BAB V : PENUTUP
B. Saran
1. Pemegang polis/Tertanggung dan PT. Axa Financial Indonesia (Agency Medan) diharapkan saling mengetahui hak dan kewajibannya masing- masing, para pihak harus dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan tidak boleh mengabaikan hak pihak lainnya. Hal ini bertujuan untuk terciptanya keteraturan dan kelancaran dalam kegiatan asuransi dan saling menghargai di antara para pihak.
2. Agen asuransi PT. Axa Financial Indonesia diharapkan memberikan penjelasan yang lengkap dan jelas mengenai produk dan isi polis asuransi sehingga Pemegang polis/Tertanggung memahami hak dan kewajiban para pihak. Pemegang polis/Tertanggung juga diharapkan sebagai pengguna jasa asuransi harus bersifat kritis dalam menjalankan kegiatan asuransi, jika Pemegang polis/Tertanggung kurang mengerti harus segera menanyakan kepada agen asuransi yang bersangkutan agar tidak terjadi kesalahan dalam menjalankan kegiatan asuransi, jangan hanya bergantung pada penjelasan yang diberikan oleh perusahaan asuransi saja.
3. Sebelum melakukan perjanjian asuransi, hendaknya calon Pemegang polis/Tertanggung mencari informasi mengenai perusahaan asuransi yang akan dimasukinya. Dan bagi pemerintah hendaknya dalam melakukan
pengawasan dan pembinaan perusahaan asuransi Indonesia harus dengan teliti dan intensif baik kepada perusahaan besar maupun kecil.
14 BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK-HAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI JIWA
A. Ruang Lingkup Asuransi Jiwa 1. Pengertian Asuransi Jiwa
Dalam Asuransi, kita mengenal bermacam-macam istilah. Asuransi dalam bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dan dalam bahasa Inggris disebut insurance.1 Sedangkan dalam praktek sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi (Assurantie). Istilah pertanggungan umumnya digunakan dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak digunakan dalam praktik dunia usaha.2
Istilah pertanggungan melahirkan istilah penanggung (verzekeraar) dan tertanggung (verzekerde). Istilah asuransi melahirkan assurador atau assuradeur penanggung) dan geassuraarde (tertanggung).3
1
J.C.T.Simorangkir,dkk, Kamus Hukum, 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 182
2
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 6
3
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, 2006, FH UII PRESS, Yogyakarta, hal. 194
Menurut Pasal 246 KUH Dagang, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seseorang penangggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerusakan, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dideritanya karena kejadian yang tidak pasti.
Dari definisi yang dirumuskan Pasal 246 KUH Dagang tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam asuransi, yakni :
a. Ada dua pihak yang terkait dalam asuransi, yakni penanggung dan tertanggung;
b. Adanya peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung; c. Adanya premi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung
d. Adanya unsur peristiwa yang tidak pasti (onzeker vooral, evenement); dan e. Adanya unsur ganti rugi apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak pasti.
Definisi tersebut di atas, oleh KUH Dagang dimaksudkan sebagai pengertian asuransi pada umumnya, yang berlaku baik-baik untuk asuransi kerugian maupun asuransi jumlah.4
Selanjutnya Santoso Poejosubroto, memberikan definisi asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian baik karena pengambil Wirdjono Projodikoro menulis dalam buku Hukum Asuransi Indonesia, pengertian asuransi adalah suatu pertanggungan yang melibatkan dua pihak, sau pihak sanggup menanggung atau menjamin, dan pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.
4
asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang penanggung.
