• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. PENUTUP ………………………………………………………… 52-55

B. Saran-saran

Setelah Penulis mengambil sebagian dari ajaran agama Cina, khususnya agama Khonghucu yang berasal dari berbagai literatur, maka di sini Penulis mencoba untuk memberikan saran atau masukan untuk bahan kajian studi mengenai agama-agama, yaitu:

1. Semua pemeluk agama dapat mengembangkan sikap toleransi antar umat beragama, tidak saling mencurigai dan tidak menganggap bahwa hanya agamanya sajalah yang paling benar. Sehingga antar pemeluk agama tersebut dapat hidup

saling rukun, damai dan tenteram. Karena pada dasarnya, semua agama itu mengajarkan kebaikan, hanya saja tata caranya berbeda-beda.

2. Bagi Mahasiswa atau siapa pun yang belum pernah dan akan melakukan penelitian, khususnya studi lapangan, sebaiknya koreksi kembali jawaban atau hal-hal yang seharusnya diisi oleh responden, jangan sampai ada yang kosong, karena hal itu akan sedikit mempersulit kita ketika mengolah hasil jawaban tersebut.

3. Penulis sangat mengharapkan, agar buku-buku atau dalam bentuk literatur lainnya mengenai agama-agama di dunia atau agama kepercayaan yang lebih spesifik dapat diperbanyak, agar para pengkaji tidak mengalami kesulitan. Dan buku mengenai komunitas Cina Benteng Tangerang diadakan di perpustakaan khususnya perpustakaan kota Tangerang itu sendiri, agar masyarakat lebih banyak mengetahui sejarah dan tradisi yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

A.Haviland, William, Antropologi, edisi ke-4, Jilid 1, Jakarta: Erlangga, 1985. _________, Antropologi, edisi ke-4, Jilid 2, Jakarta: Erlangga.

Badudu, J. S., dan Zais, Sultan Muhammad, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. Ke-3, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Cheng, Albert, Thong Sing: buku Kebijaksanaan Cina, cet. Ke-2, Jakarta: Abdi Tandur, 2001.

Daruni, D., Su si: Kitab nan Empat, Solo: MATAKIN, 1985. Erniwati, Asap Hio di Ranah Minang, Yogyakarta: Ombak, 2007.

Etnik Tionghoa di Indonesia, Jakarta: Intisari, 2006.

F.O’dea, Thomas, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, cet.ke-2, Jakarta: Pustaka Jaya.

Hadi, Y. Sumandiyo, Seni dalam Ritual Agama,Yogyakarta: Pustaka, 2006. Halim, Wahidin, Ziarah Budaya Kota Tangerang, Jakarta: Pendulum, 2005.

Ham, Ong Hok, Riwayta Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005.

Hutomo, Suryo B. S., Tata Ibadah dan Dasar Agama Khonghucu, Jakarta: MATAKIN, 1983.

Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang, http/www.Arsitekturindis.com, diakses pada tanggal 22 Mei 2007.

Kelenteng Boen Tek Bio, Tangerang, tanpa Penerbit, tanpa Tahun.

Kelenteng Pak Kik Bio: Hian Thia Shiang Tee, 1951-2001, Surabaya: Widya Karya, 2001.

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet.ke-22, Jakarta: Djambatan, 2007.

_____________, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987. Lan, Nio Joe, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Jakarta: Keng Po, 1961.

Liliweli, Alo, makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta: Lkis, 2003. Lombard, Dennys, Nusa Jawa: Silang Budaya, edisi 2, Jakarta: Gramedia Indo-Pustaka,

2000.

Lukman, Ali dan kawan-kawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud, 1996.

MATAKIN, Kitab Bakti (Hau King), 2001.

_________, Kitab Tata Agama dan Laksana Upacara Agama Khonghucu, tanpa tahun. Ming, Chau, Mengenal Beberapa Aspek Filsafat Khongfusianisme, Taoisme dan

Budhisme, Jakarta: Akademi Budhis Nalanda, 1986.

MSH, Yoest, Tradisi dan Kultur Tionghoa, Jakarta: Gerak Insani Mandiri, 2004.

Pandita Mpu Jaya wijayananda, Ida, Makna Filosofis Upacara dan Upakara, Surabaya: Paramita, 2004.

