambar 13 Kerangka pemikiran dan lingkup penelitian ... 35
Gambar 14 Grafik penentuan debit pemompaan optimum ... 43
Gambar 15 Skema perkiraan jari"jari pengaruh ... 47
Gambar 16 Skema rasio Qa/Qcdan rasio Ha/Hspada kurva H"Q pompa .... 49
Gambar 17 Penampang melintang lahan tanaman padi sawah dan
hortikultura ...
51
Gambar 18 Nilai SKA dengan skenario pergeseran jadwal tanam ... 53
Gambar 19 Variasi nilai LLIpotdengan skenario pola tanam dan efisiensi irigasi ...
57
Gambar 20 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran di lokasi
penelitian ...
61
Gambar 21 Nomogram penentuan nilai LLIpotpenerapan irigasi tetes pada
JIAT dangkal ...
63
Gambar 22 Nomogram penentuan nilai LLIpotpenerapan irigasi tetes pada
JIAT dangkal sesuai dengan lama operasi (Ta) dengan nilai Ud=0,6 l/det.ha ...
65
Gambar 23 Nomogram penentuan lama irigasi sesuai dengan debit
penetes dengan spasi penetes 0,5mx0,5m, Ud=0,6 l/det.ha ....
Gambar 24 Nomogram penentuan LBI penerapan irigasi tetes pada JIAT dangkal dengan spasi penetes 0,5 m x 0,5 m ……...
67
Gambar 25 Grafik hasil perhitungan jumlah pemberian irigasi dan interval
irigasi ...
68
Gambar 26 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan debit
penetes(Øl= 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ...
72
Gambar 27 Grafik hubungan antara panjang lateral dengan tekanan kerja
penetes (Øl= 13mm; Ha= 3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes = 0,5 m) ...
72
Gambar 28 Grafik hubungan antara panjang manifold dengan tekanan
kerja (Øl= 13mm; Ha=3,5 m; qa=1,41 l/jam; spasi penetes=0,5 m) ...
73
Gambar 29 Contoh nomogram untuk menentukan ukuran pipa manifold
dan pipa lateral ...
76
Gambar 30 Skema tata letak irigasi tetes pada JIAT dangkal ... 78
Gambar 31 Sensitivitas nilai titik impas luas areal irigasi tetes pada JIAT dangkal terhadap penurunan keuntungan usahatani ...
84
Gambar 32 Sensitivitas nilai IRR penerapan irigasi tetes pada JIAT
dangkal terhadap penurunan usahatani ………..
86
ac persentase reduksi tenaga akibat elevasi lokasi dan iklim (persamaan 16)
d kedalaman kotor maksimum air irigasi yang harus diberikan setiap aplikasi,
mm (persamaan 32, 33, 35)
dn kedalaman bersih air irigasi yang diberikan per irigasi untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif tanaman, mm (persamaan 31)
dx kedalaman bersih maksimum air per irigasi, mm (persamaan 29, 30)
fa Interval irigasi aktual, hari (persamaan 31, 35)
fr faktor untuk menjaga bilamana tenaga penggerak beroperasi terus"menerus
pada kapasitas maksimum = 1,1 – 1,2 (persamaan 16)
fx interval irigasi maksimum, hari (persamaan 30)
g percepatan gravitasi = 9,81 m/det2(persamaan 16)
h ketinggian elevasi air sumur, diukur dari dasar/formasi kedap, L (persamaan
1)
h total dinamik " TDH, m (persamaan 15, 16)
i tingkat suku bunga yang berlaku (persamaan 39, 40, 41, 42)
kc koefisien tanaman (persamaan 19)
ky nilai faktor respon hasil tanaman
m nomor urut data setelah data diurut dari yang terbesar ke data yang terkecil
(persaman 22)
n jam penyinaran aktual hasil pengukuran, jam/hari (persamaan 21)
n jumlah tahun pengamatan (persaman 22)
n jumlah tahun (persamaan 39, 40, 41, 42)
n jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 37)
P faktor tanaman, yaitu fraksi air tanah tersedia yang siap digunakan untuk
evapotranspirasi tanaman (persamaan 28)
q debit penetes, l/jam (persamaan 5)
r jari"jari sumur, L (persamaan 1)
t tahun ke 1, 2, 3, ...., n (persamaan 39, 40, 41, 42)
x eksponen debit penetes (persamaan 5)
A luas lahan yang akan diirigasi, ha (persamaan 36)
Bt manfaat tahun ke" (persamaan 39, 40, 41)
C faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata"rata dan bulan
(persamaan 20)
Ct biaya tahun ke" (persamaan 39, 40, 41`)
D diameter pipa, mm
E beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi, m (persamaan 14)
Ea efisiensi pemberian air, % (persamaan 24, 26)
Ec efisiensi penyaluran air irigasi, % (persamaan 23, 26)
Ef efisiensi irigasi (persamaan 17, 18, 26, 43)
Ep efisiensi pompa (persamaan 15)
Eu efisiensi pemakaian air, % (persamaan 25, 26)
Es efisiensi irigasi musiman, % (persamaan 3, 4)
ETc evapotranspirasi tanaman, mm/hari (persamaan 17, 18, 19)
ETo evapotranspirasi acuan, mm/hari (persamaan19, 20)
ETact evapotranspirasi aktual, mm/hari
ETcrop evapotranspirasi potensial, mm/hari
EU keseragaman emisi, % (persamaan 3, 4, 32)
F biaya tetap, Rp/tahun (persamaan 37, 38)
G volume kotor air irigasi yang diberikan per tanaman per operasi, l/hari
(persamaan 33, 34)
H ketinggian diatas dasar/formasi kedap, L (persamaan 1)
H tekanan kerja pada penetes, m (persamaan 5)
Ha tekanan pompa aktual, m
Hf1 kehilangan akibat gesekan sepanjang pipa penyaluran dan distribusi,
m (persamaan 14)
Hf2 kehilangan pada sub unit (m), besarnya 20 % dari Pa (persamaan 14)
Hm kehilangan pada sambungan"sambungan dan katup, m (persamaan
14)
Hn tekanan yang memberikan debit penetes qndengan EU rancangan, m
(persamaan 6)
Hs untuk faktor keamanan (m), besarnya 20 % dari total kehilangan
(persamaan 14)
Hs spesifikasi pompa, m
Hv (m), besarnya 0,3 m (persamaan 14)
In laju pemberian air irigasi, mm/jam (persamaan 35)
IR air untuk penyiapan lahan, mm/hari (persamaan 17)
IRR , %
IUCN % % &
IWR ' (kebutuhan air irigasi, mm
JIAT jaringan irigasi airtanah
K konduktivitas hidrolik, L/T (persamaan 1)
Kd koefisien debit, suatu konstanta yang mencirikan suatu penetes (persamaan
5)
Kt pada tahun"tahun awal ketika arus kas negatif
(persamaan 42)
LR ' kebutuhan air irigasi untuk pencucian media tanam,
mm
LRt rasio kebutuhan pencucian pada irigasi tetes (persamaan 4)
LAT luas areal terpengaruh, ha
LBI luas blok irigasi
LLIpot luas layanan irigasi potensial, ha (persamaan 43)
MT musim tanam
MAD fraksi pengurangan air tanah yang diijinkan untuk keperluan manajemen
Irigasi (persamaan 29)
N maksimum jam penyinaran yang memungkinkan, jam/hari (persamaan 21)
Np jumlah emiter per tanaman (persamaan 34)
Ns jumlah stasiun dioperasikan (persamaan 36)
Nt setiap tahun setelah arus masuk positif (persamaan
42)
NFR kebutuhan air irigasi, mm/hari (persamaan 17, 18)
P perkolasi, mm/hari (persamaan 17)
P probabilitas, % (persaman 22)
P harga jual, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
Pd persentase permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi tanaman pada
siang hari, % (persamaan 2)
Pd tenaga yang diperlukan, kW (persamaan 15, 16)
Pw persentase areal yang terbasahi, % (persamaan 29)
Q debit pompa, m3/det (persamaan15, 16)
Qa Debit pemompaan aktual, l/det