Sedangkan Mehr dan Cammack menulis dalam buku Principles of Insurance menyatakan bahwa pengertian asuransi adalah suatu pengalihan risiko (transfer of risk).5
The Insurance contract is any agreement or other transaction where by one party herein called the insurer, is obligated to confer benefit of precuniary value upon another party, herein called the isured of beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have the time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A lortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be a substantial extended beyond the control of either party. (Perjanjian asuransi adalah suatu persetujuan atau transaksi dengan orang lain dimana satu orang di dalam hal ini disebut penanggung, diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang ada manfaatnya bagi pihak yang lainnya, inilah yang disebut dengan tertanggung atau penerima manfaat. Peristiwa apa yang secara kebetulan terjadi yang menimpa tertanggung atau penerima manfaat, atau merugikan harta benda yang diasuransikan yang menyebabkan kerugian dari peristiwa tersebut. Peristiwa atau kejadian tersebut terjadi di luar dari kehendak para pihak).
Adapun definisi yang lebih luas dari asuransi yaitu diberikan dalam Pasal 41 New York Insurance Law. Menurut ketentuan Pasal 41 New York Insurance Law ini:
6
Definisi tersebut menggunakan kata-kata to confer benefit of precuniary value, tidak digunakan kata-kata confer indemnity of precuniary value. Pengertian benefit tidak hanya meliputi ganti kerugian terhadap harta kekayaan, tetapi juga meliputi pengertian “yang ada manfaatnya” bagi tertanggung. Jadi, termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada asuransi jiwa. Defenisi dalam Pasal 41 New York Insurance law meliputi asuransi kerugian (Schade Verzekering) dan asuransi
5 Asuransi. Dalam
Mei 2016 6
Pengertian Perjanjian Asuransi. Dalam
sejumlah uang (Sommen Verzekering). Rumusan tersebut juga lebih luas daripada rumusan Pasal 246 KUHD.7
a. Memberikan penggantian kepada tertangung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 menyatakan bahwa “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
b. Memberikan pelayanan yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.”
Dunia asuransi juga sering memakai istilah usaha perasuransian. Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Pasal 1 angka 4, usaha perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
7
Jika dihubungkan dengan asuransi jiwa maka fokus pembahasan diarahkan pada Pasal 1 angka (1) butir (b) Undang-Undang No 40 tahun 2014. Asuransi Jiwa dapat diartikan sebagai suatu perjanjian asuransi yang kewajiban penanggung untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung didasarkan kepada meninggal atau hidupnya seseorang. Di Indonesia mengenai asuransi jiwa ini pengaturannya terdapat dalam Buku I Bab X Bagian Ketiga mulai Pasal 302 s.d. Pasal 308 KUH Dagang.8
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa: pertama, yang berkepentingan dalam asuransi jiwa adalah orang yang bersangkutan. Untuk itu orang tersebut dapat mengasuransikan jiwanya sendiri. Jadi yang bertindak sebagai Tertanggung adalah yang bersangkutan. Kedua, yang berkepentingan dalam hal ini bukan yang bersangkutan akan tetapi orang lain. Sekalipun demikian, orang yang akan mengasuransikan jiwa seseorang tersebut harus ada hubungan hukum, misalnya orang tua mengasuransikan anak. Pemberi kerja atau perusahaan mengasuransikan karyawannya. Dalam hal ini orang tua dan ataupun perusahaan dapat mengasuransikan jiwa orang tersebut karena mempunyai kepentingan, bahkan sekalipun orang yang jiwanya diasuransikan tidak mengetahui.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUH Dagang:
”Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian”.
9
8 Man S. Sastra Widjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, 2005, PT. Alumni, Bandung, hal. 51
9
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUH Dagang ditentukan:
“Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya itu.”
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan definisi: “Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai penikmatnya”.
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dikatakan bahwa usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan data.
Kegiatan usaha perasuransian, khususnya usaha asuransi, merupakan jenis yang termasuk dalam kategori kegiatan usaha yang sangat diatur oleh pemerintah. Hal ini dilakukan karena usaha asuransi sangat berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Secara yuridis, hukum asuransi di Indonesia tertuang dalam beberapa produk hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri Keuangan.
Usaha perasuransian ini telah diatur sejak tanggal 11 Februari 1992, yaitu melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Selain undang-undang, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. KMK No. 426/KMK/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. KMK No. 425/KMK/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. KMK No. 423/KMK/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian.
