• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh tradisi lokal dalam tata cara ibadah agama cina : studi kasus kelenteng Boen Tek Bio di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tengerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh tradisi lokal dalam tata cara ibadah agama cina : studi kasus kelenteng Boen Tek Bio di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tengerang"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA

IBADAH AGAMA CINA

(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)

Disusun Oleh:

RUQOIDAH NIM: 102032124646

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA

IBADAH AGAMA CINA

(Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Theology (S.Th.I)

Oleh:

RUQOIDAH NIM: 102032124646

Di bawah bimbingan,

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA NIP: 150 273 478

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA SIDANG MUNAQOSYAH

Skripsi yang berjudul Pengaruh Tradisi Lokal dalam Tata Cara Ibadah agama Cina (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio, di lingkungan komunitas Cina Benteng, Tangerang), telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 18 Nopember 2008. Skripsi

ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Program Strata

1 (S-1) pada jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 6 Januari 2009

Sidang Munaqosyah

Ketua Sekretaris

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Maulana,MA.

NIP: 150 326 915 NIP: 150 293 221

Anggota,

Penguji I Penguji II

Siti Nadroh, MA. Saiful Azmi, MA.

NIP: 150 282 310 NIP: 150 282 397

Pembimbing,

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil’alamin, Segala puji dan syukur Penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT. Tidak ada kekuatan apa pun dalam diri ini, selain Karunia dan

Ridho-Nya. Dan karena anugerah-Nya lah , penulis mampu menyelesaikan skripsi ini

dengan judul : “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH

AGAMA CINA (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Komunitas Cina

Benteng, Tangerang)”, shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada sumber

inspirasi umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW, yang selalu menjadi tauladan bagi

seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan

skripsi ini dihiasi dengan segala kekurangan dan kelemahan Penulis, dan diwarnai dengan

berbagai cobaan, tantangan dan penuh perjuangan serta kesabaran. Karena itu, tidak

berlebihan kiranya jika pada kesempatan ini, Penulis menyampaikan rasa terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda tercinta, H. A. Dasuki Mahmud dan Hj. Marwiyah, atas

semua pengorbanan, kesabaran, support dan kasih sayang yang tiada terperih,

baik berupa moril mau pun materiil, serta doa yang tidak pernah putus sepanjang

masa untuk keberhasilan dan kesuksesan studi Penulis.

2. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

univerasitas islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Beserta staff dan

(5)

3. Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA., Ketua Program Studi Perbandingan Agama dan

Bapak Maulana, MA., selaku sekretaris Perbandingan Agama.

4. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, MA., terima kasih yang setulusnya kepada bapak

atas kesabaran yang sangat luar biasa dan telah bersedia meluangkan waktu untuk

mengoreksi san memberikan saran dalam penulisan skripsi ini. Tanpa pengarahan

dan kritikan yang telah bapak berikan, skripsi ini tidak akan pernah selesai.

5. Bapak Agus Darmaji, M.Fils., sebagai ketua dalam sidang Munaqosyah dan

Bapak Maulana, MA., sebagai sekretaris Sidang Munaqosyah. Penulis ucapkan

banyak terima kasih atas kesediaannya untuk memimpin dan turut memberi nilai

dalam Sidang Skripsi Penulis pada tanggal 18 November 2008.

6. Ibu Siti Nadroh, MA., dan Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Pengguji I dan II

dalam sidang Munaqosyah Penulis.

7. Bapak Eva Nugraha, MA., yang telah membimbing saat KKN di Desa Cinangsih,

Tasikmalaya, mau pun setelah KKN. Begitu banyak ilmu dan pengalaman yang

bapak berikan kepada Penulis dan teman-teman KKN IKHLAS. Terima kasih

juga Penulis sampaikan atas budi baik bapak dan keluarga yang selalu

meluangkan waktu dan menyediakan tempat ketika teman-teman KKN IKHLAS

berkumpul. Semoga Allah SWT membalasnya.

8. Para dosen yang telah memberikan ilmu kepada Penulis di Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat, baik secara langsung mau pun tidak langsung, selama Penulis

menjalani perkuliahan di kampus tercinta.

9. Bapak Oey Tjin Eng, tidak cukup hanya dengan ucapan terima kasih yang

(6)

kesediaan bapak menjadi Informan Kunci dalam penulisan skripsi Penulis dengan

penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dibalas dengan semestinya dan

keberkahan serta kesehatan selalu menyertai bapak.

10.Warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat (komunitas Cina Benteng)

yang telah bersedia manjadi responden dan dapat mengisi questioner untuk memperkuat pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

11.Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah

memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dengan cukup

lengkap, sehingga dapat mempermudah Mahasiswa dalam menyelesaikan

tugas-tugas kuliah.

12.Keluarga besar kakak-kakak Penulis, ka’ Yayah, yang selalu memberikan

motivasi belajar dan membimbing dengan sabar sejak awal Penulis duduk di

bangku Sekolah Dasar sampai kuliah sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi

S-1 ini. Terlalu banyak yang sudah ka’ Yayah berikan kepada Penulis, semua itu

tidak mungin terwujud tanpa dorongan dan bantuan ka’ Yayah. Dan ka’ Ali yang

telah memberikan kepercayaan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi

ini. Ka’ Mimi, A Ujer, ka’ Nja, ka’ Robi, ka’ Hasbi, ka’ Irma, ka’ Wiwi, bang

Dilah, Sahid, dan adik-adik Penulis, Uut dan Nding, yang tidak pernah lelah

menanyakan penyelesaian skripsi ini dan memberikan semangat agar cepat-cepat

(7)

13.Keponakan-keponakan Penulis, Reza, Ulya, Sefi, Jamil, Mikhail, neng Sarah,

Aufan, Zaki, Nayla dan Sabrina, yang selalu membuat Penulis tertawa di sela-sela

kepenatan mendera saat mengerjakan skripsi.

14.Hamami Nashirudin, S.Sos., Curahan tenaga, pikiran dan waktu yang diberikan

demi kelancaran penyelesaian skripsi ini sangat berarti dan yang sangat berkesan,

hanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan semuanya.

15.Keluarga besar Bapak H. Tri Suheri dan Ibu Hj. Iroh Masturoh. Mba Ida, Mas

Boy dan Angga, semua ini tak lepas dari doa kalian semua. Terima kasih atas doa

dan dukungannya selama penulisan skripsi ini hingga Penulis dapat

menyelesaikannya walau dengan kurun waktu yang sangat lama.

16.Kawan-kawan seperjuangan di kelas Perbandingan Agama “Angkatan 2002”.

Nunu, Yeyeh, Sahal, Acun, Desi, Phei, Parida, Mia, Abew, MC, jeng Tati, mba Eni, dan semua teman-teman yang tak dapat ditulis satu-persatu.

17.Kawan-kawan KKN IKHLAS 2005, Desi, Puji, Abew, MC, Adam, Amsari,

Aisyah, Norma, mpo Dhinul, Mely, Ida, Iwan, Ade, Sri, Nurur dan Anwari.

Pengalaman KKN bersama kalian selalu membuatku rindu. Semoga kebersamaan

kita akan selalu terjaga.

18.Teman-teman di MAN 1 Tangerang. Umroh, Dedeh, Elisa. Terima kasih untuk

nasehat dan dukungan semangat kepada Penulis. Tak lupa untuk teman-teman

Gatress lainnya: Yani, Atun, Eva, Iyom, Ina, Eni, Oom, dan Leni. I miss you all.

19.Teman-teman di Semanggi, Ical yang telah memberikan saran dan nasehatnya.

Ayik, terima kasih atas kritik dan saran yang sudah diberikan dalam penyusunan

(8)

Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima

segala kebaikan dan ketulusan mereka. Terakhir, semoga skripsi ini dapat bermanfaat

dan dapat menambah khasanah dalam keilmuan kita semua. Amin.

