PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA
IBADAH AGAMA CINA
(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)
Disusun Oleh:
RUQOIDAH NIM: 102032124646
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA
IBADAH AGAMA CINA
(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai
Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)
Oleh:
RUQOIDAH NIM: 102032124646
Di bawah bimbingan,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA NIP: 150 273 478
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQOSYAH
Skripsi yang berjudul Pengaruh Tradisi Lokal dalam Tata Cara Ibadah agama Cina (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio, di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tangerang), telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2008. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Strata
1 (S-1) pada jurusan Perbandingan Agama.
Jakarta, 6 Januari 2009
Sidang Munaqosyah
Ketua Sekretaris
Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Maulana,MA.
NIP: 150 326 915 NIP: 150 293 221
Anggota,
Penguji I Penguji II
Siti Nadroh, MA. Saiful Azmi, MA.
NIP: 150 282 310 NIP: 150 282 397
Pembimbing,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. Tidak ada kekuatan apa pun dalam diri ini, selain Karunia dan
Ridho-Nya. Dan karena anugerah-Nya lah , penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan judul : “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH
AGAMA CINA (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Komunitas Cina
Benteng, Tangerang)”, shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada sumber
inspirasi umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan bagi
seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan
skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan Penulis, dan diwarnai dengan
berbagai cobaan, tantangan dan penuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, tidak
berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. A. Dasuki Mahmud dan Hj. Marwiyah, atas
semua pengorbanan, kesabaran, support dan kasih sayang yang tiada terperih,
baik berupa moril mau pun materiil, serta doa yang tidak pernah putus sepanjang
masa untuk keberhasilan dan kesuksesan studi Penulis.
2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
univerasitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beserta staff dan
3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Agama dan
Bapak Maulana, MA., selaku sekretaris Perbandingan Agama.
4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA., terima kasih yang setulusnya kepada bapak
atas kesabaran yang sangat luar biasa dan telah bersedia meluangkan waktu untuk
mengoreksi san memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. Tanpa pengarahan
dan kritikan yang telah bapak berikan, skripsi ini tidak akan pernah selesai.
5. Bapak Agus Darmaji, M.Fils., sebagai ketua dalam sidang Munaqosyah dan
Bapak Maulana, MA., sebagai sekretaris Sidang Munaqosyah. Penulis ucapkan
banyak terima kasih atas kesediaannya untuk memimpin dan turut memberi nilai
dalam Sidang Skripsi Penulis pada tanggal 18 November 2008.
6. Ibu Siti Nadroh, MA., dan Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Pengguji I dan II
dalam sidang Munaqosyah Penulis.
7. Bapak Eva Nugraha, MA., yang telah membimbing saat KKN di Desa Cinangsih,
Tasikmalaya, mau pun setelah KKN. Begitu banyak ilmu dan pengalaman yang
bapak berikan kepada Penulis dan teman-teman KKN IKHLAS. Terima kasih
juga Penulis sampaikan atas budi baik bapak dan keluarga yang selalu
meluangkan waktu dan menyediakan tempat ketika teman-teman KKN IKHLAS
berkumpul. Semoga Allah SWT membalasnya.
8. Para dosen yang telah memberikan ilmu kepada Penulis di Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat, baik secara langsung mau pun tidak langsung, selama Penulis
menjalani perkuliahan di kampus tercinta.
9. Bapak Oey Tjin Eng, tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih yang
kesediaan bapak menjadi Informan Kunci dalam penulisan skripsi Penulis dengan
penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dibalas dengan semestinya dan
keberkahan serta kesehatan selalu menyertai bapak.
10.Warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat (komunitas Cina Benteng)
yang telah bersedia manjadi responden dan dapat mengisi questioner untuk memperkuat pembahasan dalam penulisan skripsi ini.
11.Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dengan cukup
lengkap, sehingga dapat mempermudah Mahasiswa dalam menyelesaikan
tugas-tugas kuliah.
12.Keluarga besar kakak-kakak Penulis, ka’ Yayah, yang selalu memberikan
motivasi belajar dan membimbing dengan sabar sejak awal Penulis duduk di
bangku Sekolah Dasar sampai kuliah sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi
S-1 ini. Terlalu banyak yang sudah ka’ Yayah berikan kepada Penulis, semua itu
tidak mungin terwujud tanpa dorongan dan bantuan ka’ Yayah. Dan ka’ Ali yang
telah memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi
ini. Ka’ Mimi, A Ujer, ka’ Nja, ka’ Robi, ka’ Hasbi, ka’ Irma, ka’ Wiwi, bang
Dilah, Sahid, dan adik-adik Penulis, Uut dan Nding, yang tidak pernah lelah
menanyakan penyelesaian skripsi ini dan memberikan semangat agar cepat-cepat
13.Keponakan-keponakan Penulis, Reza, Ulya, Sefi, Jamil, Mikhail, neng Sarah,
Aufan, Zaki, Nayla dan Sabrina, yang selalu membuat Penulis tertawa di sela-sela
kepenatan mendera saat mengerjakan skripsi.
14.Hamami Nashirudin, S.Sos., Curahan tenaga, pikiran dan waktu yang diberikan
demi kelancaran penyelesaian skripsi ini sangat berarti dan yang sangat berkesan,
hanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan semuanya.
15.Keluarga besar Bapak H. Tri Suheri dan Ibu Hj. Iroh Masturoh. Mba Ida, Mas
Boy dan Angga, semua ini tak lepas dari doa kalian semua. Terima kasih atas doa
dan dukungannya selama penulisan skripsi ini hingga Penulis dapat
menyelesaikannya walau dengan kurun waktu yang sangat lama.
16.Kawan-kawan seperjuangan di kelas Perbandingan Agama “Angkatan 2002”.
Nunu, Yeyeh, Sahal, Acun, Desi, Phei, Parida, Mia, Abew, MC, jeng Tati, mba Eni, dan semua teman-teman yang tak dapat ditulis satu-persatu.
17.Kawan-kawan KKN IKHLAS 2005, Desi, Puji, Abew, MC, Adam, Amsari,
Aisyah, Norma, mpo Dhinul, Mely, Ida, Iwan, Ade, Sri, Nurur dan Anwari.
Pengalaman KKN bersama kalian selalu membuatku rindu. Semoga kebersamaan
kita akan selalu terjaga.
18.Teman-teman di MAN 1 Tangerang. Umroh, Dedeh, Elisa. Terima kasih untuk
nasehat dan dukungan semangat kepada Penulis. Tak lupa untuk teman-teman
Gatress lainnya: Yani, Atun, Eva, Iyom, Ina, Eni, Oom, dan Leni. I miss you all.
19.Teman-teman di Semanggi, Ical yang telah memberikan saran dan nasehatnya.
Ayik, terima kasih atas kritik dan saran yang sudah diberikan dalam penyusunan
Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima
segala kebaikan dan ketulusan mereka. Terakhir, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
dan dapat menambah khasanah dalam keilmuan kita semua. Amin.