KUH Dagang ada 2 (dua) cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan khusus10
10
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 18
. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX Pasal 246 – Pasal 286 KUH Dagang yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang sudah diatur dalam KUH Dagang maupun yang diluar KUH Dagang, kecuali jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X Pasal 287 – Pasal 308 KUH Dagang dan
Buku II Bab IX dan Bab X Pasal 592 – Pasal 695 KUH Dagang dengan rincian sebagai berikut :
a. Asuransi kebakaran Pasal 287 – Pasal 298 KUH Dagang b. Asuransi hasil pertanian Pasal 299 – Pasal 301 KUH Dagang c. Asuransi jiwa Pasal 302 – Pasal 308 KUH Dagang
d. Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan Pasal 592 – Pasal 685 KUH Dagang
e. Asuransi pengangkutan darat, sungai, dan perairan pedalaman Pasal 686– Pasal 695 KUH Dagang.
Keberadaan Undang-Undang sekaligus peraturan tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan dan dipatuhi. Hal itu berlaku bagi perusahaan asuransi dan nasabah asuransi (tertanggung). Apabila keberadaan Undang-Undang dan peraturan tersebut ternyata tidak dipatuhi, atau ditemukan terjadinya pelanggaran terhadap keberadaan Undang-Undang dan peraturan tersebut, maka akan terdapat beberapa konsekuensi logis yang disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi perusahaan asuransi (pihak penanggung) saja, akan tetapi berlaku pula bagi nasabah (pihak tertanggung).11
3. Syarat Sah Perjanjian Asuransi Jiwa
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUH Dagang. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga bagi perjanjian asuransi.
11
Di dalam Pasal 247 KUH Dagang terdapat kata-kata “antara lain” yang menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pasal 247 KUH Dagang itu secara yuridis tidak membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis pertanggungan lain menurut kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain” yang terdapat di dalam Pasal 247 KUH Dagang hanyalah menyebutkan beberapa contoh saja atau numeratif. Dengan demikian para pihak dapat juga memperjanjikan adanya pertanggungan dalam bentuk lain.
R. Subekti mengemukakan bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan demikian adanya jenis-jenis baru di bidang asuransi yang menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata di atas disebutkan perjanjian yang sah.
Adapun syarat-syarat sahnya asuransi, antara lain meliputi:
a. Adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang keberadaannya saling mengikat satu sama lain.
Dalam mengadakan perjanjian asuransi, maka terlebih dahulu dibuat suatu kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, kesepakatan tersebut pada
pokoknya meliputi:
2) Pengalihan resiko dan pembayaran premi; 3) Evenemen dan ganti kerugian;
4) Syarat-syarat khusus asuransi;
5) Dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis.
Akan tetapi perjanjian asuransi itu tidak akan terjadi karena paksaan (dwaang), kekhilafan (dwaling), ataupun penipuan (berdog). Ini dipertegas lagi seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yang menentukan tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan.
Jadi jelaslah sudah bahwa kata sepakat dalam perjanjian asuransi baru terjadi apabila masing-masing pihak mempunyai persesuaian kehendak secara timbal balik dan tanpa ada kekhilafan, penipuan maupun paksaan seperti apa yang telah disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.
Kemudian kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Kedua pihak antara tertanggung dan penanggung berwenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek
asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Penanggung adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi berdasarkan anggaran dasar perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenar dari pihak ketiga yang bersangkutan.
Menurut KUH Perdata, orang yang dikatakan cakap menurut hukum dalam membuat suatu perjanjian adalah orang yang sudah dewasa. Sedangkan dewasa tidaklah diatur secara tegas dalam Undang-Undang. Untuk itulah kita melihat dengan menyimpulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata. Dalam Pasal terseut pengertian dewasa adalah sebagai berikut:
1) Mereka yang sudah berumur 21 tahun
2) Mereka yang belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin terlebih dahulu
3) Mereka yang telah pernah kawin dan bercerai, walaupun belum berumur 21 tahun.