Jakarta, 18 Nopember 2008

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….... i

HALAMAN PERSETUJUAN ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

MOTTO ………. iv

DEDIKASI ………. .. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I. PENDAHULUAN ……….. 1-14 A. Latar belakang Penulisan ……….. 1

B. Perumusan masalah ………... 9

C. Pembatasan Masalah .……… 9

D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan ……….. 10

E. Kerangka dan Kajian Teori ……… 11

1. Tradisi Lokal ……….. 11

2. Praktek Agama ………... 12

3. Keramat ……….. 14

F. Sistematika penulisan ………... 14

BAB II. GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG ……… 16-30 A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk ………..…. 16

B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng ……….. …... 20

(10)

D. Kawin Campur (Integrasi) ……….. 24

E. Mata Pencaharian ……… 26

F. Bahasa ……… 28

BAB III. PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG ....……… 31-39 A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal ……… 33

B. Unsur Mitos dalam Tradisi Masyarakt Lokal ………. 37

BAB IV. PEMANDIAN PERAHU KERAMAT DALAM UPACARA PEH CHUN ……… 40-51 A. Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan yang Digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya ……..……… 40

B. Tata Cara ……… 43

C. Perhitungan Waktu Pelaksanaan ……… 46

D. Tujuan dan Manfaat ……….. 48

E. Analisis Kritis ……… 48

BAB V. PENUTUP ……… 52-55 A. Kesimpulan ……… 52

B. Saran-saran ……….... 54

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Tiongkok, atau Chung-kuo dalam bahasa Mandarin, artinya Negara Tengah. Nama ini baru populer sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama setelah lahirnya

Republik Tiongkok pada tahun 1912.1 Negara Cina memiliki jumlah penduduk terbesar

di seluruh dunia, sekalipun program Keluarga Berencana dianjurkan. Sejak beberapa

ratus tahun sebelum masehi, peradaban Cina telah tumbuh dan berkembang dengan pesat

dalam bentuk kebudayaan masyarakat. Mulai dari fisik arsitektur bangunan, administrasi

pembangunan hingga tradisi spiritual dan agama. Dalam sejarah peradaban dunia,

masyarakat Cina dikenal dengan kebudayaannya yang sampai saat ini masih kental.

Ajaran-ajaran spiritual seperti Taoisme, Budhisme dan Konfusianisme dipercayai secara luas oleh masyarakat Cina. Begitu kuatnya masyarakat memegang teguh tradisi spiritual

itu, berbagai praktek keagamaan tetap terpelihara sejak awal masuk ke negara Indonesia

sampai saat ini dan telah mewarnai kehidupan masyarakat Cina perantauan di Indonesia.

Kehidupan keagamaan komunitas Cina perantauan juga menggambarkan

fenomena ini. Meskipun berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri dengan

masyarakat setempat, meskipun kehidupan mereka senantiasa dilandasi suatu upaya

memelihara kepercayaan tradisi yang diperoleh dari negara asalnya.

Keberadaan Cina sebagai etnis minoritas di Indonesia dengan berbagai

permasalahannya, sering disorot secara umum. Mereka dikelompokkan sebagai suatu

etnis yang memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah, seperti

(12)

komunitas Cina yang tinggal di Sumatra Barat, Medan, Pontianak, Surabaya, Tangerang

dan daerah-daerah lainnya yang tersebar di Indonesia. Perbedaan ini bisa jadi karena

pengaruh pada saat waktu kedatangan, perbedaan daerah asal, dialek bahasa, pekerjaan,

pendidikan, budaya serta adat istiadat daerah tempat tinggal mereka yang baru.2

Bahkan dalam sidang kabinet pada tanggal 27 Januari 1979 dengan tegas

mengatakan “Khonghucu bukan Cina”. Sejak itulah status agama Khonghucu menjadi

tidak jelas. Namun, akhirnya pada zaman pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid

(Gusdur), agama Khonghucu mulai mendapat ketenangan. Hal ini dapat di lihat dari

pertemuan Abdurrahman Wahid dengan tokoh-tokoh agama di Bali pada bulan Oktober

1999, dan dalam pertemuannya dengan masyarakat Cina di Beijing pada November 1999.

ketenangan yang merupakan angin segar bagi pemeluk agama Khonghucu ini tidak

pernah dijumpai pada zaman Orde Baru. Pada tahun 2000, agama Khonghucu sudah

mulai mendapat pengakuan dari pemerintah, terutama pengakuan yang datangnya dari

presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Menurut Gusdur,3 sebuah agama dapat

dikatakan agama atau tidak, bukan urusan pemerintah, sebab yang menghidupi agama

bukan jaminan pemerintah, tapi hati manusia. 4

Dalam Ensiklopedi Indonesia,5 dikatakan bahwa peranakan Tionghoa yang hidup di Indonesia merupakan minoritas yang heterogen,6 dan kompleks. Secara kultural, mereka terbagi atas: peranakan, yaitu Tionghoa yang berbahasa daerah sebesar 55% dan lahir di tanah Indonesia. Peranakan yang dimaksud bukan hanya dalam artian biologis

(13)

saja tetapi juga dalam arti kebudayaan. Di rumah, mereka memakai bahasa sehari-hari di

mana mereka tinggal, misalnya di Jawa, mereka memakai Bahasa Jawa, begitu juga

komunitas Cina Peranakan yang tinggal di Tangerang. Kebanyakan dari mereka tidak

bisa menggunakan bahasa Cina. Adat istiadat mereka juga tidak sepenuhnya Cina, tetapi

mereka telah mengambil adat istiadat daerah setempat,7 dan komunitas Cina Totok, yaitu komunitas Cina yang berbahasa Cina sebanyak 45%, mereka sangat memegang teguh

adat istiadat Cina. Oleh sebab itu, komunitas Cina pun menganut kepercayaan yang

berbeda-beda, seperti: Budha, Tao, Islam, Kristen, Katolik, Khonghucu, Sam Kauw (Tri

Dharma) dan kebatinan.

Menelusuri jalan kehidupan sebagian dari penduduk Negeri Cina yang ingin

mengadu nasib di “negeri seberang”, maka sampailah beribu-ribu orang dalam waktu

puluhan tahun ke berbagai kawasan. Kisah keberanian suatu generasi yang mendobrak

keadaan untuk mengubah nasib keturunannya itu kemudian terangkai dalam kisah

bagaimana kaum pendatang berintegrasi dengan dunia barunya. Di Indonesia, Kaum

pendatang dari Cina itu cukup banyak sumbangsihnya dalam mengembangkan

perkebunan dan teknologi. Tanpa terasa kaum pendatang melebur melalui budaya,

teknologi, kuliner dan perkawinan dengan masyarakat pribumi.8

Meja leluhur adalah suatu ajaran Cina yang masih dipertahankan oleh masyarakat

Cina peranakan, tetapi dengan berbagai sifat yang sama sekali bukan adat Cina. Seperti

yang diketahui bahwa kebudayaan di Tiongkok 100% patrilokaal.9 Hal itu juga terlihat

7 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hlm. 35. 8 Pribumi: Penduduk asli suatu wilayah. Lihat Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Media Centre, hlm. 428.

(14)

pada meja sembahyang leluhur, ajaran yang paling penting bagi mereka. Di meja

sembahyang tidak diperbolehkan adanya sin-ci,10 pihak perempuan, namun di Jawa larangan tersebut diabaikan.

Hari raya Ywan Yang, ialah hari suci bersujud ke hadirat Thia Yang Maha Esa

yang telah dilakukan umat Khonghucu sejak zaman purbakala. Kata Twan Yang berasal

dari bahasa Hokkian, Twan artinya lurus, terkemuka, terang, yang menjadi pokok atau

sumber, dan Yang artinya sifat positif atau matahari; jadi Twan Yang ialah matahari yang

memancarkan cahaya paling keras atau terang. Hari raya ini juga disebut Twan Ngo.

Ngo, artinya saat antara pukul 11:00–13:00; jadi perayaan ini tepatnya ialah pada saat

tengah hari. Saat itulah pada perayaan Peh Chun, matahai benar-benar melambangkan

curahnya Rahmat Tuhan. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa cahaya

mataharimerupakan sumber kehidupan, lambing rahmat dan Kemurahan Thian atas

manusia dan segenap makhluk hidup.

Perayaan Peh Chun ialah waktunya untuk bersuci, bersujud, menyampaikan

sembah dan syukur kepada Thian. Perayaan ini dipercaya sebagai hari yang tepat untuk

memohon kapada Thian, dan mayarakat Cina percaya bahwa ramuan obat-obatanyang

dipetik pada saat hari itu akan lebih berkhasiat. Mereka pun percaya bahwa telur ayam

dapat berdiri tegak pada pukul 11:00-13:00, hal ini dikarenakan posisi matahari yang

tegak lurus. Peh Chun juga dapat diartikan merengkuh dayung atau beratus perahu,

milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariska kepada laki-laki. Lihat Ensiklopedi Indonesia jilid 5, hlm. 2585. Patrilokaal (Bel.): menetap di rumah pihak keluarga suami setelah menikah.

