DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lestari, Dewi. 2006. Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nasution, Ikhwanuddin. 2012. Membangun Kreatifitas Dalam Nafas Sastra. Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia FIB USU.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko dkk. 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Gajah Madah University Press.
Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia: Kaji Bahasa Karya Sastra. Medan: USU Press.
Rousydiy, T.A Latief. 1989. Dasar-dasar Rhetorica: Komunikasi dan Informasi. Medan: Firma Rinbow.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan oleh Prof. Dr. Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bungai Rampai Stilistika. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti.
Suroso, Puji Santosa dan Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori Metodologi
dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsay. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Pustaka Jaya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel 3.1.1 Populasi
Populasi artinya keseluruhan objek yang dijadikan bahan penelitian
(Pradopo, 2001: 28). Dalam KBBI (2000: 889) populasi diartikan sebagai
sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel;
suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Dengan demikian, populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 18 cerita pendek dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari.
3.1.2 Sampel
Sampel artinya keseluruhan objek yang memiliki ciri-ciri yang
terkandung pada keseluruhan (Pradopo, 2001: 28). Adapun sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 5 dari 18 cerita pendek dalam antologi
cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Hal itu dikarenakan kelima cerpen yang
dijadikan sebagai sasaran objek kajian dominan dibentuk oleh sejumlah aspek
kebahasaan yang akan dibuktikkan melalui uraian unsur stile, misalnya jenis-jenis
gaya bahasa yang muncul melalui aspek penyiasatan struktur dan pemajasan.
Selanjutnya dilakukan pendeskripsian makna denotatif dan konotatif yang
merujuk pada wacana sastra sebagai bentuk komunikasi estetik.
3.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Endraswara (2008: 8) berpendapat bahwa yang jelas, apapun alasannya,
juga sekadar membaca untuk kenikmatan sementara. Dalam hal pengumpulan
data, penelitian ini menggunakan teknik snow ball-sampling. Pengambilan data
secara demikian adalah pengambilan data yang berlangsung serempak dengan
analisis dan berjalan terus menerus hingga suatu titik yang ditetapkan pengkaji itu
sendiri karena pemikiran bahwa data yang diperoleh secara potensial sudah
mampu diangkat sebagai bahan penjawab masalah (Aminuddin, 1995: 67).
3.2.1 Bahan Analisis
Sumber data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :
Judul : Filosofi Kopi
Pengarang : Dewi Lestari
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal Buku : 142 halaman
Ukuran : 20 cm
Cetakan : Pertama
Tahun : 2006
Warna Sampul : Perpaduan warna cokelat dan hitam dengan judul
berwarna putih
Gambar Sampul : Berupa ukiran dan gambar biji kopi
3.3 Metode Analisis Data
Kemudian sumber data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode analisis isi. Ratna (2004: 548) mengemukakan sesuai dengan namanya
analisis isi terutama berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal,
dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah
tangga, dan media elektronik. Tetapi dalam karya sastra, isi yang dimaksudkan
adalah pesan-pesan yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.
Sebagaimana metode kualitatif, dasar pelaksanaan metode analisis isi adalah
penafsiran. Apabila proses penafsiran dalam metode kualitatif memberikan
perhatian pada situasi alamiah, maka dasar penafsiran dalam metode analisis isi
BAB IV
KOMUNIKASI ESTETIK DALAM ANTOLOGI CERPEN FILOSOFI KOPI KARYA DEWI LESTARI
4.1 Unsur-unsur Stile (Style)
Fowler (dalam Nurgiyantoro, 1995: 278) mengemukakan bahwa struktur
lahir adalah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diobservasi. Ia merupakan
suatu bentuk perwujudan bahasa, performansi (kinerja) kebahasaan. Struktur
batin, di pihak lain, merupakan struktur makna yang ingin diungkapkan.
Pemilihan bentuk struktur lahir, dengan demikian, dapat dipandang sebagai
teknik, teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat
diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Dua atau beberapa kalimat
yang mirip maknanya dapat dianggap memiliki struktur batin yang sama, dan
yang berbeda hanya struktur lahirnya saja. Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa
tak ada hubungan satu lawan satu antara bentuk dan makna. Makna bersifat
konstan, sedang bentuk dapat bersifat bervariasi.
Unsur stile sebagai elemen pembentuk peristiwa komunikasi (teks) yang
diuraikan dalam penelitian ini mencakup pada kategori penyiasatan struktur dan
pemajasan. Artinya, analisis difokuskan pada pemanfaatan gaya bahasa
berdasarkan aspek penyiasatan struktur dan pemajasan yang terdapat dalam
antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Berikut diuraikan unsur-unsur
4.1.1 Penyiasatan Struktur
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur
kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang berangkat dari bentuk
pengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain,
misalnya gaya repetisi, pararelisme, anafora, polisindenton, dan asidenton,
sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis, alitrasi, klimaks,
antiklimaks, dan pertanyaan retoris (Nurgiyantoro, 1995: 302). Berikut contoh
jenis penyiasatan struktur yang terdapat dalam teks cerpen:
Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap, demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucino, espresso, Russian Coffe, Irish Coffee, macchito, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis. (Filosofi Kopi)
Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-4 terdapat kata-kata yang disejajarkan
penggunaanya, yakni memiliki bentuk gramatikal yang saling terkait sehingga
memberi kesan di luar dari konteks kalimat. Adanya penggunaan antara kata
mengemis-ngemis dan mengorek-ngorek, menyelusup dan menyelinap merupakan
bentukan kata yang memiliki bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran bentuk
kata itu mengandung gaya bahasa yang disebut dengan paralelisme. Keraf (2006:
126) mengemukakan bahwa pararelisme adalah semacam gaya bahasa yang
berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran
bentuk kata tersebut menonjolkan fungsi penggunaan yang sama pada
masing-masing kata dan dimanfaatkan untuk mempertegas makna kata yang diuraikan
Kemudian penyiasatan struktur kalimat tidak hanya dapat diidentifikasi
dari bentuk pengulangan berupa kata atau kelompok kata, tetapi juga dapat
diindentifikasi melalui bentuk kesamaan struktur gramatikal. Penggunaan bentuk
ini merupakan struktur gramatikal yang sama dan menciptakan jenis gaya bahasa
paralelisme. Berikut ini merupakan contoh bentuk penyiasatan struktur gramatikal
yang sama, yakni:
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, keikhiafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir secara naluriah setiap kali kalian berjumpa. (Surat yang Tak Pernah Sampai)
Kata-kata menginginkan, membencimu, mendekati, menertawakan, dan
menyesalkan merupakan pengulangan struktur kalimat berupa bentuk awalan me-.
Bentuk kata yang sejajar itu diuraikan secara berurutan dan memiliki pola yang
mirip dalam kalimat. Kesejajaran dalam kutipan teks di atas dibentuk sebagai
pengungkapan yang bersifat kiasan. Gaya bahasa paralelisme yang tercipta tidak
hanya sekadar terletak pada polanya, namun dapat dijadikan sebagai
pengungkapan melodis. Dengan kata lain, bentuk yang sejajar itu menciptakan
efek estetik yang seirama baik dalam bentuk penulisan maupun dalam pembacaan.