Shadily, Hasan, Ensyklopedia Indonesia, jilid 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa tahun.

______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 3, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa tahun.

______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa tahun.

______, Ensyklopedia Indonesia, jilid 6, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, tanpa tahun.

Smith, Huston, Agama-agama Manusia (Terj.), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Suryadinata, Leo, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia (Terj.), Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta Yogyakarta: Kepel Press, 2008.

Tanggok, M. Ikhsan, Jalan Keselamatan Melalui Agama Khonghucu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, Tanpa Tahun.

Usman, H., dan Akbar, P.S., Metodologi Penelitian Sosiologi, Jakarta: Bumi Aksara, 2004.

RUMUSAN WAWANCARA DENGAN KOMUNITAS CINA BENTENG Nama : Agama : Alamat : Hari/Tanggal wawancara : Pertanyaan :

1. Sebagai komunitas Cina Benteng, apakah Anda tahu mengenai perahu keramat?

a) Tahu d) Tidak Tahu

b) Kurang Tahu e) Sangat Tidak Tahu

c) Sangat Tahu

2. Apakah Anda percaya dengan perahu keramat?

a) Percaya d) Tidak Percaya

b) Kurang Percaya e) Sangat Tidak Percaya

c) Sangat Percaya

3. Apakah Anda selalu melakukan ritual pemandian perahu keramat setiap tahunnya?

a) Ya (Selalu) d) Tidak Pernah

b) Kadang-kadang e) Tidak Pernah sama sekali

c) Jarang

4. Apa arti perahu keramat menurut anda? Jawab:

5. Apakah Anda percaya jika melakukan pemandian ritual tersebut seseorang akan diberikan kemudahan dalam mencari rejeki, jodoh, kesehatan dan sebagaianya?

a) Percaya d) Tidak Percaya

b) Kurang Percaya e) Sangat Tidak Tahu

c) Sangat Percaya

6. Apakah perahu keramat itu bagian dari kepercayaan agama Cina?

a) Ya b) Bukan c) Tidak Tahu

7. Apakah Anda setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa dalam agama Cina tidak ada tradisi mengenai pengkeramatan suatu benda (dalam hal ini perahu)?

a) Setuju d) Tidak Setuju

c) Sangat Setuju

8. Apakah Anda tahu sejarah pengkeramatan perahu keramat?

a) Tahu d) Tidak Tahu

b) Kurang Tahu e) Sangat Tidak Tahu

c) Sangat Tidak Tahu

9. Apa arti pemandian perahu keramat menurut kepercayaan agama Cina? Jawab :

10.Kapan pemandian perahu keramat itu dilakukan? Jawab :

11.Apakah dalam ritual pemandian perahu keramat ada ritual-ritual tertentu, dan biasanya pada jam berapakah pemandian perahu keramat itu dilakukan?

Jawab :

12.Apakah dalam ritual upacara pemandian perahu keramat tersebut dilakukan berdasarkan cara asli kebudayaan Cina?

a) Ya b) Tidak c) Tidak Tahu

13.Apakah ritual pemandian perahu keramat mendapat pengaruh dari tradisi masyarakat lokal?

a) Ya b) Tidak c) Tidak Tahu

14.Siapakah pemimpin yang memimpin dalam ritual pemandian perahu keramat? Jawab :

RUMUSAN HASIL WAWANCARA

Nama : Oey Tjin Eng

Jabatan : Budayawan dan mantan pengurus Kelenteng Boen Tek Bio

Agama : Khonghucu

Alamat : Jl. Ki Sama’un, Pasar Lama, Tangerang Hari/Tanggal : 20 Juli 2008

Hasil wawancara.

1. Tanya Apakah Anda sangat mengenal tradisi budaya masyarakat Cina?

Jawab: Saya masih dalam taraf pembalajaran untuk mengetahui lebih banyak lagi. Tetapi, kalau berbicara masalah budaya, banyak sekali, contohnya, bahasa itu termasuk budaya. Dalam bentuk upacara keagamaan juga ada, tetapi upacara dalam agama Cina terwarnai dengan agama khonghucu, karena dalam agama Budha tidak ada ajaran mengenai upacara.