(15)

karena pada hari itu sering diadakan perlombaan perahu. Mengenai perlombaan perahu

itu dikaitkan dengan suatu peristiwa pada hari Twan Yang di zaman Cian Kok di negeri

Cho, yang kisahnya sebagai berikut:

“Dinasti Ciu pada zaman Cian Kok atau zaman peperangan (403-231 SM) sudah tidak berarti lagi sebagai Negara pusat. Pada zaman itu, ada tujuh negara besar. Ketujuh negara itu ialah Negeri Cee, Yan, Han, Thio, Gwi, Cho dan Chien. Negeri Chien adalah negeri yang paling dan agresif, maka enam Negara lainnya itu sering bersekutu untuk bersama-sama menghadapi Negeri Chien. Khut Gwan ialah seorang menteri besar dan setia dari Negeri Cho, beliau seorang tokoh yang Cho paling berhasil menyatulkan keenam negeri itu untuk menghadapi Negeri Chien. Oleh sebab itu, orang-orang Negeri

Chien terus-menerus berusaha menjatuhkan nama baik Khut Gwan, terutama ke hadapan raja negeri Cho, Cho Hwai Ong.

Di negeri Cho ternyata banyak pula menteri-menteri yang tidak setia, seperti

Khongcu Lan, Siangkwan Taihu, Khien Sieng dan lain-lain. Dengan bantuan orang-orang itu, Tio Gi, seorang menteri dari Negeri Chien yang cerdik dan licik telah berhasil meretakkan dan merenggangkan hubungan Khut Gwan dengan raja Negeri Cho. Khut Gwan dipecat dari persatuan keenam negeri itu. Bahkan Cho Hwai Ong, tebujuk dengan janji-janji ynag menyenangkan, dan dating ke Negeri Chien untuk memenuhi undangan.

Sesampainya di sana, Cho Hwai Ong ditawan dan baru menyesali perbuatannya. Raja negeri Cho yang baru, Cho Cing Siang Ong, kembali memberikan kepercayaan kepada Khut Gwan. Keenam negeri tadi pun dapat dipersatukan kembali walaupun tidak sekokoh dahulu. Pada 293 SM, Negeri Han dan Gwi yang melawan negeri Chien

dihancurkan dan dibinasakan 240.000 orang rakyatnya. Dengan adanya peristiwa tesebut,

Khut Gwan kembali difitnah akan membawa negeri Cho mengalami nasib seperti Negeri

Han dan Gwi. Akhirnya Khut Gwan dipecat kembali dan dibuang ke daerah danau Tong Ting, dekat sungai Bik Loo. Di tempat pembuangan ini, Khut Gwan sering merasa kesepian dan jenuh.

Pada saat itu, beliau berkenalan dngan seorang nelayan. Orang itu pandai menyembunyikan nama aslinya, hanya menyebut dirinya Gi Hu (bapak nelayan). Dengan Gi Hu ini Khut Gwan mendapat teman bicara meskipun pandangan hidupnyabtdak sepaham. Di sana, Khut Gwan dikejutkan dengan berita hancurnya ibukota negeri Cho, tempat bio leluhurnya itu diserbu oleh orang-orang negeri Chien.

Hal itu membuat Khut Gwan merasa kehidupannya tidak berari lagi. Suatu ketika, di saat hari raya Twan Yang, Khut Gwan mendayung perahunya ke tengah sungai Bik Loo, sambil dinyanyikan sajak-sajak ciptaannya yang telah dikenal rakyat sekitar, yang isinya mencurahkan rasa cinta tanah air dan rakyatnya. Setelah sampai di tempat yang sudah sangat jauh dari kerumunan orang itu, Khut Gwan menenggelamkan dirinya ke dalam sungai yang deras alirannya. Beberapa orang yang mengetahui kejadian itu segera berusaha menolong, tetapi hasinya nihil, jenazahnya tidak ditemukan. Gi Hu, seorang nelayan yang berkawan dengan Khut Gwan mengerahkan kawan-kawannya untuk mencari, tetapi hasilnya sia-sia belaka.”11

(16)

Demikianlah, kematian Khut Gwan tidak sia-sia, kematian itu mampu menggerakkan hati rakyat kepada cinta yang luhur, bahkan telah mengubah sikap Gi Hu

yang telah mengingkari duniawi itu. Inilah kemenangan pengorbanan Khut Gwan. Diadakannya perlombaanperahu yang dihiasi gambargambar naga (liong), mengingatkan usaha mencari jenazah Khut Gwan, seorang yang berjiwa mulia dan luhur, berjiwa kuncu dari negeri Cho itu. Di Kota Tangerang, pada hari suci Twan Yang, disamping mengadakan perlombaan Perahu (Peh Chun), komunitas Cina Benteng juga mengadakan Upacara pemandian Perahu. Dan upacara ini hanya dilakukan oleh komunitas Cina

lainnya, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri, bahkan di negeri Tiongkok sendiri

tidak ada upacara pemandian perahu yang dikeramatkan pada hari perayaan Peh Chun.

Mengenai kronologi perahu ini di keramtkan, berawal pada sekitar tahun 1850,

ketika nenek buyut Rudi A. Kuhu menemukan potongan kayu yang merupakankayu

bekas kapal yang hanyut terbawa arus dan melewati Sungai Cisadane. Potongan kayu itu

akan dijadikan kayu bakar karena masyarakat Tangerang pada saat itu masih

menggunakan kayu untuk memasak. Setelah beberapa hari setelah kayu itu dijemur,

nenek buyut Rudi A. Kuhu bermimpi, bahwa kayu itu memohon agar dirawat dan jangan

dijadikan kayu bakar.

Nenek buyut Rudi A. Kuhu percaya, jika menyimpan dan merawat kayu tersebut,

maka ia akan selamat dan terhindar dari bahaya. Karena itulah, nenek membangun

sebuah tempat untuk menyimpan potongan kayu itu di daerah Karawaci. Tempat

penyimpanan perahu itu awalnya hanya berupa gubug yang sederhana, namun dengan

berjalannya perkembangan zaman bangunan itu direnovasi sehingga menkjadi lebih

(17)

Kemudian sekitar tahun 1900, seorang Kapitan yang bernama Oey Khe Tay

membuat perahu papak hijau dan dua tahun kemudian (tahun 1902), para hartawan dan

dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu gang Kalipasir, gang Tengah (Cilangkap) dan gang Gula (Cirarab)membuat perahu papak merah untuk

disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio. Pada perayaan Peh Chun tahun 1911, saat perlombaan perahu papak hijau dan perahu papah merah, ada getek (rakit) yang

melintang di tengah sungai, sehinga perahu papak hijau menabrak dan terpantal hingga

jatuh di atas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan perahu papak hijau patah

pada bagian tengah badan perahu.

Perahu papak hijau yang terbelah menjadi dua itu kemudian disimpan dan

disatukan dengan potongan kayu yang ditemukan nenek buyut Rudi A. Kuhu di kawasan

Karawaci. Walaupun perahu itu telah terbelah dua, komunitas Cina Benteng tetap

merawatnya, dan menganggap perahu tersebut adalah perahu yang keramat. Mereka juga

percaya bahwa jika mereka tidak merawat potongan kayu dan perahu itu, maka kampung

halaman mereka akan tertimpa musibah. Dari cerita itulah, masyarakat Cina Benteng

menganggap perahu itu sebagai perahu yang keramat.

Tidak hanya pendatang dari Cina saja yang memberikan sumbangsih terhadap

masyarakat Indonesia yang didiami oleh mereka, para pendatang itu pun mendapat

sumbangsih melalui berbagai elemen, termasuk dalam bidang bahasa, budaya dan tata

cara ibadahnya. Bahkan, tata cara ibadah dalam agama Cina telah mengalami akulturasi.

Hal ini terlihat pada tradisi mengkeramatkan suatu benda yang biasanya dilakukan oleh

(18)

padahal dalam tardisi Cina itu sendiri tidak mengenal keramat. Masalah akulturasi inilah

yang menjadi bahan pertimbangan Penulis dalam penulisan skripsi ini.

