• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang dilakukan pada kelima cerpen dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari sebagai sumber data penelitian, maka perlu dilakukan penelitian stilistika lebih dalam melalui sudut pandang yang berbeda, misalnya tinjauan ideologi yang dikandung teks melalui identifikasi penggunaan gaya bahasa atau analisis stilistika bandingan antara karya sastra yang berbeda zaman.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif dengan karya yang berkualitas. Terbukti dari beberapa judul novel miliknya pernah diangkat menjadi sebuah film, beberapa di antaranya, novel Perahu Kertas,

Malaikat Tanpa Sayap, dan Madre (yang dalam proses penggarapan). Karya

sastra miliknya sudah banyak dijadikan objek penelitian di beberapa universitas di Indonesia, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Demikian juga dengan antologi cerpen Filosofi Kopi yang dijadikan objek penelitian ini. Dari pengamatan dan penelusuran yang dilakukan peneliti, antologi cerpen tersebut belum pernah dianalisis oleh mahasiswa Departemen Sastra Indonesia, FIB Universitas Sumatera Utara (USU). Di berbagai universitas lainnya, antologi cerpen ini sudah pernah diteliti oleh beberapa mahasiswa di Indonesia. Beberapa diantaranya mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yakni Windi Eliyanti dengan judul penelitian

Analisis Cerpen dengan Menggunakan Pendekatan Strukural (objektif) (2012)

terhadap antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Pembahasan yang diuraikannya menyangkut unsur-unsur instrinsik cerpen seperti tema, plot (alur), latar, penokohan, gaya penulisan pengarang, serta gaya bahasanya (menyangkut majas).

Selain itu, antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ini juga pernah diteliti oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM), yakni Anwari Eka Putra dalam skripsinya yang berjudul Analisis

Fakta Cerita dan Tema Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Menurut Stanton (Agustus, 2007). Dalam skripsinya tersebut, ia menggunakan teori

pengkajian fiksi Robert Stanton untuk menganalisis fakta-fakta cerita serta tema dalam cerpen.

Kemudian antologi cepen ini juga pernah diteliti oleh Putri Dione Ayu Agustins mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dengan judul penelitian Modus Mengada Tokoh Utama Kumpulan Cerita Pendek

Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari (2011). Dalam penelitiannya tersebut, ia

menggunakan teori psikologi eksistensial untuk menganalisis secara kritis identitas tokoh. Langkah analisis yang dilakukannya yakni dengan menguraikan unsur instrinsik (dalam alur, tokoh, dan latar) terlebih dahulu, kemudian dari hasil tersebut, diidentifikasi faktor dominan sebagai jalan pencarian identitas tokoh utamanya.

Berbeda halnya dengan kajian-kajian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya seperti uraian di atas. Di dalam penelitian ini, pengkajian difokuskan terhadap rangkaian pembentuk komunikasi (teks) dan isi (makna) yang berlandaskan pada teori stilistika. Sesuai dengan judulnya menyangkut komunikasi estetik, langkah awal yang dilakukan yakni dengan menguraikan unsur-unsur stile (gaya) sebagai pembentuk efek estetik, kemudian dilanjutkan

dengan proses pendeskripsian makna denotatif dan konotatif yang diuraikan pengarang melalui konfigurasi gagasan untuk menciptakan efek estetik.

2.2 Konsep

Pradopo (2001: 38) menjelaskan bahwa konsep diartikan sebagai unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dalam karya sastra konsep misalnya berupa ide, gagasan, keindahan, fungsi sastra dalam masyarakat. Karena ada konsep, anggapan dasar dapat dilihat. Dengan demikian, berikut beberapa definisi dari istilah-istilah yang terkait sebagai referensi fokus penelitian ini, yakni:

2.2.1 Cerpen

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro, 1995: 10). Ada semacam anggapan bahwa cerpen merupakan novel yang dipersingkat, namun faktanya pembaca lebih relevan menikmati novel dibandingkan cerpen, karena dianggap lebih utuh dalam penceritaannya. Sama halnya dengan pernyataan Stanton (2007: 89) yang mengemukakan bahwa masyarakat lebih dapat menikmati novel ketimbang cerpen atau lebih memilih mendengarkan simfoni ketimbang musik kamar. Satu hal yang pasti, setiap petualang literer yang matang akan lebih menghargai ketrampilan dan keahlian artistik pengarang. Cerpen merupakan contoh sempurna dari genre karya sastra yang pantas diperlukan sedemikian rupa.