Pengertian dewasa seperti yang telah disimpulkan dari Pasal 330 KUH Perdata di atas tidaklah sepenuhnya bahwa mereka dapat membuat suatu perjanjian. Maka dalam hal ini selain syarat umur, juga kita harus memperhatikan faktor lainnya, seperti faktor kecakapan seseorang untuk mengadakan suatu perjanjian.
Jadi ketentuan dewasa menurut umur belumlah merupakan jaminan bahwa orang tersebut cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Harus ada faktor lain seperti sehat pikiran, tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan perbuatan hukum, misalnya orang yang membuat suatu perjanjian
tidak sakit ingatan. Karena orang tersebut tidak mampu untuk menginsyafi tanggung jawab yang dipikul sebagai akibat dari perjanjian tersebut. Demikian pula orang yang akan membuat suatu perjanjian harus tidak dilarang oleh Undang-Undang, seperti orang yang di bawah pengampunan.
Di samping kecakapan dikenal juga adanya kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dikatakan mempunyai kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, seperti membuat perjanjian tertentu. Akibat hukum dari ketidakwenangan membuat perjanjian, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika tidak dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian tersebut tetao berlaku bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Hal tersebut di atas juga berlaku dalam perjanjian asuransi.
c. Adanya hal tertentu yang menjadi sebab
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Objek tertentu dalam perjanjian asuransi merupakan objek atau benda yang dapat diasuransikan, objek tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya. Untuk itu tertanggung harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang diasuransikan itu. Hubungan langsung maksudnya adalah tertanggung memiliki langsung benda tersebut. Sedangkan hubungan tak
langsung maksudnya adalah bahwa tertanggung mempunyai kepentingan atas sesuatu yang dipertanggungkan itu.
Jadi dalam hal ini tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia benar- benar mempunyai kepentingan atas sesuatu yang dipertanggungkan. Dan jika tidak, maka asuransi itu menjadi batal. Karena kepentingan adalah juga merupakan syarat dalam perjanjian asuransi.
d. Adanya kausa yang halal
Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa kausa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila:
1) Tidak bertentangan dengan undang-undang 2) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum 3) Tidak bertentangan dengan kesusilaan.12
Dan suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat karena sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 1335 KUH Perdata). Jadi perjanjian yang dibuat itu tidak mengikat. Sebaliknya perjanjian yang berisi sebab/causa yang halal adalah sah (Pasal 1336 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak memperdulikan sebab orang membuat suatu perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah isi perjanjian itu. Oleh karena itu suatu perjanjian harus benar-benar mempunyai maksud dan tujuan yang jelas sehingga tidak merugikan masing-masing pihak.
12
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2004, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 342
Jadi perjanjian asuransi supaya sah harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata. H.M.N. Purwosutjipto menulis bahwa Syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUH Perdata itu bagi perjanjian pertanggungan masih belum memuaskan, karena itu ditambah lagi dengan ketentuan Pasal 251 KUH Dagang, yang mewajibkan adanya pemberitahuan tentang semua mengenai keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda pertanggungan.
Jadi untuk perjanjian asuransi selain Pasal 1320 KUH Perdata juga ditambah dengan Pasal 251 KUH Dagang dalam sub c dari Pasal 1320 KUH Perdata mengenai obyek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah kepentingan yang diasuransikan. Kepentingan dalam perjanjian asuransi mutlak harus ada. Apabila tidak ada maka perjanjian asuransi itu batal (Pasal 250 KUH Dagang).
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUH Dagang, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUH Dagang tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya
perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausula “sudah diketahui”.
4. Premi dan Polis Asuransi Jiwa
Dalam hukum asuransi, terdapat istilah yang dikenal dengan kata “premi” dan “polis”. Dua istilah tersebut merupakan bagian dari komponen penting dalam asuransi. Keduanya merupakan suatu istilah yang keberadaannya sudah tidak