Tujuan Penulis membahas skripsi yang berjudul “PENGARUH TRADISI LOKAL DALAM TATA CARA IBADAH AGAMA CINA” (Studi Kasus Kelenteng Boen Tek Bio di Lingkungan Cina Benteng, Tangerang) ini, untuk mengetahui lebih

mendalam mengenai tradisi masyarakat lokal yang juga dipakai atau dilakukan oleh

masyarakat Cina Benteng, khususnya mengenai pemandian perahu keramat dalam

upacara Peh Chun. Dan seberapa besar pengaruh tradisi setempat terhadap peribadatan agama Cina dalam kelenteng tersebut. Penulis juga ingin mendeskripsikan tradisi

keagamaan yang dijalankan oleh komunitas Cina Benteng. Mengenai pemilihan terhadap

lokasi Boen Tek Bio ini berawal dari pertimbangan bahwa tempat ini merupakan suatu kelenteng tertua di kawasan Tangerang dan Kelenteng Boen Tek Bio ini memiliki hak

otonom dalam pelaksanaan upacara pemandian perahu keramat ini.

B. Perumusan Masalah

Komunitas Cina di berbagai daerah, masing-masing memiliki karakteristik

tertentu. Komunitas Cina Benteng di Tangerang memiliki karakteristik yang berbeda

dengan komunitas Cina lainnya, seperti yang terlihat dari segi bahasa, warna kulit,

kesenian, mata pencaharian dan juga ada perayaan-perayaan tertentu yang hanya ada di

Tangerang ini. Mengingat luasnya jarak dan waktu antara tradisi Cina asal dengan

(19)

1. Apakah ada tradisi lokal yang mempengaruhi tata cara ibadah komunitas Cina

Benteng, khususnya mengenai pengkeramatan suatu benda (perahu)?

2. Mengapa perahu itu dikeramatkan oleh komunitas Cina Benteng?

C. Pembatasan Masalah

Praktek ibadah dalam agama Cina begitu banyak. Agar tidak menyimpang dari

pokok pembahasan, maka Penulis membatasi pada masalah, “Pengaruh Tradisi Lokal

dalam Tata Cara Ibadah Agama Cina, khususnya komunitas Cina Benteng di Kelenteng

Boen Tek Bio, Tangerang, dengan memfokuskan pada proses akulturasi antara tradisi

lokal terhadap upacara agama Cina, dalam hal ini pemandian perahu keramat.

D. Metodologi Penelitian dan Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan pendekatan:

1. Penelitian Kepustakaan (Library Researcah), Penulis mengumpulkan dan membaca bahan dari berbagai buku, majalah, koran dan literatur lainnya. Setelah

mengumpulkan bahan-bahan dari berbagai sumber tersebut, Penulis mengadakan

studi perbandingan terhadap tulisan-tulisan yang kemudian diambil satu

kesimpulan.

2. Penelitian Lapangan (Field Research), dalam metode ini Penulis meneliti dan datang ke objek-objek terkait dengan pendekatan dan mengadakan observasi baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini untuk mengetahui aspek lokalitas

(20)

bermaksud mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan juga mempelajari interaksi dua kelompok. Dalam penelitian lapangan ini,

Penulis melakukan interview, yaitu Tanya jawab dengan pihak terkait yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Selain interview, Penulis juga menyebar questioner dan yang berperan sebagai respondennya, yaitu beberapa

warga sekitar lokasi penyimpanan perahu keramat atau yang disebut komunitas

Cina Benteng, tepatnya jl. Imam Bonjol, Karawaci, Tangerang.

3. Antropologi, istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, Anthropos, yang berarti ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia, dengan

mempelajari tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat,

kepercayaan pada masa lampau, masyarakat, dan kebudayaannya. Pendekatan

Antropologi ini dilakukan sebagai upaya untuk menunjang Penelitian

Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field Research).

Berkaitan dengan tehnik penulisan, Penulis merujuk pada buku yang dijadikan

pedoman di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yaitu “Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta”, yang

diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003, dengan

(21)

E. Kerangka dan Kajian Teori 1. Tradisi Lokal

Pengertian dan Fungsi Tradisi Lokal

Kata tradisi menurut Ensiklopedi Indonesia berasal dari bahasa latin, “tradition”, yang artinya kabar, penerusan. Hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa

lampau mengenai adat, bahasa, tata kemasyarakatan, keyakinan dan lain sebagainya,

maupun proses penyerahan atau penerusannya pada generasi berikutnya. Sering kali

proses penerusan terjadi tanpa dipertanyaka sama sekali, khususnya dalam masyarakat

tertutup. Di mana hal-hal yang telah lazim dianggap benar dan paling baik diambil alih

begitu saja. Memang, tidak ada kehidupan menusia tanpa suatu tradisi. Bahasa daerah

yang dipakai, dengan sendirinya diambil dari sejarahnya yang panjang.12

Sedangkan kata lokal juga berasal dari bahasa latin, “locus” yang artinya tempat. Lokal merupakan ruang yang jelas, suatu daerah setempat. Jadi, pengertian tradisi lokal

dapat diartikan sebagai adanya kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang

dijalankan oleh masyarakat yang tinggal di suatu tempat atau daerah tertentu.

2. Upacara atau Ritual

Pengertian dan Fungsi Upacara atau Ritual

Upacara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan peringatan

pelaksanaan kegiatan yang dilakukan secara berkelompok atau sekumpulan manusia

untuk melakukan kegiatan rutin dalam rangka memperingati hari-hari bersejarah yang

dipimpin oleh pemimpin tertinggi dalam suatu organisasi atau biasa disebut dengan

(22)

upacara suci. Religi dan upacara merupakan suatu unsur dalam kehidupan manusia di dunia.13

Sedangkan kata upacara atau ritual berakar daru dua suku kata, yaitu upa dan

cara. Upa artinya mendekat. Dan cara berakar dari urutan car yang memiliki arti harmonis, seimbang, selaras. Upacara artinya keseimbangan, keharmonisan dan

keselarasan dalam hidup akan mendekatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.14 Dapat

dikatakan, upacara adalah suatu permohonan dalam pemujaan berterima kasih atau

pengabdian yang ditujukan kepada kekuasaan-kekuasaan leluhur yang menggenggam

kehidupan manusia dalam tangannya. Dan fungsi dari upacara adalah sebagai alat

komunikasi atau hubungan langsung dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus

ditaati.

Peranan upacara juga dapat dikatakan agar selalu mengingatkan manusia

berkenaan dengan eksistensi,15 dan hubungan dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara, suatu masyarakat tidak hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk

menggunakan symbol-simbol yang bersifat abstrak,16 yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan mereka

sehari-hari. Hal ini mungkin terjadi karena upacara-upacara itu selalu dilakukan secara

rutin (menurut skala waktu tertentu). Sehingga beda antara yang bersifat imajinatif,17 dan yang nyata menjadi kabur, dan upacara-upacara itu sendiri serta simbol-simbol sucinya

13 Ali Lukman dan kawan-kawan, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Depdikbud, 1996, hlm. 25.

14 Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna FilosofisUpacara dan Upakara, Surabaya: Paramita, 2004, hlm. 46.

15 Eksistensi: keberadaan, adanya. Lihat Tim Media, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 197.

16 Abstrak: tidak berwujud, tidak berbentuk, tidak dapat dijangkau oleh panca indera.

(23)

bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari kenyataan. Tetapi sebaliknya, telah menjadi

sebagian dari aspek kehidupan sehari-hari yang nyata.18

Upacara merupakan suatu perwujudan dari atau agama yang memerlukan studi

dan analisa yang khusus. Upacara agama, yang bersama-sama mempunyai fungsi sosial

untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu agama memang

menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh,

tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi

mereka tidak hnya untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami

kepuasan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa mwlakukan

upacara adalah suatu kewajiban sosial.19

3. Keramat

Pengertian dan Fungsi Keramat

Kata keramat dalam Ensiklopedi Indonesia, yang ditulis oleh Hassan Shadily,

berasal dari bahasa arab dari kata keramah, yang artinya mulia, agung. Dalam pengertian Sufi, berarti pekerjaan luar biasa yang dilakukan para wali.20

Keramat dapat juga diartikan sebagai tempat atau sesuatu yang suci atau

disakralkan. Menurut R. Otto, keramat atau sacer adalah suatu konsep tentang hal yang gaib yang dianggap maha dahsyat, maha abadi, maha baik, adil, bijaksana. Dengan kata

lain, bahwa keramat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan.

18 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983, hlm. xi-xii.