Qc kapasitas pemompaan, l/det
Qs debit sumur, l/det
Qs kapasitas sistem yang dibutuhkan, l/det (persamaan 36)
Qsa kapasitas sumber air, l/det
Qopt debit pemompaan optimum, l/det (persamaan 43)
R jari"jari pengaruh, L (persamaan 1)
R penerimaan, Rp/tahun (persamaan 37)
Ra radiasi eksternal dalam ekivalen evapotranspirasi, mm/hari (persamaan 21)
RAW ; air tanah siap tersedia, mm/m kedalaman tanah (persamaan 28)
Rs radiasi matahari, mm/hari (persamaan 20)
Sc , m2/hari
Se jarak antar penentes dalam satu lateral, m (persamaan 36)
Sl jarak antar lateral, m (persamaan 36)
Sp, Sr jarak tanaman, m x m (persamaan 33)
Sfc kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27) (persamaan 27)
Swp kadar air tanah pada kondisi titik layu permanen, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27)
SH beda elevasi sumber air dengan pompa, m (persamaan 14)
SKA satuan kebutuhan air irigasi, l/det.ha (persamaan 43)
T titik impas jumlah produk yang dihasilkan, unit/tahun (persamaan 38)
Ta lama irigasi selama masa penggunaan puncak jam/hari (persamaan 34, 35)
Td laju transpirasi harian rata"rata pada bulan dengan penggunaan air
tanaman puncak dengan irigasi tetes, mm/hari (persamaan 2, 30, 31)
TR rasio transmisi pada periode penggunaan puncak (persamaan 32)
Tr rasio transmisi musiman (persamaan 4)
TAW ; total air tanah tersedia, mm/m kedalaman tanah
(persamaan 27, 28)
Ud perkiraan konvensional rata"rata laju penggunaan air konsumtif harian pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak untuk tanaman dengan kanopi penuh, mm/hari (persamaan 2)
V biaya tidak tetap, Rp/unit produk (persamaan 37, 38)
W konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian (persamaan 20)
Wa kapasitas tanah menahan air, mm/m (persamaan 29)
Wi jumlah air yang dialirkan dari sumber air, l/det (persamaan 23)
Ws jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran selama pemberian air,
l/det (persamaan 24)
Wu jumlah air yang digunakan oleh tanaman (persamaan 25)
WT waktu tanam
WLR air untuk penggantian lapisan, mm/hari (persamaan 17)
Z kedalaman perakaran tanaman, m (persamaan 29)
Øl diameter pipa lateral, mm
Øm diameter pipa , mm
OHl variasi tekanan pada pipa lateral, m
OHm variasi tekanan pada pipa , m
OHs variasi tekanan yang diijinkan pada sub unit yang akan memberikan
nilai EU yang diinginkan, m (persamaan 6)
η efisiensi pompa yang diharapkan (persamaan 16)
ηd efisiensi tenaga penggerak (persamaan 16)
ηred efisiensi reduksi = 0,96 " 0,98 (persamaan 16)
π konstanta = 3,14 (persamaan 1)
!" # $%
Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan upaya untuk mencapai
swasembada pangan khususnya beras, melalui pembangunan jaringan irigasi
yang meliputi program"program rehabilitasi, pembangunan prasarana irigasi
baru, dan pencetakan sawah. Saat ini terdapat lebih dari 5 juta hektar sawah
irigasi, terdiri dari sawah irigasi teknis, semi teknis, dan sawah irigasi sederhana
(Departemen Pekerjaan Umum 2007). Namun demikian masih terdapat ratusan
ribu hektar lahan yang tidak dimanfaatkan, yang tersebar di Pulau Jawa dan
daerah lainnya. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain
adalah kondisi topografi lahan dan sifat fisik tanah yang tidak memungkinkan
untuk pengembangan irigasi permukaan, kondisi iklim wilayah yang relatif kering,
serta debit sumber air yang terbatas.
Pemerintah juga telah mengembangkan jaringan irigasi airtanah (JIAT) di
beberapa provinsi, di antaranya di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Barat, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Namun demikian
tidak semua wilayah mampu memanfaatkan JIAT tersebut secara optimal. Hal
ini karena pembangunan JIAT tidak diikuti dengan perbaikan teknologi dan
manajemen budidaya pertanian dan sistem irigasi. Pemanfaatan airtanah untuk
irigasi perlu didukung dengan penerapan pola tanam yang optimum dan
pengelolaan air irigasi di tingkat usahatani (Departemen Pekerjaan Umum 1994).
Di Indonesia, potensi airtanah untuk irigasi sebagian besar terletak di
Provinsi Jawa Timur, dengan areal layanan irigasi seluas 108,000 ha atau 64.3%
dari total areal irigasi airtanah secara nasional. Sekitar 61% akifer airtanah
dangkal dimanfaatkan untuk irigasi melalui pembangunan sumur"sumur bor atau
sumur"sumur pantek Hasil studi yang dilakukan oleh Departemen Pertanian
(1998) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi belum
memberikan manfaat yang maksimal.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi irigasi JIAT
dangkal di Indonesia sekitar 60%. Menurut hasil penelitian Harjoko (1998),
efisiensi irigasi JIAT dangkal di Kabupaten Madiun sebesar 59%, meliputi
efisiensi penyaluran irigasi dengan sistim saluran terbuka sebesar 91 % dan
Pertanian (1998) menunjukkan bahwa dari segi kecukupan air irigasi, rata"rata
persentase kecukupan air pada JIAT dangkal yang tersebar di 22 kabupaten
berkisar antara 36 – 84% pada musim tanam ke"dua (MT"2) dan 40 – 83% pada
musim tanam ke"tiga (MT"3).
Di samping nilai efisiensi irigasi yang relatif rendah, kinerja JIAT dangkal
juga ditunjukkan oleh debit pemompaan yang umumnya lebih kecil dari debit
optimum sumur. Dari segi pemanfaatan airtanah untuk irigasi, debit pemompaan
tersebut menunjukkan bahwa luas layanan irigasi aktual cenderung lebih kecil
dari luas potensial areal yang dapat diairi. Parameter kinerja JIAT dangkal yang
juga penting diperhatikan adalah tersedianya tekanan pompa air yang telah
terpasang. Sebagian besar pompa air pada JIAT dangkal dioperasikan pada
tingkat debit" yang belum optimal (Departemen Pertanian 1998).
Hasil uji pemompaan di beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan
bahwa nilai jari"jari pengaruh sumur bervariasi antara 38 – 1246 m. Dilihat dari
segi konservasi airtanah, terdapat indikasi bahwa pengembangan sumur dangkal
di beberapa wilayah tersebut cenderung semakin menurunkan muka airtanah.
Hal ini karena jarak antar sumur yang ada relatif lebih kecil dibanding dengan
jari"jari pengaruh sumur (Susatya 1998). Selain disebabkan oleh debit
pemompaan yang berlebihan serta jarak antar sumur yang relatif dekat,
penurunan muka airtanah dangkal juga diakibatkan oleh adanya kerusakan
daerah tangkapan hujan, terutama akibat berkurangnya vegetasi penutup lahan
di daerah hulu.
Sejak tahun 1996, di beberepa wilayah di Kabupaten Nganjuk " Jawa
Timur, pompa pada sumur dalam ( ) harus diturunkan 1 – 3 meter di
bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan airtanah pada musim kemarau.
Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter di bawah permukaan
tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur
dangkal ( ) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena
kedalaman muka air sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter. Eksploitasi
airtanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum)
Hasil studi Departemen Pertanian (1998) merekomendasikan perlunya
upaya untuk meningkatkan kinerja JIAT dangkal, khususnya yang berkaitan
dengan pengelolaan sumur dan pompa air, peningkatan efisiensi irigasi serta
pengaturan pola tanam. Salah satu upaya peningkatan efisiensi irigasi yang
dapat dilakukan adalah melalui penerapan teknologi irigasi hemat air. Dalam
penerapan teknologi irigasi tersebut, di samping mempertimbangkan faktor
kecukupan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman, juga harus
mempertimbangkan faktor konservasi airtanah, supaya pemanfaatannya dapat
berkelanjutan.
Penerapan teknologi irigasi di beberapa negara telah mengalami
pergeseran seiring dengan berbagai masalah pengelolaan air irigasi. Sistem
irigasi saluran terbuka telah berubah kearah sistem perpipaan. Sistem irigasi
permukaan (genangan, , dan alur) berubah kearah sistem irigasi
bertekanan, yaitu irigasi curah atau irigasi tetes. Di Indonesia, efisiensi irigasi
dengan sistem genangan sekitar 40 – 45%, sedangkan dengan sistem alur
sekitar 60 " 65%. Di masa mendatang, efisiensi irigasi di Indonesia harus dapat
ditingkatkan untuk mengantisipasi kekurangan air irigasi selama musim kemarau.
Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi irigasi masing"masing sekitar 75% dan 90%. (Departemen Pekerjaan
Umum 1994).
Penerapan irigasi curah dan irigasi tetes di Indonesia belum berkembang
secara luas, yaitu masih terbatas pada usahatani komersial. Dilihat dari
perkembangannya, sistem irigasi curah relatif lebih awal digunakan dibanding
dengan irigasi tetes. Penerapan teknologi irigasi bertekanan ini memerlukan
dukungan dalam pemilihan jenis tanaman, masa tanam, dan pengelolaan air
irigasi di tingkat usahatani. Pemilihan jenis tanaman harus memperhatikan
prospek pemasaran, yaitu mempunyai nilai ekonomi tinggi dan jaminan
pemasaran.
Pemerintah Republik Indonesia telah memberikan perhatian yang serius
terhadap komoditas pertanian non beras, yang tidak terbatas pada komoditas
pendukung industri pertanian (seperti tanaman perkebunan dan palawija), namun
juga yang mempunyai peluang pasar domestik maupun antar pulau. Dukungan
pemerintah juga dinyatakan dengan adanya Undang"Undang Nomor 12 Tahun
mengelola komoditas unggulan di setiap wilayah, khususnya dalam perbaikan
mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah tersebut akan menjadi faktor penting dalam
penerapan sistem irigasi tetes. Hal ini karena sistem irigasi tetes dapat
digunakan sebagai alternatif untuk:
1. Mendayagunakan lahan tidur yang mempunyai keterbatasan debit sumber
air menjadi lahan produktif
2. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber"sumber air yang telah
dikembangkan
3. Menyelesaikan masalah konflik kepentingan pemakaian air di masa
mendatang
Hasil studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) menyatakan bahwa
penerapan irigasi tetes di masa mendatang merupakan salah satu alternatif
untuk mengantisipasi upaya peningkatan efisiensi pemakaian air irigasi. Ditinjau
dari aspek teknis, yaitu karakteristik fisik lahan, agroklimat dan sumber air, sistem
irigasi tetes mempunyai prospek untuk dikembangkan di beberapa wilayah yang
tidak terjangkau (tidak memungkinkan digunakannya) sistem irigasi gravitasi, dan
atau di beberapa wilayah dengan keterbatasan sumber air. Namun demikian
untuk penerapannya di tingkat petani masih perlu perintis karena adanya
sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan.
Beberapa kendala penerapan sistem irigasi tetes di tingkat petani adalah
terbatasnya pengetahuan teknis dan manajemen serta kemampuan finansial.
Oleh karena itu, studi Departemen Pekerjaan Umum (1994) juga memberikan
rekomendasi bahwa penerapan irigasi tetes di tingkat petani di Indonesia perlu
dirintis dan dikembangkan secara bertahap melalui pengkajian lebih mendalam.
Salah satunya adalah perlu dilakukan penelitian untuk menguji kriteria
pengembangan serta mendapatkan kriteria rancangan irigasi tetes, termasuk
rancangan tata letak dan rancangan hidrolika.
Penerapan sistem irigasi tetes tergolong relatif baru di Indonesia,
khususnya pada tingkat petani. Oleh karena itu, petani (bahkan mungkin
petugas penyuluh irigasi/pertanian) belum mengenal sistem irigasi ini.
Keterbatasan pengetahuan teknis sistem irigasi ini merupakan salah satu
optimasi luasan areal yang harus dilayani, sedangkan kepemilikan/pengusahaan
lahan garapan petani cenderung tidak seragam dan relatif sempit.
Secara teoritis, efisiensi irigasi tetes lebih tinggi dibanding dengan efisiensi
irigasi permukaan maupun irigasi curah, yaitu lebih besar dari 95%. Hal ini
karena di samping dapat mengurangi kehilangan air berupa perkolasi dan
limpasan, sistem irigasi tetes hanya memberikan air pada daerah perakaran,
sehingga mengurangi kehilangan air irigasi pada bagian lahan yang tidak efektif
untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian dalam aplikasinya, nilai efisiensi
irigasi tetes yang relatif tinggi hanya dapat dicapai apabila memenuhi dua syarat,
yaitu rancangan yang benar dan operasi yang tepat.
Beberapa hasil penelitian tentang efisiensi irigasi tetes menunjukkan
bahwa penerapan irigasi tetes di Indonesia belum mencapai efisiensi irigasi yang
tinggi. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penerapan irigasi tetes di
Indonesia:
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman melon di Bogor sebesar 17%
(Departemen PU 1994)
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dengan sistem
hidroponik di Bandung sebesar 74"79% (Apriliani 2005)
Efisiensi irigasi tetes di Daerah Irigasi Seropan, Gunung Kidul – DIY sebesar
72"82% (Widayanti 2003)
Efisiensi irigasi tetes untuk budidaya tanaman tomat dan paprika dengan
sistem hidoponik di Bogor, masing"masing sebesar 67% dan 70%
(Nuruszaman 1996)
Efisiensi irigasi tetes ( ) pada sistem aeroponik di Bogor sebesar
91"97% (Prastowo . 2007c)
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1994), pada tahap awal
pengembangan, sistem irigasi tetes dapat diterapkan pada daerah yang
memenuhi kriteria pengembangan, yaitu di Provinsi"provinsi Sumatera Barat,
Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, dan Irian Jaya. Kriteria pengembangan tersebut meliputi aspek
agroklimat, sumberdaya lahan, sumber air, dan aspek kelembagaan usahatani.
Salah satu kriteria pengembangan yang penting diperhatikan adalah adanya
diterapkan pada JIAT yang telah dikembangkan oleh petani maupun oleh
pemerintah.
Beberapa topik penelitian tentang penerapan irigasi tetes di Indonesia telah
mulai dilakukan sejak tahun 1990an, di antaranya mengenai prospek penerapan
irigasi tetes, kinerja jaringan, spesifikasi teknis penetes, hidrolika pipa dan
pompa, serta penelitian tentang faktor"faktor rancangan yang berkaitan dengan
hubungan tanah, air dan tanaman. Kilas jejak ( ) penelitian tentang
penerapan irigasi tetes disajikan pada Gambar 1 (Prastowo . 2007).
Berkaitan dengan upaya peningkatan efisiensi irigasi JIAT dangkal melalui
penerapan irigasi tetes, maka penelitian tentang kriteria rancangan, merupakan
hal yang penting untuk dilakukan sebagai upaya persiapan dalam penerapan
teknologi irigasi tetes di masa mendatang.