Selain itu, bentuk penyiasatan struktur yang dimanfatkan berupa bentuk
pengulangan yang menggunakan pungtuasi berupa tanda koma dalam satu
gagasan untuk menciptakan jenis gaya bahasa yang disebut dengan asindenton
Kalau saja hidup tidak berevolusi, kalau saja sebuah momen dapat
Teks di atas mengandung gagasan yang mendapat penekanan yang sama
tetapi disusun dengan memanfaatkan tanda koma untuk mengapit struktur gagasan
tersebut. Adanya pengulangan tanda koma dalam teks menandakan bahwa
gagasan tersebut memiliki posisi yang sederajat dalam tingkat idenya. Artinya,
tanda koma difungsikan untuk menciptakan gagasan dengan penekanan yang
sama. Hal yang menarik dalam teks di atas yakni gagasan tersebut tidak hanya
memanfaatkan gaya asindenton tetapi juga sekaligus memiliki gaya repetisi yang
ditunjukkan dengan penggunaan kata kalau saja yang diuraikan secara berulang.
Dalam hal ini Nurgiyantoro (1996: 303) menyebutkan bahwa penggunaan gaya
asindenton jika diselang-seling dengan gaya-gaya yang lain, akan mampu
membangkitkan efek retoris.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang teramat amat kusukai.
Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan
semua alasannya dulu (Sikat Gigi).
Sama halnya dengan bentuk penyiasatan struktur sebelumnya, teks di
atas juga masih memanfaatkan bentuk pengulangan. Bedanya, pengulangan pada
teks di atas berupa kata atau kelompok kata yang sama diletakkan pada awal
kalimat dan bentukan itu menciptakan gaya anafora. Kata Ketakutan yang diulang
ke dalam beberapa kalimat (kalimat kedua, ketiga, dan keempat) disebut juga
dengan pengulangan anaforis yang memperlihatkan setiap kata yang mengawali
kalimat tersebut memiliki penekanan yang sama dan menampilkan struktur yang
Ben benar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup (Filosofi Kopi).
Paragraf di atas diuraiakan dengan memanfaatkan gaya bahasa
asindenton yang berfungsi membentuk teks tanpa melibatkan pemakaian kata
penghubung untuk menciptakan gagasan yang utuh. Setiap kalimat pada teks
tersebut dibentuk dengan melibatkan tanda baca titik sebagai acuan untuk
menghubungkan gagasan kalimat. Asindenton adalah suatu gaya yang berupa
acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa
yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf, 2006: 131).
Akan tetapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang diciptakan Ben. Dia tidak sekedar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi (Filosofi Kopi).
Pengulangan suku kata me- pada kata meramu, mengecap, dan
merenungkan memberi tekanan pada konteks kalimat Dia tidak sekedar meramu,
mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang dia buat. Bentuk perulangan itu
berfungsi menciptakan gaya repetisi, yakni bentuk perulangan berupa bunyi, suku
kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 2006: 127).
Struktur kalimat pada baris ke-3 dan ke-4 di atas menciptakan gaya
klimaks yang menunjukkan semakin meningkatnya kadar gagasan tersebut (Ben
menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis
ramuan kopi). Pemanfaatan gaya bahasa klimaks juga terdapat pada struktur
Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. “BEN’s PERFECTO,” tandasnya mantap (Filosofi Kopi).
Dari awal hingga akhir pada kalimat di atas menciptakan urutan kalimat
yang memperlihatkan semakin meningkat kadar pentingnya gagasan yang
disampaikan. Hal menarik pada kalimat tersebut yakni terdapatnya perulangan
kata senyum yang menciptakan gaya repetisi. Dengan demikian, struktur kalimat
di atas memanfaatkan bermacam-macam gaya bahasa, yakni kombinasi gaya
klimaks dan repetisi yang semakin menyempurnakan bentuk pesan (isi), serta
dapat dimanfaatkan untuk memperjelas atau mengaburkan makna.
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang
membuatku gelagapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Kubersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan (Sikat Gigi).
Jenis penyiasatan struktur pada teks di atas memanfaatkan sejumlah gaya
bahasa, yakni gaya paralelisme dan anafora yang digunakan secara bersamaan.
Bentuk pengulangan yang menciptakan lebih dari satu gaya bahasa menunjukkan
bahwa teks itu memiliki variasi struktur dan menekankan penyampaian gagasan.
Gaya paralelisme terletak pada bentuk pengulangan yang dibangun dengan
struktur yang sejajar, yakni pada kalimat baris ke-1 sampai baris ke-4 (Kutatap
dan Kubersihkan) dan (mengusir, melirik, dan mendapatkan). Selanjutnya, gaya
anafora terletak pada bentuk pengulangan kata senyuman yang diletakkan pada
awal beberapa kalimat dalam satu paragraf.
yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari selurih waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu?” (Sikat
Gigi).
Selanjutnya terdapat penyiasatan struktur yang memanfaatkan gaya
repetisi dan pertanyaan retoris secara bersamaan. Gaya repetisi diuraikan dengan
bentuk pengulangan kata orang yang diulang-ulang dalam satu kalimat (baris ke-2
sampai ke-4). Gaya pertanyaan retoris jelas terlihat pada kalimat yang dibubuhi
dengan tanda tanya yang pada dasarnya merupakan pertanyaan yang tidak
menghendaki jawaban yang sudah memiliki asumsi tersendiri. Pemanfaatan kedua
gaya bahasa itu tentu menciptakan variasi struktur yang memperkaya estetika
penuturan.
Kadang-kadang, semua itu membuat Indi geli sekaligus bingung saat melaksanakan doa rutinnya. Apakah dia menghadap sebagai seorang penjahat..., perusak..., atau pihak yang patut dikasihani dan ditolong? Impitan tak diundang itu juga tetap ada, tapi Indi sudah terlalu kebal. Matanya seperti kehabisan stok air mata. Sekarang, tak perlu repot lagi dia mengatur napas (Sepotong Kue Kuning).
Sama halnya seperti pada penjelasan di atas, adanya sebuah kalimat tanya
yang melingkupi gagasan tersebut bukanlah pertanyaan yang mengharuskan suatu
jawaban. Sebaliknya, pertanyaan itu merupakan media yang digunakan untuk
menguatkan keseluruhan gagasan. Hal itu menunjukkan bagaimana teks di atas
mengkomunikasikan ide (gagasan) melalui pemanfaatan gaya pertanyaan retoris
yang tidak hanya mengedepankan bentuk (berupa penyiasatan struktur), tetapi
juga menekankan isi (makna).
eksekusi kontrak belaka. Jadi apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stress saat kali pertama mendengar konsep itu diretret antistres (Lara Lana).
Pada kalimat baris ke-7 dan baris ke-8 merupakan sebuah pertanyaan
yang diajukan pencerita pada pembaca yang sebenarnya tidak membutuhkan
jawaban. Pertanyaan tersebut hanyalah sebuah asumsi yang jawabannya
disampaikan secara implisit oleh pencerita. Bentuk penyiasatan struktur yang
demikian yang disebut ke dalam kategori pertanyaan retoris. Jenis gaya bahasa
itu dimanfaatkan sebagai jalan pengungkapan ide atau pandangan tokoh terhadap
sikap tokoh lainnya.
Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali dia salah sambung. Perjanjian macam apa ini? Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate? Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract (Lara Lana).
Bentuk pertanyaan retoris di atas adalah perwujudan dari sikap yang
dilontarkan tokoh Lana terhadap perubahan yang dirasakannya pada sahabatnya,
Lara. Pemanfaatan gaya pertanyaan retoris tersebut digunakan sebagai ungkapan
karakteristik tokoh dalam menyikapi peristiwa yang dialaminya, bukan menjadi
semacam pertanyaan yang sengaja diajukan untuk memperoleh jawaban.