2.2.2 Komunikasi Sastra

Istilah komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai media atau alat untuk menyampaikan gagasan atau pesan sebagai bagian dari interaksi sosial. Seperti pandangan Rousydiy (1989: 1) bahwa seorang individu yang ingin menyampaiakan sesuatu pesan atau ide kepada individu lainnya dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti (mungkin lambang kata atau tanda-tanda lainnya) itulah komunikasi dengan segala prosesnya.

Demikian juga halnya dengan komunikasi dalam sastra, pada hakikatnya bertujuan menyampaikan pesan dan maksud pengarang. Namun berbeda dengan komunikasi umumnya, komunikasi sastra memanfaatkan bahasa sebagai media utamanya. Namun bukan bahasa yang wajar terdengar, tetapi bahasa yang telah dimodifikasi dengan unsur-unsur stile (gaya bahasa) untuk menciptakan efek estetik sebagai bagian dari fungsi artistik karya sastra. Ratna (2004: 297) mengemukakan bahwa sebagai gejala komunikasi karya sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Untuk itu, karya sastra tidak hanya menyangkut persoalan bahasa, tetapi bagaimana pengarang mengkomunikasikan (pesan) sehingga mampu ditangkap pembaca.

2.2.3 Komunikasi Estetik

Aminuddin (1995: 303) mengemukakan bahwa komunikasi estetik merupakan bentuk komunikasi yang dilandasi tujuan untuk memberikan efek emotif tertentu bagi penanggapnya. Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi estetik. Dalam hal ini lazim pula digunakan istilah komunikasi puitik. Sebagai bentuk komunikasi puitik upaya membuahkan efek keindahan tersebut

ditempuh antara lain dengan cara mengolah penggunaan sistem tanda, baik itu terkait dengan apek bunyi, kata, hubungan kata-kata, maupun aspek tipografinya.

2.2.4 Stilistika

Umumnya stilistika dimaknai sebagai bagian ilmu sastra yang bertujuan memahami bahasa (gaya bahasa) dalam karya sastra. Keraf (2006: 112) mendeskripsikan bahwa gaya bahasa atau style dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Demikian pula dengan pengarang dalam karya sastranya. Untuk itu, proses pemahaman stilistika tidak terlepas dari ilmu lingustik karena memang yang dijadikan sasaran kajian adalah bahasanya. Selanjutnya Sudjiman (1993: 7) mengemukakan bahwa stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan.

2.3 Landasan Teori 2.3.1 Stile (Gaya Bahasa)

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 276) mengemukakan bahwa stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain.

Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, di pihak lain, juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu

dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. Stile: masalah struktur lahir, bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan bentuk performansi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang. Ia merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah.

Stile, atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk lingustik yang berlaku dalam sistem bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif (Nurgiyantoro, 1995: 278).

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan

dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Purba, 2009: 15).

2.3.2 Teori Stilistika

Aminuddin (1995: 46) menyatakan bahwa stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Dalam kajian sastra, biasanya stilistika dimaksudkan untuk menerangkan

hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya, (Leech dan Short dalam Suroso, Puji dan Pardi, 2009: 158).

Selanjutnya Wellek dan Austin (1995: 225) mengemukakan bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya. Baru jika tujuan estetis ini menjadi inti permasalahan, stilistika merupakan bagian ilmu sastra, dan akan menjadi bagian yang penting, karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Leech & Short (dalam Nurgiyantoro, 1995: 279) menjelaskan bahwa stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra.

Penelitian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Aminuddin (1995: 34) menguraikan kekhasan komunikasi estetik ataupun komunikasi puitik dapat didasarkan pada (i) elemen pembentuk peristiwa komunikasinya, (ii) hubungan antara elemen yang satu dengan yang lain, dan (iii) efek ataupun aspek intensionalitas pada diri pengarangnya.

