• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Serta Organisai Internasional Dalam Hal Perlindungan Wartawan Yang Berada di Wilayah Konflik

1. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB)

Perserikatan Bangsa-bangsa dibentuk pada tahun 1945 dengan Piagam PBB (United Nation Charter) sebagai konstitusi dasarnya. PBB dibentuk bertujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia, mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara berdasarkan prinsip hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, mencapai kerjasama internasional dalamm menyelesaikan permasalahan internasional dalam hal ekonomi, social dan budaya maupun yang berkaitan dengan humaniter55

Dalam melaksanakan fungsinya memelihara perdamaian dan keamanan dunia PBB memiliki dewan Keamanan (Security Council). Apabila terjadi Konflik bersenjata Dewan Keamanan berperan melindungi pihak sipil, dengan cara mengingatkan para pihak-pihak yang bersengketa untuk tetap menaati standar-standar yang berlaku dalam hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional. Dewan keamanan PBB bertanggungjawab dalam penyediaan sarana dan prasarana untuk banntuan keselmatan. Demikian pula

halnya dengan perlindungan terhadap wartawan yang berada di wilayah konflik bersenjata internasional.

PBB berperan penting dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap wartawan yang berada di wilayah konflik bersenjata. Pada tanggal 9 Desember 1970 Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No.2673 (XXV) yang isinya memberikan kuasa kepada Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC/Economicand Social Council) untuk menyusun draft konvensi yang mengatur mengenai perlindungan wartawan dalam misi-misi berbahaya. Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsinya, ECOSOC menyadari pentingnya meningkatan kesadaran akan isu-isu humaniter dan penghargaan terhadap hukum internasional. Melalui ECOSOC Negara-negara anggota PBB diberikan kesempatan untuk mengadakann diskusi lebih lanjut mengenai permasalahan bantuan dan perlindungan dalam bidang humaniter. Hasil diskusi tersebut disampaikan ECOSOC yang kemudian dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan di Dewan Keamanan PBB.

Pada tanggal 23 Desember 2006 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No.1738 yang menegaskan bahwa “para professional pers yang bekerja di daerah Konflik bersenjata akan dipertimbangkan (sebagai) warga sipil, serta harus dihormati dan dilindungi karenanya”. Hal ini menegaskan kembali bahwa didalam wilayah konflik harus diberikan perlindungan sebagaimana pihak sipil, berdasarkan HHI. Untuk itu,Negara-negara peserta harus melakukan upaya semaksimal mungkin untuk mencegah pelanggaran terhadap ketentuan HHI serta mengadili pihak-pihak yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut. Selain

itu, Resolusi ini juga mengajak kepada Negara-negara untuk segera meratifikasi Protokol Tambahan I dan II.

Pada tahun 2015 PBB diminta untuk mengangkat wakil khusus Sekretaris Jenderal untuk perlindungan wartawan. Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal untuk perlindungan wartawan. Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders (RSF), Christophe Deloire dalam pernyataan di depan Dewan Keamanan terkait keselamatan wartawan. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa(DK PBB) telah mengeluarkan resolusi 2222 tentang perlindungan wartawan dalam konflik bersenjata, pada hari Rabu 27 Mei 2015. Resolusi ini memperbaiki Resolusi 1738 yang dikeluarkan tahun 2006. Sekjen RSF, Christophe Deloire dalam pernyataan di depan Dewan Keamanan PBB mengatakan bahwa resolusi itu adalah hal yang bersejarah bagi perlindungan wartawan. Untuk pertama kalinya, resolusi Dewan Keamanan merujuk pada kebebasan berekspresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Resolusi itu menegaskan bahwa hasil karya dari media yang bebas, independen dan imparsial merupakan salah satu pondasi penting dari masyarakat dan demikian dapat memberikan kontribusi pada perlindungan warga sipil. Resolusi itu merupakan panggilan kepada Negara-nengara untuk memenuhi kewajiban mereka dalam perlindungan bagi wartawan selama konflik bersenjata dan mensyaratkan operasi pasukan penjaga perdamaian PBB memberi keamanan bagi wartawan dalam membuat laporan liputan.

