BAB V PENUTUP
B. Saran
Setelah menyelesaikan penelitian ini, penulis memberikan beberapa saran anatara lain:
1. Bagi para praktisis dan ilmuan dakwah untuk terus mengembangkan sarana dakwah yang efektif, dan memperhatikan dunia sastra karena dakwah melalaui media cetak untuk saat ini juga efektif dan efisien.
2. Bagi pengarang novel, diharapkan terus membuat karya-karya yang lebih inovatif tetapi tetap mengandung materi dakwah yang relevan, sehingga dapat bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.
3. Bagi pembaca novel, hendaknya tidak sekedar menikmati novel sebagai sarana hiburan saja tetapi pelajari dan terapkan nilai-nilai yang baik yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Muh. Wasith. 2016. Relevansi Dakwah Sufistik Imam Ghazali Bagi Masyarakat Indonesia. Volume 1, No. 7. Bangka Belitung: Jurnal Dakwah dan Sosial Kemanusiaan.
Al-Muthlaq, Ibrahim bin Abdullah. 2008. Seni Berdakwah. Yogyakarta: Insan Madani
Aminuddin, dkk. 2014. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Bogor: Ghali Indonesia
Aripudin, Acep. 2011. Pengembangan Metode Dakwah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Asmara As. 1992. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra
Daud Ali, Muhammad. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers
Eriyanto. 2011. Analisis Isi. Jakarta: Prenadamedia
Ibrahim. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Ilaihi, Wahyu. 2010. Komunikasi Dakwah. Bandung: Remaja Rosdakarya Kasman, Suf. 2004. Jurnalisme Universal Prinsip-prinsip Dakwah bi
Al-Qalam dalam Al-Quran. Jakarta: Teraju
Kosasih, Ahmad. 2002. 33 Butir Pesan Religious Buat Kehidupan. Jakarta: Salemba Diniyah
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikas. Jakarta: Prenadamedia
Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rodakarya
Munir Amin, Samsul. 2013. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Purwanto, Edi & Sufiroh, Siti. 2007. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Piranti Dharma Kalokatama
Ruslan, Rosady. 2010. Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Saputra, Wahidin. 2012. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syukur, Abdul. 2017. Dahsyatnya Sabar, Syukur, Ikhlas dan Tawakal. Yogyakarta: Safirah
Yunus, Umar. 1985. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: PT. Gramedia Zainuddin. 1992. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: PT.
Rineko Cipta
Sumber Internet
http://www.profilpedia.com/2016/11/biografi-tere-liye.html diakses pada tanggal 03 september 2018 pada pukul 10: 00
Lampiran-lampiran Cover Novel Ayahku (bukan) Pembohong
Rincian Kategori Akidah
No Halaman Kutipan Keterangan Rujukan
1 262 Astaga, andai kata ibuku sehebat itu sebelum menikah dengan ayahku, kenapa dia mau menikah dengan ayahku? Pegawai negeri rendah yang terlalu jujur dan sederhana.
Iman Kepada Qadha dan
Qhadar
Purwanto, 2008: 108
2 231 “Kami tidak tahu Dam.” Dokter
menggeleng. “Sebenarnya Ibu
kau bahkan bertahan lebih lama dibandingkan perkiraan ilmu medis. Saat pertama dia datang dengan keluhan sakit, itu dua puluh tahun lalu. Dokter pertama yang menanganinya adalah ayahku, menyimpulkan bahwa ibu kau hanya bertahan satu-dua tahun saja. Kau lihat, hari ini bahkan ayahku sudah
meninggal” Iman Kepada Qhada dan Qhadar Purwanto, 2008: 108
Rincian Kategori Syariah
No Halaman Kutipan Keterangan Rujukan
1 139 Alim Khan percaya, kembali menjadi petani, menghormati alam, hidup sederhana justru akan mengembalikan keindahan seluruh lembah. Dia menolak mentah-mentah bantuan dari luar yang hendak menjadikan lembah itu tambang pasir bijih besi., menawarkan harta benda bertumpuk
Muamalah Ali, 2008: 297
2 173 Seluruh penghuni kompleks ini mengenal kau. Dam yang ramah, baik hati, dan ringan tangan membantu. Dam selalu menyapa, Dam pandai mendamaikan pertengkaran
Muamalah Ali, 2008: 297
3 63 ‘Kau bilang apa? Keluarga
mereka amat terhormat meski tidak memiliki bola bertanda tangan sialan itu. Keluarga mereka bahkan lebih terhormat dibandingkan kolega bisnis paling kaya Papa. Sekali lagi kau menghina keluarga mereka miskin, menghina ayah Dam hanya pegawai negeri rendahan, Papa hukum kau berangkat sekolah jalan
kaki”.