2. Tanya: Dalam Kelenteng Boen Tek Bio ini tradisi apa saja yang selalu dirayakan?

Jawab: Saya akan sedikit menjelaskan dahulu mengenai inti dari pada kelenteng itu sendiri, yaitu memuliakan Tuhan, menghormati leluhur. Seperti perayaan Kwan Im Po Chou, perayaan ini dilaksanakan secara besar-besaran di Tangerang, tepatnya pada tanggal 19 bulan 9, sebagai hari pencapaian kesempurnaannya sampai kembali kepada penguasa langit dan bumi.

3. Tanya: Apakah tradisi dalam Kelenteng Boen Tek Bio ini ada yang mengalami proses akulturasi antara Cina dengan tradisi lokal? Tradisi apa saja?

Jawab: Kalau yang mengalami proses akulturasi antara agama Cina dengan tradisi lokal itu tidak ada. Tetapi kalau dilihat ke Kelenteng Sam Poo Kong, yang telah kita ketahui bahwa tokohnya (Ceng Ho)itu beragama Islam, tetapi penduduk lokal (Indonesia) ketika menziarahi tempat itu (Kelenteng Sam Poo Kong) menggunakan hio. Akan tetapi akaua kita melihat dalam Kelenteng Boen Tek Bio itu, tidak ada pengaruh dari tradisi lokal yang mengalami proses akulturasi itu hanya terdapat pada perahu keramat. Perahu keramat ini disimpan di sekitar jalan Imam Bonjo, Karawaci, kalau dari Kelenteng menyeberangi Sungai Cisadane dapat menggunakan sampan/getek.

4. Tanya: Pada tradisi pemandian perahu keramat dalam perayaan Peh Chun, Anda katakana bahwa tradisi ini mengalami proses akulturasi, tolong jelaskan!

Jawab: Hal ini dapat dikatakan mengalami proses akulturasi. Karena dalam tradisi agama tradisional, Cina tidak mengenal istilah keramat, yang biasanya menggunakan istilah ini etrdapat pada tradisi masyarakat lokal (dalam hal ini Jawa/kejawen)

5. Tanya: Apakah tujuan dan manfaat dari tradisi pemandian perahu keramat tersebut?

Jawab: denganmandi air kembang bekas pemandian perahu keramat, bagi yang percaya, air ini bermanfaat dan akan memperoleh keberkahan, keselamatan, enteng jodoh bagi yang lajang, serta dimudahnkan ekonominya.

6. Tanya: Apakah tradisi ini diadakan hanya oleh komunitas Cina Benteng saja, atau mungkin diadakan juga oleh masyarakat Cina lainnya selain di Tangerang?

Jawab: Tradisi pemandian perahu keramat ini hanya dilakukan di Tangerang ini.

7. Tanya: Dalam Kelenteng terdapat tiga agama Cina, apakah ketiga agama tersebut mempunya tradisi yang sama?

Jawab: Dalam Tri Dharma ini mesing-masing memiliki tata ibadah sendiri, tetapi untuk tradisi upacara tiga agama ini terwarnai oleh ajaran Khonghucu, karena agama Khonghucu itu merupakan agama Negara (Tiongkok).

8. Tanya: Kapan upacara pemandian perahu keramat itu dilakukan?

Jawab: Pada malam Tanggal 5 bulan 5 Imlek, atau dikenal akrab oleh masyarakat lokal dengan sebutan Go Gwe Che Go.

9. Tanya: Sejak kapan tradisi pemandian perahu keramat berlangsung?

Jawab: Sejak tahun 1912 Masehi

10.Tanya: Apakah dalam kitab suci terdapat ayat yang menyinggung tentang pemandian perahu keramat ini?

Jawab: Tidak ada, karena pemandian perahu keramat merupakan tradisi lokal dan bukan bukan tradisi Cina kuno.

11.Tanya: Persiapannya apa saja yang dilakukan untuk menyambut tradisi ini?

Jawab: Kira-kira sebulan sebelum diadakan acara pemandian perahu keramat, kami membentuk kepanitiaan yang terdiri atas pengurus perahu keramat (keluarga Rudi A. Kuhu) dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio. Dan untuk memeriahkan acara tersebut, panitia menyusun berbagai acara,

mulai dari pertunjukan Liong dan Barongsai, Gambang Kromong sampai acara puncaknya, pemandian perahu keramat.