Kabupaten Nganjuk dipilih sebagai lokasi penelitian, dengan pertimbangan
bahwa daerah ini tergolong wilayah dengan iklim relatif kering. Selain itu,
pemanfaatan airtanah untuk irigasi di daerah ini relatif telah berkembang dengan
baik untuk budidaya tanaman bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan jaringan
irigasi airtanah (JIAT) di Kabupaten Nganjuk mulai dilakukan secara intensif pada
Tahun 1975, melalui pembuatan sumur"sumur maupun sumur"sumur
. Jumlah sumur pompa airtanah di Kabupaten Nganjuk sebanyak 5.033
unit yang tersebar di 20 wilayah kecamatan (Lampiran 1). Hasil penelitian
Liyantono . (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan airtanah dangkal di
sebagian wilayah di Kabupaten Nganjuk telah melebihi kemampuan akifer.
Menurut Linsley )(1986) apabila beberapa sumur saling berdekatan, kerucut
depresinya akan saling melewati, sehingga penurunan muka airtanah semakin
besar dan debit sumur semakin kecil.
Menurut Prastowo )(2007), pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi
di Kabupaten Nganjuk pada umumnya dilakukan pada musim kemarau, yaitu
musim tanam ke"dua (MT"2) dan musim tanam ke"tiga (MT"3). Tanaman yang
biasa dibudidayakan pada musim tanam tersebut adalah palawija (kedelai,
jagung) dan hortikultura (cabai, bawang merah, semangka, melon, sayuran).
Rata"rata curah hujan tahunan di Kabupaten Nganjuk sebesar 2.285 mm/tahun
dengan 90 hari hujan per tahun. Curah hujan rata"rata bulanan sebesar 190,4
mm/bulan, dengan fluktuasi yang relatif tinggi sepanjang tahun. Menurut
dengan 5 bulan kering (Juni–Oktober) dan 6 bulan basah (November–April). Hal
ini berarti bahwa wilayah ini hanya dapat ditanami satu kali padi dan satu kali
palawija dalam setahun, tetapi hal tersebut tergantung dari persediaan air yang
ada.
Kriteria rancangan irigasi tetes pada JIAT Kinerja JIAT
• Pola tanam • Efisiensi irigasi
Kinerja jaringan irigasi tetes yang telah ada • Keseragaman
• Efisiensi irigasi
Wilayah potensial untuk penerapan irigasi tetes di Indonesia Hidrolika pompa
(H, Q, NPSH, Eff)
Spesifikasi teknis penetes (Ha, Qa, Kd, x)
Hidrolika pipa (H, Q, Dia, L)
Hubungan tanah, air, dan tanaman
(pF curve, TAW, MAD, RAW, Rz, ETc, ky)
Sebelum 1990 1990 " 1995 1995 " 2000 Setelah 2000
*
Gambar 1. Kilas"jejak penelitian tentang penerapan irigasi tetes
&'($ "
Penerapan irigasi tetes untuk meningkatkan efisiensi JIAT dangkal yang
berkelanjutan memerlukan rancangan yang benar dan operasi yang tepat.
Penentuan luas layanan irigasi dan blok irigasi harus dilakukan dengan
mempertimbangkan kecukupan debit sumur untuk memenuhi kebutuhan air
irigasi bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu, faktor kedalaman muka airtanah
juga perlu dipertimbangkan, untuk mengendalikan penurunan muka airtanah
yang masih dapat diterima. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kriteria
kecukupan air dalam rancangan irigasi tetes yang dapat menjamin ketersediaan
air tanah untuk pertumbuhan tanaman.
Efisiensi irigasi tetes yang tinggi hanya dapat dicapai apabila rancangan
jaringan perpipaan memenuhi persyaratan hidrolika jaringan sub"unit serta
persyaratan hidrolika pompa. Meskipun perhitungan rancangan hidrolika pipa
dan pompa tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa rumus
matematik, namun dalam prakteknya masih relatif sulit dilakukan oleh karena
memerlukan ilmu pengetahuan yang khusus dan dilakukan dengan metode coba"
ralat. Oleh karena itu, pengembangan kriteria hidrolika dalam rancangan irigasi
tetes sangat diperlukan untuk memudahkan proses perhitungan, khususnya bagi
para praktisi di lapangan.
Keberlanjutan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi, selain
ditentukan oleh faktor teknis, juga ditentukan oleh faktor finansial, kelembagaan
dan aspek sosial. Kelayakan finansial pengoperasian JIAT dangkal oleh petani
sangat diperlukan untuk menjamin keberlanjutan usahatani yang dilakukan. Oleh
karena itu, diperlukan pengembangan kriteria kelayakan finansial yang
diintegrasikan dengan kriteria kecukupan air dan kriteria rancangan hidrolika,
untuk memperoleh suatu rancangan irigasi tetes yang layak secara teknis
maupun finansial.
Dengan demikian, dalam upaya meningkatkan efisiensi JIAT dangkal
melalui penerapan irigasi tetes, perlu dikembangkan suatu model rancangan
irigasi tetes yang meliputi dan mengintegrasikan beberapa kriteria rancangan
tersebut di atas. Sintesa terhadap kriteria rancangan tersebut perlu dilakukan
untuk membangun tahapan rancangan yang lebih sederhana dan sistematis.
Gambar 2 menyajikan diagram alir perumusan masalah yang merupakan
rangkuman latar belakang dan rasional penelitian.
) *+* $
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengembangkan model rancangan
irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan. Tujuan
Efisiensi irigasi tetes yg telah diterapkan:
Hidroponik (67"79%) Aeroponik (91"97%)
Lahan terbuka di Bogor (<20%) Lahan terbuka di Yogya (72"82%) +
Irigasi tetes merupakan alternatif upaya peningkatan efisiensi
irigasi
Irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang
berkelanjutan dengan kriteria rancangan:
Jaminan kecukupan air irigasi Konservasi airtanah dangkal Keseragaman & efisiensi yg tinggi
Layak secara finansial Diperlukan upaya untuk meningkatkan
kinerja JIAT dangkal :
•pengelolaan sumur dan pompa air
•pengaturan pola tanam
•peningkatan efisiensi irigasi JIAT dangkal belum
memberikan manfaat yang maksimal
JIAT dangkal semakin menurunkan muka airtanah
Permasalahan/kesulitan: Rancangan yg benar Operasi yang tepat Kendala di tingkat petani:
pengetahuan teknis & manajemen
kemampuan finansial Qaktual< Qspec
TDHaktual< TDHspec
Luas layanan irigasi LLI aktual < LLI potensial
Jarak sumur < 2R pengaruh LLI aktual < Areal
terpengaruh , - .*
[image:30.842.18.786.96.520.2]1. Mengembangkan kriteria kecukupan air untuk memperoleh suatu rancangan
irigasi tetes yang dapat menjamin kecukupan air bagi pertumbuhan tanaman
dengan mempertimbangkan konservasi airtanah dangkal
2. Mengembangkan kriteria hidrolika untuk memperoleh suatu rancangan irigasi
tetes yang mempunyai efisiensi irigasi tinggi
3. Mengembangkan kriteria finansial untuk memperoleh suatu rancangan irigasi
tetes yang layak secara finansial.
, !- . * $ !$!"' ' $ / 0
Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menyempurnakan metode perencanaan dan perancangan penerapan irigasi
tetes, untuk meningkatkan efisiensi sistem irigasi airtanah dangkal yang
berkelanjutan. Dalam jangka pendek, hasil yang diharapkan dari penelitian ini
adalah suatu kriteria rancangan yang dapat digunakan sebagai standar
rancangan, yang menyajikan suatu konsep serta beberapa koefisien dan metode
analisis dalam perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal.
Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menyumbangkan beberapa hal
yang baru ( ) terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan
dengan pemanfaatan airtanah dangkal untuk irigasi, di antaranya adalah:
1. Konsep dan metode penentuan luas layanan irigasi dalam sistem irigasi
airtanah dangkal yang berkelanjutan.