Rincian Kategori Akhlak
Akhlak Mahmudah
No Halaman Kutipan Keterangan Rujukan
1 37 Ibu berkali-kali minta maaf pada Ibu Jarjit—yang menbuatku semakin jengkel, kenapa pula Ibu yang harus meminta maaf
Rendah Hati Kosasih, 2002: 184
2 17 “Meski memiliki apel emas—
benda paling berharga sedunia—penduduk Lembah Bukhara tidak pernah
menyombongkan diri,Dam”
Rendah Hati Kosasih, 2002: 184
3 24 “Atau kau perlu disiapkan tim
penyelamat. Aku khawatir rambut kau ini terlalu berat dan
membuat kau tenggelam”. Jarjit
masih terus sibuk
menggangguku, sengaja membuatku jengkel. Aku hanya menyengir tipis menatap Jarjit. Aku tidak akan tergoda menanggapinya
Sabar Achadi, 2016: 140
4 25 Itulah kenapa aku selama ini senang dengan cerita-cerita Ayah. Lihatlah, Jarjit bukan jengkel karena dipanggil pelatih, ia jelas-jelas jengkel karena gagal membuatku jengkel—padahal ia yang menzalimi
Sabar Achadi, 2016: 140
5 38 “Ah, yang menghina belum
tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri
Sabar Achadi, 2016: 140
dengan menghina orang lain”
6 149 “Seharusnya kau bisa
mengabaikan mereka, Dam. Seharusnya, kau bisa bersabar, bisa menerima olok-olok dengan ringan hati. Toh itu hanya olok-olok, tidak lebih
tidak kurang”
Sabar Achadi, 2016: 140
7 161 Suku Penguasa Angin sungguh
tidak memenangkan
pertempuran melawan penjajah.
Mereka memenangkan
pertempuran melawan mereka sendiri, melawan rasa tidak sabar, menundukan marah dan kekerasan di hati
Sabar Achadi, 2016: 140
8 294 Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya. Meski hidup sederhana, tidak memiliki perhiasan, ke mana-mana naik angkutan umum,. Dia paham, dan dia memilih jalan itu, karena Ayah sudah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu
Zuhud Achadi, 2016: 132
9 275 “…Kehidupan sederhana itu
pilihan Ayah. Hidup tanpa kesenangan berlebih, selalu berbuat baik, selalu bersyukur. Itu juga pilihan Ibu. Bahkan walau dia harus melepas karier bintang televisinya. Ibu amat bahagia dengan pilihanya, juga
Ayah. Kau keliru”
Zuhud Achadi, 2016: 132
10 294 “Ayah tidak menjadi hakim
agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik kepada semua orang, berbuat baik bahkan pada orang
Zuhud Achadi, 2016: 132
yang baru kenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar. Itu jalan hidup Ayah.dan itu juga yang dipilih ibu kau
11 274 “Ayah hidup sederhana karena
itu pilihanya Dam. Suara Taani
mulai serak. “Astaga, Dam.