Jakarta, 18 Nopember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….... i
HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………. iii
MOTTO ………. iv
DEDIKASI ………. .. v
KATA PENGANTAR ……… vi
DAFTAR ISI ……… ix
BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1-14 A. Latar belakang Penulisan ……….. 1
B. Perumusan masalah ………... 9
C. Pembatasan Masalah .……… 9
D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan ……….. 10
E. Kerangka dan Kajian Teori ……… 11
1. Tradisi Lokal ……….. 11
2. Praktek Agama ………... 12
3. Keramat ……….. 14
F. Sistematika penulisan ………... 14
BAB II. GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG ……… 16-30 A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk ………..…. 16
B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng ……….. …... 20
D. Kawin Campur (Integrasi) ……….. 24
E. Mata Pencaharian ……… 26
F. Bahasa ……… 28
BAB III. PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG ....……… 31-39 A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal ……… 33
B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakt Lokal ………. 37
BAB IV. PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH CHUN ……… 40-51 A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya ……..……… 40
B. Tata Cara ……… 43
C. Perhitungan Waktu Pelaksanaan ……… 46
D. Tujuan dan Manfaat ……….. 48
E. Analisis Kritis ……… 48
BAB V. PENUTUP ……… 52-55 A. Kesimpulan ……… 52
B. Saran-saran ……….... 54
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Tiongkok, atau Chung-kuo dalam bahasa Mandarin, artinya Negara Tengah. Nama ini baru populer sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama setelah lahirnya
Republik Tiongkok pada tahun 1912.1 Negara Cina memiliki jumlah penduduk terbesar
di seluruh dunia, sekalipun program Keluarga Berencana dianjurkan. Sejak beberapa
ratus tahun sebelum masehi, peradaban Cina telah tumbuh dan berkembang dengan pesat
dalam bentuk kebudayaan masyarakat. Mulai dari fisik arsitektur bangunan, administrasi
pembangunan hingga tradisi spiritual dan agama. Dalam sejarah peradaban dunia,
masyarakat Cina dikenal dengan kebudayaannya yang sampai saat ini masih kental.
Ajaran-ajaran spiritual seperti Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme dipercayai secara luas oleh masyarakat Cina. Begitu kuatnya masyarakat memegang teguh tradisi spiritual
itu, berbagai praktek keagamaan tetap terpelihara sejak awal masuk ke negara Indonesia
sampai saat ini dan telah mewarnai kehidupan masyarakat Cina perantauan di Indonesia.
Kehidupan keagamaan komunitas Cina perantauan juga menggambarkan
fenomena ini. Meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat setempat, meskipun kehidupan mereka senantiasa dilandasi suatu upaya
memelihara kepercayaan tradisi yang diperoleh dari negara asalnya.
Keberadaan Cina sebagai etnis minoritas di Indonesia dengan berbagai
permasalahannya, sering disorot secara umum. Mereka dikelompokkan sebagai suatu
etnis yang memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah, seperti
komunitas Cina yang tinggal di Sumatra Barat, Medan, Pontianak, Surabaya, Tangerang
dan daerah-daerah lainnya yang tersebar di Indonesia. Perbedaan ini bisa jadi karena
pengaruh pada saat waktu kedatangan, perbedaan daerah asal, dialek bahasa, pekerjaan,
pendidikan, budaya serta adat istiadat daerah tempat tinggal mereka yang baru.2
Bahkan dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas
mengatakan “Khonghucu bukan Cina”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi
tidak jelas. Namun, akhirnya pada zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid
(Gusdur), agama Khonghucu mulai mendapat ketenangan. Hal ini dapat di lihat dari
pertemuan Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh agama di Bali pada bulan Oktober
1999, dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing pada November 1999.
ketenangan yang merupakan angin segar bagi pemeluk agama Khonghucu ini tidak
pernah dijumpai pada zaman Orde Baru. Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah
mulai mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datangnya dari
presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut Gusdur,3 sebuah agama dapat
dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupi agama
bukan jaminan pemerintah, tapi hati manusia. 4
Dalam Ensiklopedi Indonesia,5 dikatakan bahwa peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen,6 dan kompleks. Secara kultural, mereka terbagi atas: peranakan, yaitu Tionghoa yang berbahasa daerah sebesar 55% dan lahir di tanah Indonesia. Peranakan yang dimaksud bukan hanya dalam artian biologis
saja tetapi juga dalam arti kebudayaan. Di rumah, mereka memakai bahasa sehari-hari di
mana mereka tinggal, misalnya di Jawa, mereka memakai Bahasa Jawa, begitu juga
komunitas Cina Peranakan yang tinggal di Tangerang. Kebanyakan dari mereka tidak
bisa menggunakan bahasa Cina. Adat istiadat mereka juga tidak sepenuhnya Cina, tetapi
mereka telah mengambil adat istiadat daerah setempat,7 dan komunitas Cina Totok, yaitu komunitas Cina yang berbahasa Cina sebanyak 45%, mereka sangat memegang teguh
adat istiadat Cina. Oleh sebab itu, komunitas Cina pun menganut kepercayaan yang
berbeda-beda, seperti: Budha, Tao, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, Sam Kauw (Tri
Dharma) dan kebatinan.
Menelusuri jalan kehidupan sebagian dari penduduk Negeri Cina yang ingin
mengadu nasib di “negeri seberang”, maka sampailah beribu-ribu orang dalam waktu
puluhan tahun ke berbagai kawasan. Kisah keberanian suatu generasi yang mendobrak
keadaan untuk mengubah nasib keturunannya itu kemudian terangkai dalam kisah
bagaimana kaum pendatang berintegrasi dengan dunia barunya. Di Indonesia, Kaum
pendatang dari Cina itu cukup banyak sumbangsihnya dalam mengembangkan
perkebunan dan teknologi. Tanpa terasa kaum pendatang melebur melalui budaya,
teknologi, kuliner dan perkawinan dengan masyarakat pribumi.8
Meja leluhur adalah suatu ajaran Cina yang masih dipertahankan oleh masyarakat
Cina peranakan, tetapi dengan berbagai sifat yang sama sekali bukan adat Cina. Seperti
yang diketahui bahwa kebudayaan di Tiongkok 100% patrilokaal.9 Hal itu juga terlihat
7 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 35. 8 Pribumi: Penduduk asli suatu wilayah. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 428.
pada meja sembahyang leluhur, ajaran yang paling penting bagi mereka. Di meja
sembahyang tidak diperbolehkan adanya sin-ci,10 pihak perempuan, namun di Jawa larangan tersebut diabaikan.
Hari raya Ywan Yang, ialah hari suci bersujud ke hadirat Thia Yang Maha Esa
yang telah dilakukan umat Khonghucu sejak zaman purbakala. Kata Twan Yang berasal
dari bahasa Hokkian, Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau
sumber, dan Yang artinya sifat positif atau matahari; jadi Twan Yang ialah matahari yang
memancarkan cahaya paling keras atau terang. Hari raya ini juga disebut Twan Ngo.