Selain gaya pertanyaan retoris, terdapat pula jenis gaya bahasa
pararelisme yang diartikan sebagai bangunan struktur gramatikal yang menduduki
fungsi sama dalam satu gagasan. Berikut ini adalah contoh teks yang
memanfaatkan gaya pararelisme sebagai bagian dari penyiasatan struktur.
Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang dipabrikasi sendiri. Sampai akhirnya, dia lelah dan menyerah (Sepotong Kue
Gaya pararelisme pada teks di atas dapat dilihat melalui pengulangan
struktur bentuk yang menduduki fungsi yang sama. Kata bercetak tebal tersebut
merupakan pengulangan bentuk awalan me- yang disusun secara berurutan dan
memiliki fungsi sama sebagai kata kerja. Pengulangan struktur bentuk di atas
mengindikasikan bahwa ketiga kata itu memiliki posisi yang sama untuk memberi
penekanan pada gagasan yang sejajar. Penyiasatan berupa bentuk pengulangan
stuktur tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan bentuk penuturan yang retoris
dan bersifat melodis.
Tidak satu kali pun dari empat momen itu Indi punya kesempatan luks untuk ringan mengangkat telepon dan mengadu sakit, untuk kemudian
mendapatkan Lei pulang, mengantarnya ke dokter, atau sekadar
mengambilkan obat dan air putih (Sepotong Kue Kuning).
Bentuk pengulangan di atas juga masih berupa pengulangan bentuk
awalan me- yang memiliki fungsi sama yakni sebagai kata kerja. Adanya bentuk
yang sejajar tersebut memperlihatkan bangunan struktur yang pararel dan
difungsikan untuk menekankan gagasan yang sederajat.
Lama, baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.
Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa
banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama? (Surat yang Tak
Pernah Sampai).
Pengulangan kata lama untuk mengawali kedua kalimat di atas
menciptakan bentuk gaya anafora yang memberikan tekanan bahwa kata itu
memiliki fungi tertentu dalam kalimat. Nurgiyantoro (1996: 302) menjelaskan
bahwa anafora, di pihak lain, menampilkan pengulangan kata (-kata) pada awal
kalimat. Pengulangan anaforis dapat memberikan tekanan dan menunjang
kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan.
Pada teks di atas, bentuk gaya pertanyaan retoris terlihat pada kalimat
kedua, yakni dengan adanya kalimat yang menggunakan pungtuasi berupa tanda
tanya. Penggunaan tanda tanya dalam sebuah fiksi dikenal dengan sebutan
pertanyaan retoris. Pada hakikatnya tanda tanya tersebut tidak dimaksudkan
untuk memperoleh jawaban, tetapi difungsikan sebagai ungkapan semata.
Nurgiyantoro (1996: 304) berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
dikemukakan itu telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat satu jawaban
yang mungin, di samping penutur juga mengasumsikan bahwa pembaca
(pendengar) telah mengetahui jawabannya.
Indi selalu merasa yang paling beruntung karena hanya kepadanyalah Lei memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa. Jangan-jangan aku selama ini salah dan kamulah yang benar, tuding Indi pada bayangan di cermin. Sebenarnya, dia orang yang paling sial. Cinta hanya retorika kalau tidak ada tindakan nyata, yang artinya selama ini dia dikenyangkan dengan bualan (Sepotong Kue Kuning).
Ide yang bertentangan pada teks di atas diwujudkan melalui penggunaan
kata yang berlawanan, yakni kata beruntung dan sial. Kedua kata tersebut
memperlihatkan gagasan yang dibangun di antara lawan kata tersebut bukanlah
ungkapan yang sederajat. Artinya, pemanfaatan gaya antitesis tersebut
mengkontraskan dua ide yang bertentangan dalam satu ungkapan.
4.1.2 Pemajasan
Todorov (1985: 19) berpendapat bahwa yang disebut kiasan tidak lain
digambarkan. Jika hubungan antara dua kata merupakan hubungan identitas,
terjadi kiasan: disebut repetitio. Jika hubungannya memperlihatkan pertentangan,
terjadi lagi kiasan: antitese. Jika yang satu menunjuk jumlah yang lain lebih atau
kurang besar dibanding yang lain, lagi-lagi kiasan: gradasi. Tetapi jika hubungan
dua kata tidak dapat ditunjukkan dengan salah satu istilah itu, maka kita akan
menyatakan bahwa ujaran tersebut bukan kiasan. Berikut uraian sejumlah
pemanfaatan pemajasan yang terdapat dalam antologi cerpen:
Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia ramuan kopi dari barista-barista kaliber kakap, demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat cafe latte, cappucino, espresso, Russian Coffe, Irish Coffee, macchito, dan lain-lain. Sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis (Filosofi Kopi).
Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-4 terdapat beberapa kata yang
diuraiakan dalam bentuk kiasan, yakni berupa pemanfaatan majas metafora
seperti pada penggunaan kata mengemis-ngemis, mengorek-ngorek, menyelusup,
dan kakap. Bentuk kata tersebut merupakan metafora perbandingan tidak
langsung yang tidak lagi menggunakan kata seperti atau bagaikan dan bentuk
kiasan dalam teks di atas dikategorikan sebagai metafora yang hidup. Artinya,
penggunaan kata kiasan yang dimanfaatkan masih berkaitan dengan arti aslinya.
Keraf (2006: 139) juga menegaskan bahwa bila dalam sebuah metafora, kita
masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka metafora
itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat menetukan konotasinya lagi, maka
mefora itu sudah mati, sudah merupakan klise.
ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercu suar, kompas, Bintang Selatan... yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku (Surat yang Tak Pernah
Sampai).
Bentuk kiasan berupa metafora pada teks di atas diuraikan tanpa
melibatkan kata-kata penunjuk secara eksplisit yang menghubungkan kalimat
yang pertama sampai kalimat yang terakhir. Hubungan perbandingan yang
dibentuk hanya bersifat sugestif. Berbeda halnya dengan majas simile yang
memiliki hubungan perbandingan dengan mengunakan kata penghubung seperti,
bagaikan, sebagai, dan laksana. Gaya Metafora yang disusun pada teks itu
diletakkan di antara kalimat kedua dan ketiga, yakni sebuah perasaan mutual yang
dimiliki manusia dianalogikan seperti mercun suar, kompas, dan Bintang Selatan
yang mampu menjadi penuntun jalan pulang bagi hati manusia.
Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahan, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman (Filosofi Kopi).
Pada baris ke-1 sampai ke-3 diuraiakan dengan bentuk dari kebalikan
sesuatu yang wajar misalnya menempatkan sebuah kedai kopi sebagai filsuf dan
teman curhat serta menjadi bagian dari kehidupan pribadi seseorang. Penempatan
secara tidak logis tersebut menciptakan bentuk kiasan yang disebut dengan
histeron proteron. Bentuk kiasan tersebut menimbulkan berbagai asosiasi makna
yakni apakah kedai kopi yang dimaksud merupakan sebuah benda atau sejenis
mahluk hidup yang dianalogikan sebagai kedai kopi. Keraf (2006: 133)
merupakan kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu
yang terjadi kemudian pada awal peristiwa, juga disebut hiperbaton.
Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi (Sikat Gigi).
Bentuk majas yang digunakan pada teks di atas merupakan majas
personifikasi. Hal itu terlihat dari uraian suara sikat dan gigi yang saling beradu
menghasilkan suara yang menggema. Bentuk majas tersebut memberi interpretasi
sebuah benda yang difungsikan untuk memberi kesan layaknya manusia yang
mampu beradu dan menggema.