12.Tanya: Adakah sesajian yang khas dalam melaksanakan tradisi pemnadian perahu keramat?

Jawab: Biasanya masyarakat Cina Benteng membuat Bacang dan Kue Cang sehari sebelum upacara pemandian perahu keramat dilaksanakan sebagai makanan khas hari raya Peh Chun. Bacang dan Kue Cang ini disajikan dengan makanan-makanan yang akan dipersembahyangkan di depan perahu keramat.

13.Tanya: Apa saja perlengkapan yang digunakan dalam tradisi ini? Serta apa saja arti simbolisasinya?

Jawab: Panitia menyiapkan sesaji di depan perahu keramat dan altar-altar para leluhur. Sesaji yang disediakan terdiri dari linma macam buah, yang disebut Ngo Koo (Wu Guo). Seperti pisang dan jeruk yang merupakan jenis buah-buahan pokok yang digunakan dalam sembahyang. Sedangkan tiga buah lainnya boleh buah apa saja, kecuali jenis buah berduri seperti durian atau salak, karena buah berkulit tajam itu dipercaya dapat melukai. Pada saat memandikan perahu keramat, Panitia mempersiapkan air yang diambil dari Sungai Cisadane, dicampur dengan kembang tujuh rupa, dan kain merah (sebagai warna keberuntungan dan penolak bahaya), berbentuk persegi sebanyak 500 lembar. Dan kain merah ini akan dibagikan kepada siapa saja yang ingin ikut serta memandikan perahu keramat ini.

14.Tanya: Bagaimana tata cara dan waktu pelaksanaannya?

Jawab: Mendekati pukul 00:00, semua yang hadir di lokasi upacara berkumpul di tempat penyimpanan perahu keramat, diawali dengan pembacaan doa-doa yang dipimpin oleh pemuka agama Budha. Kemudian kain yang berwarna merah sepanjang 11 meter yang menutupi perahu keramat itu dibuka. Dan diatas kain tersebut terdapat kain yang berbentuk bunga sebanyak 5 ikat dan beraneka warna, yaitu berwarna hijau, kuning, biru/hitam, putih dan merah. Masing-masing sepanjang 5 meter. Setelah dibuka, perahu keramat disiram dengan air yang diambil dari Sungai Cisadane (karena masyarakat sekitar Sungai Cisadane percaya bahwa denag menggunakan air sungai itu akan mendapatkan keberkahan). Dan agar lebih tercium aroma segar ditambahkan shampoo. Pemandian perahu keramat ini dimulai oleh keturunan keluarga nanak buyut Rudi A. Kuhu, kemudian para pengurus perahu keramat dan perkumpulan Kelenteng Boen Tek Bio, kemudian

diteruskan dengan warga yang ingin memandikan perahu keramat, baik dari komunitas Cina Benteng maupun masyarakat lokal.

15.Tanya: kemudian, apa arti simbolisasi dari lima warna kain tersebut?

Jawab: Tiga warna dari kain, yaituhijau, kuning dan merah, melambangkan warna naga. Hijau sebagai warna naga laut, kuning sebagai warna naga langit, dan merah sebagai naga darat. Dan kedua warna lainnya, putih dan biru atau dapat juga digantikan warna hitam, melambngkan Yin Yang

(keseimbangan).

16.Tanya: Apa yang membedakan antara Peh Chun dengan Twan Yang?

Jawab: Peh Chun (pesta air) dirayakan untuk mngenang jasa Khut Gwan yang telah banyak berkorban untuk negaranya dan setelah negeri tercintanya hancur, Khut Gwan merelakan dirinya mati dengan cara menceburkan diri ke Sungai Bek Lo. Kejadian tersebut bertepatan dengan hari raya Twan Yang. Jadi, sebelum adanya Peh Chun, masyarakat Cina sudah lebih dulu merayakan hari Twan Yang.

17.Tanya: Menurut Anda, apakah pengertian dan makna “keramat”?

Jawab: Keramat adalah mensaksalkan sesuatu, baik berupa benda suci atau yang mempunyai kekuatan supranatural, atau mensucikan orang yang telah meninggal dunia dan telah berjasa kepada masyarakat sekitar selama hidup di dunia.