Ngo, artinya saat antara pukul 11:00–13:00; jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat
tengah hari. Saat itulah pada perayaan Peh Chun, matahai benar-benar melambangkan
curahnya Rahmat Tuhan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cahaya
mataharimerupakan sumber kehidupan, lambing rahmat dan Kemurahan Thian atas
manusia dan segenap makhluk hidup.
Perayaan Peh Chun ialah waktunya untuk bersuci, bersujud, menyampaikan
sembah dan syukur kepada Thian. Perayaan ini dipercaya sebagai hari yang tepat untuk
memohon kapada Thian, dan mayarakat Cina percaya bahwa ramuan obat-obatanyang
dipetik pada saat hari itu akan lebih berkhasiat. Mereka pun percaya bahwa telur ayam
dapat berdiri tegak pada pukul 11:00-13:00, hal ini dikarenakan posisi matahari yang
tegak lurus. Peh Chun juga dapat diartikan merengkuh dayung atau beratus perahu,
milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariska kepada laki-laki. Lihat Ensiklopedi Indonesia jilid 5, hlm. 2585. Patrilokaal (Bel.): menetap di rumah pihak keluarga suami setelah menikah.
karena pada hari itu sering diadakan perlombaan perahu. Mengenai perlombaan perahu
itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang di zaman Cian Kok di negeri
Cho, yang kisahnya sebagai berikut:
“Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman peperangan (403-231 SM) sudah tidak berarti lagi sebagai Negara pusat. Pada zaman itu, ada tujuh negara besar. Ketujuh negara itu ialah Negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi, Cho dan Chien. Negeri Chien adalah negeri yang paling dan agresif, maka enam Negara lainnya itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi Negeri Chien. Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari Negeri Cho, beliau seorang tokoh yang Cho paling berhasil menyatulkan keenam negeri itu untuk menghadapi Negeri Chien. Oleh sebab itu, orang-orang Negeri
Chien terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan raja negeri Cho, Cho Hwai Ong.
Di negeri Cho ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti
Khongcu Lan, Siangkwan Taihu, Khien Sieng dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio Gi, seorang menteri dari Negeri Chien yang cerdik dan licik telah berhasil meretakkan dan merenggangkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho. Khut Gwan dipecat dari persatuan keenam negeri itu. Bahkan Cho Hwai Ong, tebujuk dengan janji-janji ynag menyenangkan, dan dating ke Negeri Chien untuk memenuhi undangan.
Sesampainya di sana, Cho Hwai Ong ditawan dan baru menyesali perbuatannya. Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan kepada Khut Gwan. Keenam negeri tadi pun dapat dipersatukan kembali walaupun tidak sekokoh dahulu. Pada 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien
dihancurkan dan dibinasakan 240.000 orang rakyatnya. Dengan adanya peristiwa tesebut,
Khut Gwan kembali difitnah akan membawa negeri Cho mengalami nasib seperti Negeri
Han dan Gwi. Akhirnya Khut Gwan dipecat kembali dan dibuang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Bik Loo. Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan sering merasa kesepian dan jenuh.
Pada saat itu, beliau berkenalan dngan seorang nelayan. Orang itu pandai menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu (bapak nelayan). Dengan Gi Hu ini Khut Gwan mendapat teman bicara meskipun pandangan hidupnyabtdak sepaham. Di sana, Khut Gwan dikejutkan dengan berita hancurnya ibukota negeri Cho, tempat bio leluhurnya itu diserbu oleh orang-orang negeri Chien.
Hal itu membuat Khut Gwan merasa kehidupannya tidak berari lagi. Suatu ketika, di saat hari raya Twan Yang, Khut Gwan mendayung perahunya ke tengah sungai Bik Loo, sambil dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitar, yang isinya mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Setelah sampai di tempat yang sudah sangat jauh dari kerumunan orang itu, Khut Gwan menenggelamkan dirinya ke dalam sungai yang deras alirannya. Beberapa orang yang mengetahui kejadian itu segera berusaha menolong, tetapi hasinya nihil, jenazahnya tidak ditemukan. Gi Hu, seorang nelayan yang berkawan dengan Khut Gwan mengerahkan kawan-kawannya untuk mencari, tetapi hasilnya sia-sia belaka.”11
Demikianlah, kematian Khut Gwan tidak sia-sia, kematian itu mampu menggerakkan hati rakyat kepada cinta yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu
yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan. Diadakannya perlombaanperahu yang dihiasi gambargambar naga (liong), mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu dari negeri Cho itu. Di Kota Tangerang, pada hari suci Twan Yang, disamping mengadakan perlombaan Perahu (Peh Chun), komunitas Cina Benteng juga mengadakan Upacara pemandian Perahu. Dan upacara ini hanya dilakukan oleh komunitas Cina
lainnya, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, bahkan di negeri Tiongkok sendiri
tidak ada upacara pemandian perahu yang dikeramatkan pada hari perayaan Peh Chun.
Mengenai kronologi perahu ini di keramtkan, berawal pada sekitar tahun 1850,
ketika nenek buyut Rudi A. Kuhu menemukan potongan kayu yang merupakankayu
bekas kapal yang hanyut terbawa arus dan melewati Sungai Cisadane. Potongan kayu itu
akan dijadikan kayu bakar karena masyarakat Tangerang pada saat itu masih
menggunakan kayu untuk memasak. Setelah beberapa hari setelah kayu itu dijemur,
nenek buyut Rudi A. Kuhu bermimpi, bahwa kayu itu memohon agar dirawat dan jangan
dijadikan kayu bakar.
Nenek buyut Rudi A. Kuhu percaya, jika menyimpan dan merawat kayu tersebut,
maka ia akan selamat dan terhindar dari bahaya. Karena itulah, nenek membangun
sebuah tempat untuk menyimpan potongan kayu itu di daerah Karawaci. Tempat
penyimpanan perahu itu awalnya hanya berupa gubug yang sederhana, namun dengan
berjalannya perkembangan zaman bangunan itu direnovasi sehingga menkjadi lebih
Kemudian sekitar tahun 1900, seorang Kapitan yang bernama Oey Khe Tay
membuat perahu papak hijau dan dua tahun kemudian (tahun 1902), para hartawan dan
dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu gang Kalipasir, gang Tengah (Cilangkap) dan gang Gula (Cirarab)membuat perahu papak merah untuk
disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Pada perayaan Peh Chun tahun 1911, saat perlombaan perahu papak hijau dan perahu papah merah, ada getek (rakit) yang
melintang di tengah sungai, sehinga perahu papak hijau menabrak dan terpantal hingga
jatuh di atas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah
pada bagian tengah badan perahu.
Perahu papak hijau yang terbelah menjadi dua itu kemudian disimpan dan
disatukan dengan potongan kayu yang ditemukan nenek buyut Rudi A. Kuhu di kawasan
Karawaci. Walaupun perahu itu telah terbelah dua, komunitas Cina Benteng tetap
merawatnya, dan menganggap perahu tersebut adalah perahu yang keramat. Mereka juga
percaya bahwa jika mereka tidak merawat potongan kayu dan perahu itu, maka kampung
halaman mereka akan tertimpa musibah. Dari cerita itulah, masyarakat Cina Benteng
menganggap perahu itu sebagai perahu yang keramat.