Bagai luapan sungai saat penghujan, air mata membanjir.
Tersengal-sengal Indi mencoba membendung, bertahan untuk tetap kuat walau tak ada orang lain yang melihat-bayangan di cermin. Namun, bukankah justru dia yang paling Indi hindari? Sambil menahan sengguk dia menduga-duga, adakah manusia lain yang sepertinya, merasa berdosa pada bayangan sendiri. (Sepotong Kue Kuning).
Bentuk pengungkapan pada teks di atas memanfaatkan majas simile yang
ditandai dengan penggunaan kata tugas bagai yang difungsikan sebagai
perbandingan secara eksplisit. Tindakan tokoh Indi yang tersengal-sengal
dibandingkan secara langsung bagai luapan sungai saat penghujan. Artinya,
tindakan Indi (tersengal-sengal) memiliki persamaan sifat dengan yang disebut
sebagai sungai saat penghujan. Hal itu menunjukkan bahwa Indi yang
tersengal-sengal mencoba membendung diibaratkan bagai luapan sungai saat musim hujan
yang dibanjiri oleh mata air.
yang mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya (Lara Lana).
Penggunaan majas metafora pada teks di atas terlihat melalui bentuk
ungkapan yang digunakan untuk menguraikan pemikiran tokoh Lana yang
dibandingkan secara implisit dengan kelompok ultraelite yang dapat membangun
koloni rahasia di bulan. Pengolahan gagasan di atas sejalan dengan pandangan
Nurgiyantoro (1995: 299) yang menjelaskan bahwa hubungan antara sesuatu yang
dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tak ada kata-kata
penunjuk perbandingan eksplisit.
Dia mulai bercerita. Sore tadi, dia kedatangan seorang pengungjung, pria parlente berusia 30 tahunan. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingi pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenangan. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar (Filosofi Kopi).
Kalimat pada baris ke-2 sampai ke-4 teks di atas mengandung bentuk
kiasan berupa majas alegori. Rangkaian peristiwa dalam cerita itu bersifat abstrak
dengan tujuan yang tersurat. Sifat yang diuraikan pada kalimat itu bersifat implisit
dan subjek (tokoh pria) dideskripsikan secara absurd misalnya menggambarkan
tokoh pria yang melangkah mantap masuk dengan mimik wajah yang hanya bisa
ditandingi pemenang undian satu miliar.
Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati kepadamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa (Surat yang Tak Pernah Sampai).
Adanya kata menginginkan yang diuraikan pada awal kalimat memiliki
unsur yang bertentangan dengan kata yang terletak pada kalimat ketiga, yakni kata
penuturan yang memiliki unsur pertentangan di dalamnya. Artinya, keinginan
yang dimiliki oleh tokoh yang dimaksud si pencerita pada akhirnya hanyalah
sebuah ungkapan penyesalan atas kejadian di masa lalu. Kehadiran gaya paradoks
ini menampilkan penuturan yang kelihatan abstrak. Cara penyampaian yang
digambarkan si pencerita tidak sekadar dibangun dengan pola yang rumit dan
kedengaran seirama, tetapi ide gagasan yang disusun melahirkan berbagai
kemungkinan arti yang mengajak pembaca memutuskan berbagai asosiasi makna
yang dikandungnya. Teks tersebut seperti berkomunikasi secara langsung lewat
gagasannya yang dibangun dengan tuturan yang difungsikan secara imajinatif.
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gelagapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Kubersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan (Sikat Gigi).
Teks di atas masih memanfaatkan bentuk kiasan berupa majas
personifikasi. Hal itu diuraikan dengan analogi yang mengandaikan sepasang
mata mampu menjemput kegugupan, sakit tenggorokan yang dibandingkan
dengan seorang keparat, senyuman yang memiliki aliran listrik dan mampu
memenuhi kecukupan anak manusia.
Aku balik menggeleng. “Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tunanetra padahal mata kamu sehat. Kamu menutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang yang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah (Sikat Gigi).
Hal yang menarik pada teks di atas yakni pada pemanfaatan majas simile
dan metafora yang digunakan secara bersamaan dalam satu gagasan. Kalimat
metafora), sedangkan pada kalimat baris ke-3 menggunakan perbandingan yang
bersifat eksplisit (gaya simile) yang ditandai dengan penggunaan kata seperti.
Indi selalu merasa yang paling beruntung karena hanya kepadanyalah Lei memberikan cinta dengan sepenuh jiwa tanpa sisa. Jangan-jangan aku selama ini salah dan kamulah yang benar, tuding Indi pada bayangan di cermin. Sebenarnya, dia orang yang paling sial. Cinta hanya retorika kalau tidak ada tindakan nyata, yang artinya selama ini dia dikenyangkan dengan bualan (Sepotong Kue Kuning).
Dalam penyiasatan struktur, teks di atas dikategorikan sebagai bentuk
yang memanfaatkan gaya antitesis dan ditandai dengan penggunaan kata yang
berlawanan. Tetapi ketika dianalisis dari konsep pemajasan, ditemukan
penggunaan majas paradoks pada teks tersebut. Hal itu dapat diidentifikasi
melalui satu gagasan yang diuraikan dengan ide bertentangan. Jika pada gaya
antitesis sifat yang bertentangan itu diwujudkan dengan penggunaan kata yang
berlawanan, pada majas paradoks, ide yang bertentangan itu diuraikan dengan
cara penekanan penuturan pada satu ungkapan.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali (Lara Lana).
Bentuk pemajasan yang digunakan pada teks di atas adalah majas
personifikasi, yang terletak pada awal kalimat. Sebuah benda berupa ruang tunggu
digambarkan mampu untuk memancing dilema dalam hati tokoh (manusia).
Analogi dalam bentuk benda mati tersebut mengindikasikan berbagai makna,
apakah yang dimaksud hanya sekadar sebuah benda atau ada ide lain di balik
pengungkapannya.
Selanjutnya terdapat pula penggunaan majas apofasis atau preterisio
sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu,
tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau
menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya (Keraf, 2006: 130).
Berikut uraian contoh penggunaan majas apofasis atau preterisio pada teks.
Lana ingat saat kali terakhir nomor itu tertera di layar ponselnya. Besok saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakati antarroh sebelum terlahir jadi daging ke dunia. Apapun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stress saat kali pertama mendengar konsep itu diretret antistres (Lara Lana).
Pada kalimat baris ke-1 sampai ke-3 di atas menunjukkan ketidakjujuran
tokoh Lana melalui ungkapan yang bertentangan dengan kejadian yang ia alami
sebenarnya dan diuraikan pada kalimat terakhir. Ungkapan tersebut seakan
menutupi fakta yang sebenarnya, tetapi diperlihatkan dengan jelas pada kalimat
terakhir.
Setiap malam Indi duduk di pinggir jendela untuk berbicara pada sepotong kue kuningnya. Berusaha mengingatkan berulang-ulang bahwa yang dia inginkan sungguhlah sederhana: setengah jiwanya yang selalu ikut pergi dengan Lei. Itu saja. Indi ingin jiwanya utuh (Sepotong Kue Kuning).