2. International Comitee of Red Cross

ICRC berperan dalam memberikan perlinndungan bantuan bagi wartawan yang berada di wilayah konflik dimana adanya istilah hak atas inisiatif ICRC untuk menawarkan bantuan pada bidang humaniter kepada pihak-pihak yang membutuhkannya menurut ICRC sendiri. ICRC menawarkan bantuan setelah mempertimbangkan beberapa unsur yaitu besranya kebutuhan perikemanusiaan dan sifat mendesaknya, status situasinya dari segi hukum, serta manfaat yang dapat diperoleh dari bantuan tersebut.

Dalam ketentuannya ICRC adalah sebagai penengah yang netral dalam suatu konflik bersenjata. Maksudnya yaitu , ICRC bertindak sebagai penengah atau penghubung antara pihak korban perang yang berhak atas perlindungan dan pihak pemerintah tempat dimana korban itu berada. Tujuan dan Peranan ini merupakan untuk meningkatkan perlindungan terhadap korban perang.

Salah satu upaya yang dilakukan ICRC dalam rangka menjamin terlaksananya perlindungan terhadap wartawan yang sedang melakukan tugas dalam konflik bersenjata adalah dengan membentuk ICRC Hotline. ICRC dapat bertindak cepat dalam memberikan perlindungan dalam bantuan bagi wartawan yang ditawan atau hilang, jika ICRC mendapatkan informasi lebih rinci secepatnya mengenai kejadian tersebut. Karena itu, ICRC mengoperasikan hotline 24 jam sehari bagi keluarga dan asosiasi wartawan56.

Hal-Hal yang dapat dilakukan ICRC dalam rangka perlindungan terhadap wartawan dalam konflik bersenjata yaitu sebagai berikut:

1. Jika seorang wartawan menghilang, ICRC dapat mengupayakan informasi dari pihak-pihak yang terlibbat konflik dan dari sumber-sumber lain. 2. Jika pihak yang menahan wartawan tersebut (bisa saja pemerintah atau

bukan pemerintah) memberikan informasi bahwa wartawan telah ditawan, ditangkap ataupun telah tewas, ICRC dapat meneruskan informasi tersebut kepada pihak yang berwenang Negara asal wartawan dan asosiasi pers wartawan yang bersangkutan, tetapi hanya atas persetujuan dari pihak keluarga.

3. Dalam hal wartawan ditahan atau ditawan, ICRC dapat meminta izin bagi utusannya untuk mengunjungi wartawan tersebut, dengan disertai oleh seorang dokter jika diperlukan.

4. ICRC dapat membantu wartawan dan keluarganya untuk saling bertukar berita, terutama melalui berita Palang Merah (Red Cross Message atau RCM). ICRC akan mengumpulkan RCM dan meneruskannya kepada alamat keluarga yang dituju.

5. Dalam hal pembebasan wartawan, ICRC dapat membantu memulangkannya ke tempat asal jika tidak tersedia penengah lain yang dapat melakukan hal itu.

Hal-hal yang perlu diperhatikan tentang cara kerja ICRC adalah bahwa ICRC tidak mempersoalkan alasan penangkapan atas penahanan yang dilakukan dan ICRC tidak meminta pembebasan orang yang ditahan. Kunjungan yang dilakukan ICRC kepada wartawan atau tahanan adalah kunjungan kemanusiaan semata, yang tujuannya adalah melakukan pemberian dukungan dalam bentuk

psikologi da materi jika diperlukan, juga meminta kepada pihak yang berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang baik tenntang perlakuan terhadap tahanan ataupun tawanan.