Tidak hanya pendatang dari Cina saja yang memberikan sumbangsih terhadap
masyarakat Indonesia yang didiami oleh mereka, para pendatang itu pun mendapat
sumbangsih melalui berbagai elemen, termasuk dalam bidang bahasa, budaya dan tata
cara ibadahnya. Bahkan, tata cara ibadah dalam agama Cina telah mengalami akulturasi.
Hal ini terlihat pada tradisi mengkeramatkan suatu benda yang biasanya dilakukan oleh
padahal dalam tardisi Cina itu sendiri tidak mengenal keramat. Masalah akulturasi inilah
yang menjadi bahan pertimbangan Penulis dalam penulisan skripsi ini.
Tujuan Penulis membahas skripsi yang berjudul “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA” (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang) ini, untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai tradisi masyarakat lokal yang juga dipakai atau dilakukan oleh
masyarakat Cina Benteng, khususnya mengenai pemandian perahu keramat dalam
upacara Peh Chun. Dan seberapa besar pengaruh tradisi setempat terhadap peribadatan agama Cina dalam kelenteng tersebut. Penulis juga ingin mendeskripsikan tradisi
keagamaan yang dijalankan oleh komunitas Cina Benteng. Mengenai pemilihan terhadap
lokasi Boen Tek Bio ini berawal dari pertimbangan bahwa tempat ini merupakan suatu kelenteng tertua di kawasan Tangerang dan Kelenteng Boen Tek Bio ini memiliki hak
otonom dalam pelaksanaan upacara pemandian perahu keramat ini.
B. Perumusan Masalah
Komunitas Cina di berbagai daerah, masing-masing memiliki karakteristik
tertentu. Komunitas Cina Benteng di Tangerang memiliki karakteristik yang berbeda
dengan komunitas Cina lainnya, seperti yang terlihat dari segi bahasa, warna kulit,
kesenian, mata pencaharian dan juga ada perayaan-perayaan tertentu yang hanya ada di
Tangerang ini. Mengingat luasnya jarak dan waktu antara tradisi Cina asal dengan
1. Apakah ada tradisi lokal yang mempengaruhi tata cara ibadah komunitas Cina
Benteng, khususnya mengenai pengkeramatan suatu benda (perahu)?
2. Mengapa perahu itu dikeramatkan oleh komunitas Cina Benteng?
C. Pembatasan Masalah
Praktek ibadah dalam agama Cina begitu banyak. Agar tidak menyimpang dari
pokok pembahasan, maka Penulis membatasi pada masalah, “Pengaruh Tradisi Lokal
dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina, khususnya komunitas Cina Benteng di Kelenteng
Boen Tek Bio, Tangerang, dengan memfokuskan pada proses akulturasi antara tradisi
lokal terhadap upacara agama Cina, dalam hal ini pemandian perahu keramat.
D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan pendekatan:
1. Penelitian Kepustakaan (Library Researcah), Penulis mengumpulkan dan membaca bahan dari berbagai buku, majalah, koran dan literatur lainnya. Setelah
mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber tersebut, Penulis mengadakan
studi perbandingan terhadap tulisan-tulisan yang kemudian diambil satu
kesimpulan.
2. Penelitian Lapangan (Field Research), dalam metode ini Penulis meneliti dan datang ke objek-objek terkait dengan pendekatan dan mengadakan observasi baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini untuk mengetahui aspek lokalitas
bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan juga mempelajari interaksi dua kelompok. Dalam penelitian lapangan ini,
Penulis melakukan interview, yaitu Tanya jawab dengan pihak terkait yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain interview, Penulis juga menyebar questioner dan yang berperan sebagai respondennya, yaitu beberapa
warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat atau yang disebut komunitas
Cina Benteng, tepatnya jl. Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang.
3. Antropologi, istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, Anthropos, yang berarti ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia, dengan
mempelajari tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat,
kepercayaan pada masa lampau, masyarakat, dan kebudayaannya. Pendekatan
Antropologi ini dilakukan sebagai upaya untuk menunjang Penelitian
Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).
Berkaitan dengan tehnik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang dijadikan
pedoman di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yaitu “Pedoman
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta”, yang
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, dengan
E. Kerangka dan Kajian Teori 1. Tradisi Lokal
Pengertian dan Fungsi Tradisi Lokal
Kata tradisi menurut Ensiklopedi Indonesia berasal dari bahasa latin, “tradition”, yang artinya kabar, penerusan. Hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa
lampau mengenai adat, bahasa, tata kemasyarakatan, keyakinan dan lain sebagainya,
maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering kali
proses penerusan terjadi tanpa dipertanyaka sama sekali, khususnya dalam masyarakat
tertutup. Di mana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan paling baik diambil alih
begitu saja. Memang, tidak ada kehidupan menusia tanpa suatu tradisi. Bahasa daerah
yang dipakai, dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang.12
Sedangkan kata lokal juga berasal dari bahasa latin, “locus” yang artinya tempat. Lokal merupakan ruang yang jelas, suatu daerah setempat. Jadi, pengertian tradisi lokal
dapat diartikan sebagai adanya kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang
dijalankan oleh masyarakat yang tinggal di suatu tempat atau daerah tertentu.
2. Upacara atau Ritual
Pengertian dan Fungsi Upacara atau Ritual
Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan peringatan
pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia
untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka memperingati hari-hari bersejarah yang
dipimpin oleh pemimpin tertinggi dalam suatu organisasi atau biasa disebut dengan
upacara suci. Religi dan upacara merupakan suatu unsur dalam kehidupan manusia di dunia.13
Sedangkan kata upacara atau ritual berakar daru dua suku kata, yaitu upa dan
cara. Upa artinya mendekat. Dan cara berakar dari urutan car yang memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara artinya keseimbangan, keharmonisan dan
keselarasan dalam hidup akan mendekatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.14 Dapat
dikatakan, upacara adalah suatu permohonan dalam pemujaan berterima kasih atau
pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan-kekuasaan leluhur yang menggenggam
kehidupan manusia dalam tangannya. Dan fungsi dari upacara adalah sebagai alat
komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus
ditaati.
Peranan upacara juga dapat dikatakan agar selalu mengingatkan manusia
berkenaan dengan eksistensi,15 dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara, suatu masyarakat tidak hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk
menggunakan symbol-simbol yang bersifat abstrak,16 yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secara
rutin (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif,17 dan yang nyata menjadi kabur, dan upacara-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya
13 Ali Lukman dan kawan-kawan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud, 1996, hlm. 25.
14 Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna FilosofisUpacara dan Upakara, Surabaya: Paramita, 2004, hlm. 46.