Majas yang ditemukan pada teks di atas adalah penggunaan majas
personifikasi. Hal itu diwujudkan dengan mengemukakan sepotong kue kuning
yang mampu berbicara pada tokoh Indi. Sepotong kue kuning tersebut juga
diibaratkan mampu mengingatkan tokoh secara berulang-ulang tentang keinginan
sederhananya. Pemanfaatan majas personifikasi pada teks tersebut bertentangan
dengan fakta bahwa sepotong kue hanyalah benda mati yang cukup untuk
makanan yang dinikmati sewajarnya, ada makna di balik penggunaan analogi
sepotong kue kuning. Hal inilah yang semakin memperkaya struktur lahir sebuah
teks, tidak hanya sekadar bercerita, tetapi juga diperkaya dengan analogi-analogi
sebuah benda yang disejajarkan dengan sifat manusia.
4.2 Makna Denotatif dan Konotatif
Meskipun gaya dan makna merupakan dua hal yang berbeda,
pemahaman gaya tidak dapat dilepaskan dari pemahaman makna atau ‘isi’ yang
terbungkus dalam gaya yang diproduksikan. Dalam proses pengungkapan
gagasan, gambaran isi tuturan yang tergambarkan sebagai konfigurasi gagasan
dan terbentuk dalam satuan lambang kebahasaan disebut bentuk ekspresi. Sebagai
sesuatu yang bersifat abstrak dan spekulatif, bentuk ekspresi ‘ada dalam
ketiadaan’. Dengan kata lain, ketika seseorang menyatakan sesuatu yang ada
dalam dunia gagasannya, sesuatu yang dinyatakan itu sebenarnya tidak dapat
dilihat secara konkret. Sesuatu atau being yang ada dalam ketiadaan itu dapat
dianalogikan sebagai konfigurasi gagasan (Aminuddin, 1995: 77-79).
4.2.1 Filosofi Kopi
Makna denotatif pada cerpen Filosofi Kopi diuraikan melalui gambaran
peristiwa yang melatarbelakangi terciptanya warung kopi milik Ben dan Jody
yang difungsikan sebagai butir referensial yang diacu melalui pembentukan nama
kedai Filosofi Kopi dengan slogan yang bertuliskan Temukan Diri Anda di Sini
sebagai sistem tanda yang membentuk satuan tanda. Slogan tersebut dijadikan
Ben sebagai wujud terobosan baru untuk menciptakan kopi yang tidak hanya
yang diraciknya. Hal itu ditandai dengan keinginan Ben yang ingin membuat
sebuah inovasi baru, yakni menambahkan keterangan filosofis pada
masing-masing kopi dalam daftar minuman.
Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan dia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu. Sesudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.
Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosofi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi Filosofi Kopi: Temukan Diri Anda di Sini. (Hal 6-7)
Kemudian pergantian nama dan slogan tersebut menimbulkan tantangan
baru bagi Ben, yakni seorang pengungjung menantangnya untuk menciptakan rasa
kopi yang mampu memberi makna kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup
dengan imbalan sebesar 50 juta. Setelah berminggu-minggu melakukan
eksperimen, akhirnya terciptalah menu baru yang disebut dengan kopi BEN’s
PERFECTO, artinya sukses adalah wujud kesempurnaan hidup.
Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben’s Perfecto memang tidak bisa didapat di mana pun.
Tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedashyat itu di Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi. (Hal 14)
Pada akhirnya semua terobosan yang dilakukan Ben dihadapkan pada
hasil yang sia-sia. Hal itu dikarenakan salah seorang tamu beranggapan bahwa
masih kopi Ben’s Perfecto belum mampu mengalahkan kesempurnaan rasa kopi
tiwus warung pak Seno. Kemudian anggapan tersebut dibuktikkan Ben lewat
seduhan secangkir kopi tiwus di warung pak Seno, sebuah warung kecil yang
menurutnya tidak cocok ditanami biji kopi. Kejadian itu mengubah persepsi Ben
terhadap racikan kopi yang menjadi menu utama di kedai Filosofi Kopi tersebut,
dikarenakan belum mampu bersaing dengan kenikmatan rasa yang ditawarkan
pada kopi tiwus pak Seno.
“Kamu masih tidak sadar?” Ben menatapku prihatin. “Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuman jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial!’ serunya gemas, “Aku malu kepada diriku sendiri, kepada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.”
“Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?” katanya dengan tatapan kosong, “Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini adalah barista terburuk. Bukan Cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!” (Hal 23)
Peristiwa itu membuat Ben mengambil keputusan untuk berhenti menjadi
seorang barista dan kedai Filosofi Kopi juga terpaksa ditutup sementara.
Sekalipun pada akhirnya ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan Ben untuk
kembali meracik kopi sebagai barista dan siap membuka kedai kopi Filosofi Kopi
untuk kedua kalinya.
“Pak Seno titip salam. Dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus..., memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran, ” napasku harus dihela agar lega dada ini, “bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu. Ben’s Perfecto tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak. ”
“Benar, kan.” Ben menyunggingkan senyum getir, “kita memang Cuma tukang gombal.”
kesempurnaan seperti Ben’s Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi apa adanya.” (Hal 28)
Sejumlah gambaran peristiwa di atas difungsikan sebagai satuan tanda
yang memiliki hubungan secara sintagmatis dengan nama kedai Filosofi Kopi:
Temukan Diri Anda di Sini. Dengan demikian, denotasi makna kata Filosofi Kopi
merujuk pada proses pembentukan nama kedai kopi yang diciptakan berdasarkan
kualitas menu kopi yang disajikan, ditambah sebuah terobosan baru, yakni slogan
berupa keterangan filosofis pada masing-masing kopi yang diracik oleh Ben. Hal
itu menjadi awal tantangan yang dihadapinya hingga tercipta kopi Ben’s Perfecto,
yang kemudian menjadi alasan penyebab kekalahan Ben’s Perfecto terhadap
kenikmatan rasa kopi tiwus milik warung pak Seno. Isi pemaknaan Filosofi Kopi
pada teks tidak mengarah pada makna lain di luar isi wacananya. Pembentukan
makna denotasi tersebut terkait dengan fungsi kebahasaan sebagai fungsi
metalingual. Artinya, denotasi makna Filosofi Kopi: Temukan Diri Anda di Sini
merupakan objek yang diuraikan melalui makna tanda kebahasaan itu sendiri,
yakni gambaran ciri referensialnya.
Makna konotatif Filosofi Kopi dapat diidentifikasi melalui bentuk
kejanggalan yang ditemukan pada teks, misalnya berupa kata, kalimat atau
wacana terkait aspek retorik yang menggambarkan kemungkinan adanya makna
lain di luar maknannya pada tataran denotatif, yang tidak lagi merujuk pada wujud
konkret sistem tandanya.
Gambaran konotasi di atas mengisyaratkan adanya pengertian lain di luar
fungsinya sebagai nama kedai kopi pada tataran pertama. Makna kata Filosofi
Kopi tidak hanya difungsikan sebagai nama kedai dengan slogan Temukan Diri
Anda di Sini, tetapi juga sebagai bentuk pembuktian eksistensi Ben sebagai barista
handal. Tantangan terhadap racikan kopi andalannya Ben’s Perfecto mengubah
sudut pandang Ben terhadap makna kopi yang sesungguhnya. Ben menyadari
bahwa letak kesempurnaan hidup yang dicarinya tidak hanya sekadar pada rasa
kopi racikannya, tetapi diperoleh dari kecintaan pelanggan setianya yang tidak
menuntut kesempurnaan rasa. Sebaliknya, mereka mengingingkan Ben dan kedai
Filosofi Kopi dengan uraian slogan filosofis hidup yang menjadi magnet tersendiri
bagi pengungjungnya. Hubungan antara konotasi makna nama Filosofi Kopi
dengan slogan Temukan Diri Anda di Sini membentuk fungsi konatif, yakni
sebagai ajakan atau imbauan kepada pengungjung untuk menemukan wujud
kesempurnaan hidup di kedai Filosofi Kopi.