2. Metode analisis dalam bentuk tabel, nomogram, dan program komputer untuk
mempermudah perhitungan beberapa parameter rancangan irigasi tetes pada
JIAT dangkal.
3. Beberapa koefisien dalam perancangan irigasi tetes pada JIAT dangkal, yang
meliputi satuan kebutuhan air irigasi, debit dan tekanan kerja penetes, luas
' $ . 1 $ '$% $ '% &' ' $ .
Airtanah terbentuk dari bagian air hujan yang jatuh pada permukaan tanah
dan bergerak menembus lapisan yang lebih dalam, mengisi rongga tanah atau
batuan sampai pada akhirnya timbul kembali pada permukaan tanah,
menggabung pada sungai, danau, atau laut. Terdapat dua macam airtanah,
yakni airtanah bebas dan airtanah tertekan. Airtanah bebas, atau biasa disebut
juga sebagai airtanah dangkal, ialah airtanah pada lapisan pengandung air
(akifer) yang tidak tertutup oleh lapisan kedap. Airtanah pada lapisan akifer yang
tertutup oleh lapisan kedap mendapat tekanan dan disebut airtanah tertekan atau
airtanah dalam (Sosrodarsono dan Takeda 1979).
Sumur dapat diklasifikasikan sebagai sumur gravitasi, sumur artesis, atau
kombinasi antara sumur gravitasi dan sumur artesis, tergantung pada tipe akifer
yang memasok air. Sumur gravitasi mempunyai muka airtanah tidak tertekan.
Pada umumnya sumur berupa sumur dan sumur . Apabila muka
airtanah memotong permukaan tanah oleh karena adanya lapisan kedap
( ), akan muncul mata air atau rembesan. Pada areal dengan muka
airtanah mendekati permukaan tanah, kolam galian ( )
dengan kedalaman di bawah muka airtanah, secara praktis dapat berfungsi
sebagai cadangan air ( ). Bilamana elevasi air dalam lubang sumur
naik di atas muka airtanah ( ), akan terkondisi sumur artesis.
Berdasarkan definisi tersebut, sumur artesis tidak selalu berupa ,
yaitu sumur yang airnya mengalir dengan sendirinya. (Schwab . 1981).
Penampang melintang suatu sumur yang dibuat pada lapisan tanah
homogen di atas formasi kedap disajikan pada Gambar 3. Dalam kondisi static,
elevasi air sumur akan naik mencapai muka airtanah ( ). Apabila
pemompaan dimulai, elevasi sumur akan menurun, sehingga mengalirkan
airtanah bebas di sekitar sumur. Jarak antara sumur dengan titik dimana muka
airtanah statik ( ) tidak menurun disebut jari"jari pengaruh (
). Laju aliran ke dalam suatu sumur gravitasi dihitung dengan
persamaan berikut (Schwab . 1981) :
(1)
(
)
r R log
h H K Q
2 2−
dimana,
Q : laju aliran, L3/T
K : konduktivitas hidrolik, L/T
H : ketinggian di atas dasar/formasi kedap, L
h : ketinggian elevasi air sumur, diukur dari dasar/formasi kedap, L R : jari"jari pengaruh, L
r : jari"jari sumur, L
π : konstanta (3,14)
Jari"jari pengaruh yang disajikan pada Tabel 1. merupakan estimasi yang
didasarkan pada tekstur dan karakteristik akifer lainnya. Oleh karena debit
bervariasi sesuai dengan logaritma jari"jari pengaruh, suatu kesalahan estimasi
jari"jari pengaruh, akan berpengaruh pada perhitungan debit. Persamaan (1)
juga menunjukkan bahwa nilai debit adalah proporsional dengan logaritma
diameter sumur (Schwab . 1981). Di Indonesia, jari"jari pengaruh pada
pengembangan sumur"sumur airtanah dangkal untuk irigasi berkisar antara 38 –
1246 m (Departemen Pertanian 1998). Lampiran 2 menyajikan nilai hasil
pengukuran karakteristik airtanah dangkal di beberapa wilayah di Indonesia.
Gambar 3 Penampang melintang tipe sumur gravitasi pada tanah homogen Garis tengah sumur
Permukaan tanah
2r = Diameter sumur Muka air tanah statik
Kurva drawdown R Jari"jari pengaruh D a la m s u m u r P e n u ru n a n m u k a a ir s u m u r
Muka air tanah
Muka air sumur
Lapisan kedap Lapisan lulus air Drawdown = H " h
H Muka air tanah
[image:33.595.103.508.68.827.2]Tabel 1 Jari"jari pengaruh sumur
Jari"jari pengaruh Tekstur dan formasi tanah
(m) (ft)
Formasi pasir halus dengan liat dan debu 30 " 90 100 – 300
Formasi pasir halus s/d sedang, bersih &
bebas dari liat dan debu 90 " 180 300 – 600
Formasi pasir kasar dan kerikil halus, bebas
dari liat dan debu 180 " 300 600 – 1000
Pasir kasar dan kerikil, bebas liat dan debu 300 " 600 1000 – 3000
Sumber : Bennison (1947) diacu dalam Schwab . (1981)
Konstruksi jaringan irigasi airtanah dangkal terdiri atas sumur, pompa air
dan penggeraknya, serta sistem penyaluran/distribusi air ke petak sawah. Pada
sumur"sumur pantek (bor) yang dikembangkan petani, umumnya pipa hisap
( ) pompa merupakan pipa ( ) sumur, sehingga diameter pompa
sama dengan diameter sumur. Konstruksi sumur yang ada adalah tanpa
jambang. Distribusi air dari sumur ke petak sawah dilakukan dengan
menggunakan pipa PVC, selang plastic, dan atau saluran terbuka. Panjang
pipa/selang penyaluran umumnya tidak lebih dari 100 m, namun pada beberapa
daerah, panjang pipa/selang penyaluran mencapai 200"400 m. Skema jaringan
irigasi airtanah dangkal disajikan pada Gambar 4. Teknologi aplikasi irigasi yang
diterapkan adalah irigasi permukaan dengan sistem basin/genangan untuk
tanaman padi dan sistem /alur untuk tanaman palawija (Departemen
Pertanian 1998).
Gambar 4 Skema jaringan irigasi airtanah dangkal
H
L A
D
Aplikasi Irigasi Pipa/selang
Pompa Air
i o
Keterangan :
D : Kedalaman Sumur (m) H : Muka Air Sumur (m)
L : Jarak sumur/pompa dengan areal layanan irigasi (m)
[image:34.595.102.510.78.785.2] [image:34.595.104.505.512.719.2]. '$% $ '% &' ! !&
(23($!$ '% &' ! !&
Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara
langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan. Setelah keluar dari penetes (emiter), air menyebar ke dalam profil tanah secara horisontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Luas daerah yang dibasahi emiter tergantung pada besarnya debit keluaran, jenis tanah (struktur dan
tekstur), kelembaban tanah dan permeabilitas tanah (Prastowo dan Liyantono 2002).
Keseragaman aplikasi irigasi tetes pada dasarnya tergantung pada
keseragaman debit penetes. Dengan demikian, strategi rancangan sistem irigasi
tetes difokuskan pada pencapaian keseragaman emisi yang diinginkan. Metode
irigasi tetes meliputi aplikasi dan
) Komponen irigasi tetes yang biasanya digunakan adalah stasiun
pompa, pengatur tekanan, pipa utama dan sub utama, pipa lateral, penetes,
katup"katup, sambungan"sambungan, dan peralatan tambahan lainnya. Untuk
semua tipe irigasi tetes, pipa lateral disambungkan pada pipa pemasok air yang
disebut . Gambar 5 menunjukkan skema komponen dasar dan tata letak
sistem irigasi tetes (Keller and Bliesner 1990).