19 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987, hlm. 67-68.

(24)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi dalam lima bab, yaitu:

BAB I : Pendahuluan; bab ini membahas mengenai Latar Belakang Penulisan,

Perumusan Masalah, Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan, kerangka

dan Kajian Teori, yang terdiri atas Tradisi Lokal, Upacara atau Ritualdan

Keramat, serta Sistematika Penulisan.

BAB II : Gambaran Umum Komunitas Cina Benteng; bab ini menjelaskan tentang

Letak Geografis dan keadaan Penduduk yang merupakan tempat di mana

Penulis melakukan penelitian. Kemudian dengan Sejarah Kedatangan dan

Penyebutan Cina Benteng, Sistem Kekerabatan, Kawin Campur (Integrasi), Mata Pencaharian dan Bahasa.

BAB III : Proses Akulturasi dalam Komunitas Cina Benteng; dalam bab ini berisikan

tentang Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal, dan Unsur Mitos

dalam Masyarakat Lokal.

BAB IV : Pemandian Perahu Keramat dalam Upacara Peh Chun; dalam bab ini akan

mendiskusikan tentang Persiapan Menyambut Upacara dan Perlengkapan

yang digunakan dalam Upacara serta Simbolisasinya, Tata Cara,

Perhitungan Waktu Pelaksanaan, Tujuan dan Manfaat sertabdiakhiri dengan

Analisis Kritis.

(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOMUNITAS CINA BENTENG

A. Letak Geografis dan Keadaan Penduduk

Kota Tangerang yang mempunyai luas wilayah sekitar 17.729,746 hektar,21 lahir

melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1993, pada tanggal 28 Februari 1993. Kini

pertumbuhannya begitu pesat. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang karena letak

geografisnya berbatasan dengan Ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta, yang

senantiasa terkait langsung dengan dinamika pembangunan nasional.22

Secara geografis, Kota Tangerang terletak antara 6 6 Lintang Selatan sampai 6 13

Lintang Selatan dan 106 36 Bujur Timur sampai dengan 106 42 Bujur Timur.

Sedangkan batas wilayahnya, yaitu:

1) Sebelah Utara

Berbatasan dengan Kecamatan Teluk Naga dan Kecamatan Sepatan, Kabupaten

Tangerang.

2) Sebelah Selatan

Berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok

Aren, Kabupaten Tangerang.

3) Sebelah Timur

Berbatasan dengan DKI Jakarta

4) Sebelah Barat

Berbatasan dengan Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

(26)

Sebagai daerah yang sedang berkembang, Kota Tangerang mempunyai visi misi.

Untuk mewujudkan visi pengembangan Kota Tangerang sebagai kota Industri dan

perdagangan yang modern, mau tidak mau pemerintah Kota Tangerang harus

mengarahkan kota ini menjadi kota yang mandiri. Visi Kota Tangerang yaitu “Menuju

kota industri, perdagangan dan pemukiman yang ramah lingkungan dalam masyarakat

yang ber-akhlaqulkarimah.”

Misi adalah kemauan yang kuat dengan memperhatikan kewenagna dan tanggung

jawabnya atas kepentingan umum untuk mewujudkan kondisi dan situasi yang diinginkan

pada akhir kurun waktu tertentu yang menyiratkan tujuan-tujuan yang harus dicapai

sebagai prasyarat terwujudnya visi. Dari rumusan visi diatas, dapat diuraikan misi yang

diemban Kota Tangerang adalah:

• Memulihkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi kota

• Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik

• Peningkatan tata kepemerintahan yang baik dan mewujudkan

pemerintahan yang ramah lingkungan.

Sebelumnya, Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten

Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 50 Tahun 1981. Dengan demikian, di Tangerang terdapat dua jenis

pemerintahan daerah yang setara, yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.23

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2008, penduduk Kota Tangerang, khususnya

wilayah Kelurahan Sukasari berjumlah 19.820 jiwa, yang terdiri atas 9.764 jiwa laki-laki

dan 10.053 jiwa perempuan. Rasio jenis kelamin laki-laki (sex ratio) penduduk Sukasari

(27)

Tangerang tahun 2008 adalah 9.764, artinya komposisi penduduk laki-laki lebih sedikit

dibandingkan penduduk perempuan.

Di Kota Tangerang inilah, terdapat tempat ibadah tertua agama Cina yang disebut

Kelenteng Boen Tek Bio.24 Terletak di Jalan Bakti No. 4 Sukasari, Kecamatan

Tangerang. Di sekitar kawasan itu juga terdapat tempat tinggal dan pasar komunitas yang

disebut komunitas Cina Benteng. Keberadaan Kelenteng Boen tek Bio, yang didirikan

sekitar tahun 1684,25 ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Kota Tangerang.

Luas wilayah Kelurahan Sukasari sendiri 187 hektar,26 dilihat dari kondisi

geografis, Kelurahan Sukasari berbatasan dengan Kelurahan Sukaasih di sebelah Utara

Sukasari, Kelurahan Babakan di sebelah Selatan, Kelurahan Sukajadi di sebelah Barat,

dan Kelurahan Buaran Indah di sebelah Timur.

Melihat sisi keagamaan yang dianut oleh masyarakat Tangerang, khususnya

Kelurahan Sukasari, sangat variatif. Sama seperti keagamaan yang tersebar di

daerah-daerah lainnya di Indonesia, agama Islam menduduki jumlah penduduk yang mayoritas

pemeluknya, sebanyak 10.948 jiwa. Dan pemeluk agama Budha berada di peringkat

kedua, sebanyak 5.949, termasuk Khonghucu dan Tao di dalamnya.

Berikut ini akan ditunjukkan data jumlah pemeluk agama di kelurahan Sukasari,

Tangerang pada Tabel I.

24 Boen Tek Bio, kata Boen: sastra, Tek: kebajikan, Bio: tempat ibadah), menurut Claudine Salmon, dalam bukunya yang berjudul “Chinese Ephigraphic Materials in Indonesia” menyebut Kelenteng Boen Tek Bio sebagai “Kelenteng Kebajikan Benteng”.

25 Kelenteng Boen Tek Bio, hlm. 2.

(28)

Tabel I

Jumlah Pemeluk Agama di Kelurahan Sukasari, Tangerang

No. Pemeluk Agama/ Religions Follower Jumlah

1. Islam 10.948

2. Kristen Protestan 2.844

3. Kristen Katolik 1.182

4. Hindu 127

5. Budha 5.949

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

Kelurahan sukasari memiliki sarana peribadatan dan beberapa majelis keagamaan

yang digunakan oleh berbagai agama yang dianut oleh masyarakat setempat. Yang mana

keberadaan musholla paling dominan di Kelurahan Sukasari ini. Sedangkan Majelis

Ta’lim dan Majelis Budha menduduki peringkat pertama dan kedua yang kelompok serta

anggotanya paling dominan. Hal ini membuktikan bahwa komunitas Cina di Kelurahan

Sukasari cukup banyak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II dan Tabel III

berikut.

Table II

Sarana Peribadatan di Kelurahan Sukasari, Tangerang No. Sarana Peribadatan/ Religions Facility Jumlah Gedung

1. Masjid 9

2. Musholla 15

3. Gereja 5

(29)

5. Pura -

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

Tabel III

Jumlah Majelis Keagamaan di Kelurahan Sukasari, Tangerang JUMLAH No. Majelis Keagamaan Kelompok Anggota

1. Majelis Ta’lim 18 253

2. Majelis Gereja 1 30

3. Majelis Budha 3 79

4. Majelis Hindu 1 10

Sumber: Buku Monografi Kelurahan Sukasari

B. Sejarah Kedatangan dan Penyebutan Cina Benteng

Awal kedatangan orang Cina ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Dalam

kitab sejarah Sunda yang berjudul “Tina Layang Parahyang” (catatan dari Parahyangan).

Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di

suatu daerah perkampungan nelayan di muara Sungai Cisadane, yaitu di Teluk Naga,

merupakan suatu tempat di mana awalya orang Cina datang ke Tangerang pada tahun

1407.27 Perahu rombongan Halung yang semula ingin mengunjungi Jayakarta, akhirnya

terdampar dan mengalami kerusakan serta perbekalan mereka telah habis.