4.2.2 Surat yang Tak Pernah Sampai
Makna denotatif cerpen Surat yang Tak Pernah Sampai dapat
diidentifikasi melalui bentuk penggunaan kata surat sebagai sistem tanda dengan
gambaran peristiwa yang dapat difungsikan sebagai satuan tanda. Kata surat yang
terdapat di dalam cerpen digambarkan bersama tokoh kamu sebagai surat yang
tidak akan pernah terkirim. Hal itu dapat dilihat melalui teks di bawah ini:
Surat yang diuraikan di dalam cerpen ditujukan pada tokoh dia, yang
digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah bisa dipahami oleh tokoh kamu,
yakni tokoh dengan karakter yang mengalami kebimbangan ketika mengambil
keputusan terhadap surat yang mengingatkannya terhadap dia di masa lalu. Selain
itu, kebimbangan kamu juga digambarkan dengan uraian bahwa di satu sisi kamu
menginginkan kehadiran tokoh dia, tetapi di sisi lain juga ingin melupakan
seluruh momen yang pernah terjadi di antara tokoh kamu dan dia.
Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara kepada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyayian nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam... tentang dia. Akan kamu kirimkanlah lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya-dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap, dan abu dari benda-benda yang dia hanguskan-bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. Semoga dia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah. (Hal 41)
Surat itu menjadi bagian terburuk bagi kehidupan tokoh kamu, yakni
mampu mengembalikan ingatannya pada kejadian-kejadian di masa lalu yang
tidak ingin diingat kembali tetapi telah menjadi salah satu bagian yang
mengaharuskan kamu untuk terus mengingat dia. Berikut uraian teksnya:
Kamu takut.
Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.
Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tetapi kamu cemas. Kata “sejarah” mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai sang Kekasih Impian, sang Tujuan, sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang tidak Boleh sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan, mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu. (Hal 43)
Selanjutnya gambaran ketidakberterimaan tokoh kamu pada kenyataan
yang harus dihadapinya melalui surat yang seharusnya disampaikan pada dia,
jelas terlihat sampai pada halaman kedua surat. Tokoh kamu seakan tidak ingin
percaya dan masih berharap bahwa surat itu seharusnya tidak pernah ada.
Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata yang mampu menyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata “jangan” yang mungkin apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi. (Hal 45)
Sampai pada akhirnya tokoh kamu tetap bertahan pada pendiriannya,
bahwa suatu saat surat yang tidak pernah sampai itu akan terkirim pada dia.
Surat-surat yang sudah terlalu lama tersimpan, surat yang seharusnya sejak dulu
sampai pada dia, berharap agar dia bisa melihat ketidakinginan kamu mengalami
Perpisahan yang mengharuskan kamu untuk menjadikan dia sebagai bagian dari
dokumentasi perjalanan hidupmu.
Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hari sedahsyat itu. Dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya. (Hal 46)
Dari rangkaian peristiwa yang difungsikan sebagai satuan tanda di atas
yang dikaitkan secara sintagmatis dengan kata surat, dapat diindentifikasi bahwa
denotasi makna penggunaan kata surat pada cerpen Surat yang Tak Pernah
Sampai digambarkan sebagai benda berupa tulisan yang diuraikan sebagai surat
yang tidak terkirim. Artinya, makna kata surat pada tataran denotatif memiliki
pengertian sebagai pesan tertulis yang dibuat oleh kamu dan ditujukan pada dia.
Pemaknaan kata surat pada tataran ini tidak mengacu pada makna lain di luar isi
wacananya karena satuan tanda berupa peristiwa-peristiwa yang membentuk kata
tersebut menjelaskan makna tanda kebahasaan itu sendiri, yang disebut dengan
fungsi metalingual.
Makna konotatif penggunaan kata surat yang dijadikan sebagai tanda
dengan rangkaian peristiwa lainnya yang difungsikan sebagai satuan tanda, dapat
diidentifikasi melalui bentuk-bentuk kejanggalan yang ditemukan pada teks,
seperti gambaran tokoh kamu yang berdiskusi dengan angin, wangi sebelas
tangkai, dan dengan nyamuk-nyamuk. Gambaran dia sebagai sosok yang dapat
di kepala, menjadikan dia sebagai sang tujuan, sebagai mahakarya yang
termuntahkan ke dunia.
Dari uraian tersebut, makna surat yang tak pernah terkirim pada tataran
konotatif memiliki fungsi berbeda dengan tataran denotatif, yakni digambarkan
sebagai sebuah benda berupa tulisan yang berisikan pesan. Sebaliknya pada
tataran kedua, makna konotasi kata surat diwujudkan sebagai luapan perasaan
tokoh kamu yang tidak pernah terungkap kepada dia, sosok yang selalu kamu
simpan sebagai sejarah yang patut didokumentasikan dan dikenang setiap saat,
hingga pada akhirnya yang kamu temukan hanyalah sebuah keletihan dan
ketidakrelaan untuk melepaskannya. Dengan demikian, penggunaan kata surat
pada teks memiliki fungsi emotif, yakni pengekspresian gagasan sesuai dengan
kejadian yang melatarbelakanginya.
4.2.3 Sikat Gigi
Makna denotatif cerpen Sikat Gigi dapat diuraikan melalui identifikasi
penggunaan kata sikat gigi dengan gambaran peristiwa yang difungsikan sebagai
satuan tandanya. Pada tataran denotatif kata sikat gigi dikaitkan dengan peristiwa
lainnya secara sintagmatis, yakni ketika Egi menjelaskan hobinya (menyikat gigi)
kepada Tio, sahabatnya sebagai tindakan yang paling disukainya. Hal itu dapat
dilihat pada teks berikut:
‘Tio...,” panggilnya setelah lama mematung. “Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?”
“Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit...Cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak. (Hal 59)
Kemudian sikat gigi juga digunakan sebagai bentuk hadiah yang
diberikan Tio ketika ulang tahun Egi ke-27. Hadiah tersebut diberikan karena Tio
memahami bagaimana kecintaan Egi terhadap tindakan (menyikat gigi) yang
menurutnya tidak masuk akal. Berikut contoh urainnya:
“Ini... hadiah untuk kamu.” Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah-berantah itu.
Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. “Sejak kapan kamu kasi kado segala?”
“Usia 27 itu usia penting,” jawabku sekenanya.
Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.
Aku sibuk menjelaskan. “Sikat gigi elektronik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di dalam tas. Ini buku panduannya....”
“Tio,” potongnya geli seraya menahan tanganku, “saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi... kenapa sikat gigi?”
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang membuatku gegelapan, “Soalnya... ehm, soalnya...” Ku bersihkan tenggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambat lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang menyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga. Senyuman yang membuatku berkecukupan.” (Hal 61)
Melalui peristiwa di atas, dapat diuraikan bahwa denotasi makna sikat
gigi mengacu pada sebuah hobi (tindakan menyikat gigi) yang disukai oleh Egi.
Oleh karena itu, ketika ulang tahunnya yang ke-27, Tio memberikan hadiah
berupa sikat gigi elektronik yang menjadi kesukaan Egi. Dengan demikian
penggunaan kata sikat gigi pada teks cerpen dimaknai sebagai hobi yang dimiliki
makna lain di luar isi wacanannya. Hal itu ditunjukkan oleh gambaran peristiwa
yang difungsikan sebagai satuan tandanya, yakni menjelaskan makna tanda
kebahasaan itu sendiri sebagai hobi berupa tindakan menyikat gigi.