[image:35.595.100.512.95.788.2]# ( 45 # ( $6 $% $ '% &' ! !&
Sistem irigasi tetes biasanya dirancang dan dioperasikan untuk
mengalirkan tetesan air irigasi secara sinambung dan membasahi hanya
sebagian lapisan olah. Oleh karena itu, prosedur perhitungan yang digunakan
untuk metode irigasi yang lain harus disesuaikan, untuk menghitung kebutuhan
air dan pengendalian salinitas, kedalaman irigasi, dan frekuensi irigasi.
Persentase areal terbasahi, dibandingkan dengan areal tanam, tergantung
pada volume dan debit setiap penetes, jarak (spasi) penetes, dan tipe tanah.
ditentukan dengan perkiraan areal rata"rata terbasahi pada kedalaman 150"300
mm di bawah penetes dibagi dengan total areal tanam yang diairi. Nilai
umumnya berkisar antara 33"67%. (Keller and Bliesner 1990).
Irigasi tetes merupakan metode irigasi yang memadai dan efisien, dengan
aplikasi irigasi yang dapat mempertahankan konsentrasi garam"garam dalam
airtanah pada kondisi minimum. Aplikasi harian dan pencucian yang cukup
dapat menjaga konsentrasi garam dalam airtanah hampir sama dengan
konsentrasi dalam air irigasi (Keller and Bliesner 1990).
Irigasi tetes mengurangi kehilangan air berupa evaporasi hingga jumlah
yang minimum, sehingga transpirasi tanaman secara praktis diperhitungkan
sebagai seluruh air yang dikonsumsi oleh tanaman. Dengan demikian perkiraan
jumlah air yang dikonsumsi tanaman pada sistem irigasi tetes harus dimodifikasi.
Laju transpirasi pada irigasi tetes merupakan fungsi dari nilai laju penggunaan
konsumtif yang dihitung secara konvensional dan perkembangan kanopi
tanaman. Persamaan sederhana untuk memperkirakan laju transpirasi harian
puncak rata"rata adalah sebagai berikut (Keller and Bliesner 1990) :
Td = Ud{ 0.1 (Pd)0.5} (2)
dimana,
Td : laju transpirasi harian rata"rata pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak dengan irigasi tetes, mm/hari
Ud : perkiraan konvensional rata"rata laju penggunaan air konsumtif harian pada bulan dengan penggunaan air tanaman puncak untuk tanaman dengan kanopi penuh, mm/hari
Keller and Bliesner (1990) menyatakan bahwa kedalaman bersih
maksimum air irigasi per aplikasi, /, adalah kedalaman air yang akan mengganti
kekurangan kadar air tanah ketika kekurangan kadar air tanah tersebut sama
dengan , MAD). Nilai /dihitung sebagai kedalaman
air irigasi untuk seluruh areal, namun demikian persentase areal terbasahi, ,
harus diperhitungkan. Dengan demikian tambahan air irigasi harus diberikan
untuk mengganti kehilangan air berupa perkolasi yang tidak dapat dihindari.
Kehilangan air dalam bentuk perkolasi ini dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pencucian. Pada persamaan berikut, perkolasi musiman lebih kecil
dari atau sama dengan kebutuhan pencucian, yaitu
(
)
t LR " 1,0
1,0
Tr≤ sehingga
Es= EU (3)
Apabila perkolasi yang tidak terhindarkan lebih besar dari kebutuhan
pencucian, maka kelebihan tersebut merupakan kehilangan air irigasi. Oleh
karena itu bila
(
)
t LR " 1,0
1,0
Tr> , efisiensi irigasi musiman dapat diperkirakan dengan
persamaan:
(4) dimana,
Es : efisiensi irigasi musiman, %
EU : keseragaman emisi, %
Tr : rasio transmisi musiman
LRt : kebutuhan pencucian dengan irigasi tetes
Nilai efisiensi sistem irigasi perlu diketahui untuk menentukan hubungan
antara jumlah kotor irigasi dan penambahan bersih irigasi ke daerah perakaran.
Keseragaman emisi adalah hal yang penting, oleh karena merupakan salah satu
komponen efisiensi irigasi. Komponen efisiensi irigasi lainnya adalah beberapa
kehilangan air yang terjadi selama operasi sistem irigasi (Keller and Bliesner
1990).
) (&!1* $6 $% $ '% &' ! !&
Data yang harus dikumpulkan untuk memulai perhitungan rancangan irigasi
tetes disajikan pada Lampiran 3. Format tersebut dikembangkan sebagai
petunjuk untuk pengumpulan data lapangan yang diperlukan. Untuk keperluan
(
t)
r s
LR 1.0 T
EU E
rancangan hidrolika jaringan perpipaan, sejumlah perhitungan lainnya harus
dibuat, yaitu meliputi spasi penetes, debit penetes rata"rata, tekanan penetes
rata"rata, variasi yang diijinkan, dan jam operasi per musim. Tahapan
untuk menghitung faktor"faktor tersebut disajikan pada Lampiran 4. Lembar data
tersebut merupakan petunjuk yang berguna dan menyajikan format untuk
mencatat hasil"hasil berbagai perhitungan coba"ralat dan perhitungan akhir
(Keller and Bliesner 1990).
Prosedur rancangan irigasi tetes telah dikembangkan oleh Prastowo dan
Liyantono (2002) seperti yang tertera pada Gambar 6. Perhitungan rancangan
hidrolika sub unit merupakan tahapan kunci dalam proses desain irigasi tetes.
Persyaratan hidrolika jaringan perpipaan harus dipenuhi untuk mendapatkan
penyiraman yang seragam, yaitu nilai keseragaman emisi irigasi tetes 0
1 harus > 95 %. Mengingat jumlah dan spesifikasi emitter maupun jenis dan diameter pipa yang sangat beragam, maka perhitungan rancangan
hidrolika sub unit harus dilakukan dengan metoda coba"ralat. Gambar 7
menunjukkan skema distribusi tekanan pada sub unit.
Rancangan hidrolika jaringan perpipaan irigasi tetes didasarkan pada
hidrolika aliran pipa. Ada dua konsep efisiensi irigasi yang dipengaruhi oleh
rancangan sistem irigasi tetes, yaitu efisiensi distribusi dan efisiensi aplikasi.
Efisiensi distribusi menentukan sejauhmana keseragaman air irigasi yang
didistribusikan melalui sistem irigasi tetes ke lahan. Efisiensi aplikasi
menunjukkan sejauhmana air irigasi diberikan secara tepat, yaitu persentase air
yang diberikan yang tersimpan dalam daerah perakaran, sesuai dengan
kebutuhan dan ketersediaannya untuk pertumbuhan tanaman (Nakayama and
Buck 1986).
2 tekanan, Hn, yang memberikan debit penetes, qn untuk penetes
tertentu, dapat ditentukan dari persamaan 5. Gambar 8 menunjukkan hubungan
antara tekanan dan variasi debit penetes.
q = KdHx (5)
dimana,
q : debit penetes, l/jam
Kd : koefisien debit, suatu konstanta yang mencirikan suatu penetes
H : tekanan kerja pada penetes, m
Gambar 6 Prosedur rancangan irigasi tetes (Prastowo dan Liyantono 2002)
Menyusun Nilai Faktor"faktor Rancangan
Membuat Skema! dan
Menetapkan Luas Sub Unit dan Blok Irigasi
Perhitungan Rancangan Hidrolika Sub Unit :
1. Lateral a. Panjang
b. Jumlah penetes per lateral 2. Manifold
a.Panjang
b.Jumlah lateral per manifold
Spesifikasi teknis penetes
• qa, Ha
• Radius pembasahan
• Laju penyiraman
•
0EU)
• Jarak/spasi penetes Karakteristik Hidrolika
pipa :
• Nomogram Hazen William
• Faktor Reduksi (outlet)
• K !
• Modifikasi !