15 Eksistensi: keberadaan, adanya. Lihat Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 197.
16 Abstrak: tidak berwujud, tidak berbentuk, tidak dapat dijangkau oleh panca indera.
bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi
sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata.18
Upacara merupakan suatu perwujudan dari atau agama yang memerlukan studi
dan analisa yang khusus. Upacara agama, yang bersama-sama mempunyai fungsi sosial
untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu agama memang
menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh,
tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi
mereka tidak hnya untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami
kepuasan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa mwlakukan
upacara adalah suatu kewajiban sosial.19
3. Keramat
Pengertian dan Fungsi Keramat
Kata keramat dalam Ensiklopedi Indonesia, yang ditulis oleh Hassan Shadily,
berasal dari bahasa arab dari kata keramah, yang artinya mulia, agung. Dalam pengertian Sufi, berarti pekerjaan luar biasa yang dilakukan para wali.20
Keramat dapat juga diartikan sebagai tempat atau sesuatu yang suci atau
disakralkan. Menurut R. Otto, keramat atau sacer adalah suatu konsep tentang hal yang gaib yang dianggap maha dahsyat, maha abadi, maha baik, adil, bijaksana. Dengan kata
lain, bahwa keramat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan.
18 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. xi-xii.
19 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hlm. 67-68.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan; bab ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan,
Perumusan Masalah, Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan, kerangka
dan Kajian Teori, yang terdiri atas Tradisi Lokal, Upacara atau Ritualdan
Keramat, serta Sistematika Penulisan.
BAB II : Gambaran Umum Komunitas Cina Benteng; bab ini menjelaskan tentang
Letak Geografis dan keadaan Penduduk yang merupakan tempat di mana
Penulis melakukan penelitian. Kemudian dengan Sejarah Kedatangan dan
Penyebutan Cina Benteng, Sistem Kekerabatan, Kawin Campur (Integrasi), Mata Pencaharian dan Bahasa.
BAB III : Proses Akulturasi dalam Komunitas Cina Benteng; dalam bab ini berisikan
tentang Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal, dan Unsur Mitos
dalam Masyarakat Lokal.
BAB IV : Pemandian Perahu Keramat dalam Upacara Peh Chun; dalam bab ini akan
mendiskusikan tentang Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan
yang digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya, Tata Cara,
Perhitungan Waktu Pelaksanaan, Tujuan dan Manfaat sertabdiakhiri dengan
Analisis Kritis.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG
A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk
Kota Tangerang yang mempunyai luas wilayah sekitar 17.729,746 hektar,21 lahir
melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993, pada tanggal 28 Februari 1993. Kini
pertumbuhannya begitu pesat. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang karena letak
geografisnya berbatasan dengan Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, yang
senantiasa terkait langsung dengan dinamika pembangunan nasional.22
Secara geografis, Kota Tangerang terletak antara 6 6 Lintang Selatan sampai 6 13
Lintang Selatan dan 106 36 Bujur Timur sampai dengan 106 42 Bujur Timur.
Sedangkan batas wilayahnya, yaitu:
1) Sebelah Utara
Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan, Kabupaten
Tangerang.
2) Sebelah Selatan
Berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok
Aren, Kabupaten Tangerang.
3) Sebelah Timur
Berbatasan dengan DKI Jakarta
4) Sebelah Barat
Berbatasan dengan Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.
Sebagai daerah yang sedang berkembang, Kota Tangerang mempunyai visi misi.
Untuk mewujudkan visi pengembangan Kota Tangerang sebagai kota Industri dan
perdagangan yang modern, mau tidak mau pemerintah Kota Tangerang harus
mengarahkan kota ini menjadi kota yang mandiri. Visi Kota Tangerang yaitu “Menuju
kota industri, perdagangan dan pemukiman yang ramah lingkungan dalam masyarakat
yang ber-akhlaqulkarimah.”
Misi adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenagna dan tanggung
jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi dan situasi yang diinginkan
pada akhir kurun waktu tertentu yang menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai
sebagai prasyarat terwujudnya visi. Dari rumusan visi diatas, dapat diuraikan misi yang
diemban Kota Tangerang adalah:
• Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik
• Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan mewujudkan
pemerintahan yang ramah lingkungan.
Sebelumnya, Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis
pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.23
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kota Tangerang, khususnya
wilayah Kelurahan Sukasari berjumlah 19.820 jiwa, yang terdiri atas 9.764 jiwa laki-laki
dan 10.053 jiwa perempuan. Rasio jenis kelamin laki-laki (sex ratio) penduduk Sukasari
Tangerang tahun 2008 adalah 9.764, artinya komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit
dibandingkan penduduk perempuan.
Di Kota Tangerang inilah, terdapat tempat ibadah tertua agama Cina yang disebut
Kelenteng Boen Tek Bio.24 Terletak di Jalan Bakti No. 4 Sukasari, Kecamatan
Tangerang. Di sekitar kawasan itu juga terdapat tempat tinggal dan pasar komunitas yang
disebut komunitas Cina Benteng. Keberadaan Kelenteng Boen tek Bio, yang didirikan
sekitar tahun 1684,25 ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Kota Tangerang.
Luas wilayah Kelurahan Sukasari sendiri 187 hektar,26 dilihat dari kondisi
geografis, Kelurahan Sukasari berbatasan dengan Kelurahan Sukaasih di sebelah Utara
Sukasari, Kelurahan Babakan di sebelah Selatan, Kelurahan Sukajadi di sebelah Barat,
dan Kelurahan Buaran Indah di sebelah Timur.
Melihat sisi keagamaan yang dianut oleh masyarakat Tangerang, khususnya
Kelurahan Sukasari, sangat variatif. Sama seperti keagamaan yang tersebar di
daerah-daerah lainnya di Indonesia, agama Islam menduduki jumlah penduduk yang mayoritas
pemeluknya, sebanyak 10.948 jiwa. Dan pemeluk agama Budha berada di peringkat
kedua, sebanyak 5.949, termasuk Khonghucu dan Tao di dalamnya.
Berikut ini akan ditunjukkan data jumlah pemeluk agama di kelurahan Sukasari,
Tangerang pada Tabel I.
24 Boen Tek Bio, kata Boen: sastra, Tek: kebajikan, Bio: tempat ibadah), menurut Claudine Salmon, dalam bukunya yang berjudul “Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia” menyebut Kelenteng Boen Tek Bio sebagai “Kelenteng Kebajikan Benteng”.
25 Kelenteng Boen Tek Bio, hlm. 2.
Tabel I
Jumlah Pemeluk Agama di Kelurahan Sukasari, Tangerang
No. Pemeluk Agama/ Religions Follower Jumlah
1. Islam 10.948
2. Kristen Protestan 2.844
3. Kristen Katolik 1.182
4. Hindu 127
5. Budha 5.949
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
Kelurahan sukasari memiliki sarana peribadatan dan beberapa majelis keagamaan
yang digunakan oleh berbagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Yang mana
keberadaan musholla paling dominan di Kelurahan Sukasari ini. Sedangkan Majelis
Ta’lim dan Majelis Budha menduduki peringkat pertama dan kedua yang kelompok serta
anggotanya paling dominan. Hal ini membuktikan bahwa komunitas Cina di Kelurahan
Sukasari cukup banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II dan Tabel III
berikut.