Makna konotatif penggunaan kata sikat gigi dapat diuraikan melalui
identifikasi bentuk kejanggalan yang ditemukan pada teks, yakni di luar fungsinya
sebagai hobi menyikat gigi yang diuraikan pada tataran pertama (denotatif).
Berikut ini contoh teks penggunaan kata sikat gigi yang mengacu pada makna lain
di luar isinya:
“Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang selalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absurditas. Dan kesimpulannya...,” dia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa hangat, “alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. Tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan.” (Hal 65)
Pada peristiwa tersebut, sikat gigi disejajarkan sebagai jalan yang tidak
perlu dilalui oleh Egi ketika ia memutuskan untuk menerima Tio, sebagai tiket
sekali jalan. Hal itu berkaitan pula dengan makna sikat gigi yang difungsikan
sebagai tiket bagi Egi seperti pada uraian teks berikut:
“Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,” kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, “pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi, kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.” (Hal 62)
Selanjutnya sikat gigi juga digambarkan sebagai salah satu alasan
ketakutan bagi Tio bahwa suatu saat hal itu tidak lagi dapat menjadi alasan bagi
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absurd tempat perasaanku bersemayam, dunia yang amat kusukai. Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu. (Hal 66)
Dari uraian contoh teks di atas dapat diidentifikasi bahwa makna sikat
gigi pada tataran pertama memiliki fungsi yang berbeda pada tataran kedua
(konotatif). Penggunaan kata sikat gigi diwujudkan sebagai cara yang dipilih oleh
Egi untuk sejenak melupakan masa lalunya, hingga pada akhirnya ia menyadari
bahwa hanya Tio yang dapat menjadi cara yang tepat baginya untuk bisa
meninggalkan masa lalu tanpa perlu menyikat gigi. Dengan demikian,
penggunaan kata sikat gigi pada tataran konotatif memiliki fungsi referensial,
yakni gambaran sikat gigi (benda) melalui tindakan menyikat gigi yang awalnya
menjadi pilihan bagi Egi sebelum memutuskan menerima Tio sebagai tiket
nyatanya.
4.2.4 Sepotong Kue Kuning
Makna denotatif penggunaan kata sepotong kue kuning pada teks cerpen
dapat diidentifikasi melalui sejumlah peristiwa yang difungsikan sebagai satuan
tandanya. Berikut gambaran sepotong kue kuning melalui uraian contoh teks
cerpen di bawah ini:
Merasa tidak sanggup menjalani sisa malam dengan rasa sesal, Indi menelepon bantuan gawat darurat: Ari, sahabat terdekatnya.
Aku justru keseringan berkaca, dan betul, aku memang tidak layak, balas
Indi dalam hati. Suatu kehormatan yang terlalu besar untuk bisa mencintai seperti
ini. (Hal 77)
Selanjutnya sepotong kue kuning digambarkan sebagai sajian yang selalu
ada setiap Indi membutuhkannya, sajian yang hadir tepat pada waktunya seperti
pada uraian teks berikut:
Puluhan kue kuning telah tersaji dalam piringnya, dan selalu Indi menebak-nebak cemas apakah rasanya manis atau pahit. Sekarang dia berhenti menebak. Keberaniannya malam itu; untuk berhadapan kembali dengan perasaannya sendiri; untuk mengakui bahwa cintanya tidak padam tapi bermutasi, memberi makna baru. (Hal 83)
Dari sejumlah peristiwa di atas, denotasi makna sepotong kue kuning
difungsikan sebagai salah satu sajian (makanan) yang digambarkan menjadi menu
yang kerap dinikmati oleh Indi, yakni terlihat pada setiap momen yang ia lewati
bersama sepotong kue kuningnya. Dengan demikian, pemaknaan pada tataran
denotatif tidak merujuk pada makna lain di luar isi wacananya, tetapi berfungsi
menjelaskan makna tanda kebahasaan itu sendiri, yakni gambaran sepotong kue
kuning sebagai sebuah benda berupa makanan yang selalu dinikmati Indi.
Makna konotatif penggunaan kata sepotong kue kuning dapat diuraikan
melalui identifikasi sejumlah bentuk kejanggalan yang ditemukan pada gambaran
peristiwa teks. Misalnya, sepotong kue kuning yang dijadikan sebagai pengatur
mekanis pasang surut kisah Indi dan Lei, potongan kue kuning yang sudah mereka
lewati, sepotong kue kuning yang berbicara pada Indi, serta kehadiran kue kuning
yang disangkal oleh Indi. Berikut contoh uraian teksnya:
menjadikannya satire. Menertawakan sesuatu yang sesungguhnya tidak lucu. (Hal 74)
Setiap malam Indi duduk di pinggir jendela untuk berbicara pada sepotong kue kuningnya. Berusaha mengingatkan berulang-ulang bahwa yang dia inginkan sungguhlah sederhana: setengah jiwanya yang selalu ikut pergi dengan Lei. Itu saja. Indi ingin jiwanya runtuh. (Hal 79)
Berbulan-bulan, Indi menutup tirai rapat-rapat, menyangkal kehadiran kue kuningnya, melawan rasa rindu dan sesal, menggantinya dengan rasa hambar yang dipabrikasi sendiri. Sampai akhirnya, dia lelah dan menyerah. (Hal 82)
Dengan demikian, konotasi makna sepotong kue kuning pada tataran ini
mengandung pengertian yang berbeda dengan tataran pertamanya. Artinya, pada
tataran konotatif makna sepotong kue kuning memiliki pengertian sebagai wujud
penggambaran kenangan yang pernah ia alami bersama Lei di masa silam,
potongan kue kuning yang masih melekat di hatinya, hingga pada akhirnya yang
Indi peroleh hanyalah keletihan dan kesesalan yang memaksanya untuk menyerah
dan melepaskan Lei, sosok sepotong kue kuningnya.
4.2.5 Lara Lana
Makna denotatif cerpen Lara Lana dapat diuraikan melalui peristiwa
yang juga difungsikan sebagai satuan tandanya, yakni keinginan Lana untuk
menghubungi Lara, sahabatnya sejak SMA yang telah bertahun-tahun tidak lagi
berkomunikasi dengannya. Lana diposisikan sebagai sahabat yang berpresepsi
bahwa ia satu-satunya orang yang memahami Lara, hal itu dapat dilihat pada
contoh teks di bawah ini:
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali. (Hal 88)
Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang kali terakhir. Kata “apa kabar” akan meluncur dengan semangat penghabisan menanti sore sebelum dipadamkan malam. Lalu, dia lancarkan sepaket basa-basi dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sebagai yang paling mengasyikkan. (Hal 89)
Sebelum Lana terhubung melalui telepon seluler dengan Lara, ia mulai
ragu dan takut, keraguan yang muncul ketika ia mengingat masa lalunya. Berikut
contoh teksnya:
Dua angka sebelum digit terakhir. Jarinya tertahan oleh detik yang tahu-tahu beku. Detik yang tahu-tahu-tahu-tahu melebar dan membentangkan dua puluh tiga tahun perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Namun, mereka tidak bisa bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bermesin BMW, begitu Lana mengungkapkan kepadanya saat didesak. (Hal 89)
Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: akankah aku bertambah tenang bila
berhasil membuktikkan kepada diriku, kepada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja? (Hal 94)
Dari uraian di atas dapat dianalisis bahwa denotasi makna peristiwa
ketika Lana berniat untuk menghubungi Lara dilatarbelakangi oleh perpisahannya
dengan Lara selama beberapa tahun. Artinya, keinginan Lana tersebut ditujukan
untuk menghubungi sahabat lamanya, Lara yang sudah bertahun-tahun tidak
berkomunikasi dengannya. Keinginan Lana difungsikan sebagai penggambaran
menghubungi Lara yang diikuti oleh keraguannya sesaat. Dengan demikian,
gambaran peristiwa yang difungsikan sebagai tanda tersebut memiliki fungsi
referensial, yakni digunakan sebagai wahana pemaparan gambaran kerinduan
Lana terhadap sahabatnya, Lara.