Dalam kasus pelanggaran hak-hak terhadap wartawan di wilayah konflik bersenjata, keluarga dari wartawan yang menjadi korban melalui pemerintah Negara asal wartawan dapat melaporkan tindakan yang merugikan dan mengancam jika wartawan dapat melaporkannya kepada Dewan Keamanan PBB sesuai pasal 38 piagam yang memberikan wewenang kepada dewan keamanan PBB dalam menangani sengketa. Pelanggaran yang terjadi terhadap wartawan seperti penculikan, pembunuhan, penahanan secara paksa termasuk ke dalam jenis kejahatan internasional dari segi kejahatan perang menurut pasal 8 Statuta Roma sehingga pelanggaran kasus tersebut dapat dilaporkan kepada Mahkamah Pidana Internasional dari segi kejahatan perang menurut pasal 8 statuta roma sehingga pelanggaran kasus tersebut dapat dilaporkan kepada Mahkamah Pidana Internsional dan Pengadilan Hak Asasi Manusia di den Haag karena pelanggaran yang terjadi terhadap wartawan di wilayah Konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.

3. WPFC (The World Press Freedom Committee)

The World Press Freedom Committee dibentuk pada tahun 1979 telah memberikan kepemimpinan selama lebih dari 30 tahun dalam memea=rangi lisensi wartawan, kode etik, tugas wajib bagi wartawan dan kontrol berita lainnya. Awalnya dibuat untuk melancarkan perjuangan global akhirnya sukses di dalam

dan sekitar organisasi antar pemerintah untuk memukul mundur proposal otoriter untuk membatasi dunia informasi dan komunikasi. WPFC telah berperan untuk:57

a) Program global yang secara sistematis memantau isu-isu kebebasan pers di UNESCO, PBB dan organisasi antar pemerintah lainnya atas nama kelompok-kelompok kebebasan pers.

b) Bekerja sebagai forum pemerintah untuk memperluas prinsip-prinsip kebebasan pers media berita tradisional ke Internet, World Wide Web dan Direct Broadcasting Satellite (New media Conference) (Kertas Kerja dari Konferensi)

c) Mengkoordinasikan kegiatan bersama untuk lini depan pengelompokan 9 organisasi bebas pers global utama. Komite Koordinasi Organisasi Kebebasan Pers

d) Melakukan konferensi internasional pada taun 2013 (New York) dan 2007 (Paris) untuk memerangi kontrol pada konten berita di media baru, dan untuk mengekspos sensor pers

e) Hadir eksposisi tanah melanggar dari kasus yang kebebasan pers adalah motor bagi pembangunan ekonomi

f) Mengatur prinsip-prinsip kebebasan pers global dalam tahun 1981 deklarasi Talloires, diikuti pada tahun 1987 oleh 10 Point Charter untuk Free Press

g) Mentapkan analisis pertama pasca Perang-Dingin kata kode yang dapat menutupi praktek sensor

h) Menghasilkan pada tahun 1985 survei komprehensif pertama dari pembunuhan, penangkapan dan pelecehan terhadap wartawan, menunjukkan bahwa lisensi tidak akan melindungi wartawan

i) Melakukan studi pertama dunia “hukum penghinaan” yang berwenang sebagai perisai dari pengawasan pers dan pembaruuan 2006 dari undang-undang tersebut. WPFC juga menghasilkan model singkat hukum yang unik saat ini sedang digunakan oleh pengacara di seluruh dunia untuk membantu jurnalis dan media yang diserang hukum untuk melakukan pekerjaan mereka

j) Sebagai survei dunia pertama kesempatan pelatihan jurnalistik untuk mengembangan wartawan

k) Memberikan argument hukum penting untuk memenangkan keputusan pertama oleh pengadilan hak asasi manusia internasional yang mengatakan lisensi wajib wartawan elanggar hukum hak asasi manusia.

l) Menghasilkan 56 publikasi besar , termasuk pelatihan manual pertama yang berorientasi regional jurnalisme umum dalam bahasa local untuk wartawan karibia dan eropa timur dan buku pegangan yang sama dalam bahasa inggris dan perancis untuk wartawan afrika.

m) Mengusulkan dan mengelola program bersama pertama oleh kelompok-kelompok kebebasan pers dunia untuk menyediakan penagcara local untuk wartawan yang menghadapi penuntutan di pengadilan nasional melalui Dana Against Censorship

n) Hadir sebuah studi yang menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ketat dalam konvensi hak asasi manusia umumnya bermanfaat dapat digunakan untuk berjalan pincang wartawan dan media berita.