• Ubah diameter pipa
• Ganti spesifikasi penetes
Tidak
Selesai
Finalisasi! (Optimalisasi)
Perhitungan TDH dan Kapasitas Sistem (Qs)
Penentuan :
• Jenis dan Ukuran Pompa
• Jenis dan Kekuatan Tenaga Penggerak
Pompa/mesin tersedia di pasaran/lapangan
Ya H pada lateral
≤11% Ha dan H pada manifold
≤9%Ha
[image:39.595.48.552.71.746.2]Gambar 7 Distribusi tekanan pada sub unit (Keller and Bliesner 1990)
Gambar 8 Hubungan tekanan dan variasi debit penetes
(Keller and Bliesner 1990)
Dari nilai Ha dan Hn variasi tekanan yang dapat diijinkan pada sub
[image:40.595.102.498.85.788.2] [image:40.595.110.519.104.356.2]OHs= 2.5 (Ha– Hn) (6)
dimana,
OHs : variasi tekanan yang diijinkan pada sub unit yang akan
memberikan nilai EU yang diinginkan, m
Ha : tekanan yang memberikan debit penetes qa, m
Hn : tekanan yang memberikan debit penetes qndengan EU
rancangan, m
Kehilangan tekanan pada pipa lateral dan pipa dapat
dihitung dengan rumus berikut (Keller and Bliesner, 1990)
Untuk pipa kecil (< 125 mm) :
J = 7,89 x 107x (Q1,75/ D4,75) (7)
Tanpa outlet :
hf= J x (L / 100) (8)
Dengan outlet :
hf= J F (L / 100) (9)
Untuk sambungan :
hl= Kr x 8,26 x 104x (Q2/ D4) (10)
dimana :
J : gradien kehilangan head (m/100 m),
hf : kehilangan head akibat gesakan (m),
hl : kehilangan head akibat adanya katup dan sambungan (m),
Q : debit sistem (l/det),
D : diameter dalam pipa (mm)
F : koefesien reduksi
Kr : koefesien resistansi
L : panjang pipa (m)
Setiap sambungan akan menyebabkan tambahan kehilangan .
Tambahan kehilangan ini dapat digabungkan dan dinyatakan sebagai J’:
J’ = J (Se+ fe) / Se) (11)
dimana :
J : gradien kehilangan ekivalen dari lateral berpenetes (m/100 m)
Se : jarak antar sambungan penetes (m)
Besarnya kehilangan pada leteral dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
hf= J’ F L /100 (12)
Nilai F (faktor reduksi) dapat dihitung dengan persamaan :
1 1 (b – 1)0,5
F = """"""""""""" + """""""" + """""""""""""" (13)
b + 1 2N 6N2
dimana :
b = eksponen aliran (1,75)
N = jumlah outlet sepanjang pipa
Besarnya total dinamik (TDH) dihitung dengan persamaan :
TDH = SH + E + Hf1+ Hm + Hf2+ + Hv + Ha + Hs (14)
dimana :
SH : beda elevasi sumber air dengan pompa (m)
E : beda elevasi pompa dengan lahan tertinggi (m)
Hf1 : kehilangan akibat gesekan sepanjang pipa penyaluran dan
distribusi (m)
Hm : kehilangan pada sambungan"sambungan dan katup (m)
Hf2 : kehilangan pada sub unit (m), besarnya 20 % dari Pa
Hv : (m), besarnya 0,3 m
Ha : tekanan operasi penetes (m)
Hs : untuk faktor keamanan (m), besarnya 20 % dari total kehilangan
Untuk memenuhi nilai EU rancangan, tekanan harus berada antara
Hn dan (Hn+ OHs). Apabila OHs perhitungan terlalu kecil untuk mengimbangi
kehilangan tekanan akibat gesekan dan perbedaan elevasi, perlu dilakukan
penyesuaian dengan pilihan sebagai berikut:
Memilih penetes yang lain yang mempunyai nilai /lebih kecil
Menggunakan lebih banyak penetes per tanaman untuk meningkatkan Np
Menggunakan penetes yang berbeda atau mengatur kembali sistem untuk
memperoleh Ha yang lebih tinggi, atau
) (23 '
Dari berbagai tipe pompa air yang tersedia, pompa sentrifugal, pompa
aksial, dan pompa aliran campuran adalah yang biasa digunakan. Dari tiga tipe
pompa tersebut, seleksi pompa dilakukan dengan selang karakteristik debit dan
)Indeks tipe pompa yang biasa digunakan adalah kecepatan spesifik (Churh
1944, diacu dalam Schwab . 1981).
Gambar 9 menunjukkan efisiensi pompa sebagai fungsi dari kecepatan
spesifik. Pompa sentrifugal adalah ekonomis dari segi biaya dan sederhana
dalam konstruksi, menghasilkan debit yang relatif mantap. Pompa ini
mempunyai kapasitas debit relatif kecil, mudah dioperasikan, dan cocok untuk
menangani sedimen. Pompa ini harus dipasang/disambungkan ( ) pada
sumur. Dengan mem"plot kurva debit" untuk pompa dan kurva debit"
untuk sumur, interseksi dua kurva tersebut memberikan kapasitas
operasi. Contoh kurva untuk tipe instalasi pompa di lapangan disajikan pada
Gambar 10 (Schwab . 1981).
Gambar 9 Hubungan antara kecepatan spesifik, bentuk impeller, efisiensi, dan
tipe pompa (Schwab . 1981).
Tenaga yang dibutuhkan untuk pemompaan dihitung dengan rumus
(Schwab . 1981) :
(15)
dimana,
Pd : (input) tenaga yang dibutuhkan di pompa, kW (1 kW = 1,34 HP)
< 100 gpm
100 – 200 200 – 500 1000 –
3000
500 – 1000
3000 – > 10000 gpm
1 gpm = 0.063 L/s
500 1000 2000 3000 5000 10000 15000
!6!3 $ 3!&'5'# / 320
5'
&
'!
$
&
'
40 50 60 70 80 90 100
Mixed flow Propeler
(axial flow)
p E
Q 9,79
[image:43.595.104.507.114.820.2]Q : debit, m3/det
h : total dinamik (TDH), m
Ep : efisiensi pompa (dalam desimal)
Gambar 10 Kurva debit" pada sambungan pompa dengan sumur
(Schwab . 1981)
Suatu alat/mesin yang dapat menghasilkan torsi penggerak pada poros
pompa dapat digunakan sebagai tenaga penggerak ( ). Tenaga penggerak
yang umum digunakan adalah motor listrik dan motor bakar (disel). Pemilihan
tenaga penggerak harus dilakukan berdasarkan pertimbangan teknis dan
ekonomi maupun kesesuaiannya. Tenaga penggerak tidak boleh dioperasikan
secara terus menerus pada kapasitas maksimum, tetapi pada beban 85"90%.