Makna konotatif dari cerpen Lara Lana dapat diidentifikasi melalui
bentuk kejanggalan yang ditemukan di dalam teks, seperti penggambaran rasa
rindu Lana yang diuraikan dalam bentuk kiasan, misalnya dalam teks berikut:
Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan dia ungkap hati-hati, dicicil sehingga tidak terasa picisan. Rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti membungkus putri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun. (Hal 89)
Dengan atau tanpa menghubungkannya dengan tataran denotatif, teks di
atas dapat diidentifikasi melalui bentuk kejanggalan yang ditemukan, yakni
keinginan Lana yang menghubungi Lara sebagai sahabatnya diikuti oleh
gambaran perasaan rindu yang dipupuk sedikit demi sedikit sebelum pada
akhirnya memutuskan untuk menghubungi Lara. Pada tataran pertama, gambaran
peristiwa itu merujuk pada keinginan Lana yang menghubungi sahabat lamanya
Lara untuk melepas kerinduannya. Sebaliknya pada tataran kedua, kerinduan yang
melatarbelakangi keinginan Lana menghubungi Lara tidak sekadar ungkapan
kerinduan sebagai sahabat. Hal itu terlihat pada uraian kerinduan Lana yang terasa
picisan, rasa rindu yang dikemas layaknya hiasan, dan latar belakang yang
Dengan demikian, gambaran peristiwa tersebut memiliki fungsi yang
berbeda dengan tataran pertama, yakni sebagai penggambaran dunia acuan.
Sebaliknya pada tataran konotatif, peristiwa yang juga difungsikan sebagai tanda
itu terkait dengan fungsinya untuk menciptakan, menjaga dan mempertahankan
hubungan persahabatannya dengan Lara yang sudah terpisah selama beberapa
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
Dari sejumlah unsur stile yang diidentifikasi melalui aspek penyiasatan
struktur dan pemajasan pada kelima cerpen sebagai data penelitian dalam antologi
cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari, dapat disimpulkan bahwa jenis gaya
bahasa yang dominan ditemukan pada teks sebagai elemen pembentuk peristiwa
komunikasi, terdiri dari gaya bahasa pararelisme, pertanyaan retoris, metafora
dan personifikasi. Berikut diuraikan beberapa jenis gaya bahasa pada teks cerpen:
No Data Penyiasatan Struktur Pemajasan
1 Filosofi Kopi Pararelisme, Asindenton,
repetisi, dan klimaks
3 Sikat Gigi Anafora, Pararelisme,
Anafora, dan Pertanyaan
Retoris
Metafora dan
Personifikasi
4 Sepotong Kue Kuning Pertanyaan Retoris,
Pararelisme, dan Antitesis
Simile, Antitesis,
dan Personifikasi
5 Lara Lana Pertanyaan Retoris Metafora,
Personifikasi,
Apofasis atau
Berdasarkan analisis makna denotatif dan konotatif melalui konfigurasi
gagasan pada kelima teks cerpen yang terdiri dari Filosofi Kopi, Surat yang Tak
Pernah Sampai, Sikat Gigi, Sepotong Kue Kuning, dan Lara Lana, dapat
disimpulkan bahwa wujud kekhasan bentuk komunikasi estetik yang terkandung
pada masing-masing cerpen diuraikan lewat cara penggunaan sistem tanda, baik
berupa kata atau gambaran peristiwa yang merujuk pada fungsi kebahasaan, yakni
terkait dengan fungsi bahasa sebagai wahana untuk menjelaskan fakta kebahasaan
itu sendiri (metalingual), pengajuan atau pengimbauan (konatif), pengekspresian
gagasan atau opini sesuai dengan tujuan yang melatarbelakanginya (emotif), dan
sebagai wahana pemaparan gambaran dunia acuan (referensial).
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang dilakukan pada kelima
cerpen dalam antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari sebagai sumber
data penelitian, maka perlu dilakukan penelitian stilistika lebih dalam melalui
sudut pandang yang berbeda, misalnya tinjauan ideologi yang dikandung teks
melalui identifikasi penggunaan gaya bahasa atau analisis stilistika bandingan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup
diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif dengan
karya yang berkualitas. Terbukti dari beberapa judul novel miliknya pernah
diangkat menjadi sebuah film, beberapa di antaranya, novel Perahu Kertas,
Malaikat Tanpa Sayap, dan Madre (yang dalam proses penggarapan). Karya
sastra miliknya sudah banyak dijadikan objek penelitian di beberapa universitas di
Indonesia, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Demikian juga dengan antologi cerpen Filosofi Kopi yang dijadikan
objek penelitian ini. Dari pengamatan dan penelusuran yang dilakukan peneliti,
antologi cerpen tersebut belum pernah dianalisis oleh mahasiswa Departemen
Sastra Indonesia, FIB Universitas Sumatera Utara (USU). Di berbagai universitas
lainnya, antologi cerpen ini sudah pernah diteliti oleh beberapa mahasiswa di
Indonesia. Beberapa diantaranya mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yakni Windi Eliyanti dengan judul penelitian
Analisis Cerpen dengan Menggunakan Pendekatan Strukural (objektif) (2012)
terhadap antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Pembahasan yang
diuraikannya menyangkut unsur-unsur instrinsik cerpen seperti tema, plot (alur),
latar, penokohan, gaya penulisan pengarang, serta gaya bahasanya (menyangkut
Selain itu, antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ini juga
pernah diteliti oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gajah
Mada (UGM), yakni Anwari Eka Putra dalam skripsinya yang berjudul Analisis
Fakta Cerita dan Tema Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Menurut
Stanton (Agustus, 2007). Dalam skripsinya tersebut, ia menggunakan teori
pengkajian fiksi Robert Stanton untuk menganalisis fakta-fakta cerita serta tema
dalam cerpen.
Kemudian antologi cepen ini juga pernah diteliti oleh Putri Dione Ayu
Agustins mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga
dengan judul penelitian Modus Mengada Tokoh Utama Kumpulan Cerita Pendek
Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari (2011). Dalam penelitiannya tersebut, ia
menggunakan teori psikologi eksistensial untuk menganalisis secara kritis
identitas tokoh. Langkah analisis yang dilakukannya yakni dengan menguraikan
unsur instrinsik (dalam alur, tokoh, dan latar) terlebih dahulu, kemudian dari hasil
tersebut, diidentifikasi faktor dominan sebagai jalan pencarian identitas tokoh
utamanya.
Berbeda halnya dengan kajian-kajian yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya seperti uraian di atas. Di dalam penelitian ini, pengkajian difokuskan
terhadap rangkaian pembentuk komunikasi (teks) dan isi (makna) yang
berlandaskan pada teori stilistika. Sesuai dengan judulnya menyangkut
komunikasi estetik, langkah awal yang dilakukan yakni dengan menguraikan