Table II
Sarana Peribadatan di Kelurahan Sukasari, Tangerang No. Sarana Peribadatan/ Religions Facility Jumlah Gedung
1. Masjid 9
2. Musholla 15
3. Gereja 5
5. Pura -
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
Tabel III
Jumlah Majelis Keagamaan di Kelurahan Sukasari, Tangerang JUMLAH No. Majelis Keagamaan Kelompok Anggota
1. Majelis Ta’lim 18 253
2. Majelis Gereja 1 30
3. Majelis Budha 3 79
4. Majelis Hindu 1 10
Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari
B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng
Awal kedatangan orang Cina ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Dalam
kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (catatan dari Parahyangan).
Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di
suatu daerah perkampungan nelayan di muara Sungai Cisadane, yaitu di Teluk Naga,
merupakan suatu tempat di mana awalya orang Cina datang ke Tangerang pada tahun
1407.27 Perahu rombongan Halung yang semula ingin mengunjungi Jayakarta, akhirnya
terdampar dan mengalami kerusakan serta perbekalan mereka telah habis.
Gelombang kedua, kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang dalam buku “Nusa
Jawa Silang Budaya”, pada tahun 1740 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Andrian
Valkenier telah terjadi pembantaian massal terhadap masyarakat Cina, lebih dari 10.000
orang Cina di benteng Belanda dibantai oleh Belanda28, mereka adalah korban berbagai
peraturan yang ruang geraknya dibatasi Belanda, mereka dituduh merencanakan
pemberontakan dan ingin menghancurkan VOC (Veneenigde Oostindische Compagnie). Belanda yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang
Cina ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan permukiman bagi orang
Cina pondok-pondok yang dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok
Aren dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir atau kali Pasir, Belanda mendirikan
perkampungan Tionghoa yang di kenal dengan nama Petak Sembilan.
Perkampungan ini kemudian dengan bertambahnya waktu berkembang menjadi
pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Dan rencananya
kawasan ini akan dijadikan sebagai kota Wisata Tangerang oleh pemerintah Kota
Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama.
Berbicara mengenai sejarah Cina Benteng sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama
sebagai suatu permukiman pertama bagi komunitas Cina di Tangerang. Persaingan
perdagangan yang keras terjadi antara Banten dan Batavia (Jakarta saat ini). Di suatu pihak, kompeni Belanda mendesakkan keinginannya untuk melakukan monopoli
perdagangan di wilayah kesultanan Banten. Akan tetapi di pihak lain, Sultan Banten
sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Karena terlalu
kerasnya persaingan itu, terjadilah konflik politik dan akhirnya terjadi konflik senjata.
Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang terjadi daerah pertahanan dan
merangkap sebagai medan pertempuran serta daerah rebutan antara Batavia dan Banten.
Kemudian Banten membangunan benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane
dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai
Cisadane untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari
tangan Belanda. Benteng itu sekarang sudah rata dengan tanah. Akan tetapi sangat
disayangkan tidak ada keterangan tahun berapa benteng itu didirikan. Itulah sebabnya,
dahulu daerah Tangerang dikenal dengan nama “Benteng” dan saat ini masih ada
segelintir orang yang menyebutnya demikian. Jadi, Cina Benteng merupakan komunitas
Cina yang tinggal di Benteng (Tangerang).
Cina Benteng tidak seperti Cina peranakan pada umumya yang berkulit putih
meletak. Cina Benteng memang sering diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam dan gelap. Sehingga sulit dibedakan dengan “orang kampung” (pribumi atau
masyarakat lokal).
C. Sistem Kekerabatan
Para ahli antropologi lebih banyak memberi perhatian pada cara orang memberi
nama kepada sanak keluarga mereka dalam berbagai masyarakat.29 Apa yang terungkap
dalam peristilahan kekerabatan itu? Dari situ sudah pasti kita dapat memperoleh
gambaran yang baik tentang struktur keluarga, hubungan-hubungan mana yang dinggap
dekat atau jauh, dan kadang terlihat sikap terhadap hubungan yang mana yang dianggap
penting.30
Isilah-istilah kekerabatan berbau Cina juga sangat diperhatikan. Istilah ncik-ncim, toaku-toakim, cek-kong-cimpo, dan lainnya masih dipetahankan. Sebagai perhormatan, orang lain yang baru dikenal sering disapa dengan kode, kependekan dari koko gede
(kakak laki-laki besar), cide atau cici gede (kakak perempuan besar). Istilah ini aslinya lambang kekerabatan seorang adik terhadap kakak laki-laki atau perempuan sulung.
Kedudukan perempuan bagi orang Cina dahulu adalah sangat rendah. Pada waktu
masih kecil, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada
waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Setelah menikah, seorang perempuan
harus tunduk kepada suaminya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar
rumah. Keadaan seperti itu sudah lama ditinggalkan. Seorang perempuan dapat mengikuti
perkumpulan-perkumpulan, sekolah dan dalam kehidupan ekonomi peranan pembantu
suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting. Pada masa sekarang ini,
wanita berhak mendapat harta yang sama dengan laki-laki dalam hal warisan. Bahkan
kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus
ikut tinggal di rumah orang tuanya. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada lagi
kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan, komunitas
Cina menganut sistem patrilinier. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu
sama eratnya dengan pihak ayah.31
D. Kawin Campur (Integrasi)
Pada tahun 1407, sebuah perahu terdampar di daerah Teluk Naga yang dipimpin
oleh Tjen Tjie Lung (Halung), menurut kitab Babad Sunda Tina Layang Parahyang, beliau membawa 9 orang gadis dari negeri Cina, 9 gadis ini dinikahi oleh wakilnya
adipati dan diberikan tanah, dan laki-lakinya mengalami integrasi, lalu berkembang dan
pindah ke desa Pangkalan, makin lama semakin berkembang mereka pindah lagi ke
daerah Pasar Lama, Pasar Baru, Serpong, dan Teluk Naga. Hal ini dapat terlihat dengan
adanya bangunan Kelenteng-kelenteng tua yang terdapat di daerah-daerah tersebut.
Perkawinan merupakan masa penutupan dalam kehidupan sesorang, yaitu dari
masa lajang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa,
bila ia telah menikah. Upacara perkawinan orang Cina di Indonesia adalah tergantung
pada agamanya yang dianut. Oleh karena itu, perkawinan orang Cina yang satu berbeda
lain dengan Cina lainnya. Perkawinan orang Cina Totok berbeda pula dengan yang dilakukan oleh orang Cina Peranakan. Sampai pada awal abad ke-20 perkawinan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami dan istri tidak mengetahui calon
kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari pernikahan. Sekarang keadaan
semacam itu sudah tidak banyak terjadi.