Tenaga dari suatu tenaga penggerak dapat dihitung dengan rumus (Wijdieks and
Bos 1985) :
(16)
dimana,
Pd : tenaga yang diperlukan, watt
η : efisiensi pompa yang diharapkan
ηd : efisiensi tenaga penggerak
ηred : efisiensi reduksi (0,96 to 0,98)
3 &' & /2)71! 0
3 &' & / %320
5' & '! $ & '8 9
2 4 6 8 10 12
0 0.02 0.04 0.06
80 70 60 50 30 20 40 10 0 ! 1 /5 0 25 20 15 5 10 0 ! 1 /2 0 0 5 10 0 4 8 12 0 20 40 60 80 " Kapasitas"head sumur Efisiensi sistem Kapasitas"head pompa Pompa turbin sumur dalam 870 rpm
(
ac)
fr [image:44.595.119.502.131.424.2]ac : persentase reduksi tenaga akibat elevasi lokasi dan iklim
fr : faktor untuk menjaga bilamana tenaga penggerak beroperasi terus" menerus pada kapasitas maksimum (1,1 – 1,2)
g : percepatan gravitasi (9,81 m/det2
h : Head (m)
Q : debit (m3/det)
ρ : kerapatan jenis air yang dipompa (1000/kg/m3)
, !-* *. $ ' '% &'
Kebutuhan air irigasi di sawah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu
penyiapan lahan (pengolahan tanah), penggunaan konsumtif (kebutuhan air
untuk pertumbuhan tanaman), perkolasi dan rembesan, penggantian lapisan air,
curah hujan efektif, dan efisiensi irigasi. Perhitungannya adalah sebagai berikut
(Departemen PU 1986) :
Kebutuhan air irigasi untuk padi sawah :
(17)
Kebutuhan air irigasi untuk palawija :
(18)
dimana :
NFR : kebutuhan air irigasi (mm/hari)
Etc : evapotranspirasi tanaman (mm/hari)
P : perkolasi (mm/hari)
IR : air untuk penyiapan lahan (mm/hari)
WLR : air untuk penggantian lapisan (mm/hari)
Re : curah hujan efektif (mm/hari)
Ef : efisiensi irigasi
Menurut Doorenbos and Pruitt (1977) diacu dalam Raes (1989a), besarnya
evapotranspirasi tanaman dapat dihitung dengan rumus berikut :
ETc = kc x ETo (19)
dimana :
ETc : evapotranpirasi tanaman (mm/hari)
kc : koefisien tanaman
ETo : evapotranspirasi acuan (mm/hari)
(
)
Ef
Re " WLR IR
P ETc
NFR= + + +
(
)
Ef Re " ETc
Besarnya evapotranspirasi acuan dapat dihitung dengan metode/rumus
empiris, seperti metode Radiasi, Penman, Blaney" Criddle dan panci
evapotranspirasi (Raes ) 1989a). Pendugaan evapotranspirasi acuan
dengan metode radiasi digunakan bila suhu udara dan penyinaran matahari
diketahui, yang dinyatakan dengan persamaan berikut :
ETo = c x (W x Rs) (20)
dimana:
ETo : evapotranspirasi acuan (mm/hari)
c : faktor koreksi yang tergantung pada kelembaban rata"rata dan bulan Rs : radiasi matahari ( mm/hari)
W : konstanta yang tergantung pada suhu dan ketinggian
Nilai Rs dinyatakan dengan persamaan :
(21)
dimana:
n : jam penyinaran aktual hasil pengukuran (jam/hari)
N : maksimum jam penyinaran yang memungkinkan (jam/hari) Ra : radiasi eksternal dalam ekivalen evapotranspirasi (mm/hari)
Nilai koefisien tanaman (kc) tergantung pada jenis tanaman dan periode
pertumbuhan tanaman. Nilai koefisien tanaman berbeda"beda untuk tiap
tanaman. Besarnya koefisien tanaman palawija untuk periode ½ bulanan tertera
pada Tabel 2.
Tabel 2 Koefisien tanaman (kc) palawija
Periode ½ bulanan Tanaman
1 2 3 4 5 6 7
Kedelai 0,30 0,75 1,00 1,00 0,82 0,45
Jagung 0,30 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95
Kacang Tanah 0,40 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 0,50
Bawang 0,50 0,51 0,69 0,90 0,95
Buncis 0,30 0,70 0,80 1,00 0,90 0,75
Sumber : FAO (1977) diacu dalam Departemen PU (1986)
Curah hujan efektif adalah bagian dari hujan total yang dapat digunakan
oleh tanaman untuk memenuhi evapotranspirasi dan keperluan lainnya
(pencucian racun atau , dan perkolasi). Besarnya hujan efektif umumnya
diduga dengan hujan yang terjadi pada periode tertentu (curah hujan andalan) Ra
N n 0,5 0,25
Rs ×
+
dengan peluang terlewati 80%. Perhitungan curah hujan andalan dengan
menggunakan metode distribusi Weilbull dinyatakan dengan persamaan berikut
(Departemen PU, 1986).
(22)
dimana :
P : probabilitas (%)
n : jumlah tahun pengamatan
m : nomor urut data setelah data diurut dari yang terbesar ke data yang terkecil
Konsep efisiensi irigasi terdiri atas efisiensi penyaluran, efisiensi pemberian
air, efisiensi penyimpanan, dan efisiensi irigasi total (Schwab . 1981).
Ec =
Wi Wd
x 100 (23)
Ea =
Wd Ws
x 100% (24)
Eu =
Wd Wu
x 100% (25)
Ef = Ec x Ea atau Ef = Ec x Eu (26)
dimana :
Ec : efisiensi penyaluran air irigasi(%) Ea : efisiensi pemberian air (%) Eu : efisiensi pemakaian air (%) Ef : efisiensi irigasi total (%)
Wd : jumlah air yang sampai di areal pertanian (l/det) Wi : jumlah air yang dialirkan dari sumber air (l/det)
Ws : jumlah air yang tersimpan dalam zona perakaran selama pemberian air (l/det)
Wu : jumlah air yang diperlukan/digunakan oleh tanaman (l/det)
Kapasitas tanah menahan air tersedia untuk tanaman berpengaruh secara
langsung terhadap kedalaman dan frekuensi irigasi. Total air tanah tersedia
merupakan perbedaan antara kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang dan
titik layu permanen. Air tanah siap tersedia adalah bagian dari total air tanah
tersedia yang siap diserap oleh akar tanaman. Kadar air tanah tersedia tersebut
dapat dihitung dengan persamaan berikut (Raes 1989b):
TAW = Sfc– Swp (27)
RAW = p x TAW (28)
% 100 1 n
m P
dimana,
TAW : total air tanah tersedia, mm/m kedalaman tanah
RAW : air tanah siap tersedia, mm/m kedalaman tanah
Sfc : kadar air tanah pada kondisi kapasitas lapang, mm/m kedalaman tanah
Swp : kadar air tanah pada kondisi titik layu permanen, mm/m kedalaman tanah
p : faktor tanaman, yaitu fraksi air tanah tersedia yang siap digunakan untuk evapotranspirasi tanaman
Gambar 11 menyajikan skema neraca air tanah pada daerah perakaran,
yang menjelaskan tiga kondisi ketersediaan air tanah untuk tanaman, yaitu (Raes
. 1987):
1. Kadar air tanah telah melampaui kapasitas lapang sehingga terjadi aliran
airtanah dalam bentuk perkolasi. Kondisi ini akan terjadi bilamana pasokan
air (dapat berupa curah hujan, air irigasi, dan atau aliran airtanah ) melebihi
jumlah air yang diperlukan untuk mencapai kapasitas lapang.
2. Kadar air tanah tersedia untuk tanaman sebesar TAW, yaitu bilamana kadar
air tanah berada antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Namun
untuk keperluan manajemen irigasi, hanya sebagian air tanah tersebut yang
siap tersedia untuk tanaman, sebesar RAW.
3. Kondisi air tanah tidak tersedia untuk tanaman, yaitu bilamana kadar air
tanah sama dengan atau lebih kecil dari titik layu permanen. Pada kondisi ini
tanaman akan mati (layu permanen).
Kedalaman bersih maksimum air irigasi yang dapat diberikan per irigasi
pada suatu tekstur tanah tertentu dinyatakan dengan persamaan (Keller and
Bliesner 1990) :
(29)
dimana :
dx : kedalaman bersih maksimum air per irigasi (mm)
MAD : fraksi pengurangan air tanah yang diijinkan untuk keperluan manajemen irigasi
Pw : persentase areal yang terbasahi (%)
Wa : kapasitas tanah menahan air (mm/m)
Z : kedalaman perakaran tanaman (m)
Z Wa 100
Pw 100
MAD
dx × ×
Titik layu permanen
Titik kritis
-Gambar 11 Skema neraca air tanah pada daerah perakaran
(Raes . 1987)
Interval irigasi maksimum dapat dihitun