Gelombang kedua, kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang dalam buku “Nusa

Jawa Silang Budaya”, pada tahun 1740 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Andrian

(30)

Valkenier telah terjadi pembantaian massal terhadap masyarakat Cina, lebih dari 10.000

orang Cina di benteng Belanda dibantai oleh Belanda28, mereka adalah korban berbagai

peraturan yang ruang geraknya dibatasi Belanda, mereka dituduh merencanakan

pemberontakan dan ingin menghancurkan VOC (Veneenigde Oostindische Compagnie). Belanda yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang

Cina ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan permukiman bagi orang

Cina pondok-pondok yang dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok

Aren dan sebagainya. Di sekitar Tegal Pasir atau kali Pasir, Belanda mendirikan

perkampungan Tionghoa yang di kenal dengan nama Petak Sembilan.

Perkampungan ini kemudian dengan bertambahnya waktu berkembang menjadi

pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Dan rencananya

kawasan ini akan dijadikan sebagai kota Wisata Tangerang oleh pemerintah Kota

Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur Sungai Cisadane, daerah Pasar Lama.

Berbicara mengenai sejarah Cina Benteng sulit dipisahkan dengan kawasan Pasar Lama

sebagai suatu permukiman pertama bagi komunitas Cina di Tangerang. Persaingan

perdagangan yang keras terjadi antara Banten dan Batavia (Jakarta saat ini). Di suatu pihak, kompeni Belanda mendesakkan keinginannya untuk melakukan monopoli

perdagangan di wilayah kesultanan Banten. Akan tetapi di pihak lain, Sultan Banten

sendiri mempertahankan sistem perdagangan bebas dan kedaulatan negara. Karena terlalu

kerasnya persaingan itu, terjadilah konflik politik dan akhirnya terjadi konflik senjata.

Dalam suasana konflik itulah, kawasan Tangerang terjadi daerah pertahanan dan

merangkap sebagai medan pertempuran serta daerah rebutan antara Batavia dan Banten.

Kemudian Banten membangunan benteng pertahanan di sebelah barat Sungai Cisadane

(31)

dan pihak kompeni Belanda membangun benteng pertahanan di sebelah timur Sungai

Cisadane untuk menahan serbuan Banten yang hendak merebut kembali Batavia dari

tangan Belanda. Benteng itu sekarang sudah rata dengan tanah. Akan tetapi sangat

disayangkan tidak ada keterangan tahun berapa benteng itu didirikan. Itulah sebabnya,

dahulu daerah Tangerang dikenal dengan nama “Benteng” dan saat ini masih ada

segelintir orang yang menyebutnya demikian. Jadi, Cina Benteng merupakan komunitas

Cina yang tinggal di Benteng (Tangerang).

Cina Benteng tidak seperti Cina peranakan pada umumya yang berkulit putih

meletak. Cina Benteng memang sering diidentifikasi dengan stereotip orang Cina berkulit hitam dan gelap. Sehingga sulit dibedakan dengan “orang kampung” (pribumi atau

masyarakat lokal).

C. Sistem Kekerabatan

Para ahli antropologi lebih banyak memberi perhatian pada cara orang memberi

nama kepada sanak keluarga mereka dalam berbagai masyarakat.29 Apa yang terungkap

dalam peristilahan kekerabatan itu? Dari situ sudah pasti kita dapat memperoleh

gambaran yang baik tentang struktur keluarga, hubungan-hubungan mana yang dinggap

dekat atau jauh, dan kadang terlihat sikap terhadap hubungan yang mana yang dianggap

penting.30

Isilah-istilah kekerabatan berbau Cina juga sangat diperhatikan. Istilah ncik-ncim, toaku-toakim, cek-kong-cimpo, dan lainnya masih dipetahankan. Sebagai perhormatan, orang lain yang baru dikenal sering disapa dengan kode, kependekan dari koko gede

(32)

(kakak laki-laki besar), cide atau cici gede (kakak perempuan besar). Istilah ini aslinya lambang kekerabatan seorang adik terhadap kakak laki-laki atau perempuan sulung.

Kedudukan perempuan bagi orang Cina dahulu adalah sangat rendah. Pada waktu

masih kecil, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi pada

waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Setelah menikah, seorang perempuan

harus tunduk kepada suaminya. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di luar

rumah. Keadaan seperti itu sudah lama ditinggalkan. Seorang perempuan dapat mengikuti

perkumpulan-perkumpulan, sekolah dan dalam kehidupan ekonomi peranan pembantu

suaminya dalam perdagangan memegang peranan penting. Pada masa sekarang ini,

wanita berhak mendapat harta yang sama dengan laki-laki dalam hal warisan. Bahkan

kadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus

ikut tinggal di rumah orang tuanya. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada lagi

kecenderungan untuk memiliki anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan, komunitas

Cina menganut sistem patrilinier. Karena itu hubungan dengan kerabat pihak ayah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga pihak ibu

sama eratnya dengan pihak ayah.31

D. Kawin Campur (Integrasi)

Pada tahun 1407, sebuah perahu terdampar di daerah Teluk Naga yang dipimpin

oleh Tjen Tjie Lung (Halung), menurut kitab Babad Sunda Tina Layang Parahyang, beliau membawa 9 orang gadis dari negeri Cina, 9 gadis ini dinikahi oleh wakilnya

adipati dan diberikan tanah, dan laki-lakinya mengalami integrasi, lalu berkembang dan

(33)

pindah ke desa Pangkalan, makin lama semakin berkembang mereka pindah lagi ke

daerah Pasar Lama, Pasar Baru, Serpong, dan Teluk Naga. Hal ini dapat terlihat dengan

adanya bangunan Kelenteng-kelenteng tua yang terdapat di daerah-daerah tersebut.

Perkawinan merupakan masa penutupan dalam kehidupan sesorang, yaitu dari

masa lajang dan masa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa,

bila ia telah menikah. Upacara perkawinan orang Cina di Indonesia adalah tergantung

pada agamanya yang dianut. Oleh karena itu, perkawinan orang Cina yang satu berbeda

lain dengan Cina lainnya. Perkawinan orang Cina Totok berbeda pula dengan yang dilakukan oleh orang Cina Peranakan. Sampai pada awal abad ke-20 perkawinan diatur oleh orang tua kedua pihak. Yang menjadi calon suami dan istri tidak mengetahui calon

kawan-hidupnya, mereka baru saling melihat pada hari pernikahan. Sekarang keadaan

semacam itu sudah tidak banyak terjadi.

Orang Cina Peranakan dalam memilih jodoh mempunyai batasan-batasannya. Perkawinan yang dilarang yaitu antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga,

nama she, yang sama. Kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai mana she

yang sama tetapi bukan kerabat dekat (misalnya, saudara sepupu), dibolehkan.

Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan

kekerabatan, tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang (misalnya, seorang laki-laki

menikah dengan saudara sekandung atau saudara sepupu ibunya). Sebaliknya pernikahan

seorang wanita dengan seorang anggota keluarga dari genarasi yang lebih tua, dapat

diterima. Alasan dari keadaan ini ialah seorang suami tidak boleh muda atau rendah

(34)

Peraturan lain ialah seorang adik wanita tidak boleh mendahului kakak wanitanya

menikah. Peraturan ini berlaku juga bagi saudara-saudara sekandung laki-laki. Tetapi

adik wanita boleh mendahului kakak laki-lakinya menikah, demikian juga adik laki-laki

boleh mendahului kakak wanitanya menikah. Akan tetapi, sering kali terjadi pelanggaran

terhadap peraturan ini, tetapi dalam hal itu si adik harus memberikan hadiah tertentu pada

kakaknya yang didahului menikah itu.32

E. Mata Pencaharian

Sebagian besar dari masyarakat Cina di Indonesia sekarang memang hidup dari

perdagangan dan hal ini suatu fakta terutama di Jawa. Dan diantaranya kebanyakan dari

mereka adalah orang Hokkian. Memang 50% dari orang Hokkian di Indonesia adalah pedagang, tetapi di Jawa Barat dan di pantai Barat Sumatera ada banyak orang Hokkian

yang bekerja sebagai petani dan penanam sayur-mayur, sedangkan di Bagan Siapiapi

(Riau) orang Hokkian umumnya menjadi penangkap ikan. Orang Hakka di Jawa dan Madura banyak yang menjadi pedagang, tetapi banyak juga yang menjadi pengusaha

industri kecil. Di Sumatera orang Hakka bekerja di pertambangan, sedangkan di Kalimantan Barat banyak yang menjadi petani.