Aminuddin (1995: 48) mengemukakan beberapa asumsi yang berperanan dalam membentuk satuan konsepsi menyangkut konstruksi gejala yang akan digarap, yakni:

1. Karya sastra adalah gejala sistem tanda yang secara potensial mengandung gambaran obyek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis;

2. Karya sastra adalah gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya penutur, tanda yang dapat ditransformasikan ke dalam kode kebahasaan, dan penanggap;

3. Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat menggambarkan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan tertentu secara sistematis;

4. Unsur-unsur dalam karya sastra secara kongkret terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang ditempuh pengarang dalam menyampaiakan gagasannya;

5. Cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasannya dapat ditentukan berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya.

Dalam stilistika sastra juga dikenal adanya (i) pendekatan monisme yang menyikapi wujud penggunaan sistem tanda sebagai kesatuan antara bentuk dan isi. Berbeda dengan pendekatan monisme, (ii) pendekatan dualisme menyikapi bentuk dan isi sebagai dua unsur yang berbeda. Sebab itu penjelasan pada aspek bentuk harus dibedakan dengan penjelasan pada tataran makna. Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, (iii) pendekatan pluralisme mendekati gejala penggunaan bahasa dengan mendasarkannya pada fungsinya. Sebagaimana pembahasan tentang gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda, dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995: 57).

Dengan demikian penelitian ini merujuk pada pendekatan

pluralisme-interferensial yakni proses analisis yang dilakukan bertolak dari konsep teoritis

yang dianggap relevan. Konsep tersebut antara lain terkait dengan wawasan

teoritis secara demikian pada dasarnya sesuai dengan kenyataan bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Kehadiran sistem tanda dalam teks sastra dapat disiasati dengan bertolak dari wawasan semiotik. Penggunaan bahasanya dapat dipahami dari wawasan lingustik. Sementara keberadaan aspek stilistik sebagai bentuk kreasi seni dapat dipahami dengan bertolak dari konsep-konsep yang terkembang dalam teori sastra (Aminuddin, 1995: 61).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan bahasa di dalam karya sastra terkait dengan sejumlah ragam bahasa yang digunakan sebagai wujud pemaparan gagasan yang merujuk pada bentuk komunikasi karya sastra. Unsur-unsur kebahasaan yang dibentuk dalam komunikasi sastra difungsikan sebagai alat untuk menciptakan efek estetik. Penelitian ini berfokus pada pemahaman bahwa penggunaan bahasa dalam karya sastra dipandang sebagai wacana komunikasi yang dapat diidentifikasi melalui aspek gaya sejalan dengan sistem manipulasi bahasa yang diolah melalui bentuk dan makna (isi).

Lotman (Segers, 2000: 14) mengemukakan bahwa sastra memiliki bahasa sendiri yang tidak berkaitan dengan bahasa natural. Ini berarti bahwa sastra memiliki suatu sistem tanda yang berbeda dan aturan-aturan yang dikombinasikan bagi pelayanan pemindahan (pengiriman) pesan-pesan khusus, yang tidak dapat ditransmisikan dengan cara lain. Hal ini yang membedakan bentuk komunikasi sastra dengan komunikasi kebahasaan. Aminuddin (1995: 35) menguraikan bahwa dalam konteks komunikasi kebahasaan, gaya secara umum memang dapat diartikan sebagai cara penggunaan bahasa untuk mengungkapkan gagasan. Tetapi bila dihubungkan dengan konteks komunikasi karya sastra serta gambaran alat pemaparan yang digunakan, sebutan “cara penggunaan bahasa” perlu diperluas.

Endraswara (2003: 71) menjelaskan bahwa gaya adalah segala sesuatu yang “menyimpang” dari pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini banyak muncul dalam karya sastra, karena memang sastra sarat dengan unsur estetik. Segala unsur estetik itu menimbulkan manipulasi bahasa, plastik bahasa, dan kado bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis. Dalam hal ini, Segers (2000: 26) mengemukakan pandangannya bahwa sebuah teks sastra akan berisi sejumlah stimulus yang mempunyai efek estetis bagi penerima dan dengan demikian menyebabkan teks memiliki fungsi estetis bagi pembaca.

Aminuddin (1995: 6) menguraikan bahwa penggunaan gaya pada dasarnya terkait dengan komunikasi kebahasaan memberikan kesadaran bahwa kemenarikan penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi selain merujuk pada aspek bentuk juga merujuk pada isi yang diembannya. Sebab itu gaya selain dihubungkan dengan pengolahan bentuk juga dihubungkan dengan pengolahan gagasan. Dalam kreasi penciptaan karya sastra pengolahan gagasan itu terkait dengan upaya menciptakan gagasan yang jernih dan kaya melalui bentuk pengungkapan yang padat, utuh, dan imajinatif.