Orang Cina Peranakan dalam memilih jodoh mempunyai batasan-batasannya. Perkawinan yang dilarang yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga,
nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai mana she
yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya, saudara sepupu), dibolehkan.
Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan
kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki
menikah dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya pernikahan
seorang wanita dengan seorang anggota keluarga dari genarasi yang lebih tua, dapat
diterima. Alasan dari keadaan ini ialah seorang suami tidak boleh muda atau rendah
Peraturan lain ialah seorang adik wanita tidak boleh mendahului kakak wanitanya
menikah. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki. Tetapi
adik wanita boleh mendahului kakak laki-lakinya menikah, demikian juga adik laki-laki
boleh mendahului kakak wanitanya menikah. Akan tetapi, sering kali terjadi pelanggaran
terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada
kakaknya yang didahului menikah itu.32
E. Mata Pencaharian
Sebagian besar dari masyarakat Cina di Indonesia sekarang memang hidup dari
perdagangan dan hal ini suatu fakta terutama di Jawa. Dan diantaranya kebanyakan dari
mereka adalah orang Hokkian. Memang 50% dari orang Hokkian di Indonesia adalah pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatera ada banyak orang Hokkian
yang bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi
(Riau) orang Hokkian umumnya menjadi penangkap ikan. Orang Hakka di Jawa dan Madura banyak yang menjadi pedagang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha
industri kecil. Di Sumatera orang Hakka bekerja di pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani.
Masyarakat Cina yang datang dan telah mengalami akulturasi dengan masyarakat lokal (Indonesia) berasal dari suku Hokkian, Hakka, Tao Chiu, Hai Lan atau Hai Nan,
dan Kong Hu. Dalam komunitas Cina Benteng, mayoritas berasal dari suku Hokkian yang umumnya bermatapencaharian seperti petani, pedagang, nelayan, dan ahli perkebunan.33
Menurut penelitian seorang sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain
32 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 362-363.
Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang
keras, hal itu terjadi agar mereka bisa bertahan hidup.34
Keberadaan Cina Benteng menegaskan seakan tidak semua orang Cina
mempunyai posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan
tidak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Realitas Cina
Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat
etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi
ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, seorang
Pengamat Budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain
Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin Sampai sekarang masih
banyak komunitas Cina Benteng yang ekonominya pas-pasan atau bahkan kekurangan,
misalnya, jika melihat di belakang bangunan Kelenteng Boen Tek Bio, masih ada masyarakat Cina Benteng yang menjadi nelayan tepatnya di Sungai Cisadane, atau tukang becak yang penghasilannya tidak menentu tiap harinya. Terlebih lagi kalau
melihat komunitas Cina Benteng yang tinggal di desa desa dan pesisir pantai (Tanjung Kait dan Tanjung Pasir). Oey Tjin Eng pernah mengunjungi daerah tersebut dan
mendapati suatu rumah, yang terbuat dari anyaman dan bilik bambu, jika akan memasuki
rumah tersebut harus membungkukkan badan, karena terlalu kecil dan mudah rubuh jika disentuh. Hal itu sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan, yang umumnya
berprofesi sebagai pedagang dan dapat dikategorikan kelas menengah.
Sedangkan, jika dilihat secara umum mata pencaharian dari penduduk Kelurahan
Sukasari memang mayoritas berprofesi sebagai wiraswasta atau pedagang. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel IV berikut.
Tabel IV
Mata Pencaharian di Kelurahan Sukasari
No. Mata Pencaharian Jumlah
1. Karyawan
1) Pegawai Negeri Sipil
2) ABRI
3) Swasta
117
8
1.120
2. Wiraswasta atau Pedagang 2030
3. Pertukangan 5
4. Buruh Tani 105
5. Pensiunan 97
6. Jasa 53
Sumber: Laporan Monografi Kelurahan Sukasari
F. Bahasa
Sejak dahulu orang sudah tahu bahwa manusia dari aneka warna asal dan bangsa
itu mengucapkan beraneka ragam bahasa pula, tetapi suatu hal yang menarik perhatian
para ahli kesusastraan abad ke-18 yang mulai mempelajari naskah-naskah kuno dalam
bahasa arab, Sanksreta, Cina dan lain-lain, adalah adanya berbagai persamaan azasi
dalam bahasa-bahasa Eropa dengan bahasa Sankserta, bahasa klasik di India, baik
dipandang dari sudut bentuk kata-katanya, maupun dari tata bahasanya.
Bahasa adalah sistem untuk mengkomunikasikan dalam bentuk lambang, segala
macam informasi. Setiap bahasa manusia, baik Inggris maupun Cina adalah sarana untuk
individual, dengan orang lain.35 Bahasa mencerminkan realita kebudayaan dan kalau
kebudayaan berubah, bahasa pun akan berubah.36
Orang Cina yang ada di Indonesia, sebenarnya merupakan bukan suatu kelompok
yang berasal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa
yang berasal dari dua propinsi, yaitu: Fukien dan Kwangtung, yang saling berjauhan
daerahnya. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa ekbudayaan suku bangsanya
sendiri bersama dengan perbedaan bahasnya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah
bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang perbedaannya begitu besar, sehingga
pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti dengan pembicara yang lain.37
Bentuk-bentuk bahasa yang berbeda tetapi cukup besar persamaannya sehingga
dapat saling dipahami, dikenal dengan nama dialek. Secara teknis, semua dialek adalah
bahasa –tidak ada sesuatu yang bersifat parsial atau sub-linguistik pada dialek- dan batas
di mana dua dialek yang berbeda itu menjadi dua bahasa yang terpisah, pada garis
besarnya adalah batas di mana orang-orang yang berbicara dalam dialek yang satu hampir
sama sekali tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbicara dalam dialek
yang lain. Batas-batas itu dapat bersifat psikologis, sosiologis atau ekonomis, dan tidak
begitu jelas. 38
Telah disebutkan di atas, bahwa tidak seperti Cina Totok yang sampai sekarang
masih memegang teguh adat dan bahasa Cina. Masyarakat Cina Peranakan sebagian
besar sudah tidak dapat lagi menggunakan bahasa Cina, khususnya komunitas Cina
Benteng. Keunikan dari komunitas Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah
berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam
percakapan sehari-hari, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka
bahkan sudah sangat kental dengan Sunda pinggiran bercampur dengan bahasa Betawi.
Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang
berbahasa Ina.
Logat Cina Benteng memang khas. Misalnya, ketika mengucapkan kalimat, “mau
ke mana”, kata “na” diucapkan lebih panjang, sehingga terdengar “mau kemanaaa”.39 Hal
ini dikarenakan komunitas Cina Benteng sangat membuka peluang masuknya kebiasaan
dan tata bahasa masyarakat lokal, yang sebagian besar menggunakan logat Betawi.