18.Tanya: Mengenai kawin campur, perkawinan yang terjadi antara orang Cina dengan masyarakat lokal, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Jawab: Sebelumnya, saya akan menjelaskan bagaimana awal kedatangan orang-orang Cina ke Tangerang. Karena hal ini sangat berhubungan erat dengan terjadinya kawin campur antara Cina Benteng dengan penduduk lokal. Pada tahun 1407 terdampar sebuah peraahu di Teluk Naga yang dibawa oleh Tjen Tji Lung (Ha Lung). Perahu tersebut mengalami kerusakan dan juga kehabisan perbekalan. Menurut kitab Babad Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (catatan dari Parahnyangan), Ha Lung membawa 9 orang gadis dari Cina dan para gadis itu dinikahi oleh pegawainya yang berpenduduk lokal, Anggalarang, aeorang wakil adipati. Dan yang laki-laki dari Cina menikah dengan wanita pribumi atau yang disebut kawin campur. Seiring berjalannya waktu desa teluk Naga tersebut berkembang, setelah berkembang mereka pindah ke desa Pangkalan, di sana mereka semakin berkembang dan pindah lagi ke tempat lainnya.

19.Tanya: Sebenarnya, dalam agama Cina apakah ada larangan kawin campur?

Jawab: Tidak ada

20.Mengenai Cina Benteng, bagaimana asal usul penyebutan Cina Benteng itu?

Jawab: Dahulu di sepanjang pesisir Sungai Cisadane dari Babakan sampai Benteng Makasar ada sebuah benteng yang dibangun oleh colonial Belanda, benteng itu dibangun untuk tempat perlindungan atau benteng pertahanan Belanda ketika berperang dengan kerajaan Banten. Tapi sekarang benteng itu sudah hancur, ada yang bilang hancur karena terkikis erosi. Di daerah tersebut dijadikan tempat pengungsian orang-orang Cina samapai sekarang banyak komunitas Cina yang tinggal di sana. Orang-orang itulah yang disebut komunitas Cina Benteng karena tinggal di benteng.

21.Menurut Anda, apakah yang menjadi daya tarik atau ciri khas masyarakat Cina Benteng Tangerang?

Jawab: Komunitas Cina Benteng ciri-cirinya berkulit hitam, bahasa sehari-harinya berlogat Betawi-Sunda dan bicaranya canderung kasar, perekonomiannya pas-pasan.

22.Apa sebutan orang yang memimpin upacara agama dalam hal ini upacara tradisi pemandian perahu keramat?

Jawab: Dalam upacara pemandian perahu keramat, tidak ada sebutan tertentu untuk sebutan orang yang memimpin upacara.

23.Tanya: Dalam hal bahasa, apakah ada pengaruh bahasa lokal yang mesuk ke dalam dialektika bahasa Cina (Cina Benteng)?

Jawab: Jelas ada. Orang Cina Benteng mendapat pengaruh bahasa dari bahasa Sunda dan Betawi. Mayoritas masyarakatnya sudah tidak bisa berbahasa

Hokkian (Cina), termasuk saya, saya tidak bisa berbahasa Cina, tetapi kalau bahasa mandarin saya masih bisa.

24.Tanya: Apakah dalam keseharian masyarakat Cina Benteng menggunakan abahasa Cina untuk berintegrasi dengan sesame Cina?

Jawab: Mayoritas menggunakan bahasa lokal

25.Sebagian besar komunitas Cina Benteng itu mata pencahariannya sebagai apa?

Jawab: Mayoritas komunitas Cina Benteng pekerjaannya sebagai pedagang dan ada juga yang berprofesi sebagai nelayan di Sungai Cisadane, tukang becak. Sebagian besar komunitas Cina di Indonesia terdiri atas orang

Hokkian, yang biasanya berprofesi sebagai petani, nelayan, ahli perkebunan, pedagang. Kemudian ada juga orang Hakka, biasanya sebagai bekas kuli tambang batu bara,orang Tio Tjiu, biasanya sebagai juru masak, kemudin ada orang Kong Hu, sebagai ahli pahat, orang Hai Lan (Hinan), itu menurut Yan Qi Kwang, seorang guru besar universitas di Cina.

Dokumen terkait