o) Menghasilkan survei pertama kebutuhan praktis muncul outlet pers bebas di bekas blok soviet, dan mengadakan konferensi umum pertama dari LSM yang memobilisasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut

1. Bahwa status dan kedudukan wartawan dijamin dan dilindungi sebagaimana yang telah diatur dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 dan konvensi Jenewa tahun 1949 dan digolongkan sebagai warga sipil di Negara yang sedang berkonflik sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan tersebut, dan disamping itu seorang wartawan harus mengikuti kode etik dan panduan yang telah ditetapkan oleh organisasi wartawan internasional, berkewajiban untuk tetap tampil netral dan tidak menunjukkan sikap partisan.

2. Perlindungan yang diberikan terhadap Wartawan menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I Tahun 1977 serta organisasi internasional yang turut andil dalam melindungi wartawan sebenanya sudah baik namun tidak dipatuhi oleh para pihak di dalam konflik yang menyebabkan jatuhnya korban dari pihak wartawan, yang disebabkan oleh sikap sewenang-wenang para pihak di dalam konflik yang secara nyata melakukan penyerangan, pembunuhan, penculikan dan pelanggaran lain terhadap wartawan.

B. Saran

1. Alangkah lebih baiknya apabila dibentuk suatu lembaga khusus untuk mengawasi diterapkannya aturan-aturan Konvensi Jenewa 1949 dan

2. Protokol Tambahan I, agar dapat menindaklanjuti dengan tegas segala pelanggaran yang terjadi, sehingga kaidah-kaidah HHI dapat diterapkan dengan baik karena status dan kedudukan wartawan itu sendiri sudah diatur dalam ketentuan tersebut., tidak lupa pula organisasi wartawan internasional sebagai lembaga yang paling dekat dengan wartawan untuk selalu giat menyebarluaskan nilai HHI yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dijalankan oleh para wartawan, misalnya dengan cara mengadakan seminar, pelatihan khusus, ataupun bekerjasama untuk menyusun practical guide yang berlaku secara universal yang tidak hanya perlu diketahui oleh wartawan namun juga para pihak penguasa (civil or military authority).

3. Kepada para pihak di dalam konflik untuk dapat menaati Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1738 dan 2222 serta segala ketentuan yang berhubungan dengan masalah ini agar tidak terjadi lagi berbagai pelanggaran hukum yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa tidak hanya dari pihak wartawan namun dari berbagai pihak. Tidak lupa pula peranan yang harus dimainkan oleh pemerintah sehubungan dengan penegakan HHI, diperlukan adanya suatu undang-undang nasional yang menetapkan sanksi pidana efektif sebagai sikap yang aktif dari pemerintah untuk lebih menghargai profesi seorang wartawan khususnya dalam menindaklanjuti pelanggaran HHI`

Dalam sejarah kehidupan politik manusia, peristiwa yang banyak dicatat adalah perang dan damai, peristiwa-peristiwa besar yang menjadi tema-tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a respite between wars menunjukkan, situasi perang dan damai terus silih berganti dalam interaksi manusia. Hasil penelitian Zeev Maoz yang dikutip Holstoi, menunjukkan bahwa sejak Kongres Viena 1815 hingga tahun 1976, telah terjadi 827 macam konflik, 210 diantaranya terjadi di abad ke-19 dan sisanya 617 terjadi di abad ke-20.9

Dalam Buku edisi sebelumnya Holsti mengutip data Quincy Wright yang mengidentifikasi perang di Negara-negara barat sejak 1480 hingga 1940 sebanyak 278 peristiwa10 dari kedua data ini, Wright dan Maoz mempunyai kesimpulan yang sama yaitu bahwa periode paling damai terjadi pada pada masa setelah perang napoleon sampai dengan Perang Dunia I. Lebih lanjut, Maoz menyimpulkan periode paling tinggi tingkat konfliknya terjadi setelah Perang Dunia ke II.11

Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia. Dalam studi internasional, perang secara tradisional adalah

      

9 K.J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, 6th edition New jersey; Prentice Hall Inc, 1992, hal. 351.

10 K.J Holsti, Politik Internasional : Kerangka Analisa, Terjemahan, Jakarta Pedoman Ilmu Jaya, 1987, hal. 590.

penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila Negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan12. konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan bahkan teror.