Ayah lulusan terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa. Saat pulang dia bisa jadi hakim agung, bisa jadi pejabat tinggi. Dia bisa amat kaya dan berkuasa. Dia memilih sendiri untuk hidup sederhana. Dia
tidak lari dari apa pun”
Zuhud Achadi, 2016: 132
12 267 Meski Taani mengirimkan mobil di garasi rumah, Ayah tidak pernah menggunakanya. Ia
tertawa “Aku sudah terlalu tua
untuk menyetir”. Ayah tetap
menumpang kendaraan umum, suka mengunjungi tetangga, suka membantu orang lain yang bahkan tidak dikenalnya, amat bersahaja dalam banyak hal
Zuhud Achadi, 2016: 132
13 229 Aku menyeka ujung mata, teringat walau Ayah bertahun-tahun bercerita tentang petualangan hebatnya, tidak sekalipun kami pernah pergi jauh dari rumah. Ayah tidak punya cukup uang untuk pelesir. Uang Ayah dihabiskan untuk hal yang lebih berguna (menurut versi Ayah), membantu tetangga, menyumbang apalah
Zuhud Achadi, 2016: 132
14 273 Dan kau lupa, Ayah dikenal seluruh kota sebagai pegawai jujur dan sederhana. Dia tidak
kaya. Dia bukan pejabat tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela. Tidak pernah berbohong
2016: 132
15 59 Ibu meletakan kertas itu di atas meja, sesenggukan, menyentuh jemari Ayah, menatapnya dengan sejuta tatapan cinta.
“Kau telah mendidiknya
menjadi anak yang berbeda
sekali… Sungguh dia akan
tumbuh besar dengan pemahaman yang baik, hati dan kepala yang baik, meski itu terlihat aneh dan berbeda
dibandingkan jutaan orang lain”
Syukur Syukur, 2017: 10
16 291 “Itulah hakikat sejati
kebahagiaan hidup, Dam. Hakikat itu berasal dari hati kau sendiri. Bagaimana kau
membersihkan dan
melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, berbertahun-tahun-bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan yang datang dari luar hati kita. Hadiah mendadak, kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan itu semua tidak hakiki. Itu datang dari luar. Saat semua itu hilang, dengan hilang pula kebahagiaan. Sebaliknya rasa sedih, kehilangan, kabar buruk, nasib buruk, itu semua juga datang dari luar. Saat semua itu datang dan hati kau dangkal, hati kau seketika keruh
Ikhlas Syukur,
berkepanjangan”
17 292 “Berbeda halnya jika kau punya
mata air sendirir di dalam hati. Mata air dalam hati itu konkret, Dam. Amat terlihat. Mata air itu menjadi sumber kebahagiaan tidak terkira. Bahkan ketika musuh kau mendapat kesenangan, keberuntungan, kau bisa ikut senang atas kabar baiknya, ikut bahagia, karena hati kau lapang dan dalam. Sementar orang-orang yang hatinya dangkal, sempit tidak terlahit, bahkan saat sahabat baiknya mendapat nasib baik, dia dengan segera iri hati dan gelisah. Padahal apa susahnya
ikut senang”
Ikhlas Syukur,
Akhlak Madzmuah
No Halaman Kutipan Keterangan Rujukan
1 24 “Kau terlalu pendek untuk
menjadi pemenang dan rambut
kau, astaga”. Jarjit terbahak melirik kepalaku. “Kau harus hati-hati, jangan-jangan kalua kolam ini ada ikanya, mereka
menyangka itu sarangnya”
Hasad atau Dengki
Purwanto, 2007: 35
2 36 “Sepertinya kau harus
melupakan klub renang. Itu hanya untuk anak-anak keren. Pengecut keriting seperti kau tidak pantas bergabung, bisa membuat buruk foto-foto klub”
Hasad atau Dengki
Purwanto, 2007: 35
3 282 Taani benar, kebencian itu membuatku tidak adil. Kebencian itu membuatku menutup mata atas banyak hal. Aku tidak pernah tahu tentang ibu
Ghadad atau Marah
Purwanto, 2007: 34