Teeuw (1984: 70) berpandangan setiap orang tahu bahwa penyair seringkali memakai bahasa yang aneh atau istimewa, yang gelap atau yang menyimpang. Aminuddin (1995: 33) menambahkan, sejalan dengan wawasan bahwa komunikasi sastra juga ditujukan untuk membuahkan efek keindahan tertentu, komunikasi sastra juga lazim disebut sebagai komunikasi estetik (aesthetic communication) ataupun komunikasi puitik (poetic communication).

Elemen pembentuk peristiwa komunikasi dalam karya sastra merujuk pada unsur-unsur yang secara potensial teremban dalam wacana sastra sejalan dengan fungsinya untuk menciptakan efek keindahan tertentu. Hal itu dapat diidentifikasi melalui pengungkapan unsur stile (style), yakni menyangkut ciri formal kebahasaan, struktur bahasa, dan bentuk penggunaan bahasa figuratif. Penelitian ini berfokus pada pendeskripsian unsur stile yang meliputi bentuk-bentuk penggunaan bahasa figuratif melalui aspek penyiasatan struktur dan aspek pemajasan. Dari uraian tersebut dapat diperoleh teknik pengolahan bahasa dalam wacana (teks) yang terbentuk sebagai wujud ungkapan kebahasaan yang juga disebut dengan istilah struktur lahir karya sastra.

Selain terkait pada teknik pengolahan bahasa (teks), komunikasi estetik juga mengacu pada proses pemaknaan secara total yakni menyangkut makna

denotatif dan konotatif yang dideskripsikan melalui bentuk ekspresi atau

konfigurasi gagasan yang dimanifestasikan lewat gejala sistem tanda dan lambang kebahasaan. Totalitas makna sebagai bentuk komunikasi estetik terkait dengan fungsi kebahasaan. Aminuddin (1995: 34) menguraikan fungsi bahasa tersebut antara lain dapat dihubungkan dengan fungsi bahasa sebagai wahana pemaparan sesuatu, penciptaan hubungan atau kontak, pengajuan atau pengimbauan, pengekspresian gagasan atau opini, dan fungsi bahasa sebagai wahana untuk menjelaskan fakta kebahasan itu sendiri.

Makna denotatif yang disebut juga dengan istilah makna leksikal berkaitan dengan makna sebenarnya yang terdapat di dalam teks. Sebaliknya, makna konotatif berkaitan dengan makna di luar isi teks. Di samping itu Nasution

(2012: 5) berpendapat bahwa karya sastra diciptakan dengan bahasa yang bermakna denotatif dan konotatif. Makna denotatif itu akan menusuk ke pikiran pembaca dan makna konotatif itu akan menghujam perasaan pembaca. Oleh karena itu, ada orang yang membaca karya sastra sambil tersenyum, manangis, tertawa, berpikir keras bahkan marah sendiri. Inilah yang membedakan membaca karya sastra dengan tulisan lain.

Demikian pula dengan Dewi Lestari dalam antologi cerpen Filosofi Kopi yang juga menjadi objek penelitian ini. Pengarang yang dikenal dengan nama pena Dee tersebut menciptakan karya sastra yang imajinatif, sarat dengan peristiwa komunikasi sastra yang dilakukan melalui manipulasi bahasa untuk membuahkan efek estetik. Kepiawaiannya dalam menggambarkan gagasan diolah dengan penggunaan gejala sistem tanda yang dianalogikannya ke dalam sebuah wacana sastra, sehingga menjadi sebuah tantangan untuk mengungkap komunikasi sastra di balik cara penyampaian gagasan pengarang.

Antologi cerpen perdana milik Dee tersebut terbit pada tahun 2006 dan sempat dipilih majalah Tempo sebagai karya sastra terbaik 2006, serta menjadi 5 Besar Khatulistiwa Literary Award pada tahun yang sama. Secara khusus Goenawan Mohammad (dalam Lestari, 2012: xii) memberi komentar terhadap karya ini dengan anggapan “tidak ruwet, bahkan terang benderang, tak berarti

tanpa isi yang menjentik kita untuk berpikir. Ada sebuah kata bahasa Inggris, wit, yang mungkin bisa diterjemahkan dengan ungkapan ‘cerkas.’ Kumpulan prosa ini menghidupkan yang cerkas dalam sastra Indonesia. ”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, terdapat beberapa masalah yang menjadi pokok arahan peneliti, yakni :

1. Bagaimanakah unsur-unsur stile sebagai elemen pembentuk peristiwa komunikasi (teks) dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari?