Ada 5 tahap dalam definisi konflik yaitu:

1. Situasi stabil damai yang didefinisikan sebagai stabilitas politik tingkat tinggi dan legitimasi rezim yang terarah;

2. Situasi ketegangan politik yang didefinisikan sebagai meningkatnya tahap ketegangan sistemik dan semakin terbelahnya faksi-faksi sosial dan politik;

3. Tahap konflik politik dengan kekerasan yang mengarah pada krisis politik seiring dengan merosotnya legitimasi politik dan semakin diterimanya politik faksional dengan kekerasan;

4. Konflik intensitas rendah, yaitu perseteruan terbuka dan Konflik bersenjata, antara faksi, tekanan-tekanan rezim, dan pemberontakan-pemberontakan.

5. High-Intensity Conflict, yaitu perang terbuka antar kelompok dan atau penghancuran misil, serta pengungsian penduduk sipil yang lebih dari 1000 orang terbunuh.13

Perang merupakan perilaku mendasar dalam interaksi manusia yang didorong oleh naluri agresi, sebab-sebab sosial dan politik, serta peristiwa-peristiwa perang dan jumlah korban, namun selain sisi agresif, manusia juga

      

12 Graham Evans and Jeffrey Newnham, The Penguin Dictionary of International

Relations, London; Penguin Books, 1998, hal. 565.

mempunyai kecenderungan untuk hidup berdampingan dan mengontrol konflik serta mengembangkan simpati dan empati serta melakukan perang dengan cara-cara yang beradab, dengan pemikiran itulah maka muncul ide untuk membuat aturan-aturan yang dapat mengurangi penderitaan yang terjadi di dalam perang

Hukum Humaniter internasional (HHI), sebagai salah satu bagian hukum internasional merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh setiap Negara, termasuk oleh Negara damai atau Negara netral, untuk ikut serta mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di berbagai Negara. Dalam hal ini HHI merupakan suatu instrumen kebijakan dan sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan oleh semua aktor internasional untuk mengatasi isu internasional berkaitan dengan kerugian dan korban perang

Mengurangi penderitaan korban perang tidak cukup dengan membagikan makanan dan obat-obatan, tetapi perlu disertai upaya mengingatkan para pihak yang berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas-batas perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait menghormati dan mempraktikkan HHI karena HHI memuat aturan tentang perlindungan korban konflik serta tentang pembatasan alat dan cara perang.

Keikutsertaan suatu Negara, dalam mempraktikan aturan HHI atau dalam mengesahkan perjanjian HHI (Perjanjian internasional di bidang HHI), merupakan himbauan bagi Negara-negara lainnya, termasuk bagi Negara-negara potensial terlibat dalam perang, untuk berbuat serupa dalam menghormati dan mengikatkan diri dengan perjanjian HHI. Artinya, makin banyak Negara yang mengakui norma-norma HHI makin besar harapan akan penghormatan dan pelaksanaan HHI

oleh Negara yang sedang berperang maupun yang tidak terlibat dalam peperangan.

Walaupun HHI merupakan aturan-aturan yang akan akan diberlakukan pada waktu perang, persiapan pelaksanaannya harus disiapkan semenjak masa damai, baik oleh masing-masing Negara maupun dalam hubungan antarnegara. Demikian telah disepakati oleh masyarakat internasional, sebagaimana termuat dalam berbagai perjanjian internasional HHI. Kesepakatan tersebut dapat dipahami mengingat, pada waktu perang kesempatan mempersiapkan pelaksanaan HHI akan semakin berkurang dibanding keinginan para pihak untuk mengejar tujuan perang masing-masing.