Masyarakat Cina yang datang dan telah mengalami akulturasi dengan masyarakat lokal (Indonesia) berasal dari suku Hokkian, Hakka, Tao Chiu, Hai Lan atau Hai Nan,

dan Kong Hu. Dalam komunitas Cina Benteng, mayoritas berasal dari suku Hokkian yang umumnya bermatapencaharian seperti petani, pedagang, nelayan, dan ahli perkebunan.33

Menurut penelitian seorang sarjana Seni Rupa dan Desain ITB Jurusan Desain

32 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, hlm. 362-363.

(35)

Komunikasi Visual, Y Sherly Marianne, kehidupan masyarakat Cina Benteng memang

keras, hal itu terjadi agar mereka bisa bertahan hidup.34

Keberadaan Cina Benteng menegaskan seakan tidak semua orang Cina

mempunyai posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan

tidak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Realitas Cina

Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat

etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi

ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan, Ridwan Saidi, seorang

Pengamat Budaya dari Betawi, melihat realitas Cina Benteng sebagai wajah lain

Indonesia. Ada yang kaya, tetapi tidak sedikit pula yang miskin Sampai sekarang masih

banyak komunitas Cina Benteng yang ekonominya pas-pasan atau bahkan kekurangan,

misalnya, jika melihat di belakang bangunan Kelenteng Boen Tek Bio, masih ada masyarakat Cina Benteng yang menjadi nelayan tepatnya di Sungai Cisadane, atau tukang becak yang penghasilannya tidak menentu tiap harinya. Terlebih lagi kalau

melihat komunitas Cina Benteng yang tinggal di desa desa dan pesisir pantai (Tanjung Kait dan Tanjung Pasir). Oey Tjin Eng pernah mengunjungi daerah tersebut dan

mendapati suatu rumah, yang terbuat dari anyaman dan bilik bambu, jika akan memasuki

rumah tersebut harus membungkukkan badan, karena terlalu kecil dan mudah rubuh jika disentuh. Hal itu sangat berbeda dengan kehidupan di perkotaan, yang umumnya

berprofesi sebagai pedagang dan dapat dikategorikan kelas menengah.

Sedangkan, jika dilihat secara umum mata pencaharian dari penduduk Kelurahan

Sukasari memang mayoritas berprofesi sebagai wiraswasta atau pedagang. Hal ini dapat

dilihat pada Tabel IV berikut.

(36)

Tabel IV

Mata Pencaharian di Kelurahan Sukasari

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Karyawan

1) Pegawai Negeri Sipil

2) ABRI

3) Swasta

117

8

1.120

2. Wiraswasta atau Pedagang 2030

3. Pertukangan 5

4. Buruh Tani 105

5. Pensiunan 97

6. Jasa 53

Sumber: Laporan Monografi Kelurahan Sukasari

F. Bahasa

Sejak dahulu orang sudah tahu bahwa manusia dari aneka warna asal dan bangsa

itu mengucapkan beraneka ragam bahasa pula, tetapi suatu hal yang menarik perhatian

para ahli kesusastraan abad ke-18 yang mulai mempelajari naskah-naskah kuno dalam

bahasa arab, Sanksreta, Cina dan lain-lain, adalah adanya berbagai persamaan azasi

dalam bahasa-bahasa Eropa dengan bahasa Sankserta, bahasa klasik di India, baik

dipandang dari sudut bentuk kata-katanya, maupun dari tata bahasanya.

Bahasa adalah sistem untuk mengkomunikasikan dalam bentuk lambang, segala

macam informasi. Setiap bahasa manusia, baik Inggris maupun Cina adalah sarana untuk

(37)

individual, dengan orang lain.35 Bahasa mencerminkan realita kebudayaan dan kalau

kebudayaan berubah, bahasa pun akan berubah.36

Orang Cina yang ada di Indonesia, sebenarnya merupakan bukan suatu kelompok

yang berasal dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa

yang berasal dari dua propinsi, yaitu: Fukien dan Kwangtung, yang saling berjauhan

daerahnya. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa ekbudayaan suku bangsanya

sendiri bersama dengan perbedaan bahasnya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah

bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang perbedaannya begitu besar, sehingga

pembicara dari bahasa yang satu tidak dapat mengerti dengan pembicara yang lain.37

Bentuk-bentuk bahasa yang berbeda tetapi cukup besar persamaannya sehingga

dapat saling dipahami, dikenal dengan nama dialek. Secara teknis, semua dialek adalah

bahasa –tidak ada sesuatu yang bersifat parsial atau sub-linguistik pada dialek- dan batas

di mana dua dialek yang berbeda itu menjadi dua bahasa yang terpisah, pada garis

besarnya adalah batas di mana orang-orang yang berbicara dalam dialek yang satu hampir

sama sekali tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbicara dalam dialek

yang lain. Batas-batas itu dapat bersifat psikologis, sosiologis atau ekonomis, dan tidak

begitu jelas. 38

Telah disebutkan di atas, bahwa tidak seperti Cina Totok yang sampai sekarang

masih memegang teguh adat dan bahasa Cina. Masyarakat Cina Peranakan sebagian

besar sudah tidak dapat lagi menggunakan bahasa Cina, khususnya komunitas Cina

Benteng. Keunikan dari komunitas Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah

(38)

berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam

percakapan sehari-hari, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka

bahkan sudah sangat kental dengan Sunda pinggiran bercampur dengan bahasa Betawi.

Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina Singkawang, Kalimantan Barat, yang

berbahasa Ina.

Logat Cina Benteng memang khas. Misalnya, ketika mengucapkan kalimat, “mau

ke mana”, kata “na” diucapkan lebih panjang, sehingga terdengar “mau kemanaaa”.39 Hal

ini dikarenakan komunitas Cina Benteng sangat membuka peluang masuknya kebiasaan

dan tata bahasa masyarakat lokal, yang sebagian besar menggunakan logat Betawi.

(39)

BAB III

PROSES AKULTURASI DALAM MASYARAKAT CINA BENTENG

Proses akulturasi dalam masyarakat terjadi apabila kelompok-kelompok atau

individu-individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda saling berhubungan langsung

secara intensif, dengan timbulnya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel yang

banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas, frekuensi, dan

semangat persaudaraan dalam hubungannya; siapa dan apakah datangnya pengaruh itu

timbal balik atau tidak. Akulturasi dapat diartikan sebagai, perubahan-perubahan besar

dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar kebudayaan yang

berlangsung lama40

Akulturasi merupakan suatu proses penyesuaian diri yang sesuai dengan hakikat

kebudayaannya. Proses ini mengarah kepada keserasian sosial yang bersifat wajar dan

manusiawi. Istilah akulturasi muncul sejak 1936 dikalangan Antropolog Amerika sebagai

reaksi terhadap studi rekontruksi histories yang dianggapnya kurang lengkap karena tidak

menceritakan seluruh perubahan sosio-kulturalnya. Oleh karena itu sampai sekarang studi

akulturasi dipandang sebagai salah satu bidang studi yang cukup terkenal mengenai

pemahaman proses sosio-kultural.

Akulturasi sebagai perubahan budaya ditandai dengan adanya hubungan antara

dua kebudayaan; keduanya saling memberi dan menerima, mengutip pendapat seorang

Antropolog, Shorter, yang mengatakan bahwa akulturasi adalah pertemuan antara dua

40

(40)

kebudayaan. Lebih lanjut seorang Antropolog lain, Bee (William A. Haviland:1985)

memberikan beberapa parameter mengenai pengertian akulturasi, diantaranya:

1. Akulturasi menunjukan kepada suatu jenis perubahan budaya yang terjadi

apabila dua sistem budaya bertemu;

2. Akulturasi menunjukan kepada suatu proses perubahan yang dibedakan

dari proses-proses difusi41, inovasi,42 invensi,43 maupun penemuan; dan 3. Akulturasi dipahami sebagai suatu konsep yang dapat digunakan sebagai

kata sifat untuk menunjukan suatu kondisi, misalnya kondisi kelompok

budaya yang satu lebih terakulturasi dari budaya yang lain.

Oleh karena itu, beberapa studi akulturasi yang saling terkait dapat dibedakan

antara lain: beberapa sistem kultural; sifat dari situasi hubungan; keserasian atau

keakraban antara hubungan berbagai macam budaya; dan kehidupan proses budaya

karena adanya hubungan sistem.44

A. Peranan Tradisi Ritual dalam Masyarakat Lokal

Masyarakat Cina Benteng sudah berakulturasi dan berintegrasi dengan lingkungan

dan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Seperti, yang terlihat jelas pada warna

kulitnya yang kecoklatan, tidak putih meletak pada umumnya komunitas Cina.