BAB III
PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG
Proses akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila kelompok-kelompok atau
individu-individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan langsung
secara intensif, dengan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang
banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi, dan
semangat persaudaraan dalam hubungannya; siapa dan apakah datangnya pengaruh itu
timbal balik atau tidak. Akulturasi dapat diartikan sebagai, perubahan-perubahan besar
dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar kebudayaan yang
berlangsung lama40
Akulturasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang sesuai dengan hakikat
kebudayaannya. Proses ini mengarah kepada keserasian sosial yang bersifat wajar dan
manusiawi. Istilah akulturasi muncul sejak 1936 dikalangan Antropolog Amerika sebagai
reaksi terhadap studi rekontruksi histories yang dianggapnya kurang lengkap karena tidak
menceritakan seluruh perubahan sosio-kulturalnya. Oleh karena itu sampai sekarang studi
akulturasi dipandang sebagai salah satu bidang studi yang cukup terkenal mengenai
pemahaman proses sosio-kultural.
Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara
dua kebudayaan; keduanya saling memberi dan menerima, mengutip pendapat seorang
Antropolog, Shorter, yang mengatakan bahwa akulturasi adalah pertemuan antara dua
40
kebudayaan. Lebih lanjut seorang Antropolog lain, Bee (William A. Haviland:1985)
memberikan beberapa parameter mengenai pengertian akulturasi, diantaranya:
1. Akulturasi menunjukan kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi
apabila dua sistem budaya bertemu;
2. Akulturasi menunjukan kepada suatu proses perubahan yang dibedakan
dari proses-proses difusi41, inovasi,42 invensi,43 maupun penemuan; dan 3. Akulturasi dipahami sebagai suatu konsep yang dapat digunakan sebagai
kata sifat untuk menunjukan suatu kondisi, misalnya kondisi kelompok
budaya yang satu lebih terakulturasi dari budaya yang lain.
Oleh karena itu, beberapa studi akulturasi yang saling terkait dapat dibedakan
antara lain: beberapa sistem kultural; sifat dari situasi hubungan; keserasian atau
keakraban antara hubungan berbagai macam budaya; dan kehidupan proses budaya
karena adanya hubungan sistem.44
A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal
Masyarakat Cina Benteng sudah berakulturasi dan berintegrasi dengan lingkungan
dan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Seperti, yang terlihat jelas pada warna
kulitnya yang kecoklatan, tidak putih meletak pada umumnya komunitas Cina.
Mendengar mereka berbicara pun sudah sangat mirip dengan masyarakat lokal. Meski
demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat
41 Difusi, proses penyebaran sesuatu dari satu pihak ke pihak lain (tentang kebudayaan, teknologi, dan sebagainya; pengaruh pengalihan pranata budaya melewati batas-batas bahasa. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 185.
42 Inovasi, pembaharuan, pengenalan terhadap hal-hal yang masih baru. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 269.
43 Invensi, penciptaan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 272.
istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah tampak
pada keberadaan Meja Abu di setiap rumah orang Cina Benteng. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Cina Benteng selain mereka berakulturasi dan beradaptasi dengan
budaya masyarakat lokal (Betawi) namun mereka masih tetap mempertahankan tradisi
dan adat istiadat kepercayaan leluhur mereka yang sudah ratusan tahun. Akulturasi
budaya masyarakat Cina Benteng dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi) terlihat
pada busana pakaian pengantin yang merupakan campuran atau akulturasi budaya Cina
dengan Betawi, akulturasi bahasa, akulturasi kesenian dan sebagainya.
Melihat fenomena Cina Benteng Tangerang membuktikan bahwa betapa harmonis
dan toleransinya kebudayaan Cina dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Hal ini
membuktikan bahwa masyarakat Cina Benteng Tangerang hampir tidak pernah
mengalami friksi (permusuhan atau perpecahan) dengan etnis lainya.
Dalam proses akulturasi budaya, tentu keduanya saling mempengaruhi antara
budaya lokal dan budaya Cina, artinya bahwa ada aspek-aspek yang berperan, katakanlah
peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, atau ada unsur-usnur mitos dalam tradisi
masyarakat lokal. Tradisi budaya pengkeramatan dalam pemandian perahu pn ini
dikatakan tidak lain adalah pengaruh dari tradisi budaya masyarakat lokal Tangerang.
Koentjaranigrat membagi konsep kebudayaan kedalam tiga golongan,
diantaranya:
1) Gagasan
2) Kelakuan
Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan
dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil
kelakuan dapat diamati dan atau dapat diraba. Kelakuan dan hasil kelakuan adalah
produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan
antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan
sebab akibat; dan karena itu, gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan
sebagai sebuah golongan yang sama namanya kebudayaan.45
Dalam tataran peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, Ritual keagamaan
merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat; inilah agama
dalam praktek (in action). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan
peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu
mengganggu masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk
diderita.
Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang
berbeda-beda diantaranya
a. Upacara inisiasi / peralihan (rites of passage)46 yang mengenai tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia.
b. Upacara peralihan (rites of passage) merupakan upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahapan-tahapan yang penting dalam kehidupan manusia,
seperti upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian; dan
45 Seni dalam Ritual Agama, hlm.
c. Upacara Intensifikasi (rites of intensifikasi), yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi
satu47. Sedangkna upacara intensifikasi adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial. Upacara intensifikasi
dapat dikatakan upacara yang menyertai keadaan krisis dalam kehidupan
individu.
Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat
khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu
pengalaman yang suci.48 Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau
dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang Tertinggi, dan
hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi
sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang
pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama
ibadah atau liturgi. Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah
merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah
pengungkapan iman. Oleh karena itu, upacara ritual agama diselenggarakan pada
beberapa tempat, dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, dan berbagai
peralatan ritus lain yang bersifat sakral.
Berbagai macam bentuk ritual seperti itu merupakan transformasi simbolis dari
beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang
spontan, tanpa rancangan, dan kadang kala tanpa disadari, namun polanya benar-benar
47 Antropologi edisi keempat Jilid 2, hlm. 207
48
alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan
jenis-jenis ritus magi, yang didalamnya mengandung kekuatan yang menghubungkan
kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyangnya, dan mempengaruhi
kekuatan lainnya. Dalam masyarakat primitive (kuno) menirukan gerakan binatang tertentu sebelum berburu merupakan ritus magi imitative atau simpatetis, dengan maksud agar binatang yang diinginkan dapat ditangkap. Segala pengalaman manusia dari sejak
masyarakat primitive sampai sekarang, ternyata pengalaman religi dan pengalaman estetis tidak dapat dipisahkan.
Ritual ataupun ibadah merupakan transformasi simbolis dari
pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal
dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti
betapapun peliknya ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan tujuan yang disadari,
pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.49 Manusia ataupun
masyarakat menjalankan ajaran yang ada di dalam agamanya hanya terbatas pada ritual
yang dilaksanakan tanpa memahami kandungan dan isi dari ritual-ritual yang
dijalankannya, terkadanag banyak juga yang sama sekali tidak memahami tetapi
menjalankan ritual tersebut. Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara
individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi,
dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat)
yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau
seluruh masyarakat.50
49
Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985, hlm. 76.
50