Istilah hukum humaniter internasional atau HHI sering digunakan secara bergantian di dalam berbagai dokumen dan literatur. Istilah ini digunakan dalam Protokol Tambahan I/1977 atas Konvensi-konvensi Jenewa 19549 tentang perlindungan korban sengketa bersenjata internasional. Secara rinci ICRC menguraikan maksud dari istilah ini sebagai berikut :

“HHI berarti aturan-aturan internasional yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian internaisonal atau kebiasaan yang secara spesifik, diharapkan untuk mengatasi masalah-maslaah kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan, membatasi hak dari para pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik, di samping

itu ICRC juga sering menggunakan istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai alternatif dari istilah HHI.

Istilah Hukum Humaniter merupakan istilah baru yang mulai dikenal di Indonesia pada akhir tahun 70-an sehingga tidaklah mengherankan apabila masih banyak yang belum mengetahui artinya. Dalam rangka lebih mengenalkan Hukum Humaniter dan sekaligus menyebarluaskan isinya, pada permulaan tahun 1980 pemerintah indonsia, yang menjadi pihak dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949, merasa perlu untuk memenuhi kewajibannya untuk memperkenalkan isi konvensi. Untuk kepentingan itu dibentuklah suatu Panitia Tetap Penerapan dan Penelitian Hukum Humaniter yang mempunyai tugas antara lain merumuskan pokok-pokok kebikjasanaan mengenai keseragaman penyebarluasan Hukum Internasional Humaniter melalui pendidikan dan penerangan.

Dalam rangka turut serta menyebarluaskan Hukum Humaniter, Departemen Hankam telah mengadakan penataran bagi para perwira pengajar sebanyak empat angkatan. Penataran untuk angkatan pertama dimulai pada tanggal 25 Mei 1981, perlu ditambahkan bahwa penyebarluasan Konvensi Jenewa di kalangan ABRI, terutama perwiranya, telah dimulai sejak tahun 50-an. Departemen Kehakiman telah pula mengadakan penataran angkatan pertama bagi para dosen Universitas Negeri se-Jawa yang dibuka pada tanggal 6 Desember 1982. Dengan adanya usaha-usaha tersebut diatas diharapkan seiring berjalannya waktu Hukum Humaniter telah dikenal dan tersebar secara meluas, terutama di kalangan cendikiawan dan ABRI.

Hukum Humaniter Internasional yang dahulu dikenal sebagai Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata adalah sebagai salah satu cabang dari Hukum Internasional Publik. Hukum ini memiliki usia sejarah yang sama tuanya dengan peradaban umat manusia. Pada dasarnya segala peraturan tentang perang terdapat dalam pengaturan tentang tingkah laku, moral, dan agama. masing-masing agama seperti Islam, Kristen, Budhha, Yahudi memuat segala aturan mengenai hal yang bersangkutan dengan ketiga hal diatas.

Salah satu contohnya di dalam Agama Islam, berperang dalam ajaran Islam hanya boleh dilakukan jika dalam keadaan terdesak untuk mempertahankan diri dan tidak pernah digunakan sebagai satu kegiatan menyerang umat lain14, Perundangan-undangan tentang berperang terdapat pada dalil Al-Qur’an dan hadits, dan walaupun islam dalam situasi yang telah disinggung mengizinkan, namun agama islam tidak membiarkan peperangan yang dilegalkan itu tanpa batasan dan etika. Adapun prinsip pembedaan kombatan dan warga sipil ini juga sebenarnya telah termaktub di dalam Al-Qur’an lebih dari 10 abad sebelum adanya formulasi HHI yang baru muncul pada tahun 1864, yakni firman Allah SWT :

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”15

Dalam tafsir al-Qurthubi, sahabat Ibnu Abbas Ra, Umar bin Abdul Azis dan Mujahid menafsirkan ayat diatas sebagai berikut :

      

“Perangilah orang yang dalam keadaan sedang memerangimu,dan jangan melampaui batas sehingga terbunuhnya perempuan, anak-anak,tokoh agama dan semisalnya.”

Atas dasar inilah maka segala bentuk pertempuran hanya terjadi di