Mendengar mereka berbicara pun sudah sangat mirip dengan masyarakat lokal. Meski

demikian, masyarakat Cina Benteng masih mempertahankan dan melestarikan adat

41 Difusi, proses penyebaran sesuatu dari satu pihak ke pihak lain (tentang kebudayaan, teknologi, dan sebagainya; pengaruh pengalihan pranata budaya melewati batas-batas bahasa. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Media Centre, hlm. 185.

42 Inovasi, pembaharuan, pengenalan terhadap hal-hal yang masih baru. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 269.

43 Invensi, penciptaan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ada. Lihat, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 272.

(41)

istiadat nenek moyang mereka yang sudah ratusan tahun. Salah satunya adalah tampak

pada keberadaan Meja Abu di setiap rumah orang Cina Benteng. Hal ini membuktikan

bahwa masyarakat Cina Benteng selain mereka berakulturasi dan beradaptasi dengan

budaya masyarakat lokal (Betawi) namun mereka masih tetap mempertahankan tradisi

dan adat istiadat kepercayaan leluhur mereka yang sudah ratusan tahun. Akulturasi

budaya masyarakat Cina Benteng dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi) terlihat

pada busana pakaian pengantin yang merupakan campuran atau akulturasi budaya Cina

dengan Betawi, akulturasi bahasa, akulturasi kesenian dan sebagainya.

Melihat fenomena Cina Benteng Tangerang membuktikan bahwa betapa harmonis

dan toleransinya kebudayaan Cina dengan kebudayaan masyarakat lokal (Betawi). Hal ini

membuktikan bahwa masyarakat Cina Benteng Tangerang hampir tidak pernah

mengalami friksi (permusuhan atau perpecahan) dengan etnis lainya.

Dalam proses akulturasi budaya, tentu keduanya saling mempengaruhi antara

budaya lokal dan budaya Cina, artinya bahwa ada aspek-aspek yang berperan, katakanlah

peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, atau ada unsur-usnur mitos dalam tradisi

masyarakat lokal. Tradisi budaya pengkeramatan dalam pemandian perahu pn ini

dikatakan tidak lain adalah pengaruh dari tradisi budaya masyarakat lokal Tangerang.

Koentjaranigrat membagi konsep kebudayaan kedalam tiga golongan,

diantaranya:

1) Gagasan

2) Kelakuan

(42)

Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan

dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil

kelakuan dapat diamati dan atau dapat diraba. Kelakuan dan hasil kelakuan adalah

produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan

antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan

sebab akibat; dan karena itu, gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan

sebagai sebuah golongan yang sama namanya kebudayaan.45

Dalam tataran peranan tradisi ritual dalam masyarakat lokal, Ritual keagamaan

merupakan sarana yang menghubungkan manusia dengan yang keramat; inilah agama

dalam praktek (in action). Ritual bukan hanya sarana yang memperkuat ikatan sosial kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi juga suatu cara untuk merayakan

peristiwa-peristiwa penting, dan yang menyebabkan krisis, seperti kematian, tidak begitu

mengganggu masyarakat, dan bagi orang-orang yang bersangkutan lebih ringan untuk

diderita.

Para ahli antropologi telah mengklasifikasikan beberapa tipe ritual yang

berbeda-beda diantaranya

a. Upacara inisiasi / peralihan (rites of passage)46 yang mengenai tahapan-tahapan dalam siklus kehidupan manusia.

b. Upacara peralihan (rites of passage) merupakan upacara keagamaan yang berhubungan dengan tahapan-tahapan yang penting dalam kehidupan manusia,

seperti upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian; dan

45 Seni dalam Ritual Agama, hlm.

(43)

c. Upacara Intensifikasi (rites of intensifikasi), yang diadakan pada waktu kehidupan kelompok mengalami krisis, dan penting untuk mengikat orang-orang menjadi

satu47. Sedangkna upacara intensifikasi adalah upacara keagamaan yang diadakan pada waktu kelompok menghadapi krisis real atau potensial. Upacara intensifikasi

dapat dikatakan upacara yang menyertai keadaan krisis dalam kehidupan

individu.

Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat

khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti merupakan suatu

pengalaman yang suci.48 Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau

dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungannya dengan yang Tertinggi, dan

hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang sifatnya biasa atau umum, tetapi

sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia membuat suatu cara yang

pantas guna melaksanakan pertemuan itu, maka muncullah beberapa bentuk ritual agama

ibadah atau liturgi. Dalam ritual agama dipandang dari bentuknya secara lahiriah

merupakan hiasan atau semacam alat saja, tetapi pada intinya yang lebih hakiki adalah

pengungkapan iman. Oleh karena itu, upacara ritual agama diselenggarakan pada

beberapa tempat, dan waktu yang khusus, perbuatan yang luar biasa, dan berbagai

peralatan ritus lain yang bersifat sakral.

Berbagai macam bentuk ritual seperti itu merupakan transformasi simbolis dari

beberapa pengalaman kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang

spontan, tanpa rancangan, dan kadang kala tanpa disadari, namun polanya benar-benar

47 Antropologi edisi keempat Jilid 2, hlm. 207

48

(44)

alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola kepercayaan mitos dengan

jenis-jenis ritus magi, yang didalamnya mengandung kekuatan yang menghubungkan

kehendak manusia dengan penguasanya, roh-roh nenek moyangnya, dan mempengaruhi

kekuatan lainnya. Dalam masyarakat primitive (kuno) menirukan gerakan binatang tertentu sebelum berburu merupakan ritus magi imitative atau simpatetis, dengan maksud agar binatang yang diinginkan dapat ditangkap. Segala pengalaman manusia dari sejak

masyarakat primitive sampai sekarang, ternyata pengalaman religi dan pengalaman estetis tidak dapat dipisahkan.

Ritual ataupun ibadah merupakan transformasi simbolis dari

pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal

dari kebutuhan primer manusia, maka ia merupakan kegiatan yang spontan dalam arti

betapapun peliknya ia lahir tanpa niat, tanpa disesuaikan dengan tujuan yang disadari,

pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.49 Manusia ataupun

masyarakat menjalankan ajaran yang ada di dalam agamanya hanya terbatas pada ritual

yang dilaksanakan tanpa memahami kandungan dan isi dari ritual-ritual yang

dijalankannya, terkadanag banyak juga yang sama sekali tidak memahami tetapi

menjalankan ritual tersebut. Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara

individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi,

dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat)

yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau

seluruh masyarakat.50

49

Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985, hlm. 76.

50

Gambar

gambar, karangan dan lain-lain.
Tabel I
Tabel III Jumlah Majelis Keagamaan di Kelurahan Sukasari, Tangerang
Tabel IV

Referensi

Dokumen terkait

akan tetapi tidak sedikit dari para pengunjung tersebut merasa kecewa dengan ketentuan tersebut mereka merasa dirugikan karena hanya telat keluar bberapa jam saja namun harus

Untuk itu dalam rangka melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014 diperlukan kebijakan penanganan

Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas inkubator-inkubator yang saling terhubung dan bekerja sama satu sama lain untuk mengembangkan, membangun sinergi dan

Selanjutnya dilakukan penelitian terhadap pengguna bangku tersebut, dalam hal ini adala siswa-siswi Sekolah Dasar sehingga menemukan antropometri yang sesuai dengan

Maka kita bisa ambil kesimpulan bahwa Kualitas Pelayanan yang di berikan oleh Puskesmas Pembantu Desa Pasir Utama sangat berpengaruh terhadap Kepuasan Pasien

Pada suatu ketika, Rasulullah Saw. masuk menemui Ummu Salamah r.a, pada saat itu beliau melihat Ummu Salamah memegang beberapa buah batu yang digunakan untuk menghitung

Setelah dilakukan perhitungan similarity untuk mencari Top-K mahasiswa yang memiliki similarity yang tertinggi dengan mahasiswa Um maka langkah yang dilakukan adalah menghitung

Titik 2 menyatakan keadaan paduan yang sama pada suhu 200 o C yang terdiri dari kira- kira 55% fasa cair dan larutan padat α pada larutan timbal.. Pada larutan padat β sedikit