2. Bagaimanakah makna denotatif dan konotatif yang diuraikan pengarang melalui konfigurasi gagasan untuk menciptakan efek estetik?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan harus diperjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran (Pradopo, 2001: 28). Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menguraikan unsur stile sebagai elemen pembentuk peristiwa komunikasi (teks) dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari?

2. Mendeskripsikan makna denotatif dan konotatif yang diuraikan pengarang melalui konfigurasi gagasan untuk menciptakan efek estetik.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini menyangkut:

1. Dapat menjadi masukan bagi pembaca untuk memaknai teks sastra yang penuh dengan manipulasi bahasa sekaligus mampu memahami gagasan (isi) yang disampaikan.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi pembaca untuk menguraikan unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam karya sastra yang berkaitan dengan pengolahan bahasa (teks sastra).

3. Menambah wawasan pembaca dalam mengenali gejala bahasa yang diolah pengarang menjadi karya sastra yang mengandung efek estetik.

ABSTRAK

KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

DESI HANDAYANI SAGALA

Fakultas Ilmu Budaya USU

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan unsur stile dan totalitas makna (denotatif dan konotatif) sebagai serangkaian komunikasi estetik secara utuh dan imajinatif dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pondasi dalam rangka mengenali sistem manipulasi bahasa yang disusun dengan sejumlah gagasan bermakna melalui bidang stilistika. Antologi cerpen Filosofi Kopi terdiri dari 18 cerita yang menarik dan beragam. Akan tetapi, analisis komunikasi estetik difokuskan pada 5 cerpen, yakni Filosofi Kopi, Surat yang Tidak Pernah Sampai,

Sikat Gigi, Lara Lana, dan Sepotong Kue Kuning. Kelima cerpen tersebut dipilih

sebagai data karena struktur teks dibangun melalui penggunaan ragam gaya bahasa dan sejumlah wujud pemaparan sistem tanda dengan gagasan yang diwacanakan secara artifisial. Alasan yang mendasari pemilihan objek penelitian ini terletak pada media komunikasi (teks) yang dipilih pengarang dalam mengkomunikasikan pesan dengan bahasa yang tidak hanya sekadar memiliki pola yang indah dan absurd, tetapi juga mengandung pandangan mengejutkan menyangkut realita kehidupan yang justru jarang dipikirkan serta terkait dengan fungsi kebahasaan yang terbentuk melalui wahana sistem tanda pada konfigurasi gagasan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa jenis gaya bahasa yang dominan terbentuk melalui aspek penyiasatan struktur dan pemajasan, yakni pararelisme,

pertanyaan retoris, metafora dan personifikasi. Selanjutnya, wujud kekhasan

bentuk komunikasi estetik yang terkandung pada masing-masing cerpen diuraikan lewat cara penggunaan sistem tanda, baik berupa kata atau gambaran peristiwa yang merujuk pada fungsi kebahasaan, yakni terkait dengan fungsi bahasa sebagai wahana untuk menjelaskan fakta kebahasaan itu sendiri (metalingual), pengajuan atau pengimbauan (konatif), pengekspresian gagasan atau opini sesuai dengan tujuan yang melatarbelakanginya (emotif), dan sebagai wahana pemaparan

KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN

FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

SKRIPSI

OLEH

DESI HANDAYANI SAGALA

090701012

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di perguruan tinggi. Sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis maupun diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan sebagai sumber referensi pada skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Juli 2013

Desi Handayani Sagala 090701012

ABSTRAK

KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI

DESI HANDAYANI SAGALA

Fakultas Ilmu Budaya USU

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemanfaatan unsur stile dan totalitas makna (denotatif dan konotatif) sebagai serangkaian komunikasi estetik secara utuh dan imajinatif dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pondasi dalam rangka mengenali sistem manipulasi bahasa yang disusun dengan sejumlah gagasan bermakna melalui bidang stilistika. Antologi cerpen Filosofi Kopi terdiri dari 18

Dokumen terkait